Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Berhujjah Dengan Hadits Ahad Dalam Bidang Aqidah
Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Dalil Pertama
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]
Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu' dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.
Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da'wah. Allah memberikan alasan dengan da'wah itu agar mereka berhati-hati.
Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam. [1]
B. Dalil Kedua
Allah Sub berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa': 36]
Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i'tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim. [2]
C. Dalil Ketiga
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]
Ayat ini menunjukkan jika ada seorang yang adil membawa kabar, maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan dengan pasti tentang harusnya diterima khabar ahad, dan tidak perlu lagi diselidiki. Seandainya khabar itu tidak memberikan faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat faedah ilmu. Hal ini menunjukkan diterimanya khabar ahad ialah apa yang dilakukan oleh para Salafush Shalih dan para imam, bahwa mereka akan senantiasa berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begini, beliau telah melakukan ini, memerintahkan, dan melarang begini dan begitu”. Dan juga kebanyakan dari Shahabat di dalam meriwayatkan hadits seorang dari mereka berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, meski ia pun mendengar dari Shahabat yang lain. Ini merupakan persaksian dari orang yang meriwayatkan, dan merupakan satu kepastian tentang apa-apa yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu, niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ilmu.” [3]
D. Dalil Keempat
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya menunjukkan tentang wajibnya menerima hadits ahad sebagai hujjah. Sunnah Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam ini telah dilaksanakan oleh para Shahabat pada masa hidup beliau ataupun sesudah wafatnya. Dan ini menunjukkan satu dalil yang qath’i tentang tidak adanya perbedaan antara hadits ahad dalam bidang ‘aqidah maupun bidang ahkam.
Dalil-dalil amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai berikut:
1. Dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu anhu, ia bercerita, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami tinggal di sisi beliau sekitar dua puluh hari, dan Rasulullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan mengerti perasaan orang. Maka ketika kami telah rindu kepada keluarga kami, beliau bertanya tentang siapa yang kami tinggalkan di rumah? Kami pun memberitahukan kapada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْاهُمْ وَمُرُوْهُمْ وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian masing-masing, dan tinggallah kalian di tengah keluarga kalian, dan ajarilah mereka untuk mengamalkannya, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh masing-masing mereka untuk mengajarkan keluarganya, dan pengajaran itu mencakup ‘aqidah dan ahkam, bahkan ‘aqidah adalah masalah yang pokok dalam ajaran agama. Sekiranya khabar ahad tidak dapat dipakai sebagai hujjah, maka perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada artinya sama sekali. Jadi khabar ahad wajib dipakai dalam penyampaian ajaran Islam di segala bidang.
2. Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah bersama kami seorang yang akan mengajari kami As-Sunnah dan Islam.’” Kata Anas, “Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tangan Abu Ubaidah, seraya berkata:
هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ.
“Ini adalah orang yang terpercaya bagi ummat ini.” [5]
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang Shahabat. Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Lagi pula ada beberapa hadits shahih yang mengisahkan beberapa Shahabat yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup ‘aqidah dan ahkam, seperti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ariy, dan lain-lainnya.
3. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Ketika orang-orang sedang shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seorang yang berkata, 'Sesungguhnya tadi malam telah turun ayat Al-Qur-an kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau diperintahkan untuk menghadap Kiblat (ke Makkah) dalam shalat, maka hendaklah kalian sekarang menghadap Kiblat', ketika itu mereka shalat menghadap ke Syam. Maka (setelah mendengar perintah itu) mereka pun berputar menghadap ke Ka'bah.” [6]
Ini juga nash yang tegas, bahkan para Shahabat menerima khabar ahad untuk menghapus perintah menghadap ke Baitul Maqdis, dan kemudian mereka menghadap Ka'bah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka, bahkan mereka bersyukur atas kejadian yang demikian itu.”
Ahli Quba' adalah golongan Anshar yang selalu paling dulu mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka shalat menghadap ke Syam, karena memang diperintahkan demikian oleh Allah. Mereka tidak akan meninggalkan ketetapan Allah kecuali berdasarkan hujjah yang kokoh, sekalipun belum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai pemindahan arah Kiblat itu. Mereka pindah arah Kiblat atas dasar khabar ahad, karena pembawa kabar tersebut menurut pandangan mereka termasuk orang-orang adil dan terpercaya.
Mereka meninggalkan kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis beralih menghadap ke Ka'bah sesuai dengan khabar ahad. Mereka tidak akan melakukannya dengan sembarangan melainkan dengan kabar yang dapat menjadikan hujjah secara mantap tentang masalah tersebut, yang berasal dari orang terpercaya. Karena tidak mungkin mereka berpindah arah Kiblat melainkan mereka yakin bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah.
4. Sa’id bin Jubair meriwayatkan sebagai berikut: “Saya pernah berkata kepada Ibnu ‘Abbas bahwa al-Bikali menganggap Musa yang disebut sebagai Shahabat Khidir itu bukan Musa Bani Israil. Ibnu ‘Abbas menjawab, 'Telah berdusta musuh Allah itu.' Juga telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka'ab, ia berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau mengungkapkan riwayat tentang Musa dan Khidir. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Musa Bani Israil itulah yang merupakan Shahabat Khidir.”
Kata Imam asy-Syafi’i, “Ibnu ‘Abbas yang dikenal sebagai orang faqih dan taat serta berhati-hati dalam melaksanakan agama, memastikan khabar ahad Ubay bin Ka’ab itu benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dengan dalil itu Ibnu ‘Abbas berani mendustakan Nauf al-Bikali tatkala ia mengisahkan kabar Ubay bin Ka'ab yang ia terima dari Rasulullah, bahwa Musa Bani Israil itu Shahabat Khidir.”
Perkataan Imam asy-Syafi'i ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara ‘aqidah dan ahkam di dalam menggunakan hadits ahad sebagai hujjah. [7]
E. Keterangan Para Ulama Tentang Masalah Hadits Ahad
Para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah selalu mengingatkan ummat Islam agar mereka yakin bahwa hadits atau khabar ahad merupakan hujjah dalam soal ‘aqidah dan ahkam. Berikut keterangan para ulama tentang masalah hadits ahad. Penulis akan memulai dari keterangan Imam asy-Syafi'i, karena beliaulah yang pertama kali membahas tentang hadits ahad dengan panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah dengan judul Dalil-Dalil Tentang Penggunaan Hadits Ahad sebagai Hujjah mulai dari halaman 401 sampai 453, setelah itu dilanjutkan lagi sampai halaman 460, dan kitab ini ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
Dalil-dalil yang dibawakan Imam asy-Syafi'i adalah dalil-dalil mutlak yang mencakup tentang ‘aqidah dan ahkam. Bahasan itu beliau tutup dengan perkataan: “Dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah dicukupkan dengan hadits-hadits yang disebutkan di atas, sekalipun masih banyak yang lainnya. Demikianlah membentang jalan yang tiada putus-putusnya sejak zaman ulama Salaf (para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi'ut Tabi'in) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka sehingga sampailah pada apa yang kita saksikan sekarang ini. Dan begitu pula diceritakan kepada kita oleh ulama sebelum kita, yang mereka menerimanya dari ulama dari berbagai negeri.” Selanjutnya beliau berkata, “Patut pula ditambahkan bahwa tidak kudapati seorang pun dari fuqaha kaum muslimin yang ikhtilaf dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah.”
Dengan perkataan lain, semua ulama Islam dari dahulu sampai sekarang mengakui predikat khabar ahad sebagai hujjah yang mencakup berbagai kebutuhan. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i telah menampakkan penjelasan dengan dalil-dalil yang gamblang dan tegas dari Al-Qur-an, As-Sunnah, perilaku Shahabat, Tabi'in, Ta-bi'ut Tabi'in, dan para ulama tentang keharusan menerima khabar ahad serta menggunakannya sebagai hujjah.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Sekelompok dari ahli ilmu Kalam (yakni kaum Mu'tazilah) beranggapan bahwa masalah ‘aqidah haruslah dengan dalil qath’i dan tidak diterima dalil dalam masalah ini kecuali dalil qath’i. Bahkan mereka menganggap wajib yang demikian ini dalam pembahasan ‘aqidah guna meyakini segala masalah dalam bidang ini.”
Pernyataan dan keyakinan ahli kalam seperti ini jelaslah salah dan menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ Salafush Shalih dan para Imam Muj-tahidin. Karena pada kenyataannya para ahli ilmu kalam tersebut adalah orang yang tidak konsekuen dengan ketetapan mereka sendiri. Di mana dalam pembahasan ‘aqidah mereka berdalil dengan teori-teori filsafat yang rancu, yang nilainya itu jauh lebih rendah di bawah kedudukan dalil zhanni yang mereka tolak.”
Cara berfikir ahlu bid’ah dari kalangan ahli ilmu Kalam adalah terbalik, mereka terima perkataan para filosof tanpa mempermasalahkan qath’i dan zhanni, tapi bila datang Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sudah sah, mereka menolaknya dan hanya mau menerima yang qath’i saja. Cara berfikir seperti ini adalah sangat terbalik menurut pandangan syari’at Islam.
Selanjutnya beliau rahimahullah berkata, “...Dan kabar ahad yang diriwayatkan oleh seorang Shahabat atau dua orang (yakni khabar ahad) apabila sudah dapat diterima dan dibenarkan, maka kabar itu memberi faedah ilmu menurut jumhur ulama, dan sebagian orang ada yang menamakan (khabar ahad) itu adalah kabar mustatidh. Dan sahnya ilmu di sini ialah hasil ijma' ulama, sedangkan ummat ini tidak akan ijma’ dalam kesalahan. Karena itu hasil dari hampir seluruh isi Shahih al-Bukhari - Muslim disepakati keshahihannya oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah dan Asyaa’irah. Dan hanya kelompok ahli ilmu Kalam yang menyalahi dalam masalah ini sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.” [8]
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menyatakan: “Hadits ahad walaupun mempunyai kemungkinan benar dan salah, akan tetapi untuk diterimanya suatu kabar tentulah melalui proses penyeleksian yang teliti yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk meneliti hadits dan membahas biografi para rawi tentang kehidupan mereka serta perkataan mereka (dengan sangat hati-hati sekali), dan mereka tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walau satu kalimat, dengan diancam bunuh sekalipun. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak dilakukan oleh seorang saja, bahkan banyak dilakukan oleh banyak ahli dalam bidang ini, sehingga sedikit sekali kesalahan yang dilakukan oleh para peneliti...” [9]
Para ulama Ahlus Sunnah bila mendapatkan nash yang shahih, maka mereka tidak akan berpaling dan tidak akan meninggalkan nash itu karena bertentangan dengan akal atau karena ada pendapat si fulan atau yang lainnya. Begitulah semestinya kita bersikap terhadap nash yang sampai kepada kita, karena nash tersebut telah diteliti dengan cermat oleh para pakar hadits sejak dahulu sampai hari ini. Menurut jumhur ulama khabar ahad wajib diterima dan sangat berfaedah untuk memperkuat ‘aqidah kita.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah telah membahas masalah ini dengan luas sekali dalam kitabnya Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah, dan di samping itu ia juga membahas tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah dalam kitabnya I'laamul Muwaqqi'in 'an Rabbil 'Alamin. Perkataan Ibnul Qayyim sudah dijelaskan di muka dan pada dalil ketiga tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama terdahulu tentang keharusan menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah, seperti Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkaam fil Ushuulil Ahkaam oleh al-Amidi, dan kitab-kitab lainnya. Tetapi pendapat-pendapat para ulama di atas telah cukup mewakili, dan banyak kita dengar pula pendapat ulama mu’ashir (zaman sekarang) yang banyak menghabiskan waktunya untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau dikenal sebagai muhaddits (ahli Hadits) abad ini, itulah ia Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Pendapat yang mengatakan tidak boleh berpegang dengan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah adalah suatu pendapat atau perbuatan yang diada-adakan (atas nama agama). Singkatnya, dalil-dalil Al-Qur-an, As-Sunnah, amalan para Shahabat, dan pendapat para ulama menunjukkan dengan pasti bahwa kita wajib menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam permasalahan syari'at, baik dalam bentuk ‘aqidah maupun ahkam. Dan orang yang memilah-milah antara ‘aqidah dan ahkam di dalam berhujjah dengan hadits ahad adalah suatu perbuatan bid'ah yang tidak dikenal oleh para ulama Salaf.
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata, “Secara praktek sangat sulit membedakan antara ‘aqidah dan ahkam, karena ‘aqidah harus diiringi dengan amal, dan amal harus disertai keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus para Shahabat, seperti Mush’ab ke Madinah, Mu'adz ke Yaman, dan yang lainnya, beliau memerin-tahkan agar mereka menyampaikan masalah ‘aqidah dan amal. Amal tidak terbatas pada anggota tubuh saja, bahkan amal hati termasuk pokok bagi amal anggota tubuh, karena amal anggota tubuh selalu mengikuti amal hati. Setiap masalah harus disertai iman dalam hati, membenarkannya dan mencintainya, yang demikian adalah amal, bahkan merupakan pokok amal.”
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam (hal. 55-56).
[2]. Ibid, hal 56.
[3]. Ibid, hal 57.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7246).
[5]. HR. Muslim no. 2419 (54)) dan al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas (no. 3745).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 403) dan Muslim (no. 526 (13))
[7]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 58-60).
[8]. Lihat Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah (hal. 531, dst) tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414 H.
[9]. Syarah ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 355-356) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany
http://almanhaj.or.id/content/1658/slash/0/dalil-dalil-tentang-wajibnya-berhujjah-dengan-hadits-ahad-dalam-bidang-aqidah/
Hadits Ahad Sebagai Hujjah
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA
1.Pendahuluan
Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad 1. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia 2. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul 3 , yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
Dan firrman-Nya:
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)
Ibnu Hajar berkata:
“Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad.” 4
Ibnu Abil ‘Izzi berkata:”Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini.” 5
Ada orang bertanya kepada Imam Sya’i rahimahullah, dia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikiandan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Sya’i rahimahullah :”Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Sya’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi WaSallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ “6
Kemudian Imam Sya’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang.” 7
Imam Sya’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah.Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu waTa’ala.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman Nya.”(QS. Al Hasyr : 7)
Dengan demikian Imam Sya’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits. 8 Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya.” 9Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad :
“Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir. Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilanNya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam danmenguasai langit serta Maha Kekal.
Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harusyakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum? Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Sya’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah.” 10
Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran 11 bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat,karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.
Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS.An Najm : 28)
Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima.
Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira.
Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan. 12
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempat(menggantikan) kebenaran.
Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan.” 13
Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikapyang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan,maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai14. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.
Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.
2 Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Ahad
Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari AlQur’an maupun hadits, yaitu :
Dalil Al-Qur’an
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapatmenjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122)
Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.
Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)
Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat diatas. 15 Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum. 16
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat: 6)
Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah)). 17 Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu. 18
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59)
Ibnul Qayyim berkata :
“Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu.” 19
2.Dalil Hadits
Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin AlJarrah radhiallahu ‘anhu ke negara Najran 20, Muadz bin Jabbal radhiallahu ‘anhu ke negara Yaman 21. Dihyah Al Kalbi radhiallahu ‘anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah 22 dan lain-lain.
2.Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, ia berkata :”Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wa-jah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah.” 23 Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.
3. Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘AlaihiWa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” 24
Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.
4.Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.” 25
Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal akidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakandemikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah akidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah akidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang :
1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam.
2. Syafaatnya yang besar di akhirat.
3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.
4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an.
5. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an.
6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.
7. Himpitan kubur terhadap mayit.
8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal.
9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.
10. Keistimewaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.
11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga.
12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.
13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an.
14.Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain.
Kemudian semua dalil akidah,menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil akidah itu bukan denganhadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karenasedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka merekamenolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih. 26
3 Tambahan
Disebutkan dalam kitab Maqaayiisu Naqdu Mutuuni As Sunnah :
“Wajib bagi siapa saja yang mendengar khabar ahad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk mengikuti, mengamalkan,dan tidak boleh menyelisihinya, walaupun manusia itu tidak mesti kebenarannya dan tidak terlepas dari keraguan dan kesalahan.”
Makna hadits ahad itu bisa mendatangkan ilmu dengan mengikutinya atau sebagaimana
yang diibaratkan oleh para ulama ahli qih : (Mengamalkan) Zhanni Al Ghalib (dugaan terkuat/paling umum) itulah yang dimaksud. Karena hukum-hukum syariat itu pasti mempunyai tujuan-tujuan. Termasuk kewajiban dan perintahnya adalah Ittiba’(mengikuti). Maka bila hal itu (mengamalkan hadits ahad, pent.) telah dilakukan berarti kita telah menunaikan apa yang diinginkan (oleh syariat, pent.).
Meskipun para ulama ahli qih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. 27
————————————————————————————–
1.Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin merekaberdusta mulai dari awal sanad sampai akhir.Ahad yaitu hadits selain Mutawatir.
Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi,dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.
2.Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut,
Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180,editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani,halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202, M. Abduh editor M. Rasyid Ridha.
Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata: “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.
3.Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr.Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad.
4.Lihat Fathul Bari 13/234.
5.Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hana halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.
6.Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Sya ’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.
7.Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.
8.Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.
9.Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.
10.Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.
11.Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.
12.Lihat An Nihayah 3/162-163.
13.Lihat Shahih Muslim 16/118.
14.Lihat Al Aqidah i Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.
15.Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231.
16.Lihat Al Aqidah i Allah halaman 51.
17.Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60.
18.Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani.
19.Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim.
20.Lihat Shahih Bukhari 13/232.
21.Lihat Shahih Bukhari 3/261.
22.Lihat Shahih Bukhari 13/241.
23.Lihat Shahih Bukhari 13/232.
24.Lihat Shahih Bukhari 13/232.
25.Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H.
26.Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar
27.Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musy r Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277
http://adiabdullah.wordpress.com/2007/10/20/hadits-ahad-sebagai-hujjah/