Kamis, 19 Desember 2013

Qunut Subuh

Apakah senantiasa berqunut subuh adalah Sunnah?  Siapakah yang mengatakan bahwa qunut termasuk Sunnah Aba’d yang ditambal dengan sujud [sahwi,pent] dan yang tidak menambalnya berarti kurang.


Apakah hadits: “Rasulullah Senantiasa berqunut hingga berpisah dengan dunia” termasuk hadits Sohih? Apakah hadits tersebut terkait qunut tersebut? Bagaimana pendapat Ulama tentang hal tersebut? Bagaimana hujjah mereka masing-masing? Jika ingin melakukan qunut nazilah apakah boleh berdoa dengan apapun yang ia inginkan?.[1]
Segala Puji bagi Rabb semesta alam.
Telah tetap dalam sohih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam : “bahwasanya beliau berqunut selama Sebulan mengutuk bani ri’lin, dzakwan, dan Ushayyah” kemudian beliau meninggalkannya.[2] Hal itu beliau lakukan karena mereka telah membantai para Qurra dari kalangan Sahabat.
Telah tetap juga dari beliau bahwa Ia Qunut tidak beberapa lama setelah kejadian tersebut setelah perjanjian Hudaibiyah dan penaklukkan khaibar dengan mendoakan sahabat-sahabatnya yang merupakah orang-orang  lemah ketika mereka berada di Mekkah. Beliau berkata pada Qunutnya: Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Walid, Ayyash bin Abi Rabiah, Salamah bin Hisyam, dan orang-orang mukmin yang lemah. Ya Allah keraskanlah siksamu atas Mudhor dan jadikanlah bagi mereka kemarau seperti kemaraunya yusuf[3].
Dalam qunutnya, beliau mendoakan orang-orang mukmin dan melaknat  orang-orang kafir dan hal tersebut dilakukan ketika Sholat fajar.
Telah diriwiyatkan dalam sohih bahwa beliau juga pernah Qunut pada waktu maghrib, isya, dan zuhur. Dalam kitab sunan diriwayatkan juga bahwa beliau pernah melakukan qunut pada waktu Ashar. Hal ini menyebabkan kaum muslimin berselisih tentang qunut menjadi 3 Pendapat;
Pertama
Qunut itu mansukh. Maka tidak disyariatkan lagi karena nabi Shallallahu alaihi Wasallam pernah melakukan qunut kemudian meninggalkannya sedangkan meninggalkan itu berarti  memansukh perbuatan seperti halnya beliau pernah berdiri untuk Jenazah kemudian ia duduk maka duduknya tersebut adalah pemansukh berdiri. Inilah pendapat segolongan ulama dari penduduk iraq seperti Abu Hanifah dan lainnya
Kedua
Qunut itu disyariatkan untuk selalu dilaksanakan dan selalu melakukan qunut di waktu [sholat] fajar merupakan kesunnahan.
Sebagian dari mereka Mengatakan bahwa qunut tersebut sunnah dilakukan sebelum ruku’ setelah Qiraah secara sirr dan harus menggunakan lafadz berikut ;
اللهم إنا نستعينك إلى آخرها و اللهم إياك نعبد – إلى آخرها –
Ini adalah pendapat Imam Malik.
Sebagian lagi mengatakan bahwa qunut itu sunnah dilakukan setelah ruku secara jahr. Dianjurkan juga melakukan qunut dengan doa al Hasan Bin Ali yang diriwayatkan dari nabi Shallallahu alaihi Wasallam. Yaitu[4]:
اللهم اهدني فيمن هديت [ إلى آخره
Sekalipun begitu kadang-kadang mereka membolehkan untuk melakukan qunut sebelum maupun sesudah ruku.
Mereka melakukan qunut dengan berhujjah pada firman Allah Taala:
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Artinya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaaBerdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'(qunut). (QS al Baqarah:238)
Mereka mengatakan bahwa alwustha adalah [sholat] fajar oleh karena itu mereka melakukan qunut pada sholat tersebut. Namun kedua alasan diatas lemah.
Pendapat pertama : telah tetap berdasarkan nash-nash yang sohih dari nabi Shallallahu alaihi Wasallam bahwa wustha itu adalah sholat Ashr. Ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi berdasarkan maksud hadits-hadits yang matsur. Oleh karena itu ulama hadits dan lainnya telah sepakat sekalipun para sahabat dan ulama memiliki beberapa pendapat. Sesungguhnya mereka berpendapat sesuai ijtihad mereka.
Pendapat kedua: Qunut itu sebenarnya merupakan senantiasa dalam ketaatan. Ini bisa dilakukan dalam keadaan sujud maupun berdiri. Allah berfirman:
أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة
Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat (qunut) di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri (QS al Zumar:9)
Kalaulah yang dimaksud dengan ayat diatas adalah senantiasa berdiri sebagaimana dikatakan pada Firman Allah:
يا مريماقنتي لربك واسجدي واركعي
Artinya : Hai Maryam, taatlah (qunutlah) kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ (QS Ali Imran: 42)
Maka menafsirkan hal tersebut dengan memanjangkan berdiri untuk berdoa bukan yang lain adalah tidak boleh karena Allah memerintahkannya untuk berdiri dalam ketundukan (qunut). Perintah menuntut pewajiban sedangkan berdiri untuk berdoa yang diperselisihkan tersebut tidak wajib berdasarkan Ijma. Begitu juga berdiri ketika membaca merupakan ketundukan (qunut) kepada Allah. Telah tetap dalam sohih bahwa ketika ayat ini turun mereka memerintahkan untuk diam dan melarang untuk berbicara. Dari sini bisa diketahui bahwa diam itu justeru merupakan ketundukan (qunut) yang diperintahkan.
Diketahui bahwa hal tersebut diwajibkan pada seluruh kegiatan berdiri dan firman Allah Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’(qunut). tidak khusus untuk sholat wustha saja baik itu sholat Fajar maupun Ashar, namun terkait dengan firman Allah sebelumnya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Oleh karena itu perintah untuk taat (qunut) disertai dengan perintah untuk memelihara dan memelihara itu mencakup keseluruhan [sholat,pent] maka berdirinya itu juga mencakup keseluruhan [sholat, red]
Mereka juga berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad pada Musnadnya dan al Hakim pada sohihnya :
عن أبي جعفر الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم ما زال يقنت حتى فارق الدنيا
dari Abi Jja’far al Râzi dari Rabi’ bin Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam senantiasa melakukan qunut hingga berpisah dengan dunia
mereka berkata pada hadits lain ثم تركه (Kemudian beliau meninggalkannya) maksudnya adalah meninggalkan untuk melaknat kabilah-kabilah tersebut bukan meninggalkan qunutnya.
Padahal, Tidak bisa ditetapkan qunut menjadi sunnah yang senantiasa dilakukan hanya dengan hadits tersebut. Pensohihan al hakim pun tidak disertai dengan penghasanan at Tirmidzi sedangkan ia banyak sekali mensohihkan  hadits-hadits Maudhu. Al hakim terkenal sebagai orang yang menggampangkan dalam tashih dan hadits ini tidak mengkhususkan qunut sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Ia berkata :
ما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم بعد الركوع إلا شهرا
Artinya: Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak melakukan Qunut setelah ruku  kecuali sebulan[5]
Ini adalah hadits yang tegas dari Anas bahwa Rasulullah tidak melakukan qunut setelah ruku kecuali sebulan. Batallah tafsiran tersebut.
Qunut sebelum ruku mungkin bisa dimaksudkan lama berdiri sebelum ruku’ baik saat tersebut ada doa tambahan atau tidak oleh karena itu lafadznya tidak menunjukkan qunut doa. Ada kelompok yang menganjurkan untuk selalu melakukan qunut pada sholat lima waktu dengan berhujjah bahwa nabi shallallahu alaihi wasallan pernah melakukan qunut pada sholat-sholat tersebut dan tidak membedakan antara yang biasa maupun yang insidentil. Ini adalah pendapat yang menyimpang.
Pendapat ketiga
Nabi Shallallahu alaihi Wasallam melakukannya disebabkan oleh sesuatu yang terjadi kemudian meninggalkannya ketika tidak ada sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu melakukan qunut disunnahkan ketika ada sesuatu yang terjadi (nawazil). Pendapat ini dipegang oleh fuqaha dari kalangan ahli hadits dan dinukil dari khulafâ al Rasyidin. Semoga Allah meridhai mereka.
Sesungguhnya Umar Radhiyallahu anhu ketika memerangi kaum Nasrani mengutuk mereka dengan doa qunut yang masyhur :
اللهم عذب كفرة أهل الكتاب إلى آخره
Lafazd tersebut digunakan oleh sebagian orang sebagai sunnah pada qunut Ramadhan padahal [lafadz] qunut tersebut bukan sunnah yang baku baik pada ramadhan maupun selainnya Umar melakukan qunut ketika ada kejadian yang menimpakaum muslimin dan berdoa sesuai dengan lafadz yang sesuai dengan kejadian tersebut seperti juga Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam ketika pertama kali melakukan qunut adalah untuk mengutuk kabilah-kabilah bai Sulaim yang telah membantai para Qurra. Beliau mengutuk mereka dengan kutukan yang sesuai dengan kejadian tesebut kemudian juga beliau melakukan qunut untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas. Beliau berdoa dengan doa yang sesuai dengan kejadian atau tujuannya.
dari sini disimpulkan bahwa sunnah rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan Khulaf al Rasyidin menunjukkan dua hal:
Pertama :
doa qunut itu disyariatkan ketika terjadi sebab-sebab yang   menuntutnya bukan sunnah yang senantiasa diamalkan ketika sholat.
Kedua :
Sesungguhnya doa didalamnya bukanlah doa yang baku lafadznya, namun doa dalam setiap qunut tersebut sesuai dengan kejadiannya seperti doanya nabi Shallallahu alaihi wasallam ketika kali pertama dan kedua melakukan qunut. Begitu juga sesuai dengan doa qunutnya Umar Radiyallahu anhu ketika beliau melakukan salah satu perang dan mendapat ujian lalu beliau melakaukan qunut dengan doa yang sesuai dengan tujuannya. Hal yang menjelaskan pendapat ini adalah kalaulah Nabi Shalllallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang baku maka nisscaya kaum muslimin akan menukilnya dari nabi mereka. Hal ini adalah perkara yang cukup menggugah dan menarik minat  untuk menukilnya. Namun mereka yang menukil dari beliau dalam qunutnya justeru mendapat nukilan yang tidak menyenantiasakan qunut dan juga bukan sunnah dengan lafadz yang baku seperti misalnya doa laknat beliau atas orang-orang yang telah membantai sahabat-sahabatnya dan juga doa beliau untuk sahabat-sahabatnya yang tertindas begitu juga mereka telah menukil qunut Umar dan Ali atas orang-orang yang mereka perangi.
Bagaimana mungkin nabi Shallallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut diwaktu sholat fajar atau selainnya dan berdoa dengan doa yang baku namun tidak ada penukilan dari nabi Shallallahu alaihi wasallam baik  khobar sohih maupun dhaif [tentang lafadznya].? Bahkan para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi Wasallam yang paling mengetahui dan paling ingin mengikutinya seperti Ibnu umar dan lain mengingkarinya. Ibnu Umar sampai mengatakan:
“Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengarnya.” Dalam riwayat lain : “Apakah masuk akal apa yang kalian lakukan ini?: kalian berdoa sedangkan kami tidak pernah melihatnya dan mendengarnya”.
Apakah mungkin ada seorang muslim berkata: sesungguhnya nabi Shallallahu alaihi Wasallam selalu melakukan qunut, sementara  Ibnu Umar bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?!”
Begitu juga  sahabat selain ibnu umar yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan baru yang bid’ah[6].
Bijak dalam khilaf
Setelah panjang lebar menjelaskan tidak disyariatkannya mendawamkan Qunut diwaktu subuh beliau kemudian menyoroti tindakan terkait perbedaan pendapat seputar qunut dan memberikan solusi yang melapangkan dada dan menyatukan hati.
Beliau mengatakan:
ولهذا ينبغي للمأموم أن يتبع إمامه فيما يسوغ فيه الاجتهاد فإذا قنت قنت معه وإن ترك القنوت لم يقنت فإن النبي صلى الله عليه و سلم قال :[ إنما جعل الإمام ليؤتم به ] وقال : [ لا تختلفوا على أئمتكم ] وثبت عنه في الصحيح أنه قال : [ يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم وإن أخطأوا فلكم وعليهم ] ألا ترى أن الإمام لو قرأ في الأخيرتين بسورة مع الفاتحة وطولهما على الأوليين : لوجبت متابعته في ذلك فأما مسابقة الإمام فإنها لا تجوز
فإذا قنت لم يكن للمأموم أن يسابقه : فلا بد من متابعته ولهذا كان عبد الله بن مسعود قد أنكر على عثمان التربيع بمنى ثم إنه صلى خلفه أربعا فقيل له : في ذلك ؟ ! فقال : الخلاف شر وكذلك أنس بن مالك لما سأله رجل عن وقت الرمي فأخبره ثم قال : إفعل كما يفعل إمامك والله أعلم
“Oleh karena itulah sudah sepatutnya bagi makmum untuk mengikuti imamnya perkara  yang diperkenankan untuk berijtihad. Maka jika imam melakukan qunut, hendaknya dia juga melakukan qunut bersama imam. Dan jika imam tidak melakukan qunuth maka janganlah melakukan qunuth. Dikarenakan Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: “”Imam itu dijadikan untuk diikuti.”” Dan beliau bersabda: “”Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian.”” Dan juga telah shahih dari beliau Shallallahu alaihi Wasallam  bahwa beliau  bersabda: “”Mereka (para imam) shalat untuk kalian, maka jika mereka benar, maka (pahala itu) untuk kalian dan juga untuk mereka, dan jika mereka salah, maka (pahala) bagi kalian dan (dosa) atas mereka.””
bukankah kalian tahu bahwa seandainya imam membaca surat pada pada dua rakaat terakhir setelah bacaan al-Fatihah dan memanjangkannya lebih dari dua rakaat pertama maka wajib mengikutinya dalam hal yang demikian?!
Adapun mendahului imam, maka itu tidak diperbolehkan. Maka jika imam melakukan Qunut, tidak boleh bagi makmum untuk mendahuluinya, maka dia harus mengikutinya. Oleh karena itulah Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu anhu  pernah mengingkari ‘Utsman (yang melakukan shalat) empat rakaat (dzuhur dan ashar masing-masing empat rakaat,) di Mina, (namun) kemudian dia tetap shalat dibelakang utsman empat rakaat. Ditanyakan kepadanya tentang hal tersebut, dia menjawab: “”Perselisihan itu buruk.”” Demikian pula Anas bin Malik Radiyallahu anhu tatkala ditanya oleh seorang laki-laki tentang waktu melempar (jumrah), maka dia mengabarkan kepadanya. Kemudian Anas Radiyallahu anhu  berkata: “”Lakukankanlah sebagaimana yang diperbuat oleh imam (pemimpinmu)[7]
Pendapat ini berkali-kali dikuatkan oleh Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al utsaimin dalam berbagai fatwanya.
Diantaranya beliau mengatakan:
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”[8]
Demikianlah sikap dua Imam Agung Ahlisunnah-Syaikhul Islam dan Faqihuzzamân- yang dengan tegas menentukan sikap dan memberikan jalan keluar yang sejuk dan menenangkan bagi kaum Muslimin.
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob

[1] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
[2] Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud[1], Ibnul Jarud[2], Ahmad[3], al-Hakim dan al-Baihaqi[4]. Dan Imam al-Hakim menambahkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan.
Lihat Irwaa-ul Ghalil II/163
[3] Hadits shahih riwayat Ahmad ii/255 dan al-Bukhâri No 4560
[4] Lafadz ini sebenarnya merupakan lafadz qunut witir
[5] Dalam hadits anas lafadznya seperti ini:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukan qunût selama sebulan, beliau mengutuk bani Ri’lan, Dzakwân dan ‘Ushoyyah yang telah membangkang terhadap Allôh dan Rasul-Nya” (Muttafaq ‘Alaihi dan lafazh hadits atas adalah lafazh Muslim)
Dalam riwayat lain:
قَالَ عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ ِلأَنَسٍ: إِنَّ قَوْمًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بِالْفَجْرِ، فَقَالَ: كَذَّبُوْا، وَإِنَّمَا قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ
“Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah bangsa ‘Arab.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad (I/278)
Derajat Hadits.
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.
Sisi lain yang bisa diambil dari riwayat seperti ini adalah indikasi bahwa perselisihan tentang qunut sudah dimulai sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[6] Dalam sebuah riwayat disebutkan
عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ سَعِيْدٍ بْنِ طَارِقٍ اْلاَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ ِلأَبِيْ: يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هاَهُنَا بِالْكُوْفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ فَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ.
رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي (2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!
Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no. 402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu Majah (no. 1241), an-Nasa-i (II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 1328) dan Baihaqi (II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya karya Imam al-Albany
Lihat juga di kitab Bulughul Maram no. 289, karya Al-Hafidzh
Sisi lain dari hadits seperti ini juga bisa diambil kesimpulan bahwa perselisihan tentang qunut sudah dimulai sejak masa sahabat Ridwanullah alaihim ajmain
[7] al-Fatâwa al-kubrâ (2/245).
Beliau juga mengulang fatwa yang serupa dalam Majmu’ Fatawa (23/116)
[8] Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774. beliau memberi pernyataan serupa dalam salah satu khutbahnya yang anda bisa dengar dan lihat transkripnya disini :http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_615.shtml
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/09/08/mengakhiri-kontroversi-qunut-subuh/




Qunut Shubuh

Melazimkan qunut shubuh secara terus menerus menurut pendapat yang paling shahih bukan merupakan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan hadits :

حدثنا أحمد بن منيع أخبرنا يزيد بن هارون عن أبي مالك الأشجعي قال: قلت لأبي: يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي بن أبي طالب هاهنا بالكوفة، نحوا من خمس سنين، أكانوا يقنتون؟ قال: أي بني محدث.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’[1] : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun[2], dari Abu Maalik Al-Asyja’iy[3], ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada ayahku[4] : ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini, yaitu di Kuufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru yang tidak pernah mereka lakukan- Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 402, dan ia berkata : “Hadits ini hasan shahih”].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, Ibnu Maajah no. 1241, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 8/378 no. 8178, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/249, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 & 104, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yaziid bin Haaruun, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy. Dalam lafadh Ath-Thahawiy disebutkan :
قلت لأبي : يا أبت، إنك صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وخلف أبي بكر وخلف عمر وخلف عثمان وخلف علي رضي الله عنهم ههنا بالكوفة، قريبا من خمس سنين، أفكانوا يقنتون في الفجر ؟. فقال : أي بني، محدث.
Aku bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini di Kuufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut di waktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats” [shahih].

Yaziid bin Haaruun mempunyai mutaba’ah dari :
1.        Hafsh bin Ghiyaats[5] dan ‘Abdullah bin Idriis[6] sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/308 (no. 7034 & 7036), Ibnu Maajah no. 1241, Ath-Thabaraaniy 8/378 no. 8179, dan Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/98 no. 105 [shahih].
2.        Khalaf bin Khaliifah[7] sebagaimana diriwayatkan Ahmad 6/394, An-Nasaa’iy 2/204 dan dalamAl-Kubraa 1/341 no. 671, dan Ibnu Hibbaan no. 1989; dengan lafadh :
صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم يقنت وصليت خلف أبي بكر فلم يقنت وصليت خلف عمر فلم يقنت وصليت خلف عثمان فلم يقنت وصليت خلف علي فلم يقنت ثم قال يا بني إنها بدعة.
“Aku shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak qunut. Aku shalat di belakang Abu Bakr, ia tidak qunut. Aku shalat di belakang ‘Umar, ia tidak qunut. Aku shalat di belakang ‘Utsmaan, ia tidak qunut. Dan aku shalat di belakang ‘Aliy, ia pun tidak qunut”. Kemudian ayahku berkata : “Wahai anakku, ia adalah perbuatan bid’ah” [shahih lighairihi].
3.        Abu ‘Awaanah[8] sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 403, Ath-Thayaalisiy no. 1425, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 8/378 no. 8177, Al-Baihaqiy 2/213, dan Adl-Dliyaa’ 8/97-98 no. 102-103. Ath-Thabaraaniy dan Adl-Dliyaa’ membawakan dengan lafadh :
سألت أبي عن القنوت في صلاة الغداة ؟ فقال : أي بني صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما فلم أر أحدا منهم يقنت، أي بني بدعة. قالها ثلاثا.
Aku bertanya kepada ayahku tentang qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab : “Wahai anakku, aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa, namun aku tidak melihat salah seorang pun di antara mereka yang melakukan qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali [shahih].
4.        Abu Mu’aawiyyah[9] sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad no. 2766 dan Al-‘Uqailiy 2/484 no. 597.
Lafadh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’.

Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 2/182-183 no. 435, Al-Wadi’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih mimmaa Laisa fish-Shahiihain 2/147, Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 2/402-403.

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan qunut dalam shalat Shubuh. Sedikit akan saya sebutkan di bawah :

At-Tirmidziy rahimahullah setelah menyebutkan riwayat tentang qunut Shubuh berkata :
واختلف أهل العلم في القنوت في صلاة الفجر، فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم القنوت في صلاة الفجر. وهو قول الشافعي.
وقال أحمد، وإسحق: لا يقنت في الفجر إلا عند نازلة تنزل بالمسلمين، فإذا نزلت نازلة فللإمام أن يدعو لجيوش المسلمين.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka berpendapat (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy. Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”.
والعمل عليه عند أكثر أهل العلم.
وقال سفيان الثوري إن قنت في الفجر فحسن، وإن لم يقنت فحسن واختار أن لا يقنت. ولم ير ابن المبارك القنوت في الفجر.
“(Hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy) memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].

Al-‘Uqailiy rahimahullah berkata :
والصحيح عندنا أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت ثم ترك. وهذا يذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يقنت.
“Dan yang benar menurut kami bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut, kemudian meninggalkannya. Hadits ini (yaitu hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas – Abul-Jauzaa’) menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut” [Adl-Dlu’afaa’, 2/484].

Abu Ja’far Ath-Thahawiy Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
إنما لا يقنت عندنا في الفجر من غير بلية فإن وقعت فتنة أو بلية فلا بأس به فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم أي بعد الركوع
“Bahwasannya tidak dilakukan qunut dalam shalat Shubuh di sisi kami (madzhab Hanafiyyah) selain dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak mengapa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, yaitu setelah rukuk” [Haasyiyyah Ath-Thahthaawiy ‘alaa Maraaqil-Falaah, hal. 377].

Abul-Husain Asy-Syaafi’iy Al-Yamaniy rahimahullah berkata :
والسنة : أن يقنت في صلاة الصبح عندنا في جميع الدهر، وبه قال مالك، والأوزاعي، وابن أبي ليلى، والحسين بن صالح، ورواه الشافعي عن الخلفاء الأربعة، وأنس.
وذهب الثوري، وأبو حنيفة، وأصحابه إلى : (أنه غير مسنون في الصبح)، ورُويَ ذلك عن ابن عباس، وابن عمر، وابن مسعود، وأبي الدرداء.
وقال أبو يوسف : إذا قنت الإمام.....فاقنتْ معهُ.....
“Dan sunnah (dalam permasalahan ini) : Melakukan qunut pada shalat Shubuh menurut kami setiap waktu. Inilah yang dikatakan Maalik, Al-Auza’iy, Ibnu Abi Lailaa, Al-Husain bin Shaalih, dan diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dari khalifah yang empat, dan Anas. Adapun Ats-Tsauriy, Abu Haniifah dan shahabat-shahabatnya berpendapat : Qunut tidak disunnahkan dalam shalat Shubuh. Diriwayatkan hal itu dari Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’uud, dan Abud-Dardaa’. Abu Yuusuf berkata : “Apabila imam melakukan qunut….maka qunutlah bersamanya….” [Al-Bayaan fii Madzhab Asy-Syaafi’iy, 2/242-243].

Abul-Hasan Al-Mardawiy berkata ketika menerangkan posisi madzhab Ahmad bin Hanbalrahimahumallaah :
الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها وعليه الجمهور وقال في الوجيز: لا يجوز القنوت في الفجر.
قلت: النص الوارد عن الإمام أحمد لا يقنت في الفجر محتمل الكراهة والتحريم
“Yang shahih dari madzhab : Bahwasannya Ahmad memakruhkan qunut di waktu shalat Shubuh sebagaimana (kemakruhan melakukan qunut) selain shalat witir. Inilah pendapat jumhur. Dan ia berkata dalam Al-Wajiiz : ‘Tidak boleh melakukan qunut dalam shalat Shubuh’. Aku berkata : ‘Nash yang ada dari Al-Imam Ahmad : ‘tidak boleh qunut dalam shalat Shubuh’ dibawa pada pengertian makruh tahrim” [Al-Inshaaf fii Ma’rifati-Raajih minal-Khilaaf ‘alaa Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal, 2/174].

Ahmad Syaakir rahimahullah berkata saat menyanggah perkataan Thaariq bin Asyyam bahwasannya qunut Shubuh adalah muhdats :
ثبت في أحاديث صحيحة القنوت في الصبح، ومن حفظ حجة على من لم يحفظ. والمثبت مقدم على النافي. وهو نفل لا واجب. فمن تركه فلا بأس، ومن فعله فهو أفضل.
“Telah tetap dalam hadits-hadits shahih tentang (masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Orang yang hapal merupakan hujjah bagi orang yang tidak hapal. Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang meniadakan. Barangsiapa yang meninggalkannya, tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengerjakannya, maka itu afdlal (lebih utama)” [Syarh Sunan At-Tirmidziy, 2/252].

Menilik perkataan Ahmad Syaakir di atas – dan juga para ulama mutaqaddimiin - , memang benar ada beberapa hadits yang dianggap sebagai hujjah masyru’-nya qunut Shubuh secara terus-menerus. Di antaranya :

Apa yang dijadikan hujjah oleh madzhab Syaafi’iyyah dan yang lainnya dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana dinukil oleh Abul-Husain Asy-Syaafi’iy Al-Yamaniy rahimahullah adalah hadits berikut :
وحدثني عمرو الناقد وزهير بن حرب. قالا: حدثنا إسماعيل عن أيوب، عن محمد. قال: قلت لأنس : هل قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في صلاة الصبح؟ قال: نعم. بعد الركوع يسيرا.
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Amru An-Naaqid dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, dari Ayyuub, dari Muhammad, ia berkata : Aku bertanya kepada Anas : “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada shalat Shubuh ?”. Ia menjawab : “Benar, sebentar setelah rukuk” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (298). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 1001, Ibnu Maajah no. 1184, Abu Daawud no. 1444, dan yang lainnya].

Akan tetapi,….. mari kita perhatikan jalan periwayatan yang lainnya dari Anas :
وحدثني عبيدالله بن معاذ العنبري وأبو كريب وإسحاق بن إبراهيم. ومحمد بن عبدالأعلى (واللفظ لابن معاذ) حدثنا المعتمر بن سليمان عن أبيه، عن أبي مجلز، عن أنس بن مالك :  قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا بعد الركوع. في صلاة الصبح. يدعو على رعل وذكوان. ويقول "عصية عصت الله ورسوله".
Dan telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin Mu’aadz Al-‘Anbariy, Abu Kuraib, Ishaaq bin Ibraahiim, Muhammad bin ‘Abdil-A’laa – dan lafadh hadits ini adalah milik Ibnu Mu’aadz - : Telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ayahnya, dari Abu Mijlaz, dari Anas bin Maalik : Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan setelah rukuk dalam shalat Shubuh. Beliau mendoakan kejelekan kepada Bani Ri’l, dan Bani Dzakwaan, dan bersabda : “’Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (299). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 1003 & 4094].

حدثنا محمد بن المثنى. حدثنا عبدالرحمن. حدثنا هشام عن قتادة، عن أنس؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا. يدعو على أحياء من أحياء العرب. ثم تركه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan kepada sebagian orang-orang ‘Arab, kemudian beliau meninggalkannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 677 (304). Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy no. 4089].

أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن محمد بن مرزوق الباهلي حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا إذا دعا القوم أو دعا على قوم
Telah memberitakan kepada kami Abu Thaahir[10] : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr[11] : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq Al-Baahiliy[12] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Anshaariy[13] : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah[14], dari Qataadah[15], dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut, kecuali jika mendoakan kebaikan pada satu kaum atau mendoakan kejelekan pada satu kaum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 620; shahih].[16] 

Tiga hadits di atas menjelaskan bahwa qunut Shubuh yang dimaksudkan Anas adalah qunutnazilah karena peristiwa Bi’r Ma’uunah. Itupun tidak dilakukan terus-menerus, karena hanya dilakukan selama sebulan dan kemudian ditinggalkan. Timbul pertanyaan lanjutan, apakah qunut tersebut hanya dilakukan khusus pada shalat Shubuh ? Perhatikan riwayat berikut :

حدثنا عبد اللّه بن معاوية الجمحي، ثنا ثابت بن يزيد، عن هلال بن خباب، عن عكرمة، عن ابن عباس قال : قَنَتَ رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم شهراً متتابعاً في الظهر والعصر والمغرب والعشاء وصلاة الصبح في دبر كل صلاة إذا قال :  "سمع اللّه لمن حمده" من الركعة الآخرة يدعو على أحياء من بني سليم على رعلٍ وذكوان وعصية، ويؤمّن من خلفه.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Mu’aawiyyah Al-Jumahiy[17] : Telah menceritakan kepada kami Tsaabit bin Yaziid[18], dari Hilaal bin Khabbaab[19], dari ‘Ikrimah[20], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isyaa’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata :‘sami’allaahu liman hamidah’ di raka’at terakhir. Beliau mendoakan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwaan, dan Bani ‘Ushayyah; serta diaminkan orang-orang yang di belakang beliau (makmum)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1443; hasan].
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم ثنا الوليد ثنا الأوزاعي حدثني يحيى بن أبي كثير حدثني أبو سلمة بن عبد الرحمن عن أبي هريرة قال : قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في صلاة العتمة شهرا يقول في قنوته اللهم نج الوليد بن الوليد اللهم نج سلمة بن هشام اللهم نج المستضعفين من المؤمنين اللهم اشدد وطأتك على مضر اللهم اجعلها عليهم سنين كسني يوسف قال أبو هريرة وأصبح رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فلم يدع لهم فذكرت ذلك له فقال وما تراهم قد قدموا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ibraahiim[21] : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid[22] : Telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy[23] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir[24] : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut pada shalat ‘atamah(Maghrib dan/atau ‘Isya’) selama sebulan dan berdoa : “Ya Allah, selamatkanlah Al-Waliid bin Al-Waliid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyaam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang lemah dari kalangan mukminiin. Ya Allah, keraskanlah tekanan (‘adzab) kepada Bani Mudlar. Ya Allah, jadikanlah hal itu terjadi atas mereka selama bertahun-tahun seperti pada masa Yuusuf”. Abu Hurairah berkata : “Pada satu hari di waktu Shubuh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi mendoakan mereka. Maka aku pun menanyakan permasalahan itu pada beliau, lalu beliau bersabda : ‘Apa pendapatmu tentang mereka sementara mereka telah meninggal ?” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1442; shahih].
حدثنا محمد بن المثنى. حدثنا معاذ بن هشام. حدثني أبي عن يحيى بن أبي كثير. قال: حدثنا أبو سلمة بن عبد الرحمن؛ أنه سمع أبا هريرة يقول : والله! لأقربن بكم صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم. فكان أبو هريرة يقنت في الظهر. والعشاء الآخرة. وصلاة الصبح. ويدعو للمؤمنين. ويلعن الكفار
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Mu’aadz bin Hisyaam : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan[25], bahwasannya ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata : “Demi Allah, sungguh aku akan dekatkan kalian dengan shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, ‘Isyaa’ yang akhir, dan Shubuh dengan mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin dan melaknat orang-orang kafir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 676 (296)].

Tiga riwayat di atas menunjukkan qunut beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya dilakukan di waktu Shubuh, akan tetapi di waktu-waktu shalat yang lain. Ringkasnya, tidak ada pendalilan untuk hadits Anas di atas sebagai hujjah masyru’-nya qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus secara khusus.

Ada riwayat lain yang menjadi hujjah masyru’­-nya qunut Shubuh secara terus-menerus, yaitu hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu yang lain :
حدثنا ثنا عبد الرزاق قال ثنا أبو جعفر يعني الرازي عن الربيع بن أنس عن أنس بن مالك قال ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far – yaitu Ar-Raaziy[26] - , dari Ar-Rabii’ bin Anas[27], dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut di waktu Shubuh hingga meninggal dunia” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162].

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4963, Ad-Daaruquthniy 2/370-372 no. 1692-1694, Ibnu Abi Syaibah 2/312, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 556, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/244, Al-Baihaqiy 2/201, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 639, Al-Haazimiy dalam Al-I’tibaarhal. 86, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Raaziy.

Al-Baihaqiy berkata : “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”.

Perkataannya Al-Baihaqiy ini layak mendapat kritik. Hadits ini lemah, bahkan munkar. Riwayat Abu Ja’far Ar-Raaziy tidak diterima jika menyendiri atau menyelisihi riwayat para perawi tsiqaat, karena jeleknya hapalannya. Dalam riwayat Ad-Daaruquthniy dibawakan dengan lafadh :
أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم تركه وأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut selama sebulan untuk mendoakan kejelekan pada mereka, kemudian meninggalkannya. Adapun untuk (qunut) pada shalat Shubuh, maka beliau senantiasa melakukannya hingga meninggal dunia”.

Riwayat Anas bin Maalik yang dibawakan Abu Ja’far ini menyelisihi riwayat yang telah disebutkan di atas dari Anas yang menyebutkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya qunut nazilah selama sebulan kemudian berhenti (HR. Al-Bukhaariy no. 4089 dan Muslim no. 677). Anas pun memberi kesaksian bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan qunut kecuali qunutnazilah dengan mendoakan kebaikan atau kejelekan pada satu kaum (HR. Ibnu Khuzaimah no. 620).Apalagi Ibnu ‘Abbaas menguatkan kesaksian tersebut (HR. Ibnu Khuzaimah no. 619). Oleh karena itu,riwayatnya di sini munkar.

Ar-Rabii’ bin Anas mempunyai mutaba’ah dari :
1.        Al-Hasan Al-Bashriy.
حدثنا ابن أبي داود قال : ثنا أبو معمر، قال : ثنا عبد الوارث، قال : ثنا عمرو بن عبيد، عن الحسن، عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فلم يزل يقنت في صلاة الغداة، حتى فارقته، وصليت مع عمر بن الخطاب رضي الله عنه فلم يزل يقنت في صلاة الغداة حتى فارقته.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ubaid, dari Al-Hasan, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau senantiasa qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia. Dan aku pun pernah shalat bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, maka ia senantiasa qunut pada shalat Shubuh hingga meninggal dunia” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 1/243].

Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy 2/202 dan Ad-Daaruquthniy 2/372-373 no. 1695-1698.

‘Amru bin ‘Ubaid At-Tamiimiy Al-Bashriy Al-Mu’taziliy menjadi penyakit utama dalam sanad hadits ini. Ia seorang yang matruuk sebagaimana dikatakan ‘Amru bin ‘Aliy dan Abu Haatim. Bahkan, Yuunus bin ‘Ubaid menyatakan ia telah memalsukan hadits. Humaid mengatakan ia telah memalsukan hadits dari Al-Hasan Al-Bashriy. Mu’aadz bin Mu’aadz dan Ayyuub mengatakan ia pendusta. Dan yang lainnya banyak sekali celaan para muhaddits terhadapnya dengan celaan-celaan yang berat [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 8/70-75 no. 108]. Maka, riwayat ini tidak layak untuk dilirik karena sangat lemah, bahkan palsu.

Ada jalur lain yang dibawakan Ad-Daaruquthniy (2/373 no. 1698) dari Ismaa’iil Al-Makkiy dari Al-Hasan, dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu :
حدثنا إبراهيم بن حماد ثنا عباد بن الوليد ثنا قريش بن أنس ثنا إسماعيل المكي وعمرو عن الحسن قال : قال لي أنس قنت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومع عمر حتى فارقتهما
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad[28] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-Waliid[29] : Telah menceritakan kepada kami Quraisy bin Anas[30] : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil Al-Makkiy[31] dan ‘Amru, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah berkata kepadaku Anas : “Aku melakukan qunut bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan bersama ‘Umar hingga keduanya berpisah denganku (meninggal dunia)”.
Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy 2/202 dari jalan Quraisy bin Anas yang selanjutnya seperti riwayat Ad-Daaruquthniy.
Hadits ini sangat lemah, karena faktor Ismaa’il Al-Makkiy. 

2.        Qataadah
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا علي بن حمشاذ العدل ويحيى بن محمد بن عبد الله العنبري قالا ثنا أبو عبد الله محمد بن إبراهيم العبدي ثنا عبد الله بن محمد النفيلي ثنا خليد بن دعلج عن قتادة عن أنس بن مالك رضى الله تعالى عنه قال صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقنت وخلف عمر فقنت وخلف عثمان فقنت
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[32] : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hamasyaadz Al-‘Adl[33] dan Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah Al-‘Anbariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibraahiim Al-‘Abdiy[34] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad An-Nufailiy[35] : Telah menceritakan kepada kami Khaliid bin Dal’aj[36], dari Qataadah[37], dari Anas bin Maalikradliyallaahu ta’aala ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau melakukan qunut. Di belakang ‘Umar, ia qunut, dan di belakang ‘Utsmaan, ia pun qunut” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 2/202].

Hadits ini lemah lagi munkar. Penyakitnya ada pada Khaliid bin Dal’aj, seorang yang dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Qataadah. Dan ini sebagian di antaranya.

Selain itu, riwayat Anas yang menyatakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur-Raasyidin setelah melakukan qunut Shubuh secara terus-menerus sangat nyata bertentanganpersaksian Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iy (yang disebutkan di awal bahasan) bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut Shubuh (secara terus), dan hal itu berjalan hingga kekhalifahan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.

Kembali pada bahasan hadits Abu Maalik Al-Asyja’iy di awal,……

Hadits tersebut mengkhabarkan pada kita bahwa qunut pada waktu shalat Shubuh yang dilakukansecara terus-menerus – sebagaimana dilakukan sebagian kaum muslimin – tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga di era Al-Khulafaur-Raasyidin setelahnya. Seandainya memang perbuatan itu dicontohkan, sudah pasti Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iyradliyallaahu ‘anhu akan memberikan kesaksian lain. Jika kita menggunakan bahasa riwayat, maka qunut shubuh secara terus-menerus adalah muhdats atau bid’ah.

Akan tetapi ada satu pelajaran penting bagi kita semua bahwa khilaf permasalahan ini telah ada, minimal sejak era tabi’iin. Tidak mungkin Abu Maalik Al-Asy’ja’iy bertanya kepada ayahnya tentang qunut yang dilakukan manusia secara terus menerus pada shalat Shubuh jika ia tidak menyaksikannya atau mendengarnya. Oleh karena itu, kita perlu lapang dada dalam permasalahan ini; baik mereka yang berpendapat masyru’-nya qunut Shubuh atau yang tidak. Yang berpendapat masyru’maka tidak perlu sewot jika ada yang mengatakan bahwa qunut Shubuh yang dilakukan terus menerus adalah perbuatanmuhdats atau bid’ah, karena pihak yang berseberangan dengan mereka telah menggunakan sebaik-baik lafadh yang diriwayatkan secara shahih dari shahabat radliyallaahu ‘anhu. Sebaliknya, pihak yang berpendapat tidak masyru’ tidak perlu memaksakan pendapatnya untuk diaminkan pihak lain. Dan keduanya tidak perlu bubar memisahkan diri dari jama’ah, lalu membuat jama’ah baru karena imam yang ada melakukan sesuatu yang berlainan dengan apa yang diperbuatnya. Semuanya ini masih dalam ruang toleransi khilaf ijtihadiyyah yang diperbolehkan, walau kewajiban setiap kaum muslimin mengambil apa yang dianggapnya kuat menurut kadar pengetahuan yang dimilikinya. 

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.


[1]        Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagihaafidh (160-244). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].
[2]        Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqahmutqin, lagi ‘aabid (118-206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1084 no. 7842].
[3]        Sa’d bin Thaariq bin Asyyam Abu Maalik Al-Asyja’iy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (w. 140 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 369 no. 2253].
[4]        Thaariq bin Asyyam bin Mas’uud Al-Asyja’iy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [idem, hal. 461 no. 3013].
[5]        Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik bin Al-Haarits An-Nakha’iy Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya (w. 194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 260 no. 1439].
[6]        ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Aswad Al-Audiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqahfaqiih, lagi ‘aabid (120-192 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 491 no. 3224].
[7]        Khalaf bin Khaliifah bin Shaa’id bin Baraam Al-Asyja’iy Abu Ahmad Al-Waasithiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya di akhir usianya (91/92-181 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 299 no. 1741].
[8]        Al-Wadldlaah bin ‘Abdillah Al-Yasykuuriy Abu ‘Awaanah Al-Waasithiy Al-Bazzaaz; seorang yangtsiqah lagi tsabat (w. 175/176 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1036 no. 7457].
[9]        Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah (113-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 840 no. 5878].
[10]       Ia adalah Muhammad bin Al-Fadhl bin Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah Abu Thaahir An-Naisaabuuriy, cucu Ibnu Khuzaimah; seorang imam yanng jaliil [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/490-491 no. 360].
[11]       Ia adalah Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah bin Al-Mughiirah bin Shaalih bin Bakr, Abu Bakr As-Sulamiy An-Naisaabuuriy – yang terkenal dengan nama Ibnu Khuzaimah; seorang haafidh,hujjahfaqiih, lagi tsiqah (223-331 H) [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/365-382 no. 214].
[12]       Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq bin Bukair/Bakr Al-Baahiliy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang shaduuq (w. 248 H). Dipakai oleh Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 893-894 no. 6311].
[13]       Muhammad bin ‘Abdillah bin Al-Mutsannaa bin ‘Abdillah bin Anas bin Maalik Al-Anshaariy Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 215 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 865 no. 6084].
[14]       Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 384 no. 2378].
[15]       Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, danRiwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[16]       Dikuatkan oleh hadits :
أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن يحيى نا أبو داود حدثنا إبراهيم بن يعد عن الزهري عن سعيد وأبي سلمة عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا ان يدعو لأحد أو يدعو على أحد وكان إذا قال سمع الله لمن حمده قال ربنا ولك الحمد اللهم أنج وذكر الحديث
Telah memberitakan kepada kami Abu Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali jika hendak mendoakan kebaikan kepada seseorang atau mendoakan kejelekan kepada seseorang. Jika beliau berkata : ‘sami’allaahu liman hamidahu’, beliau berkata : ‘rabbanaa wa lakal-hamdu, allaahumma anji….’ Kemudian ia menyebutkan haditsnya [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 619; shahih].
[17]       ‘Abdullah bin Mu’aawiyyah bin Muusaa Al-Jumahiy Abu Ja’far Al-Bashriy; seorang yang tsiqah(w. 243 H) [idem, hal. 548 no. 3655].
[18]       Tsaabit bin Yaziid Al-Ahwal Abu Zaid Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 169 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 187 no. 842].
[19]       Hilaal bin Khabaab Al-‘Abdiy Abul-‘Alaa’ Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun hapalannya berubah di akhir usianya (w. 144 H) [idem, hal. 1026 no. 7384].
[20]       ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqahtsabat, lagi‘aalim terhadap tafsir (w. 105 H dalam usia 80 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[21]       ‘Abdurrahmaan bin Ibraahiim bin ‘Amru Al-Qurasyiy Al-‘Utsmaaniy Ad-Dimasyqiy Abu Sa’iid, terkenal dengan julukan Duhaim; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi mutqin (170-245 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 569 no. 3817].
[22]       Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadlis taswiyyah (119-194/195 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 1041 no. 7506]. Dalam hadits ini ia menyatakan tashrih penyimakan riwayat dari gurunya.
[23]       ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang yang tsiqahjaliil, lagi faqiih (w. 157 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 593 no. 3992].
[24]       Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaaiy Abu Nashr Al-Yamaamiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, akan tetapi melakukan tadlis dan irsal (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1065 no. 7682].
[25]       Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya (94 H dalam usia 72 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
[26]       Ia adalah ‘Iisaa bin Abi ‘Iisaa Maahaan Abu Ja’far Ar-Raaziy (w. 160 H).
Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad, dari ayahnya : “Tidak kuat dalam hadits”. Telah berkata Hanbal, dari Ahmad : “Shaalihul-hadiits”. Telah berkata ‘Aliy bin Sa’iid bin Jariir dari Ahmad : “Mudltharibul-hadiits”. Telah berkata Ishaaq bin Manshuur dari Ibnu Ma’iin : “Tsiqah”. Telah berkata Ibnu Abi Maryam, dri Ibnu Ma’iin : “Ditulis haditsnya, akan tetapi ia sering keliru”. Telah berkata Ibnu Abi Khaitsamah dari Ibnu Ma’iin : “Shaalih”. Telah berkata Ad-Duuriy dari Ibnu Ma’iin : “Tsiqah. Dan ia sering keliru dalam hadits yang ia riwayatkan dari Mughiirah”. Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Aliy bin Al-Madiiniy dari ayahnya : “Ia seperti Muusaa bin ‘Ubaidah. Ia sering kacau dalam hadits yang ia riwayatkan dari Mughiirah dan yang sepertinya”. Telah berkata Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, dari ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Ia di sisi kami tsiqah”. Ibnu ‘Ammaar Al-Maushiliy berkata : “Tsiqah”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Padanya adalah kelemahan, dan ia termasuk orang jujur yang jelek hapalannya”. Abu Zur’ah berkata : “Syaikh, banyak ragu”. Abu Haatim : “Tsiqahshaduuq, shaalihul-hadiits”. Zakariyya As-Saajiy berkata : “Shaduuq, akan tetapi tidak mutqin”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq, jelek hapalannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang baik. Orang-orang telah meriwayatkan darinya. Hadits-haditsnya secara umum adalah lurus, dan aku harap tidak mengapa dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia sering menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang terkenal dengan hadits-hadits munkar. Tidak membuatku kagum berhujjah dengan haditsnya, kecuali yang berkesesuaian dengan para perawi tsiqaat”. Al-‘Ijliy berkata : “Tidak kuat”. Al-Haakim berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : “Ia di sisi mereka adalah orang yang tsiqah”. Al-‘Uqailiy menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, jelek hapalannya” [Tahdziibut-Tahdziib 12-56-57 no. 221 dan Taqriibut-Tahdziib hal. 1126 no. 8077].
Kesimpulan : Pada asalnya ia seorang yang jujur, namun tidak tetap kedlabithannya. Riwayatnya tidak diterima jika menyendiri atau bahkan bertentangan dengan riwayat milik perawi tsiqaat – sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Hibbaan, wallaahu a’lam.
[27]       Ar-Rabii’ bin Anas Al-Bakriy Al-Hanafiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun memiliki beberapa keraguan (w. 140 H) [Taqriibut-Tahdziib hal. 318 no. 1892].
[28]       Ibraahiim bin Hammaad bin Ishaaq Al-Azdiy; seorang yang tsiqah (240-323 H) [Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy, hal. 65 no. 116].
[29]       ‘Abbaad bin Al-Waliid bin Khaalid Al-Ghubariy, Abu Badr Al-Muaddib; seorang yang shaduuq(w. 258/262 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 483 no. 3168].
[30]       Quraisy bin Anas Al-Anshaariy, Abu Anas Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir usianya (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 801 no. 5578].
[31]       Ismaa’iil bin Muslim Al-Makkiy, Abu Ishaaq Al-Bashriy; seorang yang telah disepakati kelemahannya. An-Nasaa’iy berkata : “Matruukul-hadiits, tidak tsiqah”. Ahmad berkata : “Munkarul-hadiits”. Ibnu Ma’iin berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. Al-Bukhaariy berkata : “Yahyaa, Ibnu Mahdiy, dan Ibnul-Mubaarak meninggalkannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya-haditsnya tidak mahfuudh dari ia riwayatkan dari penduduk Hijaaz dan Bashrah…”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia meriwayatkan riwayat-riwayat munkar dari para perawi terkenal…” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 1/331-333 no. 598 dan Natsnun-Nabaal hal. 214-216 no. 385].
[32]       Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan (321-405) [lihat : Syuyuukh Al-Baihaqiy no. 141].
[33]       ‘Aliy bin Hamsyaadz bin Sakhtuwaih bin Nashr Al-‘Adl; seorang imam, haafidh, lagi tsiqah (258-338) [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/398-400 no. 221].
[34]       Muhammad bin Ibraahiim bin Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Abdariy, Abu ‘Abdillah Al-Busyanjiy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 290/291 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal.819 no. 5729].
[35]       ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Nufail Al-Qadlaa’iy Abu ja’far An-Nufailiy; seorang yangtsiqah lagi haafidh (w. 234 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 543 no. 3619].
[36]       Khaliid bin Dal’aj As-Saduusiy Al-Bashriy (w. 166 H). Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iiful-hadiits”. Di lain tempat ia berkata : “Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya)”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidaktsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, tidak kokoh dalam hadits. Ia telah meriwayatkan dari Qataadah beberapa hadits yang sebagiannya munkar. Ad-Daaruquthniy menyebutkannya dalam jajaran perawi matruk (ditinggalkan haditsnya)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Secara umum hadits-hadits ada mutaba’ah dari selainnya, dan sebagian di antaranya ada pengingkaran. Akan tetapi ia bukan seorang yang sangat munkar haditsnya”. Abu Daawud dan As-Saajiy berkata : “Dla’iif” [selengkapnya lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 3/158-159 no. 301].
[37]       Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqribut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, danRiwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
____________
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/09/qunut-shubuh.html