Minggu, 22 Desember 2013

Shalat Istisqa

Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu anhu dia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
 
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar untuk melaksanakan shalat istisqa’, beliau lalu berdoa dengan menghadap ke arah kiblat sambil membalikkan kain selendangnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya pada kedua rakaat itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1025 dan Muslim no. 894)

Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:

شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَبَّرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ: إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ وَقَدْ أَمَرَكُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ:
{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ }
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ. ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَبَ أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ. ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَأَنْشَأَ اللَّهُ سَحَابَةً فَرَعَدَتْ وَبَرَقَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ بِإِذْنِ اللَّهِ فَلَمْ يَأْتِ مَسْجِدَهُ حَتَّى سَالَتْ السُّيُولُ فَلَمَّا رَأَى سُرْعَتَهُمْ إِلَى الْكِنِّ ضَحِكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنِّي عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ


“Orang-orang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang musim kemarau yang panjang, maka beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat shalat (tanah lapang), lalu beliau berjanji kepada orang-orang untuk bertemu pada suatu hari yang telah ditentukan.” Aisyah berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan keterlambatan turunnya hujan dari musimnya, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian agar kalian memohon kepada-Nya dan Dia berjanji akan mengabulkan doa kalian.” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. (QS. Al-Fatihah: 2-4). LAA ILAHA ILLALLAHU YAF’ALU MAA YURIID. ALLAHUMMA ANTALLAHU LAA ILAHA ILLA ANTAL GHANIYYU WA NAHNUL FUQARA`. ANZIL ALAINAL GHAITSA WAJ’AL MAA ANZALTA LANAA QUWWATAN WA BALAGHAN ILAA HIIN (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan).” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan senantiasa mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya membelakangi orang-orang dan merubah posisi selendangnya, sedangkan beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Seketika itu Allah mendatangkan awan yang di sertai dengan gemuruh dan kilat. Maka turunlah hujan dengan izin Allah, beliau tidak kembali menuju masjid sampai air bah mengalir (di sekitarnya). Ketika beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba dan rasul-Nya.”
(HR. Abu Daud no. 1173 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 668)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ

“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat dua raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Kemudian beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan.”
(HR. Ibnu Majah no. 1268, Ahmad no. 8303, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fathul Bari: 2/500)

Ibnu Abbas berkata tentang keluarnya Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk shalat istisqa`:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى. فَلَمْ يَخْطُبْ خُطْبَتَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا كَانَ يُصَلِّي فِي الْعِيدِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam keluar rumah dengan penuh ketundukan, tawadhu’ dan kerendahan sehingga tiba di tempat shalat. Beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini, akan tetepi beliau tidak henti hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at sebagaimana ketika beliau shalat Id.”
(HR. Abu Daud no. 984, At-Tirmizi no. 588, An-Nasai no. 1491, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 669)

Penjelasan ringkas:

Ketika hujan tidak turun dan tanah menjadi tandus, maka Allah Ta’ala mensyariatkan kepada kaum muslimin untuk segera bertaubat kepada Allah, kembali kepada-Nya, memperbanyak istighfar, serta meminta hujan kepada-Nya. Dimana mereka mengerjakan semua amalan ini disertai dengan sikap ketundukan, tawadhu’, dan kerendahan hati (seperti yang tersebut dalam hadits Ibnu Abbas di atas) yang semua itu menunjukkan sangat butuhnya mereka kepada Allah.
 
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaad Al-Ma’ad (1/456-458) menyebutkan enam tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam meminta hujan kepada Allah, dan pada tuntunan yang kedua beliau menyebutkan adanya shalat untuk meminta hujan (istisqa`). Inilah yang kita bahas pada artikel kali ini, karena pada artikel sebelumnya telah kita singgung bahwa dalam meminta hujan tidak mesti harus didahului dengan shalat, akan tetapi bisa dengan langsung berdoa kepada Allah.

Berikut beberapa masalah yang berkenaan dengan shalat istisqa`:
 
a.    Hukumnya
Tidak ada satupun dalil yang memerintahkan shalat istisqa`, karenanya hukumnya adalah sunnah karena shalat ini hanya dinukil dari perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

b.    Hadits Ibnu Abbas di atas termasuk hadits yang paling bermanfaat dalam masalah shalat istisqa, dimana Nabi shallallahu alahi wasallam menyamakan antara shalat istisqa` dengan shalat id.
Karenanya:
 
1.    Dalam masalah waktunya, sebaiknya shalat istisqa` dikerjakan ketika sinar matahari sudah nampak sebagaimana kaum muslimin shalat id pada waktu seperti itu. Ini juga di sebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha di atas.
 
Hanya saja penyebutan waktu dalam hadits Aisyah di atas bukanlah pembatasan, karena shalat istisqa` tidaklah habis waktunya dengan tergelincirnya matahari, berbeda halnya dengan shalat id. Karenanya shalat istisqa` bisa dilakukan kapan saja, walaupun lebih utama mengerjakannya pada waktu yang tersebut dalam hadits Aisyah di atas.
 
Kemudian, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (2/432), “Shalat istisqa` tidak mempunyai waktu pelaksanaan yang tertentu, hanya saja dia tidak boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang terlarang untuk shalat tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal itu karena waktu pelasanaannya terpampang luas sehingga tidak ada hajat yang mendesak untuk mengerjakannya pada waktu yang terlarang. Dan yang lebih utama adalah mengerjakannya pada waktu yang sama dengan waktu pelaksanaan shalat id.” Lalu beliau menyebutkan hadits Aisyah di atas. Maka di sini Ibnu Qudamah menukil adanya kesepakatan di kalangan ulama yang melarang untuk mengerjakan shalat istisqa` pada waktu yang terlarang untuk shalat.

2.    Shalat istisqa` juga diiringi dengan khutbah sebagaimana shalat id. Hanya saja pada shalat istisqa`, khutbahnya bisa dilakukan sebelum shalat -berdasarkan hadits Aisyah di atas- dan bisa juga khutbah dilakukan setelah shalat -berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas-.
Perbedaan lain dalam khutbah istisqa` adalah khutbahnya hanya berisi penyebutan hajat manusia dalam meminta hujan serta memerintahkan mereka jamaah untuk berdoa, setelah itu imam sendiri menghadap ke kiblat (membelakangi manusia) lalu berdoa. Ini semua berdasarkan amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Aisyah di atas.
 
Adapun khutbah seperti khutbah shalat id atau shalat jumat, maka tidak disyariatkan khutbah seperti itu pada shalat istisqa` berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas.
 
Kemudian pada shalat istisqa`, khutbah ringkas tersebut disampaikan di atas mimbar -berdasarkan hadits Aisyah di atas-, berbeda halnya dengan khutbah id yang tidak disunnahkan untuk disampaikan di atas mimbar.
 
Perbedaan lainnya adalah bahwa khutbah shalat istisqa` hanya sekali khutbah, berbeda halnya dengan shalat id yang terdiri dari dua kali khutbah seperti shalat jumat.

3.    Disunnahkan untuk berdoa di atas mimbar sambil menghadap kiblat (membelakangi jamaah) dengan doa yang tersebut dalam hadits Aisyah di atas.

4.    Disunnahkan untuk melakukan shalat istisqa` di lapangan -berdasarkan hadits Aisyah di atas-, sebagaimana shalat id juga disunnahkan di lapangan.

5.    Shalat istisqa` terdiri dari dua rakaat dengan menjaharkan bacaan pada kedua rakaat tersebut. Pada rakaat pertama dengan 7 kali takbir selain takbiratul ihram, dan pada rakaat kedua dengan 5 kali takbir selain takbir intiqal (perpindahan). Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas, dimana beliau menyebutkan bahwa shalat istisqa` Nabi sama seperti shalat id yang biasa beliau lakukan.

6.    Dalam shalat istisqa` tidak ada azan dan iqamah -berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas- sebagaimana halnya dalam shalat id. Tapi hendaknya imam menyebutkan tempat dan hari kepada manusia dimana mereka akan berkumpul untuk shalat pada tempat dan hari yang telah ditentukan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Aisyah di atas.
 
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (2/432), “Tidak disunnahkan azan dan iqamah padanya, dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”

c.    Disyariatkan untuk keluar kelapangan dengan memakai pakaian yang sederhana seraya menampakkan ketundukan, sikap tawadhu’, dan kerendahan diri, yang mana semua itu merupakan sebab terkabulnya doa dalam istisqa`.

d.    Disunnahkan bagi imam saja untuk merubah posisi selendang yang dia kenakan, berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid, Aisyah, dan Abu Hurairah radhiallahu anhum di atas. Dimana dalam riwayat lain dari hadits Abdullah bin Zaid disebutkan, “Beliau meletakkan ujung bagian kanan selendangnya berada di atas pundak kirinya, dan ujung bagian kiri selendangnya berada di atas pundak kanannya.”
 
Ketiga hadits di atas dan selainnya menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan ini (merubah posisi rida`/selendang) hanyalah imam. Karenanya, para jamaah tidak disunnahkan melakukan amalan ini, wallahu a’lam.

http://al-atsariyyah.com/shalat-istisqa.html