Sangat sering terjadi pengulangan berjama’ah dalam satu masjid, sehingga
lebih dari dua jama’ah. Bahkan terkadang terjadi dua jama’ah dalam satu
waktu. Adanya kenyataan ini mengharuskan kita mengetahui tinjauan hukum
syari’at tentangnya, agar semakin jelas permasalahan dan hukum
syari’atnya.
Melihat keadaan jama’ah kedua dalam satu masjid, disebabkan karena beberapa kondisi.
Pertama : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang tidak memiliki
imam rawatib. Hal ini diperbolehkan [1], dan merupakan ijma’ sebagaimana
dinukil oleh Imam Nawawi. Beliau menyatakan, “Apabila masjid tidak
memiliki imam rawatib (tetap), maka -menurut ijma’- diperbolehkan
mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih.” [2]
Kedua : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang ada imam
rawatibnya, namun dilakukan karena kapasitas masjidnya tidak mampu
menampung seluruh jama’ah shalat. Demikian juga hal ini diperbolehkan.
Ketiga : Melakukan jamaah kedua di masjid yang sama pada waktu yang
bersamaan pula. Hal ini disepakati oleh para ulama keharamannya [3] dan
dikuatkan dengan beberapa hal.
a. Hal ini menyelisihi amalan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, karena kejadian ini tidak pernah ada pada zaman mereka.
Syaikh ‘Alisi Al Mishri menjelaskan, bahwa awal terjadinya berbilang
jama’ah dalam satu masjid terjadi pada abad keenam dan belum pernah ada
sebelumnya [4].
b. Menyelisihi hikmah pensyari’atan berjama’ah, yang berupa kesatuan
hati dan persatuan. Jama’ah kedua yang dilakukan pada masjid dan waktu
yang sama, tentu akan memecah-belah persatuan dan kesatuan hati kaum
muslimin.
c. Mengganggu dan memecah konsentrasi serta kekhusyukan orang yang shalat.
d. Tidak dapat melakukan taswiyatus shufuf (merapatkan dan meluruskan
shaf). Ini tentunya menyelisihi anjuran dan ajaran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
e. Terdapat penghinaan dan celaan kepada iman rawatib. Padahal para imam
madzhab, khususnya madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah sangat
menganjurkan penjagaan hak imam rawatib. Tidak boleh selainnya
menegakkan jama’ah bila ia tidak ada di masjid, kecuali dengan udzur,
seperti: tidak mungkin ia hadir di masjid dan takut hilang waktu shalat.
[5]
Keempat : Mengerjakan jama’ah lebih dari sekali di mushala-mushala
pinggir jalan dan pasar (pusat perbelanjaan). Hukum jama’ah ini
diperbolehkan, walaupun ada jama’ah ketiga, keempat dan seterusnya.
Sebabnya, karena mushala-mushala ini tidak dapat diatur jama’ahnya,
silih berganti datangnya.[6] Imam Syafi’i berkata,“Adapun masjid yang
dibangun di pinggir jalan atau pojokannya yang tidak ada mu’adzin tetap
dan juga tidak ada imam tetapnya, tempat shalat dan istirahat orang yang
lalu-lalang disana, maka aku tidak melarangnya.” [7]
Kelima : Imam mengulangi shalatnya berjama’ah dua kali, dengan mengimami
satu shalat dua kali. Ini diharamkan. Walaupun ia berniat shalat yang
kedua mengqadha shalat yang terlewatkan. Apalagi shalat fardhu harus
pada waktunya. Ini disepakati oleh para imam madzhab sebagai perkara
yang haram.[8]
Keenam : Mengerjakan jama’ah kedua dalam masjid yang ada imam rawatibnya
setelah selesai jama’ah pertama bersama imam rawatib. Pada masalah ini
terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Pendapat Pertama : Melarang secara tegas dan orang yang tertinggal pada jama’ah pertama hendaklah shalat sendirian.
Demikian ini pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak,
Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Laits bin Sa’ad, Al
Auza’i, Az Zuhri, Utsman Al Bitti, Rabi’ah, An Nu’man bin Tsabit Abu
Hanifah, Ya’qub bin Ibrahim Abu Yusuf Al Qadhi, Muhammad bin Al Hasan
Asy Syaibani, Al Qasim, Yahya bin Sa’id, Salim bin Abdillah, Abu
Qilabah, Abdurrazaq Ash Shan’ani, Ibnu ‘Aun, Ayub As Sakhtiyani, Al
Hasan Al Bashri, ‘Al Qamah, Al Aswad bin Yazid, An Nakha’i dan Abdillah
bin Mas’ud.
Dalam menetapkan pendapatnya, ulama-ulama ini mengambil dalil nash dan
akal. Adapun dari nash, dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, terdiri dari tiga sisi, Al Qur’an, As Sunnah
(Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan atsar para sahabat.
a. Dalil Al Qur’an
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ
لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ
إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk
kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu'min serta
menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya
sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,"Kami tidak menghendaki
selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu
adalah pendusta (dalam sumpahnya). [At Taubah:107].
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : وَتَفْرِيقًا بَيْنَ
الْمُؤْمِنِينَ , menunjukkan secara jelas larangan memecah-belah kaum
muslimin, sehingga wajib bagi mereka untuk menyatukan kekuatan. Hal ini
tidak bakal terjadi, kecuali dengan berjama’ah bersama imam rawatib.
Imam Al Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi menjelaskan maksud ayat ini dengan
pernyataannya,“Maknanya, mereka berada pada satu jama’ah di satu masjid.
Lalu kaum munafiq ingin memecah-belah kesatuan mereka dalam ketaatan,
dan mengajak mereka kepada kekufuran dan maksiat. Ini menunjukkan, bahwa
tujuan terbesar dan jelas dalam penetapan jama’ah ialah menyatukan hati
dan persatuan dalam ketaatan. Mengendalikan dan melarang melakukan
perbuatan yang rendah, sehingga timbul rasa senang berkumpul serta
membersihkan hati dari noda kedengkian dan iri hati. Imam Malik mengerti
akan makna ini, ketika menyatakan,’Tidak boleh ditegakkan shalat dua
jama’ah dalam satu masjid, baik dengan dua imam atau satu imam’. Beliau
menyelisihi ulama lainnya.” [9]
b. Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakroh Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِيْ المَدِيْنَةِ يُرِيْدُ
الصَّلاَةََ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ
فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ
Sesungguhnya Rasulullah datang dari pinggiran Madinah ingin menunaikan
shalat. Lalu mendapati orang-orang telah selesai shalat berjama’ah.
Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan
mengimami mereka shalat.[10]
Hadits ini menunjukkan, tidak bolehnya jama’ah kedua. Karena seandainya
diperbolehkan, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
meninggalkan keutamaan masjid Nabawi.[11]
Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Hasyiyah Radul Mukhtar (1/553),
“Seandainya diperbolehkan jama’ah kedua, tentu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak memilih shalat di rumah dari berjama’ah kedua di
masjid.” [12]
Demikian juga mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang
berbunyi:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى
مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
Sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengimami shalat, lalu
ditegakkan (dilaksanakan). Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang
tidak mengikuti shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka tersebut.[13]
Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya jama’ah kedua dalam satu masjid.
Karena seandainya diperbolehkan, maka ancaman pembakaran tersebut tidak
ada artinya. Hal ini karena mereka dapat mengambil udzur dari jama’ah
pertama dengan menyatakan, kami akan melaksanakan jama’ah kedua.
Pernyataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :لاَ يَشْهَدُونَ
الصَّلاَةَ , bermakna shalat yang diperintahkan untuk ditegakkan atau
dilaksanakan ialah shalat jama’ah yang pertama. Karena kata (الصَّلاَةَ)
diberi tambahan huruf alif dan lam, sehingga menunjukkan shalat jama’ah
yang pertama. Hal ini menguatkan pendapat larangan jama’ah kedua.
Karena seandainya diperbolehkan, tentu dikatakan لاَ يَشْهَدُوْنَ
صَلاَةً tanpa huruf alif dan lam.
c. Atsar Sahabat.
Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm (1/136) menyatakan,“Apabila seseorang
mendapatkan masjid yang dipakai berjama’ah, lalu tertinggal shalat
jama’ah. Seandainya ia mendatangi masjid lain untuk berjama’ah, ini
lebih saya sukai. Apabila ia tidak mencari masjid lain, lalu shalat
sendirian di masjidnya tersebut, maka itu baik. Apabila satu masjid
memiliki imam rawatib (tetap) lalu seseorang atau sejumlah orang
tertinggal shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri. Saya
tidak menyukai mereka shalat berjama’ah padanya. Jika mereka melakukan
shalat sendirian tersebut, maka ia mendapat pahala berjama’ah. Hal ini
(berjama’ah) dilarang bagi mereka, karena bukan merupakan amalan para
salaf sebelum kita. Bahkan sebagian mereka mencelanya.” [14]
Imam Syafi’i menyatakan lagi,“Sungguh, kami telah mengetahui secara
pasti, bahwa jika sejumlah sahabat tertinggal jama’ah shalat bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka shalat sendiri-sendiri
-sepengetahuan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam -. Padahal mereka
mampu untuk berjama’ah. Demikian juga kami ketahui, sejumlah orang
tertinggal jama’ah shalat, lalu mendatangi masjid dan shalat
sendiri-sendiri, padahal mereka mampu melakukan jama’ah kedua di masjid
tersebut. Namun mereka shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukainya,
hanya agar tidak ada shalat jama’ah dua kali pada satu masjid.” [15]
Pernyataan seorang mujtahid seperti ini tentu memiliki sumber rujukan.
Diantaranyaialah pernyataan Al Hasan Al Bashri yang mengatakan,“Para
sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan
mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri.” [16]
Demikian juga atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu yang
diriwayatkan Imam Abdirrazaq Ash Shon’ani dari Ma’mar dari Hammad bin
Ibrahim, bahwa Al Qamah dan Al Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud ke
masjid. Lalu orang-orang menyongsong mereka dalam keadaan telah shalat.
Lalu Ibnu Mas’ud pulang bersama keduanya ke rumah. Salah seorang mereka
lalu berdiri di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kirinya. Kemudian
Ibnu Mas’ud mengimami mereka shalat. [17]
Seandainya jama’ah kedua diperbolehkan, tentulah Ibnu Mas’ud tidak
berjama’ah di rumah. Apalagi berjama’ah di masjid jelas lebih utama.
Demikian juga sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
lainnya, tidaklah shalat sendiri-sendiri, padahal mampu untuk melakukan
jama’ah.
Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat Sahnun dari Ibnul Qasim dari Malik
dari Abdurrahman Al Mujabbar. Beliau berkata,“Aku masuk bersama Salim
bin Abdillah pada satu masjid jami’ dalam keadaan orang-orang telah
selesai shalat. Lalu mereka berkata,’Mengapa tidak shalat berjama’ah?’
Salim bin Abdillah bin Umar menjawab,’Tidak boleh shalat berjama’ah
dalam satu shalat pada satu masjid dua kali’.” [18]
Pernyataan Imam Salim bin Abdillah bin Umar ini menunjukkan tidak
dibolehkannya berjama’ah lebih dari satu pada satu masjid. Hal ini juga
disepakati oleh sejumlah tabi’in, diantaranya Ibnu Syihab, Rabi’ah dan
Yahya bin Sa’id.
Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, bahwa jama’ah kedua dapat
menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena
jika seseorang mengetahui akan tertinggal jama’ah, tentu ia akan segera
bergegas, sehingga jumlah jama’ahnya menjadi banyak. Akan tetapi, jika
mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah dengan adanya jama’ah
yang kedua, tentu menyebabkan seseorang bersantai-santai, yang berakibat
jumlah jama’ah shalat menjadi sedikit. Padahal sedikitnya jumlah
jama’ah shalat dimakruhkan.
Demikian pula mereka menyatakan, bahwa jama’ah-jama’ah yang tertinggal
(jama’ah kedua dan seterusnya) dapat dikatakan sebagai jama’ah orang
yang malas. Lalu bagaimana mereka mendapatkan pahala jama’ah, padahal
mereka tertinggal jama’ah pertama dan tidak memenuhi panggilan Allah
tepat waktu?! Sungguh membolehkan adanya jama’ah kedua dan seterusnya,
dapat menghilangkan jama’ah pertama dan mennyia-nyiakan hikmahnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَىَ اللهِ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا
Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah shalat tepat waktu [19].
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ سَمِعَ النِّدَاء فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang telah mendengar panggilan shalat lalu tidak
memenuhinya, maka tidak ada baginya shalat, kecuali karena udzur [20].
Demikian juga mereka menyatakan, bahwa dalam fatwa bolehnya mengadakan jama’ah kedua, akan mengecilkan makna shalat berjama’ah.
As Sarkhasi menyatakan,“Sesungguhnya, kita diperintahkan memperbanyak
jumlah jama’ah pertama. Dan pengulangan jama’ah shalat pada satu masjid
akan menguranginya. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan
jama’ah, maka mereka bersegera hadir sehingga jumlah anggota jama’ahnya
menjadi banyak. Apabila mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah,
maka mereka memperlambat. Lalu hal ini mengurangi jumlah jama’ah.” [21]
Setelah membawakan pendapat Imam Malik, berkatalah Al Qadhi Abu Bakr
Ibnul Arabi, “Ini adalah makna yang dijaga dalam syari’at dari
penyimpangan ahli bid’ah. Agar mereka tidak meninggalkan jama’ah
kemudian datang dan shalat dipimpin imam yang lain. Dengan demikian,
akan hilang hikmah dan sunnah berjama’ah.” [22]
Mereka juga mengutarakan, bahwa jama’ah kedua menimbulkan kemalasan dan
meremehkan jama’ah pertama. sehingga sebab kemakruhan hukumnya makruh.
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah dengan
menyatakan : Kesimpulannya, jumhur ulama memandang tidak boleh mengulang
jama’ah shalat pada satu masjid, dengan syarat terdahulu. Inilah yang
benar. Dan pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits yang masyhur:
أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيْ مَعَهُ
Adakah orang yang bershadaqah kepada orang ini lalu shalat bersamanya
Karena paling-paling (lantaran) hanya ada anjuran Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada seseorang yang telah shalat bersama beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada jama’ah pertama untuk shalat sunah di
belakang orang tersebut. Maka demikian ini adalah shalat sunah di
belakang orang yang shalat wajib. Padahal pembahasan kita ialah mengenai
shalat wajib di belakang orang yang mengerjakan shalat wajib, yang
dikarenakan kehilangan jama’ah pertama. Sehingga tidak boleh
dianalogikan dengan kisah tersebut. Karena ini termasuk analog dengan
adanya perbedaan (qiyas ma’al fariq). Hal ini dapat dilihat dari dua
sisi:
1. Bentuk pertama (jama’ah kedua dalam shalat wajib) belum pernah
dinukil dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik izin atau
persetujuan. Padahal itu ada di zamannya, sebagaimana ditunjukkan
riwayat Al Hasan Al Bashri.
2. Jama’ah kedua ini menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang
disyari’atkan. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah,
mereka akan bersegera, sehingga jumlah anggota jama’ah pertama menjadi
banyak. Sebaliknya, jika mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka
memperlambat hadir, sehingga mengurangi jumlah anggota jama’ah pertama.
Padahal pengurangan jumlah jama’ah dimakruhkan. Tidak ada sedikitpun
persetujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas hal yang
dilarang ini. Sehingga terbukti perbedaannya. Kalau demikian, tidak
boleh mengambil dalil dari hadits tersebut dalam menyelisihi sesuatu
yang sudah ditetapkan.” [23]
Demikian uraian singkat pendapat dan dalil mereka dalam permasalahan hukum jama’ah kedua dalam satu masjid. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat pendapat Syaikh Shalih Sadlan dalam Shalatul Jama’ah, Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 100.
[2]. Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 4/222.
[3]. Lihat I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 11.
[4]. Dinukil Syaikh Masyhur dalam I’lamul Abid, hal. 12 dari kitab
Fathul ‘Ali Al Malik Fil Fatawa ‘Ala Madzhab Imam Malik 1/92-94.
[5]. I’lamul ‘Abid, hal. 13.
[6]. Lihat Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 102
[7]. Al Umm 1/180.
[8]. Ibid.
[9]. I’lamul ‘Anid, hal. 32-33
[10]. Syaikh Al Albani menyatakan dalam Tamamul Minnah, hal. 155, hadits
ini hasan. Imam Al Haitsami (2/45) menyatakan,“Hadits ini diriwayatkan
At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Ausath. Semua perawinya tsiqat.”
Sedangkan Syaikh Masyhur Hasan menambahkan, bahwa hadits ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2398. Lihat I’lamul ‘Abid,
hal. 36.
[11]. Lihat Al Mabsuth, 1/135 dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ At Tirmidzi, 2/10.
[12]. Dinukil dari I’lamul ‘Abid, hal. 36-37.
[13]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan,
Bab Wujub Shalatil Jama’ah, no. 644 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya,
kitab Masajid Wa Mawadhi’ush Shalat, Bab Fadhlu Jama’ah Wa Tasydid Fi
Takhaluf Anha, no.651.
[14]. Dinukil Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 156.
[15]. Al Umm, 139.
[16]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157.
[17]. Mushannaf 2/409 no. 3883. Atsar ini dihasankan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 155.
[18]. Al Mudawanah 1/89 dengan para perawi yang tsiqat.
[19]. Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqit Ash
Shalat, Bab Fadhlu Ash Shalat Liwaqtiha, no. 527 dan Muslim dalam
Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Bayani Kaunil Iman Billahi Afdhalul A’mal
1/89.
[20]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal
Jama’ah, Bab Taghklidz Fit Takhalif ‘Anil Jama’ah 1/260 no.793, dan
dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 2/336-339 no. 551.
[21]. I’lamul ‘Abid, hal 45 menukil dari Al Mabsuth 1/135-136.
[22]. Aridhatul Ahwadzi 2/21.
[23]. Tamamul Minnah hal 158.
_________________________
Pendapat Kedua : Diperbolehkan mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid, jika jama’ah kedua terpisah dari jama’ah pertama.
Demikian ini pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Ibnul Mundzir, Daud
Adz Dzahiri, Asyhab, At Tirmidzi, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim
bin Rahuyah, Ibnu Abi Syaibah, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, ‘Atha,
Ibrahim An Nakha’i, Makhul, Ayub As Sakhtiyani, Tsabit Al Bunani,
Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud. Namun
terdapat riwayat yang berbeda dalam penisbatan pendapat ini kepada
beberapa ulama, seperti: Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik, Al Hasan Al
Bashri, Ayub As Sakhtiyani, Ahmad bin Hambal dan Ibrahim An Nakha’i.
Yang rajih dari mereka ialah riwayat yang menyatakan, bahwa mereka
termasuk orang yang berpendapat dengan pendapat pertama, yaitu larangan
membuat jama’ah kedua dalam satu masjid yang memiliki imam tetap
(rawatib) [1]. Mereka berdalil dengan dalil nash dan akal.
Adapun dalil nash, mereka mengambil hadits dan atsar para sahabat, diantaranya:
- Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat. [HR Bukhari]
Dalam riwayat lain.
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Shalat jama’ah lebih baik dari shalat sendirian dua puluh lima derajat. [HR Bukhari].
Hadits ini menunjukkan keumuman shalat jama’ah, baik jama’ah pertama atau kedua atau yang lainnya.
- Hadits Abu Sa’id Al Khudri:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا
يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا
فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seseorang shalat
sendirian, lalu berkata,“Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang
ini, lalu sholat bersamanya?” [HR Abu Daud dan Ahmad].
Dalam riwayat lainnya:
جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ
فَصَلَّى مَعَهُ
Datang seseorang setelah Rasulullah usai shalat, lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Adakah orang yang ingin
mengambil keuntungan darinya?” Lalu ada seorang yang bangkit dan shalat
bersamanya. [HR At Tirmidzi dan Ahmad]. [3]
Al Hakim menyatakan, hadits ini sebagai dasar dibolehkannya dilakukan dua kali jama’ah dalam satu masjid. [4]
Hadits ini menunjukkan bolehnya mendirikan jama’ah kedua setelah selesai
jama’ah pertama, walaupun di masjid yang memiliki imam rawatib (tetap).
Sebab pada waktu itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan
imam tetap di masjid tersebut. Sehingga Imam Al Baghawi menyatakan,
hadits ini menunjukkan bolehnya bagi orang yang berjama’ah untuk
mengerjakan jama’ah kedua setelah yang pertama. Juga menunjukkan
bolehnya diadakan dua kali jama’ah dalam satu masjid. Inilah pendapat
banyak sahabat dan tabi’in. [5]
Demikian juga Imam Muhammad Adzimabadi, penulis kitab Aunul Ma’bud
Syarah Sunan Abi Daud menyatakan,“Hadits ini menunjukkan dibolehkannya
mengerjakan shalat berjama’ah pada masjid yang telah selesai shalat
jama’ah (pertama)nya.” [6]
Syaikh Shalih As Sadlan menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam
merajihkan pendapat ini. Beliau menyatakan,“Pendapat yang rajih ialah
pendapat kedua, yaitu dibolehkannya secara mutlak, tanpa membedakan
antara masjid tiga (Masjid Al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al Aqsha)
dengan yang lainnya, karena keumuman sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, ‘Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini,
lalu shalat bersamanya?” Jelaslah, ini dilakukan di masjid Nabawi. Juga
secara makna menunjukkan, bahwa keutamaan shalat jama’ah didapatkan
padanya sebagaimana didapatkan pada yang lainnya.” [7]
- Atsar dari Sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq dalam Shahihnya yang berbunyi:
جَاءَ أَنَسُ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيْهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جمَاعَةً
Anas datang ke satu masjid yang telah selesai shalat, lalu beliau adzan
dan iqamat serta shalat berjama’ah. Hadits ini diriwayatkan secara
bersambung melalui jalan periwayatan Imam Bukhari dalam kitab Taghliq
Ta’liq, karya Ibnu Hajar [10] , lalu Al Hafidz Ibnu Hajar
menyatakan,“Sanadnya ini shahih namun mauquf .” [11]
- Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, “Orang yang mampu berjama’ah
disunnahkan berjama’ah, sebagaimana ada di masjid yang dijadikan sebagai
tempat shalat orang yang lewat. [12]
Pendapat ini dirajihkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika
beliau ditanya, bagaimana hukum mengerjakan jama’ah kedua pada masjid
yang terdapat imam tetapnya? Beliau menjawab : Mengerjakan jama’ah kedua
pada masjid yang memiliki imam rawatib (tetap), jika dilakukan
terus-menerus, maka ini menjadi satu kebid’ahan. Namun, bila itu hanya
kadang-kadang (dilakukan), misalnya oleh sekelompok orang yang datang ke
masjid dan mendapatkan orang-orang telah selesai shalat. Disini mereka
dibolehkan dan tidak mengapa mengerjakan shalat berjama’ah (kedua).
Adapun pendapat yang menyatakan, hal ini sebagai satu kebid’ahan, maka
pendapat ini lemah, karena dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam duduk bersama para sahabatnya, lalu masuk seseorang yang belum
shalat. Rasululloh bersabda:
أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Adakah orang yang mau bershadaqah kepada orang ini, lalu shalat
bersamanya? Lalu ada seseorang yang bangkit dan shalat bersamanya.
Disini ditegakkan jama’ah shalat setelah jama’ah (pertama), padahal
salah seorang dari keduanya shalat sunnah yang tidak wajib baginya.
Apakah masuk akal Rasulullah n melarang dua orang yang tertinggal shalat
(jama’ah pertama) mengerjakan shalat berjama’ah dan memerintahkan
seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat berjama’ah kembali bersama
orang tersebut? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, kelirulah
seseorang yang menganggap salah kepada orang yang mengerjakan shalat
berjama’ah (kedua) dan menganggap sunnah orang yang melakukan shalat
sendirian, jika tertinggal jama’ah (pertama).
- Adapun atsar Ibnu Mas’ud, bahwa beliau masuk (masjid) lalu mendapatkan
orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang dan
shalat di rumahnya. Atsar ini bertentangan dengan atsar yang
disampaikan penulis kitab Al Mughni dari Ibnu Mas’ud sendiri. Beliau
menyatakan bolehnya menegakkan shalat jama’ah kedua setelah selesai
shalat jama’ah pertama.
Jika atsar Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan dalam Al Mughni benar, maka
beliau memiliki dua riwayat. Jika tidak benar, maka pendapat pertama
(yaitu tidak bolehnya) adalah pendapat Ibnu Mas’ud, namun ini semata
satu kejadian saja.
Ada kemungkinan pulangnya Ibnu Mas’ud ke rumah untuk shalat berjama’ah
terjadi karena khawatir ditiru orang, sehingga mereka meremehkan masalah
shalat ini. Mungkin juga bisa menyakiti hati imam pertama tadi, lalu
imam tersebut berkata, ‘Abdullah bin Mas’ud memperlambat shalat, agar
tidak shalat bersama saya ……’ atau yang sejenisnya, yang tidak kita
ketahui, karena ini hanya semata satu kejadian.
Namun kita memiliki sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau memerintahkan seseorang yang telah shalat untuk ikut shalat
sunnah mendampingi orang yang baru masuk masjid (tertinggal jama’ah)
shalat berjama’ah. Tentunya dua orang yang terkena kewajiban jama’ah,
bila tertinggal jama’ah pertama lebih boleh dan lebih pantas.”.[13]
BANTAHAN PENDAPAT KEDUA TERHADAP PENDAPAT YANG PERTAMA
Pendapat kedua berusaha memperkuat dalil dan hujjah, dengan membantah
dalil pendapat pertama. Bantahan ini dapat diringkas menjadi beberapa
hal, diantaranya:
Pertama : Hadits Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu memiliki seorang perawi
yang dicela para ulama, yaitu Muawiyah bin Abi Yahya. Sebagaimana
disampaikan oleh Al Kasymiri,“Pada sanadnya ada Mu’awiyah bin Abi Yahya.
Dia termasuk perawi yang disebut dalam At Tahdzib dan ia
dipermasalahkan.” [14]
Kedua. Apabila hadits ini shahih, belum juga menunjukkan larangan
mengerjakan jama’ah kedua, karena masih ada kemungkinan beliau shalat
berjama’ah di masjid. Sedangkan pulangnya beliau ke rumah bertujuan
mengumpulkan keluarganya, bukan bermaksud shalat berjama’ah di rumahnya.
Seandainya kita menerima, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memang shalat berjama’ah bersama keluarganya di rumah, tidak juga
menunjukkan ketidakbolehan mengadakan jama’ah kedua dalam satu masjid.
Hal ini karena hadits ini hanya menunjukkan dibolehkannya orang yang
tertinggal jama’ah dengan imam tetap untuk tidak shalat di masjid. Dia
boleh keluar dan pulang ke rumahnya, lalu berjama’ah bersama
keluarganya. Jadi, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan larangan
melakukan jama’ah kedua dalam satu masjid yang terdapat imam tetapnya.
Lagipula bila benar, tidak shalatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam di masjid menjadi dalil larangan berjama’ah, maka tentunya juga
dilarang shalat sendirian di masjid tersebut, karena beliau tidak shalat
sendirian dan tidak pula berjama’ah disana. Bahkan beliau pulang ke
rumah dan shalat di rumahnya.
Kesimpulannya, berdalil dengan hadits Abu Bakrah tersebut untuk larangan dan sunahnya shalat sendirian, tidaklah benar.
Ketiga. Adapun atsar Anas bin Malik, para sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat,
maka mereka shalat sendiri-sendiri [15], bukanlah dalil yang kuat dalam
larangan ini, karena Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu sendiri
menjelaskan hal itu karena takut dengan penguasa (Sulthan). Hal ini
dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah [16] dan Abdurrazaq Ash
Shan’ani [17] dalam kitab Al Mushannaf [18].
Demikian bantahan pendapat kedua terhadap dalil pendapat pertama.
BANTAHAN PENDAPAT PERTAMA TERHADAP DALIL PENDAPAT KEDUA
Ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama (tidak bolehnya
mendirikan jama’ah kedua dalam satu masjid), memberikan bantahan atas
dalil dan argumentasi pendapat kedua. Bantahan ini dapat diringkas
sebagai berikut:
Pertama : Berdalil dengan hadits Abu Sa’id tersebut tidaklah benar,
karena hanya menunjukkan berulangnya shalat jama’ah, namun sekedar dalam
bentuknya saja, bukan shalat jama’ah sesungguhnya. Hal ini, karena
seseorang yang beliau n perintahkan untuk menemaninya telah melakukan
shalat berjama’ah fardhu, sehingga yang berjama’ah kepada orang tersebut
hanyalah shalat sunnah semata. Adapun jama’ah yang hakiki, ialah bila
imam dan makmum shalat berjama’ah fardhu. Sehingga analogi jama’ah kedua
shalat fardhu dengan bentuk jama’ah dalam hadits ini merupakan analogi
yang tidak tepat (qiyas ma’al fariq) [19].
Kedua : Adapun atsar Anas bin Malik yang digunakan sebagai dalil
pendapat kedua, mereka membantahnya dengan menyatakan, Anas bin Malik
Radhiyallahu 'anhu tidak melakukannya di masjid tempat tinggalnya.
Beliau mendatangi masjid Bani Tsa’labah atau Bani Rifa’ah atau masjid
Ashhabus Saaj atau masjid Bani Zuraiq, lalu melakukan shalat berjama’ah
disana. Ini, tentunya diluar permasalahan mengerjakan jama’ah kedua yang
dimaksud.
At Tahawuni berkata,“Ada kemungkinan masjid tersebut adalah masjid di
pinggir jalan (tempat persinggahan orang) atau sejenisnya, yang
diperbolehkan melakukan jama’ah kedua padanya. Kemungkinan ini diperkuat
dengan adanya pengulangan adzan dan iqamah yang tidak diperbolehkan
oleh orang yang berpendapat bolehnya mengulang jama’ah shalat.” [20]
Ketiga. Semua keutamaan dan anjuran yang ada untuk shalat berjama’ah hanya berlaku untuk jama’ah pertama.
PENYEBAB KHILAF DAN PENDAPAT YANG RAJIH DALAM PERMASALAHAN INI
Setelah melihat dan meneliti perbedaan pendapat para ulama dalam masalah
ini, dapat disimpulkan penyebab perselisihan mereka ada dua:
Pertama. Apakah anjuran dan pelipat-gandaan pahala khusus untuk shalat
jama’ah di masjid bersama imam tetap atau juga meliputi lainnya?
Kedua. Apakah berjama’ah termasuk sebagai syarat keabsahan shalat atau tidak?
Ulama yang berpendapat, anjuran dan pelipat-gandaan pahala hanya untuk
yang mengerjakan shalat berjama’ah di masjid bersama imam tetap, mereka
melarang pengulangan jama’ah di masjid yang memiliki imam tetap.
Sedangkan yang tidak demikian, maka membolehkan pengulangan shalat
berjama’ah tersebut. [21]
Yang rajih ialah pendapat pertama jika penyebab larangan tersebut ada,
yaitu menimbulkan perpecahan atau kemalasan untuk menghadiri jama’ah
pertama. Penyebab ini tidak akan terjadi, kecuali pada masjid yang
memiliki imam dan muadzin tetap. Demikian yang dirajihkan oleh Syaikh
Masyhur Hasan Ali Salman [22] dengan dalil-dalil sebagai berikut:
- Melihat dalil pendapat pertama yang ada.
- Tidak adanya perintah melakukan jama’ah yang berulang-ulang dalam
shalat khauf, padahal sangat dibutuhkan. Demikian juga, tidak terdapat
dalil yang shahih adanya jama’ah kedua setelah jama’ah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang pertama. Juga riwayat para sahabat
dan tabi’in, jika tertinggal shalat jama’ah, mereka melakukan shalat
secara sendirian di masjid atau berjamaah di rumah.
- Meninggalkan jama’ah pertama yang disebabkan karena rasa malas
mengikuti jama’ah dengan imam tetap, tentunya dicela. Padahal sesuatu
yang menyebabkan terjadinya perkara tercela, sebagai sesuatu yang
tercela.
-Apabila seseorang tertinggal shalat berjama’ah bersama imam tetap
karena udzur, maka ia memperoleh pahala jama’ah tersebut, walaupun
shalat secara sendirian.
Demikianlah sebagian dalil yang menguatkan pendapat pertama. Dan inilah
pendapat yang rajih, Insya Allah Ta’ala. Mudah-mudahan bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VII/1424H/2003M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat tarjihnya dalam kitab I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah
Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 68-75.
[2]. Lihat kitab Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, 3/11.
[3]. Ibid.
[4]. Al Mustadrak karya beliau 1/209.
[5]. Syarhu Sunnah 3/437.
[6]. Aunul Ma’bud 1/225.
[7]. Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 101.
[8]. Muallaq adalah hadits yang terputus sanadnya satu perawi atau lebih di awal sanad.
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah. Lihat Fathul Bari 2/131.
[10]. Taghliq At Ta’liq 2/276-277.
[11]. Mauquf adalah perkatan, perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada para sahabat.
[12]. Al Mughni, 3/11.
[13]. I’lamul ‘Abid, hal. 79-80 menukil dari kaset rekaman beliau berjudul Masail Tahumu Al Muslim.
[14]. I’lamul ‘Abid, hal. 83-84, menukil dari Al Urfusy Syadzi ‘Ala Jami’ At Tirmidzi, hal. 118.
[15]. Diriwayatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 2/223 dan
dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157. Lihat dalil pendapat pertama
dalam majalah As Sunnah, edisi 4/VII/1424 H/2003 M. hal. 41.
[16]. Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 2/322
[17]. Mushannaf, Abdirrazaq 2/293 no. 3422.
[18]. Apabila ingin lebih panjang lagi, silahkan melihat kepada kitab I’lamul Abid hal. 85-87.
[19]. Lihat pernyataan Syaikh Al Albani dalam majalah As Sunnah edisi 4/ VII/1424 H/2003 M. hal. 42.
[20]. I’lamul Abid, hal. 91, menukil dari I’lamus Sunan 4/248.
[21]. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman dalam ………?
[22]. I’lamul Abid, hal. 94.
http://almanhaj.or.id/content/2996/slash/0/hukum-jamaah-kedua-dalam-satu-masjid/