Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ
فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya
tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat
bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau
tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku
lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini
sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti
terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)
[Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi –rahimahullah- membawakan hadits ini dalam Bab "Iman dan Tunduk pada Takdir"]
Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari hadits ini.
Mukmin yang Kuat Lebih Baik Daripada Mukmin yang Lemah
Mukimin
yang kuat di sini bukanlah yang dimaksudkan adalah mukmin yang kekar
badannya, perkasa dan sehat. Semacam ini yang sering dipahami sebagian
orang tatkala mendengar hadits ini.
Yang
dimaksud dengan mukmin yang kuat di sini adalah mukmin yang kuat
imannya. Bukan yang dimaksudkan dengan kuat di sini adalah mukmin yang
kuat badannya. Karena kuatnya badan biasanya akan menimbulkan bahaya
jika kekuatan tersebut digunakan dalam hal maksiat. Namun pada asalnya,
kuat badan tidak mesti terpuji dan juga tidak mesti tercela. Jika
kekuatan tersebut digunakan untuk hal yang bermanfaat untuk urusan dunia
dan akhirat, maka pada saat ini terpuji. Namun jika sebaliknya,
digunakan dalam perbuatan maksiat kepada Allah, maka pada saat inilah
tercela.
Jadi, yang dimaksudkan kuat di
sini adalah kuatnya iman. Kita dapat saja menyebut seorang itu kuat,
maksudnya adalah dia perkasa dengan kejantanannya. Begitu pula kita
dapat menyebut kuat dalam masalah iman.
Yang
dimaksud dengan kuatnya iman di sini adalah seseorang mampu
melaksanakan kewajiban dan dia menyempurnakannya pula dengan amalan
sunnah. Sedangkan seorang mukmin yang lemah imannya kadangkala tidak
melaksanakan kewajiban dan enggan meninggalkan yang haram. Orang seperti
inilah yang memiliki kekurangan.
Lalu yang dimaksudkan bahwa
orang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada yang lemah adalah orang
mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang
lemah imannya.
Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka semua (yaitu
mukmin yang kuat imannya dan mukmin yang lemah imannya) sama-sama
memiliki kebaikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
demikian agar jangan disalahpahami bahwa mukmin yang lemah imannya
tidak memiliki kebaikan sama sekali. Mukmin yang lemah imannya masih
tetap memiliki kebaikan dan dia tentu saja lebih baik daripada orang
kafir. Namun sekali lagi diingat bahwa mukmin yang kuat imannya tentu
saja lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya.
Bersemangatlah Dalam Perkara yang Bermanfaat Bagimu
Inilah
wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Wasiat
beliau ini adalah perintah untuk bersemangat dalam melakukan hal-hal
yang bermanfaat. Lawan dari hal ini adalah melakukan hal-hal yang dapat
menimbulkan bahaya (dhoror), juga melakukan hal-hal yang tidak
mendatangkan manfaat atau pun bahaya.
Karena yang namanya perbuatan
itu ada tiga macam: [1] perbuatan yang mendatangkan manfaat, [2]
perbuatan yang menimbulkan bahaya, dan [3] perbuatan yang tidak
mendatangkan manfaat maupun bahaya. Sedangkan yang diperintahkan adalah
melakukan macam yang pertama yaitu hal yang bermanfaat.
Orang yang berakal yang menerima
wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pasti akan semangat
melakukan hal yang bermanfaat. Namun kebanyakan orang saat ini
menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat. Bahkan
kadangkala yang dilakukan adalah hal yang membahayakan diri dan
agamanya. Terhadap orang semacam ini, pantas kita katakan: Kalian
tidaklah mengamalkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh
jadi kalian tidak melaksanakannya karena tidak tahu atau karena
menganggap remeh. Mukmin yang berakal dan mantap hatinya tentu akan
melaksanakan wasiat beliau ini, juga akan semangat melakukan hal yang
bermanfaat bagi agama dan dunianya. Hal yang manfaat dalam agama kembali
pada dua perkara yaitu ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amalan sholeh.
Yang dimaksud dengan ilmu nafi’
adalah ilmu yang dapat melembutkan dan menentramkan hati, yang nantinya
akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu nafi’ inilah
ajaran Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam tiga
macam ilmu yaitu ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Yang juga bisa menolong dalam menggapai ilmu nafi’ adalah bahasa Arab dan beberapa ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Adapun yang dimaksud amalan sholeh adalah amalan yang selalu dilandasi dengan ikhlash dan mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun hal yang manfaat dalam
masalah dunia adalah seorang hamba berusaha untuk mencari rizki dengan
berbagai sebab yang diperbolehkan sesuai dengan kemampuannya. Juga
hendaklah setiap orang selalu merasa cukup, tidak mengemis-ngemis dari
makhluk lainnya. Juga hendaklah dia mengingat kewajibannya terhadap
harta dengan mengeluarkan zakat dan sedekah. Dan hendaklah setiap orang
berusaha mencari rizki yang thoyib, menjauhkan diri dari rizki yang
khobits (kotor). Perlu diketahui pula bahwa barokahnya rizki seseorang
dibangun di atas takwa dan niat yang benar. Juga berkahnya rizki adalah
jika seseorang menggunakannya untuk hal-hal yang wajib ataupun sunnah
(mustahab). Juga termasuk keberkahan rizki adalah jika seseorang
memberi kemudahan pada yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
“Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian.” (QS. Al Baqarah: 237).
Yaitu
yang memiliki kemudahan rizki memudahkan yang kesulitan, bahkan
seharusnya memberi tenggang waktu dalam pelunasan hutang. Apabila semua
ini dilakukan, datanglah keberkahan dalam rizki.
Dahulukanlah Maslahat Agama
Hadits
ini begitu baik untuk direnungkan oleh setiap insan, bahkan hadits ini
bisa dijadikan pelita baginya dalam melakukan amalan dalam masalah
agama maupun dunianya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Bersemangatlah kamu dalam melakukan hal yang bermanfaat bagimu.”
Perkataan beliau ini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat baik dalam
masalah agama maupun dunia. Namun, apabila maslahat dunia dan agama
itu bertabrakan, yang lebih didahulukan adalah maslahat agama. Karena
jika maslahat agama tercapai, maka dunia pun akan diperoleh. Adapun
jika maslahat dunia tercapai, namun agama malah menjadi rusak, maka
nantinya maslahat tersebut akan sirna.
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.
مَنْ
كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ
لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ
الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ
عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ
لَهُ
“Barangsiapa yang
niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai
berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang
niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia
tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia
pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR.
Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Perlu Ada Skala Prioritas: Dahulukan yang Memiliki Manfaat Lebih
Hadits
ini juga menunjukkan bahwa jika bertentangan antara dua hal yang
sama-sama manfaat, maka pilihlah perkata yang memiliki nilai manfaat
yang lebih.
Misalnya adalah jika kita ingin
bersilaturahmi dan kita punya dua pilihan yaitu bersilaturahmi ke
saudara kandung dan paman. Keduanya sama-sama mendesak pada saat itu
dan tidak mungkin kita berkunjung ke tempat keduanya sekaligus. Dari
penjelasan di atas, kita haruslah mendahulukan silaturahmi kepada
saudara kandung daripada paman karena berkunjung ke tempatnya tentu
lebih utama dan lebih mendatangkan manfaat.
Begitu pula jika di dekat rumah
kita ada dua masjid, yang jaraknya hampir sama. Akan tetapi salah satu
dari dua masjid tersebut memiliki jama’ah lebih banyak. Dalam kondisi
semacam ini, lebih utama shalat di masjid yang lebih banyak jama’ahnya.
Jadi ingatlah baik-baik kaedah
yang sangat bermanfaat ini: Jika bertentangan dua hal yang sama-sama
bermanfaat, yang satu memiliki nilai lebih dari yang lainnya, maka kita
mendahulukan yang memiliki nilai lebih tersebut.
Namun sebaliknya, jika seseorang
terpaksa harus melakukan hal yang terlarang dan dia punya dua pilihan.
Di antara dua pilihan tersebut ada yang lebih berbahaya. Dalam kondisi
semacam ini, dia harus memilih larangan yang lebih ringan.
Jadi,
jika ada beberapa perkara yang terlarang dan kita harus menerjanginya,
maka pilihlah yang paling ringan. Namun dalam beberapa perkara yang
diperintahkan dan kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang
paling bermanfaat.
Jangan Lupa Meminta Pertolongan Pada Allah
Setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kita untuk semangat
dalam melakukan hal yang bermanfaat, kemudian beliau menyampaikan
wasiat pula agar kita jangan sampai lupa minta pertolongan pada Allah
Yang Berada di atas sana.
Seorang yang berakal dan cerdas
pasti akan melakukan hal yang bermanfaat dan akan memilih melakukan
yang lebih manfaat. Namun terkadang hati ini berubah, sampai-sampai
kita bersandar pada diri sendiri dan lupa meminta tolong pada Allah
‘azza wa jalla. Inilah yang terjadi pada kebanyakan orang, mungkin juga
kita.
Kita terkadang merasa takjub
dengan diri sendiri, seraya dalam benak hati ini mengatakan: Saya pasti
bisa menyelesaikannya sendiri. Dalam kondisi ini, Rabb tempat kita
bergantung dan tempat kita memohon segala macam hajat, posisi-Nya
terpinggirkan. Ketika kita sudah bersemangat dalam melakukan suatu
amalan sholeh dan yang bermanfaat, terkadang kita terlena dengan
kemampuan kita sendiri, merasa takjub dan lupa meminta tolong pada Rabb
kita. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan
kepada kita: "Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu dan minta
tolonglah pada Allah". Maksudnya adalah janganlah kita melupakan
meminta tolong pada-Nya walaupun itu adalah dalam perkara yang sepele.
Misalnya dalam hadits:
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaklah
salah seorang di antara kalian meminta seluruh hajatnya pada Rabbnya,
walaupun itu adalah meminta dalam hal tali sendal yang terputus.”
(Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya. Husain Salim Asad
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim).
Yaitu mintalah pada Allah walaupun dalam perkara sepele sekalipun,
jangan sampai engkau melupakan-Nya.
Misalnya: ketika engkau ingin
berwudhu atau melaksanakan shalat, bergerak ke kanan dan ke kiri, atau
mungkin ingin meletakkan sesuatu, maka pada saat itu jangan lupa untuk
meminta tolong pada Allah. Karena seandainya tanpa pertolongan-Nya,
niscaya sedikit pun tidak akan engkau raih.
Teruslah Melakukan Suatu Amalan Hingga Usai
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lagi: Wa laa ta’jiz,
yakni "janganlah engkau lemah". Yang dimaksudkan di sini adalah
hendaknya seseorang terus melakukan amalan tersebut hingga selesai,
janganlah menunda-nundanya, dan janganlah biarkan pekerjaan terlalaikan
begitu saja. Janganlah mengatakan bahwa waktu masih panjang. Selama
engkau bertekad melakukan sesuatu, yakin bahwa yang dilakukan
bermanfaat, lalu engkau meminta pertolongan pada Allah, maka janganlah
menunda-nunda melakukannya.
Betapa banyak kita lihat para
penuntut ilmu dalam mengkaji agamanya, dia semangat mempelajari satu
kitab. Setelah seminggu atau sebulan, dia pun berpindah mempelajari
kitab lainnya, padahal kitab yang pertama tadi belum dipelajari hingga
usai. Dia mungkin telah melakukan yang bermanfaat dan meminta
pertolongan pada Allah, akan tetapi dia begitu ‘ajz (lemah). Apa ‘ajz-nya
(lemahnya)? Yaitu dia tidak mampu ajeg dalam mempelajari kitab hingga
usai. Karena makna dari hadits: “Janganlah engkau lemah” adalah:
Janganlah engkau meninggalkan amalan. Namun setelah engkau tahu bahwa
perkara tersebut bermanfaat, hendaklah engkau terus melakukannya hingga
usai.
Perbuatan seperti yang dilakukan
di atas cuma berpindah dari satu kitab ke kitab lain, namun tidak
mendapatkan faedah apa-apa dan hanya menyia-nyiakan waktu semata.
Jika tidak memperoleh sesuai yang diinginkan, janganlah berkata: “Seandainya aku lakukan demikian dan demikian, pasti…”
Lalu
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika engkau tertimpa suatu
musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian
dan demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan
giat melakukan sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada
Allah, serta engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai, namun
ternyata hasil yang dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau
katakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian.” Karena
mengenai hasil adalah di luar kemampuanmu. Kamu memang sudah
melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun Allah pasti
tidak terkalahkan dalam setiap putusan-Nya.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
Misalnya: Seseorang ingin
melakukan perjalanan jauh dalam rangka mengunjungi saudaranya. Namun di
tengah jalan mobil yang dia gunakan rusak. Akhirnya dia pun kembali,
lalu berkata: "Seandainya aku tadi menggunakan mobil lain tentu tidak
akan seperti ini." Kami katakan: Janganlah engkau katakan demikian.
Engkau memang sudah giat melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah
menghendakimu sampai ke tempat tujuan, itu pun karena takdir-Nya. Akan
tetapi saat ini, Allah tidak menghendakinya.
Kenapa tidak boleh mengatakan “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti…”?
Jika
seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu
amalan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada
saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada Allah karena
hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya. Oleh karena itu, maksud hadits
ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan seluruh usahamu, juga tidak
lupa meminta pertolongan pada Allah, lalu hasilnya tidak tercapai,
maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka
nanti akan demikian dan demikian’.” Ketetapan mengenai hal ini telah
ada, tidak mungkin hal tersebut diubah kembali. Urusan tersebut telah
ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh sebelum penciptaan langit dan bumi 50.000
tahun yang lalu.
Apa hikmah tidak boleh
mengatakan ‘Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian
dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam selanjutnya, “Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” Maksudnya apa? Yaitu perkataan law (seandainya)
dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was, sedih, timbul
penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih semacam ini,
engkau pun mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti
akan demikian dan demikian.”
Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang?
Kata law
(seandainya atau andaikata) biasa digunakan dalam beberapa keadaan
dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul
Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.
Pertama:
Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam
hal ini hukumnya haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi
itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”
Kedua: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”
Ketiga: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”
Keempat: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
“Dan
mereka berkata: ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah
kami tidak menyembah mereka (malaikat).’” (QS. Az Zukhruf: 20)
Kelima: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
Jadi,
apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat,
maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena
dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya
kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan
gadis-gadis cantik dan elok.”
Namun,
apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam
hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya: “Seandainya saya
punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama.” Atau
kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan,
tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak berderma.”
Keenam: Apabila ucapan ’seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang terlarang.”
Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah
Setelah
kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon
pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang
diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku
melakukan demikian dan demikian, …” Oleh karena itu, Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau
katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah.” Maksudnya adalah ini semua
sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki,
pasti Dia laksanakan.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.
Akan tetapi, wajib engkau tahu
bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan sesuatu melainkan ada
hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita
tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa
kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara
yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik.
Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini.
Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu
penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang
tersebut adalah lebih dari 300 penumpang. Salah satu pria yang akan
menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang
keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa
pesawat sebentar lagi akan berangkat. Ketika pria yang tertidur itu
terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun
lepas landas. Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan
pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat? Namun, Allah memiliki
ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut
mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut ternyata yang
selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan pesawat.
Namun ternyata hal itu baik baginya.
Oleh karena itu –saudaraku-,
jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau meminta
pertolongan pada Allah, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang
engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati. Janganlah engkau
mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti
akan…” Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu
setan. Engkau pun akan merasa was-was, gelisah, sedih, dan tidak
bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah
memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu,
katakanlah, “Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana.”
Mengambil Sebab Bukan Berarti Tidak Tawakkal
Hadits
ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan ketetapan Allah, di
samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah yang
merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat banyak
dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah sempurna
melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam
perkara pun tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini. Karena
maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersemangatlah dalam
hal yang bermanfaat bagimu, …”, ini maksudnya adalah perintah untuk
melakukan usaha baik dalam urusan dunia maupun agama.
Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya
kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.
310)
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
“Hadits
ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha
untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki
karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi,
yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka
bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala
aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan
berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh
rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan
lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa
mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka
saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena
ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul Falihin, 1/335)
Al Munawi juga mengatakan,
“Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika
sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang
memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan
tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil
yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha
sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.” (Lihat
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan
mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid.
Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku
datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu
(bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Allah
menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.’ Dan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas).
Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi
dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul
Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)
Tak Pernah Usai
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya, kalau kita
menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah
yang amat banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka melanggar
wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga ini.
Pertama,
sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang bermanfaat
baginya, malah semangat jika melakukan hal yang berbahaya atau hal yang
tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam hanya dia lewati dengan
sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
Kedua,
jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak
memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, akhirnya dia akan
menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya
melakukan ini dan ini, pasti akan …” Sikap semacam ini tidaklah tepat.
Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya dan
tidak lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan
tersebut, maka serahkanlah semuanya pada Allah.”
Referensi:
- Bahjatu Qulub Al Abror wa Qurrotu ‘Uyuni Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Maktabah ‘Abdul Mushowwir Muhammad ‘Abdullah, cetakan pertama 1425 H
- Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Sholihin, Muhammad ‘Ali bin Muhammad bin ‘Allan Asy Syafi’iy, Asy Syamilah
- Qoulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama 1425 H
- Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Mawqi’ Jami Al Hadits An Nabawi
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
- Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Asy Syamilah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id