كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS. Ali ‘Imran: 185)
Dan firman-Nya pula:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu
di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’: 78)
Seorang penyair berkata:
كُلُّ ابْنِ أُنْثَى وَإِنْ طَالَتْ سَلاَمَتُهُ # يَوْمًا عَلَى آلَةٍ حَدْبَاءَ مَحْمُوْلُ
Setiap manusia, betapa pun panjang umurnya
Kelak di suatu hari, dirinya akan terusung di atas keranda
Setiap
orang yang mati pasti meninggalkan nama dan jejak rekam yang baik
maupun buruk bagi keluarga, masyarakat dan generasi sesudahnya. Maka di
sini timbul pertanyaan-pertanyaan yang cukup penting, bagaimana kita
meninggalkan nama yang harum bagi generasi di belakang kita? Seperti apa
kita akan diingat ketika kita sudah tidak lagi ada di dunia ini? Ketika
mendengar nama kita, apa yang akan dikenang orang? Kebaikan atau
kejahatan? Orang yang bersih atau koruptor? Orang yang jujur atau
pendusta dan penipu? Orang yang amanah atau pengkhianat? Dan
pertanyaan-pertanyaan semisal.
Nama kita akan dikenang orang
sesuai dengan bagaimana perbuatan kita selama hidup di dunia. Jangan
lupa bahwa nama ini akan kita wariskan pula ke anak cucu kita. Betapa
kasihannya jika anak kita akan dikenal sebagai anak penjahat, koruptor,
penipu, pelacur, penjudi, pemabuk, pembunuh, penyebar kebatilan dan
kesesatan, dan lain sebagainya. Sesuatu yang bukan kesalahan mereka,
namun mereka harus menanggungnya sepanjang hidup mereka. Karena itu,
nama baik adalah hal yang cukup penting untuk selalu kita perhatikan
dan jaga.
MENGHARUMKAN NAMA BAIK DALAM PANDANGAN MANUSIA
Sebagian
orang yang tamak dan berambisi meraih ketenaran, popularitas dan
kenangan yang baik, mereka melakukan hal-hal yang dianggapnya dapat
mengabadikan nama baik sepeninggal mereka. Di antara yang banyak
dilakukan oleh sebagian orang dalam rangka itu, mereka membuat
patung-patung baik oleh diri mereka sendiri ketika masih hidup atau
dibuat oleh keluarganya atau orang lain dari generasi penerusnya yang
menghargai dan menghormatinya karena memandang bahwa orang tersebut
memiliki jasa-jasa dan kebaikan yang besar bagi orang lain dan
kehidupan.
Sebagian lain ada yang
menggantungkan prasasti-prasasti (batu/benda keras) yang bertuliskan
nama mereka pada bangunan-bangunan yang mereka buat seperti masjid,
pesantren atau sekolah atau selainnya.
Ada pula sebagian lain yang
membagi-bagikan sumbangan kepada masyarakat baik berupa uang ataupun
bahan makanan pokok demi mendapatkan simpati dan mengharumkan nama dan
agar jasanya dikenang oleh mereka. Hal ini sering terjadi apalagi di
saat musim pemilu atau pilkada. Dan masih banyak cara-cara lain yang
dilakukan oleh manusia dalam rangka mengharumkan namanya.
SIAPAKAH ORANG YANG PALING HARUM NAMANYA SEPANJANG SEJARAH KEHIDUPAN MANUSIA?
Orang
yang baik dan memiliki jasa besar bagi manusia dan kehidupan akan
selalu dikenang oleh sejarah. Semakin besar jasa dan manfaat seseorang
bagi manusia, maka semakin harum namanya dan semakin banyak pula orang
yang mengenangnya. Dan pada setiap generasi hampir dipastikan terdapat
orang-orang yang berjasa besar bagi generasinya dan dikenang
kebaikan-kebaikannya.
Dengan pembahasan ini, kita
tidak berniat untuk dikenang oleh sejarah, dan jangan sampai ada di
anatara kita yang berbuat sesuatu karena ingin dikenang atau dianggap
hebat karena itu bisa-bisa akan membuat kita lalai dan riya’ (berbuat
karena mau dilihat orang). Tapi faktanya memang seperti itu. Orang yang
baik akan dikenang kebaikannya. Demikian pula sebaliknya, orang yang
jahat dan buruk akan dikenang kejahatan dan keburukannya.
Sebagai contoh, Raja Namrudz di
jaman nabi Ibrahim alaihis salam, Fir’aun di jaman nabi Musa alaihis
salam dan raja-raja zhalim lainnya dikenang, tapi manusia tahu bahwa
mereka semua adalah orang-orang kafir yang zhalim dan banyak berbuat
dosa. Qarun juga dikenang tapi dengan kesombongannya. Demikian pula
Kaisar Nero dan Hitler dikenang tapi mereka kejam. Allah ta’ala
berfirman menceritakan Fir’aun dan pengikutnya yang dibinasakan oleh
Allah dalam keadaan kafir agar dijadikan kenangan dan pelajaran bagi
umat-umat yang datang sesudahnya:
فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ (.) فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ
“Maka
tatkala mereka membuat kami murka, kami menghukum mereka lalu kami
tenggelamkan mereka semuanya (di laut), Dan kami jadikan mereka sebagai
pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (QS. Az-Zukhruf:
55-56)
Abu Lahab dan Abu Jahal juga
dikenang dengan kekufuran, kesyirikan dan permusuhannya yang keras
terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka
semua dikenang namun keburukan merekalah yang dikenang lebih dominan
oleh masyarakat di zamannya dan generasi yang datang sesudahnya hingga
hari kiamat.
Sedangkan manusia yang paling
baik dan harum namanya sepanjang zaman di dunia dan akhirat, dan
disepakati oleh kawan dan lawan maka dia tiada lain adalah nabi kita
Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang Allah utus
sebagai penutup para nabi dan rasul. Hal ini dikarenakan beliau
merupakan manusia yang paling besar jasa dan manfaatnya bagi seluruh
makhluk yang ada di alam semesta ini. Beliau diutus oleh Allah sebagai
pembawa rahmat bagi alam semesta. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam menjadi orang yang paling harum namanya dan paling dikenang
jasa-jasanya oleh manusia sepanjang zaman di dunia dan akhirat
berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَك
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Al-Insyirah: 4)
Qotadah rahimahullah
menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Bahwa Allah meninggikan
penyebutan nama nabi shallallahu alaihi wa sallam di dunia dan akhirat.
Tiada seorang khatib, orang yang membaca tasyahud dan mendirikan
shalat melainkan mengucapkan, ‘Asyhadau an laa ilaaha illallaahu wa
asyhadu anna muhammadan rasulullah’.
Hasan Al-Bashri rahimahullah
menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Bahwa Allah tidaklah
disebutkan (nama-Nya) di suatu tempat melainkan disebutkan pula
bersamanya nama nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
Dan ada pula yang menafsirkan
ayat tersebut dengan mengatakan, “Kami (Allah) meninggikan penyebutan
namamu di hadapan para malaikat di langit dan di sisi orang-orang
beriman di bumi.” (Lihat Fathul Qadir karya imam Syaukani, Tahqiq Abdur
Razzaq Al-Mahdi (V/568), Darul Kitab Al-Arabi, Beirut – Lebanon, cet.
Pertama th.1420 H / 1999 M).
Abu Hayyan rahimahullah
menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Bahwa Allah menyebutkan nama
nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama dengan nama-Nya di dalam
kalimat syahadat, adzan, iqomat, tasyahud, khutbah, di dalam beberapa
ayat Al-Qur’an, dalam penamaannya sebagai nabi dan rasul Allah, dan
disebutkan pula namanya di dalam kitab-kitab (Allah) terdahulu.”
(Al-Bahrul Muhith Fit Tafsir (10/500), Darul Fikri, cet. Pertama th.
1426 H / 2005 M).
MENGHARUMKAN NAMA BAIK DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebagai
seorang muslim, kita semua pasti tidak ingin menjadi kenangan buruk
bagi orang-orang sesudah kita. Namun kita juga tidak berharap untuk
dihormati, dihargai, atau mendapatkan kemuliaan dari manusia, karena
manusia bisa berubah. Tapi hendaknya kita semua berharap kemuliaan dan
keridhoan itu hanya dari Allah Dzat yang maha mulia. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى
النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ
اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Barangsiapa
mencari keridhoan dari Allah (saja) meskipun manusia benci kepadanya,
niscaya Allah akan ridho kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia
ridho kepadanya pula. Dan barangsiapa mencari keridhoan dari manusia
dengan membuat Allah murka kepadanya, niscaya Allah akan murka
kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia murka kepadanya pula.” (HR.
Ibnu Hibban di dalam Shahihnya no.276 (I/497), dari Aisyah. Syuaib
Al-Arnauth berkata: “Sanadnya Hasan.”).
Di dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ وَمَنْ
أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ
“Barangsiapa
mencari keridhoan manusia dengan membuat Allah murka, maka ia
diserahkan oleh Allah kepada manusia. Dan barangsiapa membuat manusia
murka dengan keridhoan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari
kejahatan manusia.” (Shahih. HR. Ibnu Hibban no.277 (I/510), dari Aisyah. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no.6010).
Maka dari itu, tindakan apapun yang kita lakukan hendaknya diniatkan semata-mata mengharap keridhoan dan balasan dari Allah ta’ala. Tidak
mengharapkan sesuatu apapun dari manusia baik berupa pujian, imbalan,
popularitas dan ketenaran maupun lainnya. Hal ini sebagaimana yang bisa
kita petik dari do’a salah seorang istri Fir’aun dalam al-Qur’an yang
tetap teguh pada keyakinannya pada Allah. Ia berdo’a agar dibangunkan
untuknya “baitan fil jannah” (rumah di surga)–bukan “baitan fil ardhi
(rumah di bumi)” ataukah “prasasti di bumi yang dikenang orang lain”.
Dia hanya berharap pada Allah, diselamatkan jiwa, dan keyakinannya dari
virus-virus orang zalim. Allah ta’ala berfirman:
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ
رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ
فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan
Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah di sisi-Mu dalam (surga) Firdaus, dan selamatkanlah Aku dari
Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim.”
(QS. At-Tahriim: 11)
Dia berfirman pula:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا
“Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 9)
Jangan sampai kita melakukan
suatu amalan dengan niat dan tujuan supaya dikenang dan dipuji oleh
manusia karena akan menyebabkan kebinasaan. Sebagaimana dikabarkan oleh
nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits yang diriwayatkan
imam Muslim di dalam kitab Shahihnya (no.1905) tentang golongan manusia
yang pertama kali diadili oleh Allah dan dicampakkan ke dalam api
neraka pada hari kiamat, dan mereka adalah orang yang berjihad di jalan
Allah, menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an, dan
orang yang bersedekah, namun mereka mengerjakan ibadah-ibadah yang
agung tersebut tanpa ikhlas karena Allah.
Sikap seorang muslim manakala mendengar banyak pujian orang terhadap dirinya, maka ia pun semakin banyak beristigfar kepada Allah.
Dia takut kepada Allah, jangan sampai karena pujian itu membuat
dirinya riya’, beribadah dan beraktivitas karena mau dikenang, atau
dilihat orang lain. Hal ini sebagaimana doa yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala menerima atau mendengar
pujian kepada dirinya:
اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ , وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَيَعْلَمُوْنَ, وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
“Ya
Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan.
Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui. (Dan jadikanlah aku
lebih baik daripada yang mereka perkirakan).”
(HR.
Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 761. Isnad hadits tersebut
dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 585.
Kalimat dalam kurung tambahan dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman
4/228 dari jalan lain).
Mari berlomba-lomba kita buat
prasasti terbaik di surga -karena surga juga memiliki tingkatan yang
berbeda-beda- dengan berbudi baik, berkata-kata yang baik, dan beramal
dengan sebaik-baik amalan. Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS.
Az-Zalzalah: 7-8)
BEBERAPA AMALAN ISLAM YANG DAPAT MENGHARUMKAN NAMA DI DUNIA DAN AKHIRAT
Sesungguhnya
ajaran Islam semuanya merupakan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Bila mereka menjalankannya dengan iltizam (komitmen), maka akan lahir
insan-insan terbaik yang tidak dijumpai pada umat-umat agama lain, dan
para sahabat Nabi adalah contoh konkritnya. Semua orang memuji dan
menyanjung serta mendoakan kebaikan bagi mereka –kecuali orang-orang
yang jauh dari taufiq Allah- lantaran keislaman mereka yang bagus dan
jasa besar mereka bagi umat Islam sehingga mereka dikenang dengan
kenangan yang baik, red).
Namun, dalam halaman yang cukup
terbatas ini, kami (penulis) akan sebutkan beberapa amalan yang bisa
mengharumkan nama baik seorang hamba ketika ia masih hidup di dunia ini
ataupun sesudah meninggalnya berdasarkan dalil-dalil syar’i:
1. Beriman dan Bertakwa kepada Allah kapanpun dan di manapun.
Hal
ini merupakan perkara yang paling agung dan paling utama untuk
mengharumkan nama seorang hamba di dunia dan akhirat. Karena apabila
seorang hamba telah beriman kepada Allah dan senantiasa bertakwa
kepada-Nya, maka Allah akan mencintainya dan memerintahkan para malaikat
dan hamba-hamba-Nya yang lain untuk mencintainya. Sebagaimana
disebutkan di dalam hadits berikut ini:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم: ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا
نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ
فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ، ثُمَّ يُنَادِى جِبْرِيلُ فِى السَّمَاءِ إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ
السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى أَهْلِ الأَرْضِ “
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala apabila mencintai seorang hamba,
Dia memanggil malaikat Jibril (seraya mengatakan, pent), “Sesungguhnya
Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia”, maka Jibril pun
mencintainya, lalu Jibril berkumandang di langit dengan mengatakan,
“Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah ia”, maka
(para malaikat) penghuni langit pun mencintainya, lalu ditanamkan rasa
menerima (dan mencintainya, pent) pada penduduk bumi.” (HR. Bukhari
no.7047 dan Muslim no.2637).
Dari sini kita dapat mengetahui
bahwa agar nama kita harum dan dicintai oleh Allah, para malaikat dan
manusia maka hendaknya kita berupaya memperoleh kecintaan dari Allah
dengan cara beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya.
2. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan menuliskannya
Hal
ini bisa dilakukan oleh para ulama dan penuntut ilmu yang telah mapan
keilmuannya dengan cara mengajarkan ilmu kepada manusia tentang
perkara-perkara agama mereka. Disamping itu juga dengan cara mengarang
dan menuliskan ilmunya di dalam sebuah majalah atau buku atau blog di
internet agar ilmunya terjaga, tersebar luas dan bermanfaat bagi
generasi-generasi yang datang sesudahnya.
Berapa banyak ulama yang
meninggal dunia semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi ilmunya masih
ada, dikenang dan dimanfaatkan melalui kitab-kitab yang telah
dikarangnya lalu dipakai dari generasi ke generasi sesudahnya dengan
perantara para muridnya kemudian para pencari ilmu setelah mereka. Dan
setiap kali kaum muslimin menyebutkan nama penulisnya, mereka selalu
mendoakan kebaikan dan memohon rahmat dan ampunan kepada Allah baginya.
Ini adalah keutamaan dan karunia dari Allah yang diberikan kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya. Berapa banyak generasi yang
diselamatkan Allah dari kesesatan dengan jasa seorang ulama, maka ulama
itu mendapatkan seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari
kiamat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ
“Barangsiapa
mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang
mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya
sedikitpun.” (HR. Ibnu Majah no.240 (I/88), dan dihasankan oleh syaikh
al-Albani).
Sama saja apakah dia mengajarkan
ilmu tersebut kepada orang lain secara langsung atau berupa buku yang
mana orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya.
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
“Orang
yang mengajarkan ilmu (kebaikan) dimintakan ampunan oleh segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan-ikan yang ada di
dalam lautan.” (HR. Abu Daud no.3641 (II/341), at-Tirmidzi no.2682
(V/48), dan al-Baihaqi di dalam Al-Adaab no.862).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ
تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا
إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa
yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala
sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru
kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
(HR. Muslim no.2674 (IV/2060), Abu Daud no.4609 (II/612), At-Tirmidzi
no.2674 (V/43), Ibnu Majah no.206 (I/75), Ahmad no.9149, dan Ibnu Hibban
no.112 (1/318), dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani).
3. Shodaqoh jariyah
Shadaqah
jariyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengharapkan ridha Allah Ta’ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkan
harta yang disedakahkannya tersebut sehingga pahalanya mengalir
baginya sepanjang barang tersebut masih ada.
Para ulama telah menafsirkan
shadaqah jariyah dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah,
masjid, madrasah, rumah hunian, kebun kurma, mushaf Al-Qur’an, kitab
yang berguna, dan lain sebagainya. Disini merupakan dalil
disyariatkannya mewakafkan barang yang bermanfaat dan perintah untuk
melakukannya, bahkan itu termasuk amalan yang paling mulia yang bisa
dilakukan seseorang untuk kemuliaan dirinya di dunia dan akhirat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
مَاتَ إِبْنُ آدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِه, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila
manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari
tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh
yang mendo’akannya.” [HR. Muslim, HR. Muslim (5/73), Imam Bukhari di
dalam Al-Adab Al-Mufrad hal.8, Abu Daud (2/15), an-Nasa’i (2/129),
ath-Thahawi di dalam Al-Musykil (1/85), al-Baihaqi (6/278), dan Ahmad
(2/372). Lihat Ahkamul Jana-iz Wa Bida’uha oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani hal.224].
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa
yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah, niscaya Allah
membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Bukhari no.439
(I/172), dan Muslim no.533 (I/378)).
4. Mendidik anak menjadi anak sholih
Anak
adalah anugerah Allah yang diamanahkan kepada kedua orang tuanya. Dan
amanah ini akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak pada hari kiamat.
Orang tua akan selamat dan sukses di dunia dan akhirat apabila mampu
menunaikan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Kesuksesan orang tua dalam
mengemban amanah ini ditandai dengan kesuksesannya dalam mendidik
anaknya menjadi anak shalih yang taat kepada Allah dan kedua orang
tuanya serta bermanfaat bagi orang lain. Semakin banyak kebaikan dan
manfaat yang dilakukan oleh anak sholih tersebut, maka semakin banyak
pahala yang mengalir kepada kedua orang tuanya dan semakin banyak pula
orang memuji dan mengenangnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya
yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya
sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”(HR. Abu Daud
no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Ini berarti amalan dari anaknya
yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah
berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua
yang pantas mereka nikmati.
5. Zuhud terhadap apa yang ada pada manusia
Zuhud
(tidak meminta-minta dan berharap) terhadap apa yang dimiliki oleh
orang lain dapat menyebabkan seseorang dicintai oleh manusia. Di samping
itu juga Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang zuhud. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu
anhu, ia menceritakan bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata:
“Wahai Rasulullah, tunjukkan
kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan
dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau
dicintai Allah, dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia,
niscaya engkau dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah no.4102 dan ini
lafazhnya, Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no.5972, Al-Hakim
IV/313, dan selainnya. Syaikh Al-Albani menghasankannya di dalam
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no.944 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir
no.922).
Hasan al-Bashri rahimahullah
berkata: “Engkau senantiasa menjadi mulia di mata manusia, atau manusia
senantiasa memuliakanmu jika engkau tidak mengambil apa yang ada di
tangan manusia. Jika engkau mengambil apa yang ada di tangan manusia,
mereka meremehkanmu, membenci perkataanmu dan benci kepadamu.” (Jami’ul
‘Uluum wal Hikam karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali II/204-205)
Ada seorang Arab Badui bertanya
kepada penduduk Bashrah, “Siapakah orang mulia di desa ini?” Penduduk
Bashrah menjawab, “Al-Hasan (maksudnya Hasan al-Bashri seorang ulama
tabi’in, pen).” Orang Arab Badui itu bertanya lagi, “Kenapa ia mulia
bagi penduduk Bashrah?” penduduk Bashrah menjawab, “Manusia membutuhkan
ilmunya, sedangkan ia tidak membutuhkan dunia mereka.” (Jami’ul ‘Uluum
wal Hikam karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali II/206)
6. Berakhlak dan bermuamalah yang baik kepada sesama manusia
Manusia
yang paling mulia akhlaknya dan paling baik muamalahnya adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan
rekomendasi dari Allah kepada beliau dengan firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Beliau senantiasa berakhlak dan
bermuamalah dengan baik kepada seluruh makhluk. Karena salah satu
tugas mulia beliau dalam berdakwah adalah menyempurnakan akhlak yang
mulia, sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku ini diutus (oleh Allah) agar menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR.
al-Hakim no.4221 (II/670) dan ia berkata: “Hadits ini shahih sesuai
dengan syarat Muslim, akan tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak
mengeluarkannya (di dalam kitab Shahih keduanya, pent), dan al-Baihaqi
no.20571 (X/191)).
Oleh karenanya, beliau menjadi
manusia yang paling harum namanya dan paling dikenang keluhuran
akhlaknya oleh manusia sepanjang sejarah. Maka sepantasnya bagi kita
semua sebagai umatnya agar senantiasa meneladani beliau dalam hal
akhlak, muamalah dan selainnya.
Terdapat banyak dalil syar’i
yang memberikan pujian dan sanjungan kepada orang-orang yang berakhlak
mulia dan bermuamalah baik dengan sesama manusia. Di antaranya adalah
hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:” إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا “
Dari
Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah
orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari no.6029 (X/452) dengan
Fathul Bari, Muslim (IV/1810) no.3321).
وَعَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم: ” خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ
وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ “.
Dari
Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang paling
berbuat baik kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah
ialah orang yang paling berbuat baik kepada tetangganya.”
(HR.
Tirmidzi IV/333 no.1944, al-Hakim (IV/181) dan ia berkata; “Shahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan
Ahmad II/167 no.6566, dan Syu’aib al-Arnauth berkata: “Isnadnya kuat
sesuai syarat imam Muslim).
7. Suka membantu dan meringankan beban orang lain
Orang
yang gemar membantu dan meringankan beban dan kesulitan orang lain
baik dengan harta benda, perkataan, perbuatan, pikiran positif ataupun
lainnya, dia akan dicintai dan dikenang jasa-jasa baiknya oleh manusia.
Ini dikarenakan jiwa manusia secara fitrah mencintai siapa saja yang
suka menolong dan berbudi baik kepadanya.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata ketika menyebutkan pendapat para ulama tentang amalan yang
paling utama: “Golongan ketiga berpendapat bahwa ibadah yang paling
utama dan bermanfaat ialah amalan apa saja yang mengandung manfaat
yang mengalir kepada orang lain seperti membantu orang-orang fakir,
menyibukkan diri dengan hal-hal yang ada maslahatnya bagi manusia,
memenuhi kebutuhan mereka, dan membantu mereka dengan harta, kedudukan
dan manfaat lainnya. Itu semua lebih utama daripada ibadah yang
manfaatnya terbatas bagi pelakunya saja.” (Madarijus Salikin (I/87)
dengan sedikit perubahan, dan dinukil dari kitab Tajridul Ittiba’ Fi
Bayani Asbabi Tafadhulil A’mali, karya Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili
hal.153).
Al-Hafizh Ibnu Rajab
rahimahullah berkata: “Secara garis besar, sebaik-baik manusia ialah
yang paling bermanfaat bagi orang lain, dan paling bersabar dalam
menghadapi gangguan manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali Imran: 134)
(Latha-iful
Ma’arif hal.411, dan dinukil dari kitab Tajridul Ittiba’ Fi Bayani
Asbabi Tafadhulil A’mali, karya Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili
hal.154).
Dan telah diriwayatkan dari
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ada seorang laki-laki mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya:
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai oleh Allah? Dan amalan
apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang paling dicintai oleh Allah
adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang
paling dicintai oleh Allah ialah engkau menggembirakan seorang muslim,
atau menghilangkan kesulitannya, atau melunasi hutangnya, atau
mengenyangkannya dari rasa lapar. Dan sungguh aku berjalan bersama
saudaraku untuk memenuhi suatu hajat lebih aku cintai daripada aku
beri’tikaf selama sebulan di masjidku ini (masjid Nabawi), dst….” (HR.
ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir no.13646 (XII/453).
Demikian pembahasan sederhana
ini kami tulis dengan harapan agar menjadi tambahan ilmu yang
bermanfaat, yang senantiasa mengalirkan pahala dan memperberat
timbangan amalan pada hari kiamat kelak. Wallahu ta’ala a’lam
bish-showab.
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
[Sumber: Majalah AS-SUNNAH Edisi 06 / Thn. XIV, Dzul Qo’dah 1431 H / 2010].
http://abufawaz.wordpress.com/2010/10/21/kiat-harumkan-nama-di-dunia-dan-akhirat/