Sesungguhnya jenis kebahagiaan yang mempengaruhi jiwa ada tiga.
Pertama, kebahagiaan yang berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan ini dipinjamkan kepada manusia dari luar dirinya dan hilang apabila si pemberi pinjaman mengambilnya kembali. Inilah kebahagiaan harta dan kehidupan. Kebahagiaan dan kegembiraan semacam ini seperti kegembiraan orang botak yang bangga dengan kepala anak pamannya yang berambut banyak. Kebahagiaan ini juga seperti kebahagiaan seseorang sebab pakaian dan hiasannya.
Dikisahkan dari sebagian ulama bahwa dia menumpangi sebuah perahu bersama dengan beberapa pedagang, lalu perahu itu pecah. Oleh sebab itu, mereka menjadi hina dalam kefakiran setelah jaya dengan kekayaan. Lalu orang yang berilmu itu sampai kepada negeri itu dan dihormati. Dia dikenal dengan berbagai kelebihan dan karamah. Tatkala mereka, para pedagang, ingin kembali ke negerinya, mereka bertanya kepada orang yang berilmu itu, "Apakah engkau memiliki surat atau keperluan untuk kaummu?" Dia menjawab, "Ya, kalian katakan kepada mereka, 'Jika engkau ingin memiliki harta yang tidak tenggelam di kala perahu pecah, maka ambillah ilmu itu sebagai barang dagangan.'"
Dikisahkan pula, seorang lelaki berwibawa, yang memiliki bentuk perawakan baik dan pakaian indah berkumpul dengan seorang lelaki berilmu. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berilmu itu, "Bagaimana engkau melihatnya?" Dia menjawab, "Saya melihat sebuah rumah bagus, dihias indah, tapi tidak ada orang yang mendiaminya."
Kedua, kebahagiaan jasmani / fisik; seperti fisiknya sehat, seimbang, serasi antara anggota tubuhnya, kebersihan warna dan kekuatan anggota-anggota tubuh. Kebahagiaan ini lebih erat melekat pada diri manusia daripada yang pertama. Tetapi, sebenarnya ia berada di luar zat dan hakekatnya. Sebab manusia benar-benar menjadi manusia karena ruh dan hatinya, bukan karena jasmani dan badannya sebagaimana dikatakan,
"Wahai pelayan jasmani, supaya tidak menderita dalam melayaninya, maka engkau adalah manusia dengan ruh, bukan dengan jasmani."Penisbatan jasmani kepada ruh dan hatinya seperti penisbatan baju dan pakaian kepada badannya. Sesungguhnya badan itu dipinjamkan kepada ruh dan alat baginya. Badan adalah kendaraan ruh. Karena itu, kebahagiaan manusia atas kesehatan, keindahan, dan kebaikannya adalah bentuk kebahagiaan eksternal / luar diri.
Kebahagiaan ketiga, kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan jiwa, ruhani dan hati. Itulah kebahagiaan ilmu yang buahnya berguna. Hanya ilmu seperti itu yang akan kekal dalam segala perubahan dan keadaan. Hanya itu yang akan senantiasa menyertai hamba dalam segala perjalanan dan tiga fasenya, yaitu fase dunia, alam barzakh, dan tempat kekekalan (akhirat). Dengan kebahagiaan inilah, manusia menapaki tangga-tangga keutamaan dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan.
Jenis kebahagiaan pertama hanya akan menyertainya di wilayah mana ada harta dan jabatan. Sedangkan yang kedua, pasti hilang dan berganti sejalan dengan berkurang dan melemahnya kondisi penciptaan. Jadi sebenarnya tidak ada kebahagiaan kecuali dalam jenis kebahagiaan yang ketiga dimana ia semakin lama semakin tinggi dan kuat. Apabila harta dan jabatan hilang, maka kebahagiaan ketiga ini adalah harta dan kebanggaan hamba yang akan nampak kekuatan dan pengaruhnya sesudah ruh berpisah dengan badan. Dengan demikian, terputus pulalah dua jenis kebahagiaan pertama.
Kebahagiaan hakiki seperti ini tidak ada yang mengetahui nilai dan yang mendorong untuk mencarinya kecuali ilmu tentang itu. Jadi, lagi-lagi semua kebahagiaan kembali kepada ilmu dan apa yang dituntutnya. Allah akan memberi kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menghalangi pemberian-Nya dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang dihalangi-Nya.
Tetapi, sebagian besar makhluk tidak mau mengusahakan dan memperoleh jenis kebahagiaan ini karena jalannya susah, pahit, dan melelahkan. Kebahagiaan ini hanya bisa diperoleh dengan kerja keras. Kondisinya jauh berbeda dengan dua jenis yang pertama. Karena kedua jenis kenikmatan itu merupakan nasib dan keberuntungan yang bisa didapat tanpa harus mencarinya. Seperti harta warisan, pemberian atau yang lain. Sedangkan kebahagiaan ilmu, tidak ada yang akan memberikan kepadamu kecuali dengan kerja keras, kesungguhan dalam mencari, dan kebenaran niat. Seseorang telah berkata dengan sangat baik dalam hal ini,
"Katakanlah kepada orang yang mengharapkan ketinggian dari segala sesuatu, tanpa bekerja keras, maka engkau mengharapkan kemustahilan."Dan yang lain berkata,
"Seandainya bukan karena kesusahan, maka semua manusia menjadi jaya / kaya
kedermawanan menjadi langka dan keberanian berarti perang."
"Dan aku pernah mengira, aku telah sampai ke puncak cinta sehingga aku tidak mendapat tempat pergi lagi sesudah itu,
Namun ketika kami bertemu dan melihat kebaikannya dengan mata kepala, saya yakin bahwa saya sebenarnya hanya bermain."
Jadi, kemuliaan itu penuh dengan perjuangan dan hal-hal yang dibenci. Kebahagiaan hanya bisa didapat setelah melalui jembatan kesulitan. Anda tidak akan menyelesaikan jarak perjalanan ke sana kecuali dengan perahu kesungguhan dan kerja keras. Muslim berkata dalam kitab Shahihnya bahwa Yahya bin Abu Katsir berkata, "Ilmu tidak dapat diperoleh dengan jasmani yang santai." Dan dikatakan pula,
"Barangsiapa yang mendambakan hidup santai (di akhirat), maka dia harus meninggalkan hidup santai (di dunia)."
"Renungkanlah, bagaimana seorang kekasih tiba kepada-Nya, tanpa ada kesulitan di jalan sama sekali."
Seandainya bukan karena ketidaktahuan sebagian besar orang akan manisnya kenikmatan dan kebesaran nilainya, maka kamu akan dapati mereka merebutkan hal itu dengan pedang. Tapi, kebahagiaan ini diliputi oleh penghalang yang berupa hal-hal yang tidak menyenangkan, dan orang-orang itu pun dihijab dengan hijab kebodohan supaya Allah dapat mengkhususkannya kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Allah Maha Memiliki keutamaan dan keagungan.
_______________
Sumber: Mukhtasar Miftahu Daar As-Sa'ada (edisi terjemahan: Kunci Kebahagiaan) oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 215-217, Penerbit: Pustaka Akbar, 2004