Rabu, 04 Desember 2013

Bagaimanakah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Mengambil dan Menggunakan Dalil?

Cara mengambil dan menggunakan dalil adalah hal yang sangat penting dalam urusan agama ini. Dari masalah ini pula dapat menentukan benar atau tidaknya pemahaman seseorang terhadap agama ini. Bagaimanakah kaidah dan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam hal ini? Berikut ini adalah kutipan dari kitab yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas.
KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

1.       Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (Al-Qur-an), Sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam yang shahih dan ijma’ Salafush Shalih.

2.       Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam wajib diterima, walaupun sifatnya ahad.57Allah ‘aza wa jalla berfirman :”Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7).

3.       Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah nash-nash (teks Al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman salafush shalih dan para imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

4.       Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi salallahu ‘alaihi wasalam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah ‘aza wa jalla telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah: 3).
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:”Barang siapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalannya tertolak.” 58

5.       Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari Al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf  (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

6.       Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

7.       Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam adalah ma’shum (dipelihara Allah dari kesalahan) dan para shahabat radhiallahu ‘anhum secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan diatas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorangpun dari mereka yang ma’shum. Jika ada perbedaan di antara para imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam dengan memaafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adlah orang yang berijtihad.

8.       Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru’ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya dalam Al-Qur-an dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya (misalnya  tentang Sifat Allah, qadha’ dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah ‘aza wa jalla). Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah ‘aza wa jalla.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:” Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: ‘…..Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja….’.” (QS. Az-Zukhruf: 58).59

9.       Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur-an dan as-Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid’ah tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.60

10.   Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:”Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”61
Dikutip dari kitab: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”  penulis Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, Penerbit: Pustaka At-Taqwa, Bogor. ____________________________________________

CATATAN :

56.    Lihat Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah (hal. 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.

57.    Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.

58.    HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah radhiallahu anha.

59.    HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), dishahihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati oleh adz-Dzahabi. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.” Dari shahabat Abu Umamah Al-Bahily radhiallahu anhu.

60.    Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid’ahnya Jahmiyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid’ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah, ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh bid’ah yang dilawan dengan bid’ah. Wallaahu a’lam.

61.    HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir radhiallahu anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).

http://assunnah-qatar.com/manhaj-artikel-198/194-bagaimanakah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengambil-dan-menggunakan-dalil.html
http://aljaami.wordpress.com/2010/06/06/bagaimanakah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengambil-dan-menggunakan-dalil/