Cara mengambil dan menggunakan dalil adalah hal yang sangat penting
dalam urusan agama ini. Dari masalah ini pula dapat menentukan benar
atau tidaknya pemahaman seseorang terhadap agama ini. Bagaimanakah
kaidah dan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam hal ini? Berikut ini
adalah kutipan dari kitab yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul
Qadir Jawas.
KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL
1. Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (Al-Qur-an), Sunnah Rasulullah
salallahu ‘alaihi wasalam yang shahih dan ijma’ Salafush Shalih.
2. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah
salallahu ‘alaihi wasalam wajib diterima, walaupun sifatnya ahad.57Allah
‘aza wa jalla berfirman :”Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr: 7).
3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah
adalah nash-nash (teks Al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya,
pemahaman salafush shalih dan para imam yang mengikuti jejak mereka,
serta dilihat arti yang benar dari bahasa arab. Namun jika hal tersebut
sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa
kemungkinan sifatnya menurut bahasa.
4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (ushuluddin), semua telah
dijelaskan oleh Nabi salallahu ‘alaihi wasalam. Siapapun tidak berhak
untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya,
apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah ‘aza wa
jalla telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian
telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:”Pada hari ini telah
Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah: 3).
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:”Barang siapa
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian
darinya, maka amalannya tertolak.” 58
5. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah
dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari
Al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas
(analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia
sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam
dan lainnya.
6. Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil
naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath’i (pasti) dari kedua dalil
tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada
pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits)
harus didahulukan.
7. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam adalah ma’shum
(dipelihara Allah dari kesalahan) dan para shahabat radhiallahu ‘anhum
secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan diatas kesesatan.
Namun secara individu, tidak ada seorangpun dari mereka yang ma’shum.
Jika ada perbedaan di antara para imam atau yang selain mereka, maka
perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
salallahu ‘alaihi wasalam dengan memaafkan orang yang keliru dan
berprasangka baik bahwa ia adlah orang yang berijtihad.
8. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi
mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru’ah
(disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya
dalam Al-Qur-an dan as-Sunnah) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan
panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi
larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam
pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya
(misalnya tentang Sifat Allah, qadha’ dan qadar, tentang ruh dan
lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah ‘aza wa jalla).
Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah ‘aza
wa jalla.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:” Tidaklah sesat suatu
kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka
berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: ‘…..Mereka tidak memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja….’.”
(QS. Az-Zukhruf: 58).59
9. Kaum muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode)
Al-Qur-an dan as-Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan
dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid’ah tidak
boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.60
10. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama
adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka.Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam
bersabda:”Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya
di neraka.”61
Dikutip dari kitab: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
penulis Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, Penerbit: Pustaka At-Taqwa, Bogor.
____________________________________________
CATATAN :
56. Lihat Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal.
44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah (hal. 5-9)
karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
57. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat
mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau
lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
58. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah radhiallahu anha.
59. HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252,
256), dishahihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati oleh
adz-Dzahabi. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.” Dari shahabat Abu
Umamah Al-Bahily radhiallahu anhu.
60. Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid’ahnya Jahmiyah
yang menafikan Sifat-Sifat Allah, dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah)
yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid’ahnya
Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan
kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah, ditentang oleh
Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan
makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh bid’ah
yang dilawan dengan bid’ah. Wallaahu a’lam.
61. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir radhiallahu anhu dengan
sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan
Misykatul Mashaabih (I/51).
http://assunnah-qatar.com/manhaj-artikel-198/194-bagaimanakah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengambil-dan-menggunakan-dalil.html
http://aljaami.wordpress.com/2010/06/06/bagaimanakah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-mengambil-dan-menggunakan-dalil/