Sabtu, 01 November 2014

Hukum Memberi Upah Pada Bekam

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaiminn pernah ditanya,
Apa hukum memberi upah (harta) pada tukang bekam atas usaha bekamnya?

Syaikh rahimahullah menjawab:
Tidak mengapa (boleh-boleh saja) memberi upah pada tukang bekam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

إن أجرة الحجام ليست حراماً، ولو كانت حراماً ما أعطى النبي صلى الله عليه وسلم الحجام أجرته
 
Sesungguhnya upah tukang bekam tidaklah haram. Seandainya upah tersebut haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan upah tersebut pada tukang bekam.”[1]
Benarlah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi ingatlah bahwa upah bekam disebut khobits (jelek). Sudah selayaknya tukang bekam tidak meminta upah karena proses bekam memberikan dhoror (bahaya) pada saudaranya (dengan mengeluarkan darah). Jadi dapat kita katakan untuk upah bekam: Upah semacam ini adalah jelek, namun bukan haram. Apakah khobits (jelek) berarti halal? Iya. Allah Ta’ala berfirman,
أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ
 
“Nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang khobits (yang buruk-buruk) lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (QS. Al Baqarah: 267)

Sumber: Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 189/17
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
________
[1] HR. Bukhari dan Muslim

Upah Bekam itu Khobits (Jelek)
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 213/14 pernah ditanya:

Terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa ‘upah bekam itu khobits (jelek)’. Namun sebaliknya dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi upah pada tukang bekam. Bagaimana mengkompromikan dua hadits semacam ini?


Beliau rahimahullah menjawab:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyebut bawang merah, bawang bakung dan semacamnya dengan sebutan khobits (jelek).


Apakah benda-benda tersebut halal atau haram?
Jawabannya, bawang dan semacamnya tadi adalah halal. Upah bekam semisal dengan ini. Khobits yang dimaksudkan adalah jelek (buruk). Jadi yang dimaksudkan adalah tidak sepantasnya tukang bekam itu mengambil upah. Kalau ingin mengambil upah, seharusnya dia mengambil sekadarnya saja tanpa ambil keuntungan. Jadi, upah bekam ini bukanlah haram. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berargumen dengan pemberian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu upah pada tukang bekam, sehingga ini menunjukkan bahwa upah bekam tersebut adalah halal. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وأعطى الحجام أجره ولو كان حراماً ما أعطاه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan beliau memberi orang yang membekam upah. Seandainya upah bekam itu haram, tentu beliau tidak akan memberikan padanya.” [1]
Jadi khobits memiliki makna arti. Kita dapat melihat pada firman Allah ‘azza wa jalla,
أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ
Nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang khobits (yang buruk-buruk) lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (QS. Al Baqarah: 267)
Apa yang dimaksud dengan khobits dalam ayat di atas? Khobits yang dimaksudkan adalah sesuatu yang jelek (buruk). Jadi tidak setiap kata khobits bermakna haram. Kadang khobits bermakna jelek (buruk). Atau kadang pula khobits adalah sesuatu yang tidak disukai.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Panggang, Gunung Kidul, 10 Rabi’ul Awwal 1430 H
_____________
[1] HR. Bukhari dan Muslim
 
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/hukum-memberi-upah-pada-bekam.html

Menjual Barang Halal, Namun Dibeli Untuk Tujuan Haram.

Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah.” 
(QS. Al Maidah: 2) 

Ada pertanyaan seperti ini:
Apa hukumnya jualan computer, laptop, cd blank, PDA, mp3, atau mp4 dan semacamnya yang mayoritas sekarang walaupun banyak manfaatnya tetapi mayoritas digunakan untuk menyimpan musik, gambar porno, tulisan-tulisan sesat? Juga jualan kain yang mayoritas digunakan oleh orang yang membuat pakaian tidak syar’i? Juga hukum membuatkan website bagi perusahaan penjual brankas yang mayoritas penggunaan brankas untuk muamalah ribawi?

Berikut kami akan berusaha menjawab permasalahan di atas dengan membawakan penjelasan para ulama mengenai hal ini. Semoga Allah memudahkannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah.” (QS. Al Maidah: 2)

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ
Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya.” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

[Komentar Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1269 mengenai hadits ini: Al Hafizh Ibnu Hajar keliru dalam menilai hadits ini. Beliau tidak mengomentari hadits ini dalam At Talkhish (239) dan Al Hafizh mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani menukil perkataan Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal yang mengatakan bahwa dia berkata pada ayahnya tentang hadits ini. Ayahnya menjawab bahwa hadits ini dusta dan batil. Syaikh Al Albani sendiri menyimpulkan bahwa hadits ini bathil]

Walaupun hadits ini dinilai batil oleh sebagian ulama, namun banyak ulama yang mengambil faedah dari hadits ini karena hadits ini termasuk dalam keumuman surat Al Maidah ayat 2 di atas.

Penjelasan Ash Shon'ani
“Hadits ini adalah dalil mengenai haramnya menjual anggur yang nantinya akan diolah menjai khomr karena adanya ancaman neraka yang disebutkan dalam hadits. Kalau memang menjual anggur pada orang lain yang diketahui akan menjadikannya khomr, maka ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun jika tidak diketahui seperti ini, Al Hadawiyah mengatakan bahwa hal ini diperbolehkan namun dinilai makruh karena ada keragu-raguan kalau anggur ini akan dijadikan khomr. Adapun jika sudah diketahui bahwa anggur tersebut akan dijadikan khomr, maka haram untuk dijual karena hal ini berarti telah saling tolong menolong dalam berbuat maksiat.

Adapun jika yang dijual adalah nyanyian, alat musik dan semacamnya, maka tidak boleh menjual atau membelinya dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Begitu juga menjual senjata dan kuda pada orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka ini juga tidak diperbolehkan.” (Subulus Salam, 4/139, Mawqi’ Al Islam)

Pelajaran dari Syaikhul Islam
Tidak sah jual beli, jika diketahui akan digunakan untuk yang haram seperti hasil perasan (seperti perasan anggur, pen) yang akan diolah menjadi khomr. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Juga tidak diperbolehkan menjualnya jika ada sangkaan kuat akan digunakan untuk yang haram sebagaimana salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

[Hukum menyewakan rumah pada orang yang akan menggunakan rumah tersebut untuk maksiat]

Adapun para ulama Hanabilah mengatakan, “Seandainya pemilik rumah mengetahui bahwa orang yang menyewa rumah tersebut akan menggunakan rumah itu untuk maksiat seperti digunakan untuk menjual khomr dan selainnya, maka pemilik rumah tidak boleh menyewakannya kepada orang tadi. Sewa tersebut tidak sah. Hukum jual beli dan sewa menyewa dalam hal ini adalah sama. ” (Al Ikhtiyarot Al Ilmiyah Li Syaikhil Islam, hal. 108, Mawqi’ Misykatul Islamiyah)

Jika ada yang bertanya: Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa orang yang membeli ini akan menggunakan perasan tadi untuk dijadikan khomr atau dia meminum langsung?

Syaikh Abu Malik menjawab, “Cukup dengan sangkaan kuatmu. Jika orang tersebut terlihat adalah orang yang sering membeli perasan untuk dijadikan khomr, jadilah haram menjual barang tersebut padanya. Karena jika kita tetap menjualnya berarti kita telah menolongnya dalam berbuat dosa dan melanggar batasan Allah. Padahal Allah melarang bentuk tolong menolong seperti ini. Jika orang tersebut menurut sangkaan kuat tidak demikian, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang.” (Shohih Fiqih Sunnah, 4/409)


Kesimpulan:
Jika barang yang dijual pada asalnya halal lalu diketahui atau berdasarkan sangkaan kuat akan digunakan oleh pembeli untuk maksud yang haram, maka jual beli tersebut tidak sah dan haram.
Jika barang yang dijual pada asalnya halal dan tidak diketahui akan digunakan oleh pembeli untuk yang haram, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang.

Semoga dengan penjelasan yang singkat ini dapat menjawab permasalah di awal tadi.
Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat.

Alhamdu lillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

***
Panggang, Gunung Kidul, 21 Muharram 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/menjual-barang-halal-namun-dibeli-untuk.html

Akibat yang Akan di Rasakan Oleh Pelaku Riba.

Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya): “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]

Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan  memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]

Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah sama sekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut? 

Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):
“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]

Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.

Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]

Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya? 

Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:

Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.

Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan: “Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]

Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas c, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]

Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba
Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]

Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]
Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Para pembaca, cukuplah hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.
 
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari perbuatan riba dan seluruh amalan yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 2/I/IX/1432 H
Diarsipkan:  www.faisalchoir.blogspot.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/06/akibat-yang-akan-di-rasakan-oleh-pelaku.html

10 Faedah Tentang Jual Beli

Oleh : Ustadz Aris Munandar hafizhahullah


1. UANG PALSU

Abu Hamid al-Ghozali asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Mengedarkan uang palsu ketika berjual beli adalah kezholiman karena rekan transaksi -yang tidak mengetahui bahwa uang yang dia terima palsu- akan mendapatkan kerugian gara-gara uang palsu tersebut. Ada ulama yang mengatakan bahwa mengedarkan satu dirham uang palsu itu dosanya lebih besar daripada mencuri uang sebesar seratus dirham.” (Ihya’ Ulumuddin jilid 2 hlm. 84 terbitan Dar al-Fikr Beirut, tahun 1428 H)

2. GHOROR YANG DILARANG
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin ar-Romli -yang digelari Syafi’i kecil- mengatakan, “Syarat kelima untuk barang yang diperjualbelikan adalah barang tersebut diketahui, karena terdapat larangan jual beli ghoror. Ghoror adalah jual beli yang mengandung dua kemungkinan, yang paling dominan adalah kemungkinan yang mengkhawatirkan.” (Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj: 11/253- Program Maktabah Syamilah)

Itulah definisi ghoror yang dipilih oleh Lajnah Da’imah. Ketika menjelaskan alasan diharamkannya MLM, Lajnah Da’imah memfatwakan: “Realita menunjukkan bahwa mayoritas anggota MLM itu merugi, kecuali segelintir orang yang berada di level atas. Jika demikian maka yang dominan adalah orang yang mengalami kerugian. Inilah ghoror. Ghoror adalah suatu keadaan di antara dua kemungkinan, dengan kemungkinan yang paling dominan adalah kemungkinan yang paling mengkhawatirkan (baca: rugi), sedangkan Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam melarang jual beli ghoror sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohih-nya.” (Fatwa Lajnah Da’imah no. 22935 yang dikeluarkan pada tanggal 13 Robi’ul Awwal 1425 H)

3. GHOROR YANG DIBOLEHKAN

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Bahaya yang ada di balik ghoror itu lebih ringan daripada bahaya yang terkandung dalam riba. Karena itu jual beli yang mengandung ghoror itu diperbolehkan jika memang kebutuhan menuntut demikian.

Andai kita haramkan jual beli yang mengandung ghoror dalam kondisi demikian maka bahaya dan kerugian yang timbul malah lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan oleh ghoror ketika itu. Contoh jual beli yang mengandung ghoror yang diperbolehkan adalah jual beli rumah yang tidak diketahui kondisi bagian dalam tembok atau fondasinya. Contoh yang lain adalah jual beli hewan yang bunting atau hewan yang sedang mengeluarkan susu meski bagaimana kondisi janin atau kadar susu tidak diketahui.” [1]

Dari kutipan di atas bisa kita simpulkan bahwa tolok ukur ghoror yang boleh dalam transaksi jual beli menurut Ibnu Taimiyyah adalah:

ضَابِطُ الْغَرَرِ الْـمُبَاحِ: إِذَا كَانَ تَحْرِيْـمُ الْغَرَرِ أَشَدَّ ضَرَرًا مِنْ ضَرَرِ كَوْنِهِ غَرَرًا

“Tolok ukur ghoror yang diperbolehkan adalah jika bahaya atau dampak buruk yang ditimbulkan dari pengharaman ghoror ketika itu lebih besar dibandingkan bahaya yang ditimbulkan oleh ghoror itu sendiri.” [2]

4. TIDAK MENJELASKAN CACAT BARANG

 عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu'anhu berkata, “Aku mendengar Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang muslim adalah saudaranya muslim yang lain. Tidak halal seorang muslim menjual barang yang mengandung cacat kepada saudaranya sesama muslim, kecuali setelah menjelaskan cacat tersebut kepadanya.” [3]

5. SUDAH JUAL BELI PADAHAL BELUM MENGAJI

 فَقَدْ رُوِيَ أَنَّ عُـمَرَ رضي الله عنه  كَانَ يَطُوْفُ بِالسُّوْقِ وَيَضْرِبُ بَعْضَ التَّجَّارِ بِالدُّرَّةِ، لاَيَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا، شَاءَ أَمْ أبَى

Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Kholifah Umar bin Khoththob radhiyallahu'anhu sering berkeliling di pasar lantas memukuli sebagian pedagang dengan tongkatnya sambil mengatakan, “Tidak boleh berdagang di pasar kami kecuali orang yang sudah mengaji (memahami, -edt ) fiqih jual beli. Jika tidak maka mau tidak mau dia pasti akan memakan riba.” [4]

Atsar ini juga disebutkan oleh Syaikh Sholih alu Syaikh dalam buku beliau al-Minzhor Fi Bayan Katsir min al-Akhtho’ asy-Syai’ah hlm. 72, cetakan pertama 1427 H, terbitan Maktab Jaliyah di daerah al-Badi’ah, Riyadh.

6. PASAR DUNIA DAN PASAR AKHIRAT

وَقَدْ رَأَى أَنَّ عُـمَرَ رضي الله عنه رُجُـلاً (يُسَمَّى الْقَصِيْرَ) يَبِيْعُ فِي الْـمَسْجِدِ فَقَالَ لَهُ: يَاهَذَا إِنَّ هَذَا سُوْقُ الْآخِرَةِ فَإِنْ أَرَدْتَ الْـبَيْعَ فَاخْرُجْ إِلَى سُوْقِ الدُّنْـيَا

Khalifah Umar bin Khoththob radhiyallahu'anhu melihat seorang laki-laki bernama al-Qoshir mengadakan transaksi jual beli di masjid. Melihat hal tersebut beliau berkata kepadanya, “Hai penjual, masjid adalah pasar akhirat, jika engkau berjual beli, pergilah ke pasar dunia.”  [5]

Imam Malik rahimahullah menceritakan bahwa ada kabar yang sampai kepada beliau, bahwa Atho’ bin Yasar rahimahullah jika melewati orang yang mengadakan transaksi jual beli di masjid maka beliau memanggilnya lantas menanyainya, “Apa yang Anda bawa dan apa yang Anda inginkan?” Jika orang tersebut mengatakan bahwa, dia ingin menjual barang yang dia bawa maka beliau akan mengatakan, “Pergilah ke pasar dunia karena masjid adalah pasar akhirat.” [6]

7. ANJURAN BERDAGANG

 وَقَالَ صلي الله عليه وسلم : عَلَيْكُمْ بِالتِّجَارَةِ فَإِنَّ فِيْهَا تِسْعَةَ أَعْشَارِ الرِّزْقِ

Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berdagang karena dalam perdagangan terdapat sembilan persepuluh rezeki.”

Mengomentari hadits di atas al-Hafizh al-’Iraqi mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ibrohim al-Harbi dalam Ghorib al-Hadits dari Nu’aim bin Abdurrohman dan para perowinya adalah orang-orang yang tsiqoh. Nu’aim ini dikomentari oleh Ibnu Mandah, ‘Namanya disebut dalam barisan para sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam namun itu tidak benar.’ Abu Hatim ar-Rozi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia adalah tabi’in. Sebab itu, hadits di atas adalah hadits yang mursal.” (Catatan kaki Ihya Ulumuddin juz 2 hlm. 71) Hadits mursal tergolong hadits yang lemah. Ibnu Abdil Barr mengisyaratkan lemahnya hadits ini dalam al-lstidzkar: 8/619, cetakan pertama, 1421 H, dan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no.3402.

8. TERPAKSA BELI DARAH 
Pertanyaan:
“Apa hukum jual beli darah? Bolehkah mengambil kompensasi finansial karena telah mendonorkan darah?”

Jawaban Lajnah Da’imah:
“Darah itu najis sehingga tidak boleh dipergunakan dan tidak boleh dikonsumsi meski dengan alasan terapi ataupun alasan lainnya, baik cara mengonsumsinya dengan mulut ataupun dimasukkan melalui pembuluh darah atau cara lainnya. Alasannya adalah terdapat hadits-hadits yang bersifat umum menunjukkan larangan berobat dengan menggunakan benda najis dan benda haram. Namun, jika penyakit yang menjangkiti seseorang itu sudah sampai kondisi terpaksa (untuk diberi tambahan darah) dan dikhawatirkan hilangnya nyawa jika tidak menggunakan darah (baca: transfusi darah) maka dalam kondisi terpaksa diperbolehkan menerjang hal-hal yang terlarang.

Jika kondisi si sakit dikhawatirkan meninggal dunia jika tidak mendapatkan tambahan darah maka dibolehkan bahkan boleh jadi diwajibkan untuk melakukan transfusi darah dalam rangka menyelamatkan nyawa. Adapun membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kantong darah tidak diperbolehkan karena jika Alloh mengharamkan sesuatu maka Alloh juga mengharamkan untuk memperjualbelikannya. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan kantong darah tanpa jual beli maka orang yang membutuhkan darah diperbolehkan menyerahkan kompensasi finansial namun haram bagi penjual kantong darah untuk mengambil kompensasi tersebut.”

Fatwa di atas ditandatangani oleh Ibnu Baz selaku ketua Lajnah Da’imah dan Abdurrozzaq Afifi sebagai wakil ketua serta Abdulloh bin Ghadayan dan Abdulloh bin Mani’ selaku anggota. [7]

9. HALALKAH BERJUALAN DI TK?
Sahkah transaksi jual beli dengan anak kecil?
Pertama, anak kecil yang belum tamyiz (baca: kurang dari tujuh tahun), transaksi jual beli yang dia lakukan tidak sah, sebagaimana menurut para ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.
Kedua, anak kecil yang sudah tamyiz, ada perselisihan di antara para ulama apakah transaksi jual beli yang dia lakukan sah ataukah tidak.
  • Pendapat pertama, transaksi jual beli yang dia lakukan itu tidak sah baik walinya mengizinkan dia melakukan transaksi jual beli ataupun tidak. Alasannya, anak tersebut belum mukal-laf sehingga statusnya serupa dengan anak kecil yang belum tamyiz. Inilah pendapat Syafi’iyyah dan Abu Tsaur.
  • Pendapat kedua, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah tamyiz itu sah, asalkan walinya mengizinkannya untuk melakukan transaksi. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq bin Rohawaih, Abu Hanifah, dan Su-fyan ats-Tsauri.
  • Pendapat ketiga, boleh mengadakan transaksi meski tanpa izin wali, namun sah tidaknya transaksi tergantung dari apakah wali mengizinkannya ataukah tidak. Inilah salah satu pendapat Imam Abu Hanifah. (Shohih Fiqh as-Sunnah karya Abu Malik Kamal jilid 4 hlm. 261-262, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo)
Ringkasnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil sesudah usia tamyiz sah jika wali (orang tua)nya mengizinkannya untuk mengadakan transaksi.

10. MAKAN PADAHAL BELUM TAHU HARGANYA

Kebanyakan orang yang masuk ke sebuah warung makan, mereka langsung memesan makanan kemudian menikmati pesanannya tersebut tanpa mengetahui harga makanan yang dipesan. Mereka mengandalkan kepercayaan bahwa penjual hanya akan pasang tarif sesuai dengan umumnya harga makanan tersebut di daerah setempat. Bolehkah bentuk jual beli semisal ini? Apakah jual beli semacam ini termasuk jahalah tsaman (tidak diketahui harganya) yang merupakan bagian dari jual beli ghoror yang terlarang?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cenderung menguatkan pendapat bolehnya transaksi jual beli seperti ini. (lihat Manzhumah Ushul Fiqh wa Qowa’iduhu karya Ibnu Utsaimin hlm. 265, terbitan Dar Ibnul Riyadh, cetakan kedua, 1430 H)
_________________
Footnote:
[1].    al-Qowa’id an-Nuroniyyah al-Fiqhiyyah karya Ibnu Taimiyyah — tahqiq Ahmad bin Muhammad al-Kholil hlm. 180, terbitan Dar Ibnul Jauzi, Damam, KSA, cetakan kedua 1428 H
[2].    Faedah dari Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili ketika menjelaskan kaidah-kaidah mu’amalah yang tercantum dalam al-Qowa’id an-Nuroniyyah
[3].    HR. Ibnu Majah no. 2246, dinilai shohih oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah hlm. 385 ‘inayah Syaikh Masyhur Hasan alu Salman terbitan Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, cetakan kedua 1429 H
[4].    Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq jilid 3 hlm. 125, terbitan Dar al-Fikr, Beirut, cetakan keempat, 1403 H
[5].    al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz 17 hlm. 179, terbitan Wizaroh al-Auqof wa asy-Syu’un al-Islamiyyah, Kuwait, cetakan keempat, 1427 H
[6].    al-Muwatho’ no. 601, jilid 2 hlm. 244 terbitan Mu’assasah Zayid bin Sulthon, cetakan pertama, 1425 H
[7].    Sumber: Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 7 (Rajab s.d. Sya’ban 1403 H) hlm. 112-113. Fatwa di atas juga bisa dijumpai dalam Fiqh wa Fatawa al-Buyu‘ yang dikumpulkan oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdil Maqshud hlm. 283-284 terbitan Adhwa’ as-Salaf, Riyadh, cetakan kedua, 1417 H, serta di situs resmi Darul Ifta! di Riyadh http://www.alifta.net/

Sumber:
•    Majalah Al-Furqon Gresik, No.110 Edisi 7 Tahun Ke-10_1432 H/ 2011 M
•    Ebook yang didownload dari www.ibnumajjah.wordpress.com. Download Ebooknya disini: 10 Faedah Tentang Jual Beli atau ZIP file

http://faisalchoir.blogspot.com/2012/08/10-faedah-tentang-jual-beli.html

6 Faedah Seputar Pengobatan dan Penyakit.

Oleh: Ustadz Aris Munandar hafidzahullah

I. OBAT ROHANI

Ibnu at-Tin mengatakan, “Ruqyah dengan mu’awidzat (Surat al-Ikhlâsh, al-Falâq, dan an-Nâs) dan nama-nama Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah obat rohani. Jika obat ini dibaca oleh lisan orang yang bertakwa, maka dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla kesembuhan akan terwujud. Tatkala manusia semacam itu sulit ditemukan, maka banyak orang lantas menggunakan obat jasmani.”[1]

II. SEMBUH KARENA SUGESTI

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Obat adalah sebab datangnya kesembuhan dan sebab itu ada dua macam. Pertama, sebab kesembuhan yang berdasarkan syari’at semisal dengan membaca al-Qur’an dan do’a. Kedua, sebab kesembuhan berdasarkan realita semisal obat-obatan berupa materi-materi tertentu yang boleh jadi diketahui melalui jalan syari’at –semisal madu- atau diketahui kegunaannya berdasarkan pengalaman empirik –semisal umumnya obat-obatan-. Untuk obat yang diketahui dari percobaan empirik, pengaruh obat tersebut harus berupa pengaruh langsung, bukan pengaruh karena imajinasi dan anggapan semata (baca: sugesti). Jika suatu materi itu diketahui memiliki pengaruh langsung yang empirik pada penyakit, maka materi tersebut bisa dijadikan sebagai obat yang akan mendatangkan kesembuhan dengan izin Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jika pengaruh materi obat tersebut hanya semata anggapan dan imajinasi pasien, sehingga setelah mendapatkan pengobatan tersebut pasien merasa lega dikarenakan anggapan yang sudah ada sebelumnya, lalu rasa sakit berkurang atau bahkan obat tersebut menyebabkan kenyamanan jiwa, sehingga menyebabkan penyakit hilang secara total, maka hal ini tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur. Kondisi tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk meyakini bahwa materi tersebut memang benar-benar obat. Manusia tidak boleh larut dalam anggapan dan imajinasi semata.”[2]

III. BOLEHKAH KALIMAT, ‘DOKTER ITU MENYEMBUHKAN’?

Ath-Thibi mengatakan, “Jika Anda bertanya bagaimana cara mengkompromikan hadits ini (yaitu hadits yang menunjukkan bahwa anggota badan manusia itu mengikuti lisan, Pent.) dengan hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ‘Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada sekerat daging. Jika ia baik, maka seluruh badan akan baik. Jika ia rusak, maka maka seluruh badan akan rusak. Itulah hati.’ (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599 dari an-Nu’man bin Basyir)? Jawabanku adalah bahwa lisan merupakan penerjemah hati dan wakil hati untuk anggota badan yang lahiriyah. Maka jika dikatakan bahwa kondisi lisan itu menentukan kondisi anggota badan yang lain, maka itu adalah sekedar ungkapan majaz (kata kiasan) sebagaimana kaliamat, ‘Dokter itu menyembuhkan pasien.’”[3]

IV. KHUSUS KURMA AJWAH?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Jika seorang yang akan berangkat shalat Idul Fitri itu memakan tujuh butir kurma maka itu adalah suatu hal yang baik mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa pagi-pagi memakan tujuh butir kurma dari daerah Aliyah –dalam redaksi yang lain:’tujuh butir kurma ajwah’- maka pada hari itu dia tidak akan terkena racun dan sihir.’ (HR. Bukhari no. 5445 dan Muslim no. 155 dari Sa’ad bin Abi Waqqash)

Subhanallah, perlindungan dan penjagaan dengan sebab tujuh kurma dari daerah Aliyah –nama suatu tempat di kota Madinah- atau tujuh butir kurma ajwah. Bahkan guru kami Ibnu Sa’di berpandangan bahwa kurma daerah Aliyah atau kurma ajwah adalah sekedar contoh, karena yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah semua jenis kurma. Berdasarkan pendapat ini, seorang itu bisa berpagi-pagi pada setiap harinya memakan tujuh butir kurma dari jenis apapun.”[4]

حدثنا علي حدثنا مروان أخبرنا هاشم أخبرنا عامربن سعد عن أبيه رضي الله عنه قال قال النبي صلي الله عليه و سلم < من اصطبح كل يوم تمرات عجوة، لم يضره سم ولا سحر ذلك اليوم إلى الليل> وقال غيره < سبع تمرات>

Menceritakan kepada kami Ali: Menceritakan kepada kami Marwan: Mengabarkan kepada kami Hasyim: Mengabarkan kepada kami Amir bin Sa’ad dari bapaknya (Sa’ad bin Abi Waqqash) radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa saja yang setiap hari berpagi-pagi memakan tujuh butir kurma ajwah, maka sihir dan racun tidak akan membahayakannya sejak pagi itu hingga malam tiba.’” Menurut versi perawi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tujuh butir kurma.” (HR. Bukhari no. 5435)

Boleh jadi ungkapan “tujuh butir kurma” yang tidak mensyaratkan harus ajwah adalah dasar pijakan Ibnu Sa’di rahimahullah yang juga disetujui oleh Ibnu Utaimin rahimahullah untuk mengatakan bahwa keutamaan di atas berlaku untuk semua jenis kurma.

V. UPAH BEKAM

Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan upah tukang bekam adalah upah yang diambil oleh tukang bekam karena membekam. Sedangkan pemberian yang diberikan kepada tukang bekam tanpa ada kesepakatan di depan maka hukumnya diperbolehkan oleh sebagian ulama karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi sesuatu kepada orang yang membekam beliau. Mereka, sebagian ulama itu, mengatakan bahwa seandainya upah tukang bekam itu haram, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan sesuatu kepadanya. Menurut mereka, hadits yang melarang upah bekam itu hanya berlaku jika besaran upah ditentukan di muka.”[5]

VI. RUQYAH SYAR’IYYAH CENTER

Pertanyaan: “Apa pendapat Anda mengenai membuka ‘Ruqyah Syar’iyyah Center’?”

Jawaban Syaikh Shalih al-Fauzan –hafidzahullah-: “Hal itu tidak boleh dilakukan karena tindakan tersebut akan membuka pintu fitnah (penyimpangan) dan membuka pintu bagi orang-orang yang cuma akal-akalan untuk mendapatkan keuntungan. Di samping itu, hal semacam ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Mereka tidak pernah membuka ‘griya ruqyah’ atau ‘ruqyah center’. Berlonggar-longgar dalam masalah ini hanya akan menimbulkan dan akan menyebabkan timbulnya kerusakan.”

Syaikh Shafwat Nuruddin dalam artikel yang beliau tulis lalu diterbitkan dalam majalah at-Tauhid, Mesir, edisi 8 hlm. 19 berhati-hati dalam menggunakan istilah ini. Beliau mengatakan, “Terapi atau pengobatan itu identik dengan obat-obatan medis, karenanya aku tidak setuju dengan istilah terapi atau pengobatan dengan al-Qur’an namun sebutlah dengan istilah ruqyah atau nusyrah.”[6]

[Sumber: majalah Al-Furqan Edisi 6 Tahun kesebelas Muharram 1433 H, hal. 30-31]
Artikel: http://maktabahabiyahya.wordpress.com/


[1] Al-Itqân fi ‘Ulûmil Qur’ân karya as-Suyuthi juz 2 hlm. 165-166 dalam bahasan “an-Nau’ al-Khâmis was-Sab’ûn fî Khawâshil Qur’ân”, terbitan Darul Fikr, Beirut.
[2] Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil Ibn ‘Utsaimîn jilid I hlm. 110 no. Fatwa 49, terbitan Dar Tsuraya, Riyadh, cet.kedua, 1426 H.
[3] Tuhfah al-Ahwadzî karya Abul Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahman al-Mubarakfuri tahqiq Abdurrahman Muhammad Utsman juz 7 hlm. 88-89, terbitan Darul Fikr, Beirut.
[4] Asy-Syarh al-Mumti’ jilid 5 hlm. 123 bab “Shalat Idain”, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cet.pertama, Sya’ban 1423 H
[5] Ad-Durar as-Saniyah juz 6 hlm. 8, cet.kelima, 1414 H
[6] Burhân asy-Syara’ fi Itsbât al-Mass wa ash-Shar’ karya Syaikh Ali al-halabi hlm. 47 pada bagian catatan kaki, Maktabah Makkiyyah, Makkah, dan Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. 1417 H
 
 http://faisalchoir.blogspot.com/2012/08/6-faedah-seputar-pengobatan-dan-penyakit.html

Keutamaan dan Bahaya Hutang Piutang Menurut Pandangan Islam.

Oleh: Ustadz Muhammad Wasitho, Lc
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.(1)

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.(2)

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)

Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. . Hadits ini di-hasan-kan
tIbnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud  oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)

Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam pernah berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).
t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash

Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.”(HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah radhiyallahu'anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang / pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. 
Dalilnya firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.

Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7)

[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik 
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)

وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu ia berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)

Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Shallallahu'alaihi wa sallam akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah Shallallahu'alaihi wa sallam akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Shallallahu'alaihi wa sallam membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Shallallahu'alaihi wa sallam melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.

Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)

Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. 
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
tDari Samurah  “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu'alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu'alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)

[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. .)
t(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah

[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)

قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.”(HR. Bukhari III/1272 no.3266)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
_________
Catatan Kaki:
(1) Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
(2) Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
(3) HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(4) HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
(5) Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316.
(6) Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147.
(7) Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51.

[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010]
https://abufawaz.wordpress.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/01/keutamaan-dan-bahaya-hutang-piutang.html