Senin, 16 Desember 2013

Tata Cara Khutbah Jum’at


Kita meyakini, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri teladan terbaik dalam beragama dan beribadah kepada Allah. Oleh karenanya, hendaknya kita mencontoh Beliau dalam berkhutbah. Dan pasti, cara khutbah Nabi adalah yang paling baik dan utama. Berikut adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara ringkas dalam menyampaikan khutbah Jum’at:

Pertama : Khathib naik mimbar, lalu mengucapkan salam kepada hadirin.
Kedua : Kemudian duduk, menanti adzan selesai, sambil menirukan adzan.
Ketiga : Kemudian berdiri untuk berkhutbah dan membukanya dengan:
• Hamdalah (bacaan alhamdulillah).
• Sanjungan kepada Allah,
• Syahadatain,
• Bacaan shalawat Nabi,
• Bacaan ayat-ayat taqwa,
• Dan perkataan amma ba’d.
Semua ini dapat dilihat pada contoh khutbah yang akan kami sampaikan insya Allah.
Keempat : Khathib berkhutbah dengan berdiri, menghadapkan wajah kepada jama’ah.
Kelima : Duduk diantara dua khutbah, dengan tidak berbicara pada saat duduknya.
Keenam : Khutbah hendaklah sebentar, shalat lebih panjang, namun keduanya itu sedang.
Ketujuh : Khathib hendaklah menjiwai khutbahnya.
Kedelapan: Berkhutbah dengan perkataan yang jelas dan tidak berbicara cepat.
Kesembilan : Jika ada keperluan, boleh menghentikan khutbahnya sementara. Seperti mengingatkan shalat tahiyatul masjid bagi orang yang baru datang, menegur hadirin yang ramai, dan semacamnya.
Kesepuluh : Jika berdo’a, mengisyaratkan dengan jari telunjuk.
Kesebelas : Setelah selesai berkhutbah, mengimami shalat.
Adapun Dalil-Dalil Hal Di Atas Adalah Sebagai Berikut:
Pertama : Khathib naik mimbar, lalu mengucapkan salam kepada hadirin, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdullah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah naik mimbar biasa mengucapkan salam”. [HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah].
Bagaimana bentuk mimbar Rasulullah? Hal ini disebutkan dalam banyak hadits shahih, antara lain:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ وَكَانَ مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصِيرًا إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Dan mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pendek. Mimbar Beliau hanyalah tiga tingkat”. [HR Ahmad, 1/268-269. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi dalam kitab Al Jauhar Fi ‘Adadi Darajatil Mimbar, hlm. 61-64]
Dalam hadits lain disebutkan, bahwa mimbar Nabi itu dua tingkat, kemudian yang ke tiga tempat duduknya. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1777, dan lainnya. Lihat kitab Al Jauhar Fi ‘Adadi Darajatil Mimbar, hlm. 55-56].
Sesungguhnya tidak ada perselisihan antara kedua hadits itu, karena mimbar tersebut ada tiga tingkat, tingkat ke dua untuk berdiri, dan tingkat ke tiga untuk duduk, wallahu a’lam.
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dari Saib bin Yazid, dia berkata: “Dahulu adzan yang pertama pada hari Jum’at ketika imam telah duduk di atas mimbar. Itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Ketika Utsman Radhiyallahu ‘anhu (menjadi Khalifah), dan orang-orang telah banyak, ia menambah adzan yang ketiga di Zaura”. Abu Abdullah (yaitu Imam Bukhari) berkata,”Zaura adalah satu tempat di pasar di kota Madinah.” [HR Bukhari, no. 912]
Adapun khathib menirukan adzan, disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ مُعَاوِيَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا فَلَمَّا أَنْ قَضَى التَّأْذِينَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمَجْلِسِ حِينَ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَقُولُ مَا سَمِعْتُمْ مِنِّي مِنْ مَقَالَتِي
“Dari Abu Umamah Sahl bin Hunaif, dia berkata: Aku mendengar Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang sedang duduk di atas mimbar, ketika muadzin berkata “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, Mu’awiyah berkata “Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Muadzin berkata “Asyhadu alla ilaha illallah”, Mu’awiyah berkata: “Dan saya”. Muadzin berkata “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, Mu’awiyah berkata: “Dan saya”. Setelah muadzin menyelesaikan adzannya, Mu’awiyah berkata: “Wahai, manusia. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah n di atas tempat duduk ini -ketika muadzin beradzan-, Beliau mengatakan apa yang kamu dengar dariku, yaitu perkataanku”. [HR Bukhari, no. 914].
Kedua : Kemudian berdiri untuk berkhutbah dan membukanya dengan: hamdalah, sanjungan kepada Allah, syahadatain, shalawat, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba’d. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh banyak hadits, diantaranya hadits Abdullah. Dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami khutbah hajat (yaitu):
الْحَمْدُ لِلَّهِ (نَحْمَدُهُ وَ) نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا (وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا) مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ) وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ) ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ) (أَمَّا بَعْدُ)
“Dari Abdullah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari kami khutbah untuk keperluan: “Alhamdulillah…,” artinya Segala puji bagi Allah (kami memujiNya), mohon pertolongan kepadaNya, dan memohon ampunan kepadaNya. Serta kami memohon perlindungan kepadaNya dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan kami.
Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi, kecuali Allah (semata, tidak ada sekutu bagiNya), dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusanNya.
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran:102]
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [An Nisa’:1]
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [Al Ahzab: 70, 71]. (Amma ba’du).[HR Ahmad dan lainnya. Syaikh Al-Albani mengumpulkan sanad-sanad hadits ini di dalam sebuah kitab kecil dengan judul Khutbah Hajah]
Setelah memaparkan sanad-sanad hadits khutbah hajah, Syaikh Al Albani berkata dalam penutup kitab kecil beliau “Khutbah Hajah”: “Dari hadits-hadits yang telah lalu, menjadi jelas bagi kita bahwa khutbah ini (yaitu, perkataan innal hamda lillah…) digunakan untuk membuka seluruh khutbah-khutbah, baik khutbah nikah, khutbah Jum’at, atau lainnya”.[Khutbah Hajah, hlm. 31, karya Syaikh Al-Albani]
Walaupun membuka khutbah Jum’at dengan khutbah hajah sebagaimana di atas hukumnya bukan wajib, namun pastilah merupakan keutamaan, karena diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari khutbah hajah itu kita mengetahui bahwa khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuka dengan: hamdalah, pujian kepada Allah, syahadatain, bacaan ayat-ayat taqwa, dan perkataan amma ba’d.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kecuali Beliau membuka dengan hamdalah, membaca syahadat dengan dua kalimat syahadat, dan menyebut dirinya sendiri dengan nama diri beliau”. [Zadul Ma’ad, 1/189]
Tentang membaca syahadat di dalam khutbah, ditegaskan juga dalam hadits lain, sebagaimana hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
“Tiap-tiap khutbah yang tidak ada tasyahhud (syahadat) padanya, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong” [HR Abu Dawud, kitab Al-Adab, Bab : Di dalam Khutbah. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Dawud]
Membaca shalawat di dalam khutbah merupakan sunnah dan keutamaan, sebagaimana dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dalam khutbahnya. Disebutkan dalam riwayat di bawah ini:
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ أَبِي مِنْ شُرَطِ عَلِيٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ تَحْتَ الْمِنْبَرِ فَحَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ صَعِدَ الْمِنْبَرَ يَعْنِي عَلِيًّا رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فَحَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَالثَّانِي عُمَرُ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ يَجْعَلُ اللَّهُ تَعَالَى الْخَيْرَ حَيْثُ أَحَبَّ
Dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dia berkata: Dahulu bapakku termasuk pengawal Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan berada di bawah mimbar. Bapakku bercerita kepadaku bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu naik mimbar, lalu memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjungNya, dan bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sebaik-baik umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, yang kedua adalah Umar Radhiyallahu a’nhuma“. Ali Radhiyallahu juga berkata: “Alloh menjadikan kebaikan di mana Dia cintai” [Riwayat Ahmad di dalam Musnad-nya, 1/107, dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]
Ketiga : Khathib berkhutbah dengan berdiri dan menghadapkan wajah kepada jama’ah, dan jama’ah menghadap wajah kepada khathib. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhutbah dengan berdiri pada hari Jum’at, kemudian Beliau duduk, kemudian Beliau berdiri” [HR Muslim, no. 861]
Imam Bukhari berkata: “Bab: Imam menghadap kepada kaum (jama’ah), dan orang-orang menghadap kapada imam ketika dia berkhutbah. Ibnu Umar dan Anas menghadap kepada imam”.
Ibnul Mundzir mengatakan: “Aku tidak mengetahui perselisihan diantara ulama tentang hal itu”. [Fathul Bari, 2/489. Penerbit: Darul Hadits, Kairo].
Ibnu Hajar mengatakan: “Diantara hikmah makmum menghadap kepada imam, yaitu bersiap-siap untuk mendengarkan perkataannya, dan melaksanakan adab terhadap imam dalam mendengarkan perkataannya. Jika makmum menghadapkan wajah kepada imam, dan menghadapkan kepada imam dengan tubuhnya, hatinya, dan konsentrasinya, hal itu lebih mendorong untuk memahami nasihatnya dan mencocoki imam terhadap apa yang telah disyari’atkan baginya untuk dilaksanakan”. [Fathul Bari, 2/489. Penerbit: Darul Hadits, Kairo].
Keempat : Duduk diantara dua khutbah, tidak berbicara ketika duduknya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir, dia berkata,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ قَعْدَةً لَا يَتَكَلَّمُ
“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah berdiri, lalu duduk sebentar, Beliau tidak berbicara”. [HR Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani].
Kelima : Khutbah hendaklah sebentar, shalat lebih panjang, namun keduanya itu sedang.
قَالَ أَبُو وَائِلٍ خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا
“Abu Wa’il berkata: ’Ammar berkhutbah kepada kami dengan ringkas dan jelas. Ketika dia turun, kami berkata,”Hai, Abul Yaqzhan (panggilan Ammar). Engkau telah berkhutbah dengan ringkas dan jelas, seandainya engkau panjangkan sedikit!” Dia menjawab,”Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya panjang shalat seseorang, dan pendek khutbahnya merupakan tanda kefahamannya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah! Dan sesungguhnya diantaranya penjelasan merupakan sihir’.” [HR Muslim, no. 869].
Dalam hadits lain disebutkan, dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
“Aku biasa shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka shalat Beliau sedang, dan khutbah Beliau sedang”. [HR Muslim, no. 866].
Adapun ukuran panjang shalat Jum’at dapat dilihat dari kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa membaca surat Al A’la dan Al Ghasyiyah, atau Al Jumu’ah dan Al Munafiqun. Sehingga khutbah Jum’at hendaklah tidak lebih lama dari itu. Dari An Nu’man, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca di dalam shalat dua hari raya dan shalat Jum’at dengan: Sabbihisma Rabbikal a’la dan Hal ataaka haditsul ghasyiyah”. [HR Muslim, no. 878].
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Abu Hurairah berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca keduanya (surat Al A’la dan Al Ghasyiyah) pada hari Jum’at”. [HR Muslim, no. 862].
Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Al ‘Ablaani berkata,”Memanjangkan khutbah merupakan cacat yang seharusnya ditinggalkan oleh para khathib. Mereka lebih mengerti daripada yang lain, bahwa pengunjung masjid pada shalat Jum’at ada pemuda, ada orang tua pikun yang tidak mampu menahan wudhu’ dan kesucian sampai waktu yang lama, ada orang yang memiliki kebutuhan lain, ada orang yang lemah, orang sakit, dan ada orang-orang yang memiliki halangan. Sehingga memanjangkan khutbah akan sangat menyusahkan mereka. Selain itu, memanjangkan khutbah akan membangkitkan kebosanan, bahkan kejengkelan terhadap khathib dan khutbahnya. Sebagaimana dikatakan (dalam pepatah): Sebaik-baik perkataan adalah yang ringkas dan jelas, dan tidak panjang lebar yang membosankan.” [Imamatul Masjid, hlm. 95-96].
Ketika membicarakan tentang sunnah memendekkan khutbah Jum’at, Syaikh Ahmad bin Muhammad Alu Abdul Lathif Al Kuwaiti berkata: “Wahai, khathib yang membuat orang menjauhi dzikrullah (khutbah), karena engkau memanjangkan perkataan! Tahukah engkau, bahwa diantara sunnah khutbah Jum’at adalah meringkaskannya dan tidak memanjangkannya. Dan sesungguhnya memanjangkan khutbah Jum’at menyebabkan para hadirin lari (tidak suka), menyibukkan fikiran, dan tidak puas dengan tuntunan Nabi Pilihan (Muhammad) n serta para pendahulu umat ini yang baik-baik”. [Al ‘Ujalah Fi Sunniyyati Taqshiril Khutbah, hlm. 6].
Kalau kita memperkirakan lama khutbah Jum’ah yang baik, mungkin sekitar 15 menit. Wallahu a’lam.
Keenam : Khathib hendaklah menjiwai khutbahnya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ
“Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata,”Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan mengatakan:’ Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi’, ‘Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore’.” [HR Muslim, no. 867].
Imam Nawawi berkata,”Hadits ini dijadikan dalil, bahwa khathib disukai yang membesarkan perkara khutbah (yakni serius dan sungguh-sungguh dalam masalah khutbah, Pen.), meninggikan suaranya, membesarkan perkataannya. Dan hal itu (hendaklah) sesuai dengan tema yang dia bicarakan, yang berupa targhib (dorongan kepada kebaikan) dan tarhib (ancaman terhadap keburukan). Dan kemungkinan kemarahan Beliau yang sungguh-sungguh yaitu ketika Beliau memperingatkan perkara yang besar dan urusan yang penting.” [Al Minhaj, 6/155-156. Dinukil dari kitab Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 16, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir].
Ketujuh : Berkhutbah dengan perkataan yang jelas, pelan-pelan, dan tidak berbicara dengan cepat, sebagaimana hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha,
…لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ
“… Beliau tidak berbicara cepat sebagaimana engkau berbicara cepat.”[HR
Bukhari, Muslim].
Dalam riwayat lain, disebutkan:
وَلَكِنَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِكَلاَمٍ بَيِّنٍ فَصْلٍ, يَحْفَظُهُ مَنْ جَلَسَ إِلَيْهِ
“Tetapi Beliau berbicara dengan pembicaraan yang terang, jelas, orang yang duduk bersama Beliau dapat menghafalnya”. [HR Tirmidzi di dalam Asy Syamail, no. 191].
Dalam riwayat lain, disebutkan:
…يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ
“Setiap orang yang mendengarnya akan memahaminya” [HR Abu Dawud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memperbanyak perkataan dalam khutbahnya, juga tidak mengiringkan perkataan mengikuti lainnya, sehingga perkataan itu masuk ke perkataan lainnya. Beliau tidak tergesa-gesa dalam menyampaikan khutbah. Bahkan Beliau melambatkan perkataan dan tidak terburu-buru dalam mengeluarkannya. Metode ini, jelas memberikan kemampuan para pendengar untuk memahami khutbah dan mencapai tujuannya. [Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 36, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir]
Kedelapan : Jika ada keperluan, khatib boleh menghentikan khutbahnya sementara. Seperti mengingatkan orang yang hadir tentang shalat tahiyatul masjid, menegur hadirin yang ramai, dan semacamnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir, bahwa Sulaik masuk masjid pada hari Jum’at sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, lalu ia duduk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Hai, Sulaik! Berdirilah, lalu shalatlah dua raka’at, dan ringkaskanlah dua raka’at itu.” Kemudian Beliau bersabda,”Jika salah seorang diantara kamu datang, pada hari Jum’at, ketika imam sedang berkhutbah, hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaklah dia meringkaskan dua raka’at itu.” [HR Muslim, no. 875/59].
Begitu juga Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah menegur seorang sahabat yang datang terlambat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, yang artinya: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Umar bin Al Khaththab sedang berdiri dalam khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki -dari Muhajirin yang awal diantara sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – masuk (masjid). Maka Umar menegurnya,”Jam berapa sekarang?” Laki-laki itu menjawab,”Aku disibukkan, sehingga aku tidak pulang kepada keluargaku sampai aku mendengar adzan, lalu aku tidak menambah kecuali sekedar berwudhu.” Maka Umar mengatakan,”Dan berwudhu’ saja? Padahal engkau telah mengetahui, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memerintahkan mandi.” [HR Bukhari, no. 878].
Kesembilan : Jika berdo’a, mengisyaratkan dengan jari telunjuk.
عَنْ عُمَارَةَ ابْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
“Dari ‘Umarah bin Ruaibah, dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar sedang mengangkat kedua tangannya. Maka ‘Umarah berkata: “Semoga Allah memburukkan dua tangan itu! Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah lebih dari mengisyaratkan dengan tangannya begini”. Dia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya”. [HR Muslim, no. 874]
Di dalam riwayat Ahmad disebutkan, bahwa perbuatan itu dilakukan ketika berdo’a dalam khutbah.
Tentang khathib berdo’a di atas mimbar ini, Syaikh Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir berkata: (Termasuk penyimpangan para khathib, yaitu) mendo’akan kebaikan untuk orang-orang tertentu setiap Jum’at, dan selalu menetapi hal itu seperti (menetapi) Sunnah. Adapun mendo’akan kebaikan untuk kaum muslimin semuanya, dan untuk penguasa secara khusus terus-menerus, maka ini perkara yang disyari’atkan, tidak terlarang. Telah diriwayatkan dari Abu Musa, bahwa jika ia berkhutbah, ia memuji Allah, menyanjungNya, memohonkan shalawat kepada Allah untuk Nabi, dan mendo’akan kebaikan untuk Abu Bakar dan Umar. Ibnu Qadamah berkata: ”Khathib disukai mendo’akan kebaikan untuk mukminin dan mukminat serta untuk dirinya dan hadirin. Jika dia mendo’akan kebaikan untuk penguasa kaum muslimin, maka itu merupakan kebaikan … Karena jika penguasa kaum muslimin baik, padanya juga terdapat kabaikan kaum muslimin. Maka do’a kebaikan untuk penguasa kaum muslimin, merupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin, dan itu disukai, bukan makruh”. [Al Mughni, 3/181. Dinukil dari Hadyun Nabi Fi Khutbatil Jum’ah, hlm. 16].
Kesepuluh : Setelah selesai berkhutbah, kemudian mengimami shalat. Dalam hadits Abu Hurairah , Nabi bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata kepada kawanmu “diamlah!”, pada hari Jum’at, sementara imam sedang berkhutbah, maka engkau telah mengatakan perkataan sia-sia”. [HR Bukhari, no. 934; Muslim, no. 851].
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “sementara imam sedang berkhutbah” ini menunjukkan, bahwa imam shalat adalah khathib Jum’at. Dan ini merupakan kebiasaan kaum muslimin sejak dahulu, sehingga kita tidak sepantasnya menyelisihinya. Wallahu a’lam bish shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]