Bila jumlah makmum banyak dan dapat membentuk satu atau lebih shaf
(barisan), maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
ahlul ahlam wan nuha (orang yang berakal baligh dan berilmu) untuk
berada di belakang imam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ
“Hendaknya (yang) berada di dekatku (di belakangku) dari kalian
adalah orang yang berakal dan berilmu. Kemudian diikuti orang-orang
berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah (suara) keributan pasar-pasar”. [HR
Muslim, no. 255].
Imam Nawawi menyatakan, dalam hadits ini terdapat perintah, yakni
mendahulukan yang paling utama lalu di bawahnya, untuk yang berada di
belakang imam, karena ia (ahlul ahlam wan nuha, Red) lebih pantas
dimuliakan. Dan terkadang imam membutuhkan pengganti, sehingga ia lebih
berhak. Juga karena ia akan dapat memperingatkan imam, kalau imam lupa
ketika selainnya tidak mengetahuinya. Juga untuk menerapkan dengan baik
tata cara shalat, menjaganya dan menukilkannya, serta mengajari tata
cara tersebut sehingga orang yang berada di belakangnya mencontoh
perbuatannya.[1]
Hal seperti ini, tampak dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَلِيَهُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senang menjadikan
orang-orang Muhajirin dan Anshar berada di belakangnya, agar mereka
mencontoh dari beliau.” [Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah, 977 dan
Ahmad, 3/100, hadits shahih Lihat Shahih Fiqhus Sunnah, 1/534].
Oleh karena itu, saat melaksanakan shalat berjama’ah, semestinya
memperhatikan hal ini. Yaitu memberi tempat kepada ahlul ahlam wan nuha,
supaya berdiri di belakang imam. Sehingga shalat berjama’ah yang
dilaksanakan tersebut bersesuaian dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam hal ini, ahlul ahlam wan nuha lebih berhak menempati shaf awal.
Bahkan diperbolehkan memotong shaf agar dapat berdiri di belakang imam,
seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat yang mulia, yaitu Ubaiy bin
Ka’ab, sebagaimana diceritakan Qais bin ‘Abad :
بَيْنَا أَنَا فِي الْمَسْجِدِ فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ فَجَبَذَنِي
رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي جَبْذَةً فَنَحَّانِي وَقَامَ مَقَامِي فَوَاللَّهِ
مَا عَقَلْتُ صَلَاتِي فَلَمَّا انْصَرَفَ فَإِذَا هُوَ أُبَيُّ بْنُ
كَعْبٍ فَقَالَ يَا فَتَى لَا يَسُؤْكَ اللَّهُ إِنَّ هَذَا عَهْدٌ مِنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا أَنْ نَلِيَهُ
ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَقَالَ هَلَكَ أَهْلُ الْعُقَدِ وَرَبِّ
الْكَعْبَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ مَا عَلَيْهِمْ آسَى وَلَكِنْ
آسَى عَلَى مَنْ أَضَلُّوا قُلْتُ يَا أَبَا يَعْقُوبَ مَا يَعْنِي
بِأَهْلِ الْعُقَدِ قَالَ الْأُمَرَاءُ
“Ketika aku berada di suatu masjid di barisan pertama, tiba-tiba ada
seseorang di belakangku yang menarikku dengan kuat, lalu ia menggeserku
dan menempati tempatku tersebut. Demi Allah, aku tidak dapat khusyu’
dalam shalat. Ketika selesai, ternyata ia adalah Ubaiy bin Ka’ab. Lalu
beliau berkata: “Wahai anak muda, semoga Allah melindungimu dari
kejelekan. Sesungguhnya ini adalah wasiat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada kami, untuk berada di belakang beliau,” kemudian Ubaiy
bin Ka’ab pun menghadap kiblat dan berkata: “Demi Rabb Ka’bah, celakalah
ahlul ‘uqdah,” tiga kali. Kemudian beliau berkata : “Demi Allah, aku
tidak merasa sedih atas mereka, namun merasa sedih atas orang yang
mereka sesatkan,” lalu aku bertanya: “Wahai Abu Ya’qub, siapa yang
dimaksud ahlul ‘uqdah itu?” Beliau menjawab,”Penguasa.” [HR an Nasa-i,
2/69, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no.1573. Dikatakan oleh
Masyhur Hasan dalam al Qaulul Mubin, halaman 220, bahwa sanadnya hasan].
http://www.almanhaj.or.id/content/2546/slash/0