Ampunan Allah, sesuatu yang amat diharapkan. Tak seorangpun melainkan mengharapkannya. Entah dia seorang ahli ilmu, ahli ibadah, apalagi ahli maksiat.
Terlebih
lagi bagi orang-orang yang berusaha untuk menempuh jalan kembali
kepada Allah dengan taubat. Banyak rintangan dan hambatan yang harus
ditemui. Sehingga hal itu menyebabkan seorang hamba harus waspada,
karena tatkala dia telah merasa taubatnya diterima, kemudian -pada
akhirnya- perasaan itu justru menyeret dirinya terjerumus ke dalam
lembah dosa yang lainnya, wal ‘iyadzu billah!
Ketahuilah
saudaraku, bahwa tauhid yang bersih merupakan kunci untuk meraih
ampunan. Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang
dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Meninggal
di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa.
Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:
[1] Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.
[2]
Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun
masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya
ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti
masuk surga.
[3]
Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun
masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih
berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak
kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai
anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir
sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan
mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit.
Sementara tidak ada yang bisa selamat/bersih darinya kecuali orang
yang diselamatkan oleh Allah ta’ala. Itulah hati yang selamat
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Pada
hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi
orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)
Namun
-sebagaimana sudah disinggung di atas- keutamaan ini hanya akan bisa
diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“…Seandainya
ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah
dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir
seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu
pula. Namun hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya.
Karena sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh
kesyirikan apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena
ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah,
pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya serta rasa takut dan harap
kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55)
Hadits di atas juga mengandung keterangan bahwa kandungan makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Kandungan maknanya yaitu wajib meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya
serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang
berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima,
tunduk patuh dan lain sebagainya yang menjadi konsekuensi kalimat yang
agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22).
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran maka dia tidak akan terus-menerus berkubang dalam kemaksiatan-kemaksiatan.
Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya
dari terus-menerus berkubang dalam maksiat. Oleh sebab itu dia akan bisa
masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang
langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21)
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tauhid tidak cukup di lisan. Namun tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban serta meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
menerangkan bahwa barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid-
namun dia mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia
sekedar mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya
berbuat syirik seperti halnya orang-orang munafik maka orang semacam ini
ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia
lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan kuat,
melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta
mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20).
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa
yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang maka
itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman
Allah ta’ala meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya.
Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya maka
berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak
lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan
dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian maka
dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26).
Hadits di atas juga mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan,
karena Allah menjanjikan ampunan yang demikian besar bagi orang yang
murni tauhidnya. Dan ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang
yang selama ini tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan agar waspada dan
takut kalau-kalau ternyata di akhir hidupnya mereka tidak tergolong
orang yang bersih tauhidnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Seandainya
Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai hukuman atas dosa yang
mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini
seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk
mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang
saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya
adalah seandainya Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua
dosa yang mereka perbuat niscaya Allah akan menghancurkan semua
penduduk bumi dan segala binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362])
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits
yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu sangat
berresiko dijatuhi ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka lalu
mereka akan dikeluarkan darinya dengan syafa’at para nabi dan yang
lainnya. Hal itu dikarenakan mereka telah melemahkan tauhid mereka dan
mencemarinya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan
dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta
kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang
berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal
itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah
dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan
diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta
membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta
menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa merealisasikan la ilaha illallah adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’.
Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’.
Dan
tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun
selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi
menggapai keikhlasan.
Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’
Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan
tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan
iman-.
Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam
hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan
-karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?’. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman’ (HR. Muslim).
Artinya
hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan
kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu
tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38])
Keikhlasan -yang hal ini merupakan intisari dari ajaran tauhid- merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak
ada sesuatu yang lebih sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas.
Karena di dalamnya sama sekali tidak terdapat jatah untuk memuaskan
hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
Dan
sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada
pujian dan sifat rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak akan bersatu antara
ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan sanjungan
serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali
sebagaimana bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan
ikan -musuhnya-.” (al-Fawa’id, hal. 143).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah
hamba Dinar! Celakalah hamba Dirham! Celakalah hamba khamisah (sejenis
kain)! Celakalah hamba khamilah (sejenis model pakaian)! Apabila
diberi dia merasa senang, dan apabila tidak diberi maka dia murka.
Celaka dan merugilah dia!” (HR. Bukhari).
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa sebagian manusia ada yang cita-cita hidupnya hanya untuk mendapatkan dunia
dan perkara itulah yang paling dikejar olehnya. Itulah tujuan pertama
dan terakhir yang dicarinya. Maka kalau ada orang semacam ini niscaya
akhir perjalanan hidupnya adalah kebinasaan dan kerugian (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 331).
Itulah sosok pengejar dunia, yang rasa senang dan bencinya dikendalikan oleh hawa nafsunya (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 241).
Maka
barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai puncak urusan dan akhir
cita-citanya pada hakekatnya dia telah mengangkatnya sebagai sesembahan
tandingan bagi Allah ta’ala (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 332)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?” (QS. al-Furqan: 43).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah memberikan keterangan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong menujukan ibadahnya kepada selain Allah.
Memang, bisa jadi dia tidak tampak memuja/menyembah patung atau
berhala. Atau juga tidak tampak dia menyembah matahari dan bulan. Akan
tetapi, sebenarnya dia telah menyembah hawa nafsu yang telah menjajah
hatinya dan memalingkan dirinya sehingga tidak mau tunduk beribadah
kepada Allah (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pokok munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya),
‘Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu.
Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun
orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. al-Baqarah: 165)…” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212).
Orang
yang mencintai selain Allah -apa pun bentuknya- sebagaimana
kecintaannya kepada Allah, atau orang yang lebih mendahulukan ketaatan
kepada selain Allah daripada ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya
orang tersebut telah terjerumus dalam syirik besar yang tidak akan
diampuni oleh Allah jika pelakunya tidak bertaubat darinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 96, lihat juga al-Jadid, hal. 278)
Bahkan,
karena terlalu berlebihan kecintaannya kepada dunia maka sebagian
orang tega menjadikan amal akherat sebagai alat untuk menggapai
ambisi-ambisi dunia semata! Secara fisik mereka tampak mengejar pahala akherat, namun hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada kesenangan dunia yang hanya sesaat. Subhanallah… Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Barangsiapa
yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami
sempurnakan untuk mereka balasan atas amal-amal mereka di dalamnya
sedangkan mereka tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak
akan mendapatkan balasan apa-apa di akherat selain neraka dan akan
hapuslah semua amal yang mereka kerjakan dan sia-sialah apa yang dahulu
mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).
Ayat
yang mulia ini menunjukkan bahwa beramal soleh semata-mata untuk
menggapai kesenangan dunia -tanpa ada keinginan untuk memperoleh
balasan akherat atau balasan yang dijanjikan Allah- termasuk kategori
kesyirikan, bertentangan dengan kesempurnaan tauhid, bahkan menyebabkan
terhapusnya pahala amalan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 238)
Nas’alullahat taufiq was salamah…
_______________________________________
http://abumushlih.com/kunci-meraih-ampunan.html/