Jawab : Yang paling
berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling bagus bacaan
Al-Qur’annya[1], yang mengetahui hukum-hukum shalat [2]. Kalau
kemampuannya setara, maka dipilih yang paling dalam ilmu fiqhnya. Kalau
ternyata kemampuannya juga setara, maka dipilih yang paling dulu
hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka dipilih yang lebih
dulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :
”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب
الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً
فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية –
سنّاً ولا يؤمّنَّ الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على
تكْرِمَتِه إلا بإذنه“. وفي لفظ: ”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم
قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً…“
”Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya [3]. Kalau
dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang
Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu
berhijrah [4]. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”…..yang paling tua usianya” [5]. Janganlah
seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah
ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk
tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.
Dan dalam lafadh yang lain : ”Satu
kaum diimami oleh orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara
mereka dan yang paling berpengalaman membacanya. Kalau bacaan mereka
sama…. (sama seperti lafadh sebelumnya).[6]
Yang paling utama adalah mengamalkan sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di atas.
Adapun pertanyaan yang Saudara
sampaikan berkaitan dengan kondisi kurang bagusnya bacaan imam; jika
yang dimaksud sekedar bahwa seseorang atau beberapa orang yang lebih
bagus dalam bacaannya bermakmum di belakang imam yang kedudukannya di
bawah mereka (dalam hal bacaan tersebut), maka shalatnya tetap sah. Hal
itu didasarkan oleh hadits Al-Mughiirah bin Syu’bah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah sedikit terlambat dalam shalat berjama’ah Shubuh yang ketika itu telah ditegakkan dengan imam ’Abdurrahman bin ’Auf radliyallaahu ’anhu. Beliau masuk pada raka’at kedua. Setelah jama’ah selesai, maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam melanjutkan
satu raka’at sisa tanpa ada pengingkaran pada apa yang dilakukan oleh
para shahabat.[7] Ini menunjukkan sahnya orang yang kurang utama
mengimami orang yang lebih utama.
Namun jika yang dimaksudkan adalah
bahwa keabsahan shalat berjama’ah yang diimami oleh seseorang yang
sering keliru bacaannya, maka ini harus diperinci. Asy-Syaikh
’Abdul-’Aziz bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan sebagai berikut
:
إذا كان لحنه لا يحيل
المعنى فلا حرج في الصلاة خلفه مثل نصب رب أو رفعها في سورة الفاتحة الآية 2
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وهكذا نصب الرحمن أو رفعه ونحو ذلك ، أما إذا كان يحيل المعنى فلا يصلى خلفه إذا لم ينتفع بالتعليم والفتح عليه ، مثل أن يقرأ إياك نعبد بكسر الكاف ، ومثل أن يقرأ أنعمت بكسر التاء أو ضمها فإن قبل التعليم وأصلح قراءته بالفتح عليه صحت صلاته وقراءته ، والمشروع في جميع الأحوال للمسلم أن يعلم أخاه في الصلاة وخارجها ؛ لأن المسلم أخو المسلم يرشده إذا غلط ويعلمه إذا جهل ويفتح عليه إذا ارتج عليه القرآن
وهكذا نصب الرحمن أو رفعه ونحو ذلك ، أما إذا كان يحيل المعنى فلا يصلى خلفه إذا لم ينتفع بالتعليم والفتح عليه ، مثل أن يقرأ إياك نعبد بكسر الكاف ، ومثل أن يقرأ أنعمت بكسر التاء أو ضمها فإن قبل التعليم وأصلح قراءته بالفتح عليه صحت صلاته وقراءته ، والمشروع في جميع الأحوال للمسلم أن يعلم أخاه في الصلاة وخارجها ؛ لأن المسلم أخو المسلم يرشده إذا غلط ويعلمه إذا جهل ويفتح عليه إذا ارتج عليه القرآن
“Bila lahn (kesalahan baca)-nya tidak merubah makna (ayat), maka tidak apa-apa shalat dengan bermakmum kepadanya. Seperti me-nashab-kan kata Rabb [menjadi Rabba = رَبَّ] atau me-rafa’-kannya [menjadi Rabbu = رَبُّ] di dalam Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin [الْحَمْدُ للّهِ رَبّ الْعَالَمِينَ].
Begitu pula jika me-nashab-kan Ar-Rahman [menjadi Ar-Rahmaana = الرّحْمـَنَ] atau me-rafa’-kannya [menjadi Ar-Rahmaanu = الرّحْمـَنُ] dalam ayat Ar-Rahmaanir-Rahiim [الرّحْمـَنِ الرّحِيمِ]. Dan lain-lain.
Adapun bila menyebabkan perubahan
makna, maka tidak (boleh) shalat bermakmum dengannya jika orang tersebut
tidak mengambil manfaat dengan belajar atau diberi tahu (bacaan
salahnya) seperti membaca Iyyaaka na’budu dengan kaf di-kasrah [yaitu menjadi Iyyaki na’budu : إِيّاكِ نَعْبُدُ] dan seperti membaca an’amta [أَنْعَمْتَ] dengan kasrah [menjadi an’amti = أَنْعَمْتِ] atau di-dlammah huruf ta’-nya [menjadi an’amtu
= أَنْعَمْتُ]. Bila dia menerima arahan dan memperbaiki bacaannya
dengan cara diberitahu oleh makmum, maka shalat dan bacaannya itu sah.
Yang jelas, setiap muslim dalam semua keadaan disyari’atkan mengajari
saudaranya, baik dalam shalat atau di luar shalat, karena seorang muslim
merupakan saudara muslim lainnya. Dia mengarahkannya bila salah dan
mengajarinya bila bodoh dan membetulkan bacaannya bila terjadi
kekeliruan”.[selesai] [8]
Semoga apa yang ditulis dapat menjawab dan memberi manfaat. Wallaahu a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’, Muharram 1430].
[1] Yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, ada yang menafsirkan
: yang paling banyak hafalannya. Ada juga yang berpendapat bahwa
artinya adalah yang paling bagus tajwid-nya dan paling bagus
mutu bacaannya (أجودهم وأحسنهم وأتقنهم قراءة). Namun yang paling benar
adalah pendapat yang pertama, berdasarkan hadits ’Amr bin Salamah radliyallaahu ’anhu : ”… وليؤمكم أكثركم قرآناً“ : ”….hendaknya yang mengimami kalian orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4302. Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu : ”وأحقهم بالإمامة أقرؤهم“ : ”Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya”.
Diriwayatkan oleh Muslim no. 672. Maknanya : yang paling banyak
hafalannya. Akan tetapi jika mereka sama dalam hafalan Al-Qur’annya
dimana seluruh orang yang shalat atau orang yang akan dimajukan sebagai
imam telah hafal Al-Qur’an, baru dipilih mana yang paling mantap (كان
أتقنهم قراءة وأضبط لها) dan bagus bacaannya. Karena itulah arti yang
paling bagus Al-Qur’annya bagi mereka semua yang dalam hafalan sama.
Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/297, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/14, dan Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390.
[2] Yang mengerti hukum-hukum shalat, yaitu : mengerti
syarat-syaratnya, rukun-rukun kewajiban dan hal-hal yang membatalkannya,
serta hukum-hukum lainnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
”ولا يخفى أن محل تقديم الأقرأ إنما هو حيث يكون
عارفًا بما يتعين معرفته من أحوال الصلاة، فأما إذا كان جاهلاً بذلك فلا
يقدم اتفاقاً“
”Sudah jelas bahwa dikedepankannya orang-orang yang paling
pandai bacaan Al-Qur’annya berarti ia juga orang yang paling mengerti
kondisi shalatnya sendiri. Namun kalau ternyata tidak mengerti kondisi
shalatnya, secara mufakat dikatakan bahwa ia tidak berhak dikedepankan” [Fathul-Bari 2/171). Lihat Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’ 2/296 dan Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu ’Utsaimin 4/291].
[3] Perkataan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya”;
menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan
Al-Qur’annya didahulukan dari orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya. Itu
adalah madzhab Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian shahabat Al-Imam
Syafi’i. Al-Imam Malik sendiri, juga Al-Imam Syafi’i dan para shahabat
beliau mengatakan : ”Orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya didahulukan
dari orang yang lebih bagus bacaan Al-Qur’annya. Karena bacaan yang
dibutuhkan dalam shalat sudah tertentu, sementara yang harus diketahui
tentang hukum shalat lebih luas lagi. Terkadang dalam shalat ada hal-hal
yang hanya diketahui oleh orang yang sempurna ilmu pengetahuannya
tentang fiqh shalat. Hanya saja dalam sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Kalau dalam Al-Qur’an kemmapuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang Sunnah” ;
menjadi dalil untuk mendahulukan orang yang lebih mahir dalam
Al-Qur’annya secara mutlak dari orang yang mengerti Sunnah. Yang benar,
bahwa orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’an memang didahulukan bila ia
sudah mengerti hukum-hukum shalatnya. [Lihat Syarah An-Nawawi ’alaa Shahih Muslim 5/178; Al-Mufhim Talkhiisu Kitabi Muslim oleh Al-Qurthubi 2/297; danAl-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/11-12. Lihat juga Fathul-Bari oleh Ibnu Hajar 2/171, Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/389, Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’ 2/296, Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu ’Utsaimin 4/289-291, dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani 3/95].
[4] Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah”
. Hijrah yang didahulukan dalam pemilihan imam tidaklah dikhususkan
pada hijrah yang dilakukan Nabi pada masa beliau. Tetapi yang dimaksud
adalah hijrah yang tidak akan pernah terputus hingga hari kiamat
sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits (yaitu hijrah) dari negeri
kafir ke negeri Islam demi menjalankan ketaatan dan mendekatkan diri
kepada Allah. Maka orang yang lebih dahulu melakukan hijrah tersebut,
didahulukan menjadi imam, karena ia lebih dahulu melakukan ketaatan.
Lihat Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/15, Syarhun-Nawawi ’alaa Shahih Muslim 5/179, Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390, dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani 3/96.
[5] “Yang paling dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tua usianya”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tinggi usianya”. Usia di sini berkaitan dengan kemuliaan keislaman yang lebih dahulu. Dalam riwayat lain menyebut : ”usia”
; bukan Islam. Kembalinya kepada usia keislaman. Karena orang yang
lebih tinggi usianya berarti lebih lama ke-Islam-annya dibandingkan
dengan orang yang lebih rendah usianya [Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/298].
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Masaajid wa Mawaa’idlush-Shalaah, bab : Orang yang paling berhak menjadi imam, no. 673.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 182 dan Muslim no. 274.
[8] Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat oleh Asy-Syaikh Ibni Baaz, 12/98-99 (حكم الصلاة خلف من يلحن في القرآن).