Hukum khotbah Jumat
Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah termasuk syarat shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar sunah sehingga shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para ahli fikih terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiah dan mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih bagi mereka, demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan dalam kitab Al-Hawi, “Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain Hasan Al-Bashri, karena ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata, ‘Khotbah tidaklah wajib.’”
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak mengetahui pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat kedua menyebutkan bahwa khotbah merupakan sunah Jumat. Ini merupakan pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian pengikutnya (Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Tarjih: Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama, bahwa khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama menganggap hal ini menyerupai ijma’.
Adapun dalil yang menguatkan pendapat ini adalah dalil yang diambil dari Alquran, hadis, dan atsar dari sahabat serta tabi’in. Berikut ini pemaparan dalil-dalil tersebut.
Dalil Alquran
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Ulama salaf berbeda pendapat mengenai maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas. Sebagian salaf mengatakan bahwa maknanya adalah ‘khotbah’, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa maknanya adalah ‘shalat’. Ibnul Arabi menilai bahwa yang sahih adalah kedua pemaknaan tersebut.
Adapun yang berpendapat maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘khotbah’ menyatakan kewajibannya dari dua sisi:
- Ayat tersebut merupakan perintah untuk bersegera menuju khotbah, sedangkan hukum asal perintah adalah wajib. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk bersegera menuju sesuatu yang wajib kecuali maknanya adalah “untuk memenuhi kewajiban”.
- Allah melarang jual beli ketika dikumandangkannya azan untuk khotbah Jumat. Dengan demikian, jual beli haram dilakukan pada waktu itu. Pengharaman jual beli menunjukkan wajibnya khotbah, karena sesuatu yang sunah tidak bisa mengharamkan yang mubah.
Adapun yang berpendapat bahwa maksud “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘shalat’, menyatakan bahwa khotbah termasuk dalam shalat. Seorang hamba mengingat Allah dengan perbuatannya, sebagaimana ia bertasbih dengan perbuatannya pula.
Selain itu, Allah ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya (perniagaan dan permainan itu) dan mereka meninggalkan dirimu yang sedang berdiri (berkhotbah).” (Q.s. Al-Jumu’ah:11)
Allah ta’ala mencela mereka karena mereka berpaling dan meninggalkan khotbah, sedangkan makna “wajib” secara syariat ialah ‘sesuatu yang dicela karena ditinggalkan’.
Dalil hadis
Hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَقْعُدُ، ثُمَّ يَقُومُ، كَمَا تَفْعَلُونَ الآنَ
“Nabi berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti yang biasa kalian lakukan sekarang.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis riwayat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا. فَمَنْ نَبَأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ صَلَّيتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَي صَلَاة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri. Siapa saja yang memberitakan kepadamu kalau beliau berkhotbah dengan duduk, sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh, aku telah shalat bersama beliau lebih dari dua ribu kali.” (H.r. Muslim, 2:589)
Walaupun kedua hadis di atas hanya sebatas perbuatan Nabi yang tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hadis tersebut merupakan penjelasan dari kewajiban yang disebutkan secara umum dalam ayat “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” (Q.s. Al-Jumu’ah:9).
Dengan demikian, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas merupakan penjelasan dari perintah yang umum, maka perintah itu menjadi wajib. Wallahu a’lam.
Hadis lainnya yang menjadi dalil adalah hadis Malik bin Al-Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Lebih dari satu ulama mengatakan bahwa seumur hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah shalat Jumat tanpa khotbah, sedangkan beliau telah memerintahkan kita untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Kalaulah boleh shalat Jumat tanpa khotbah, pasti beliau akan melakukannya walau sekali, sebagai pengajaran atas kebolehannya, karena khotbah sangat berkaitan dengan shalat Jumat dan merupakan bagian dari shalat Jumat.
Dalil atsar sahabat dan tabi’in
Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
الخُطْبَةُ مَوضُعُ الرَكْعَتَيْنِ، مَنْ فَاتَتْهُ الخُطْبَةُ صَلَّى أَرْبَعًا
“Khotbah merupakan tempat dua rakaat. Siapa saja yang terlewat dari khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّمَا جُعِلَت الخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Dalam riwayat yang lain, “Khotbah itu tidak lain dijadikan pengganti dua rakaat. Jika seseorang tidak mendapatkan khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
Atsar di atas menunjukkan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur. Oleh karena itu, keduanya adalah perkara wajib karena merupakan bagian dari shalat, begitu pula hukum penggantinya.
Atsar di atas adalah atsar yang sanadnya terputus dan tidak bisa dijadikan dalil. Kalaupun atsartersebut benar-benar perkataan sahabat, maka masih tetap ada perselisihan mengenai penggunaanya sebagai dasar hukum. Adapun penyebuatan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.
4. Apakah yang menjadi syarat satu atau dua khotbah?
Mayoritas ulama yang mempersyaratkat khotbah untuk shalat Jumat berbeda pendapat: apakah cukup hanya dengan satu khotbah atau harus dua khotbah. Dengan demikian, mereka terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama, mempersyaratkan dua khotbah.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik dalam satu riwayat darinya, demikian pula sebagian pengikutnya (Malikiah). Begitu pula Syafi’iah dan juga riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan mazhab bagi Hanabilah.
Pendapat kedua, tidak mempersyaratkan dua khotbah, bahkan satu khotbah saja sudah mencukupi.
Pendapat ini merupakan pendapat Hanafiah dan Imam Malik dalam satu riwayat darinya, begitu pula sebagian Malikiah. Pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Tarjih: Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yang mempersyaratkan dua khotbah untuk shalat Jumat. Berikut ini dalil-dalil yang menguatakan pendapat tersebut.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah dengan berdiri. Beliau memisahkan keduanya dengan duduk.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri.” (H.r. Muslim, 2:589)
Dari dua hadis di atas jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah, sedangkan beliau bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Dalil berikutnya adalah atsar mengenai dua khotbah yang merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur, sehigga setiap satu khotbah merupakan pengganti satu rakaat. Oleh karena itu, kekurangan satu khotbah itu seperti kurang satu rakaat.
Sebagai catatan, atsar yang menyatakan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dua rakaat shalat zuhur tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus dan itu hanya perkataan sahabat. Adapun penyebutan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.