Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah, Inilah jalanku;
aku menyeru kepada Allah di atas landasan ilmu yang nyata, inilah
jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Qs. Yusuf: 108)
Berdasarkan ayat yang mulia ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
mengambil sebuah pelajaran yang amat berharga, yaitu: Dakwah ila Allah
(mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah) merupakan jalan orang yang
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang beliau tuliskan di dalam Kitab Tauhid bab Ad-Du’a ila syahadati an la ilaha illallah (Ibthal At-Tandid, hal. 44).
[2] Dakwah merupakan karakter orang-orang yang muflih (beruntung)
[2] Dakwah merupakan karakter orang-orang yang muflih (beruntung)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya ada di antara
kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan
yang ma’ruf, melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya
orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-’Imran: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat “Hendaknya
ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada
kebaikan” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang
dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah-ku.” (HR. Ibnu Mardawaih) (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 66)
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus
memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah
akan mengirimkan untuk kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun
berdoa kepada-Nya namun permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad, dinilai hasan Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’ hadits no. 7070. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 66)
[3] Dakwah merupakan ciri umat yang terbaik
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalian adalah umat terbaik
yang dikeluarkan bagi umat manusia, kalian perintahkan yang ma’ruf dan
kalian larang yang mungkar, dan kalian pun beriman kepada Allah…” (Qs. Ali-’Imran: 110)
Ibnu Katsir mengatakan, “Pendapat yang benar, ayat ini umum mencakup
segenap umat (Islam) di setiap jaman sesuai dengan kedudukan dan kondisi
mereka masing-masing. Sedangkan kurun terbaik di antara mereka semua
adalah masa diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian generasi sesudahnya, lantas generasi yang berikutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 68)
[4] Dakwah merupakan sikap hidup orang yang beriman
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar,…” (Qs. At-Taubah: 71)
Inilah sikap hidup orang yang beriman, berseberangan dengan sikap hidup
orang-orang munafiq yang justru memerintahkan yang mungkar dan
melarang dari yang ma’ruf. Allah ta’ala menceritakan hal ini dalam
firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang munafiq lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka merupakan penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma’ruf…” (Qs. At-Taubah: 67)
[5] Meninggalkan dakwah akan membawa petaka
Allah ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Isra’il (yang artinya), “Telah
dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan
Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan
perbuatan mereka yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang
kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian di antara mereka, amat buruk
perbuatan yang mereka lakukan itu.” (Qs. Al-Ma’idah: 78-79)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tindakan mereka itu
(mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa mereka meremehkan perintah
Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara yang sepele.
Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb
mereka niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan
Allah dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti
kemurkaan-Nya…” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241)
Di antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut
semakin menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syaikh As-Sa’di telah
memaparkan akibat buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan
kemungkaran) menyebabkan para pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi
semakin lancang dalam memperbanyak perbuatan kemaksiatan tatkala
perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain, sehingga keburukannya
semakin menjadi-jadi. Musibah diniyah dan duniawiyah yang timbul pun
semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat)
memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian yang terjadi setelah itu
adalah semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul khair (orang
baik-baik) dalam melawan ahlusy syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai
suatu keadaan di mana mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang
dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 241)
[6] Orang yang berdakwah adalah yang akan mendapatkan pertolongan Allah
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Allah benar-benar akan
menolong orang yang membela (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat
lagi Maha Perkasa. Mereka itu adalah orang-orang yang apabila kami
berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar. Dan milik Allah lah akhir dari segala urusan.” (Qs. Al-Hajj: 40-41)
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku
membela agama Allah namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang
disebutkan (mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang yang mungkar) maka dia adalah pendusta (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540).
[7] Dakwah, bakti anak kepada sang bapak
Allah ta’ala mengisahkan nasihat indah dari seorang bapak teladan yaitu
Luqman kepada anaknya. Luqman mengatakan (yang artinya), “Hai
anakku, dirikanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf dan cegahlah dari
yang mungkar, dan bersabarlah atas musibah yang menimpamu. Sesungguhnya
hal itu termasuk perkara yang diwajibkan (oleh Allah).” (Qs. Luqman: 17)
Allah juga menceritakan dakwah Nabi Ibrahim kepada bapaknya. Allah berfirman (yang artinya), “Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim yang terdapat di dalam Al-Kitab
(Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah seorang yang jujur lagi seorang
nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya; Wahai ayahku. Mengapa
engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak
bisa mencukupi dirimu sama sekali? Wahai ayahku. Sesungguhnya telah
datang kepadaku sebahagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka
ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai
ayahku. Janganlah menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu selalu
durhaka kepada Dzat Yang Maha Penyayang.” (Qs. Maryam: 41-44)
[8] Dakwah, alasan bagi hamba di hadapan Rabbnya
Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika suatu kaum di
antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap menasihati suatu kaum yang
akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka dengan siksaan
yang amat keras?’ Maka mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan bagi
kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali
bertakwa’.” (Qs. Al-A’raaf: 164)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Inilah maksud paling
utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran; yaitu agar menjadi alasan
untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta demi menegakkan
hujjah kepada orang yang diperintah dan dilarang dengan harapan semoga
Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia
akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 307)
Allah berfirman (yang artinya), “Para rasul yang kami utus sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan itu, agar tidak ada lagi
alasan bagi manusia untuk mengelak setelah diutusnya para rasul. Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisaa’: 165).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat pada hari raya
kurban. Beliau berkata, “Wahai umat manusia, hari apakah ini?” Mereka
menjawab, “Hari yang disucikan.” Lalu beliau bertanya, “Negeri apakah
ini?” Mereka menjawab, “Negeri yang disucikan.” Lalu beliau bertanya,
“Bulan apakah ini?” Mereka menjawab, “Bulan yang disucikan.” Lalu beliau
berkata, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah
disucikan tak boleh dirampas dari kalian, sebagaimana sucinya hari ini,
di negeri (yang suci) ini, di bulan (yang suci) ini.” Beliau
mengucapkannya berulang-ulang kemudian mengangkat kepalanya seraya
mengucapkan, “Ya Allah, bukankah aku sudah menyampaikannya? Ya Allah,
bukankah aku telah menyampaikannya?”… (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Hajj, bab Al-Khutbah ayyama Mina. Hadits no. 1739)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, “Sesungguhnya
beliau mengucapkan perkataan semacam itu (Ya Allah bukankah aku sudah
menyampaikannya) disebabkan kewajiban yang dibebankan kepada beliau
adalah sekedar menyampaikan. Maka beliau pun mempersaksikan kepada Allah
bahwa dirinya telah menunaikan kewajiban yang Allah bebankan untuk
beliau kerjakan.” (Fath Al-Bari, jilid 3 hal. 652).
[9] Dakwah tali pemersatu umat
Setelah menyebutkan kewajiban untuk berdakwah atas umat ini, Allah melarang mereka dari perpecahan, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan
berselisih setelah keterangan-keterangan datang kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang berhak menerima siksaan yang sangat besar.” (Qs. Ali-’Imran: 105)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kalaulah bukan
karena amar ma’ruf dan nahi mungkar niscaya umat manusia (kaum
muslimin) akan berpecah belah menjadi bergolong-golongan, tercerai-berai
tak karuan dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang mereka
miliki…” (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 102)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel abu0mushlih.wordpress.com, dipublikasi ulang oleh muslim.or.id