Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah. Sesungguhnya
agama Islam adalah agama yang sempurna dan telah mengatur berbagai macam
perkara yang akan mendatangkan kebaikan bagi tiap hambanya. Di
antaranya, agama ini telah mengajarkan kepada umatnya mengenai
sunah-sunah fitrah. Sunah-sunah ini merupakan kebiasaan yang sudah
dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Allah tabiatkan pada manusia untuk
melakukannya, cenderung kepadanya, menganggapnya sebagai suatu hal yang
indah, dan meninggalkannya berarti telah bertolak belakang dengan
fitrah manusia atau dapat dikatakan sebagai manusia tidak normal. Maka
sangatlah baik sekali jika kita memperhatikan pembahasan berikut ini.
Pengertian Sunah Fitrah
Sunah Fitrah adalah suatu tradisi yang apabila dilakukan akan
menjadikan pelakunya sesuai dengan tabiat yang telah Allah tetapkan bagi
para hambanya, yang telah dihimpun bagi mereka, Allah menimbulkan rasa
cinta (mahabbah) terhadap hal-hal tadi di antara mereka, dan jika
hal-hal tersebut dipenuhi akan menjadikan mereka memiliki sifat yang
sempurna dan penampilan yang bagus.
Hal ini merupakan sunah para Nabi terdahulu dan telah disepakati oleh
syariat-syariat terdahulu. Maka seakan-akan hal ini menjadi perkara
yang jibiliyyah (manusiawi) yang telah menjadi tabi’at bagi mereka.
(Lihat Shohih Fiqhis Sunah, I/97).
Faedah Mengerjakan Sunah Fitrah
Berdasarkan hasil penelitian pada Al Quran dan As Sunah, diketahui
bahwa perkara ini akan mendatangkan maslahat bagi agama dan kehidupan
seseorang, di antaranya adalah akan memperindah diri dan membersihkan
badan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya. (Lihat Shohih Fiqhis
Sunah, I/97).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, bahwa sunah fitrah ini akan
mendatangkan faedah diniyyah dan duniawiyyah, di antaranya, akan
memperindah penampilan, membersihkan badan, menjaga kesucian,
menyelisihi simbol orang kafir, dan melaksanakan perintah syariat.
(Lihat Taisirul ‘Alam, 43).
Dalil Sunah Fitrah
Sebagian dari sunah fitrah ini dapat dilihat dari hadits-hadits berikut ini:
1. Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ
“Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan,
memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari
no. 5891 dan Muslim no. 258)
2. Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ
وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ
الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ
الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot,
bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku,
membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan,
istinja’ (cebok) dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata,
“Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.”
(HR. Muslim no. 261, Abu Daud no. 52, At Tirmidzi no. 2906, An Nasai
8/152, Ibnu Majah no. 293)
Meskipun dalam hadits di atas disebutkan sepuluh hal, namun sunah
fitrah tidaklah terbatas pada kesepuluh perkara di atas berdasarkan
kaedah “Mahfumul ‘adad laysa bil hujjah” yaitu pemahaman terhadap jumlah
bilangan tidaklah bisa menjadi hujjah (argumen). Di antara sunah fitrah
tersebut adalah:
1. Khitan
2. Istinja’ (cebok) dengan air
3. Bersiwak
4. Memotong kuku
5. Memotong kumis
6. Memelihara jenggot
7. Mencukur bulu kemaluan
8. Mencabut bulu ketiak
9. Membasuh persendian (barojim) yaitu tempat melekatnya kotoran seperti sela-sela jari, ketiak, telinga, dll.
10. Berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), juga termasuk istintsar (mengeluarkan air dari dalam hidung)
Penjelasan Sunah-Sunah Fitrah
Mencukur Bulu Kemaluan (Istihdaad)
Yang dimaksud dengan bulu kemaluan di sini adalah bulu yang tumbuh di
sekitar kemaluan. Dinamakan istihdad (asal katanya dari hadiid yaitu
besi-pen) karena hal ini dilakukan dengan sesuatu yang tajam seperti
pisau cukur. Dengan melakukan hal ini, tubuh akan menjadi bersih dan
indah. Dan boleh mencukurnya dengan alat apa saja, baik berupa alat
cukur atau sejenisnya. (Al Mulakhos Al Fiqh, I/37). Bisa pula dilakukan
dengan memotong/menggunting, mencukur habis, atau dengan mencabutnya.
(Lihat Al Wajiz fii Fiiqhis Sunah wal Kitaabil ‘Aziz, 29 dan Fiqh Sunah,
1/37).
Memotong Kumis dan Merapikannya
Yaitu dengan memotongnya sependek mungkin. Dengan melakukan hal ini,
akan terlihat indah, rapi, dan bersih. Dan ini juga dilakukan sebagai
pembeda dengan orang kafir, (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 37).
Hadits-hadits tentang hal ini terdapat dalam pembahasan ‘memelihara
jenggot’ pada bagian selanjutnya.
Memotong Kuku
Yaitu dengan memotongnya dan tidak membiarkannya memanjang. Hal ini
juga dilakukan dengan membersihkan kotoran yang terdapat di bawah kuku.
Dengan melakukan hal ini akan terlihat indah dan bersih, dan untuk
menjauhi kemiripan (tasyabbuh) dengan binatang buas yang memiliki kuku
yang panjang. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).
Mencabut Bulu Ketiak
Yaitu, menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh di lipatan ketiak. Baik
dilakukan dengan cara dicabut, digunting, dan lain-lain. Dengan
melakukan hal ini tubuh akan menjadi bersih dan akan menghilangkan bau
yang tidak enak yang disebabkan oleh keberadaan kotoran-kotoran yang
melekat pada ketiak. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqh, 38).
Apakah pada keempat sunah fitrah di atas terdapat batasan waktu untuk memotongnya?
Keempat sunah fitrah ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu, tetapi
batasan waktunya adalah sesuai kebutuhan. Kapan saja dibutuhkan, itulah
waktu untuk membersihkan/memotongnya.
Tetapi sebaiknya hal ini tidak dibiarkan lebih dari 40 hari, karena terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ
الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Kami diberi batasan waktu oleh Rasulullah untuk mencukur kumis,
memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, tidak
dibiarkan lebih dari 40 hari.” (HR. Muslim dan selainnya) (Lihat Shohih
Fiqh Sunah, I/101).
Berkhitan
Berkhitan (ada yang menyebutnya dengan ’sunnat’,-pen) adalah memotong
kulit yang menutupi kepala/ujung kemaluan bagi laki-laki dan memotong
kulit bagian atas kemaluan bagi perempuan. (Lihat Shohih Fiqh Sunah,
I/98). Tujuannya adalah untuk menjaga agar di sana tidak terkumpul
kotoran, juga agar leluasa untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi
kenikmatan dalam bersenggama. (Fiqh Sunah, 1/37).
Berkhitan adalah sunah yang telah ada sejak lama sekali. Sebagaimana
hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau
berkhitan dengan Al Qodum.” (HR. Bukhari, inilah lafadz yang terdapat
dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunah, -pen)
Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di
sini adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di
Syam. (Lihat Fiqh Sunah, 1/37).
- Hukum khitan
Ada 3 pendapat dalam hal ini:
1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2. Sunah (dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan.
3. Wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /98).
- Wajibnya Khitan Bagi Laki-Laki
Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi laki-laki adalah:
1. Hal ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim
‘alaihis salam dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasullullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ibrahim -Al
Kholil- berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan
dengan kampak.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (An Nahl: 123)
2. Nabi memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan berkhitanlah.”
(HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al Albani). Hal ini
menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.
3. Khitan merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nasrani.
Sampai-sampai tatkala di medan pertempuran umat Islam mengenal
orang-orang muslim yang terbunuh dengan khitan. Kaum muslimin, bangsa
Arab sebelum Islam, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum Nasrani
tidak demikian. Karena khitan sebagai pembeda, maka perkara ini adalah
wajib.
4. Menghilangkan sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru
diperbolehkan tatkala perkara itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh
Sunah, I /99 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).
- Khitan Tetap Disyariatkan Bagi Perempuan
Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyariatkan. Dalilnya adalah
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Apabila
bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Hadits
ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan. Adapun hadits-hadits yang
mewajibkan khitan, di dalamnya tidaklah lepas dari pembicaraan, ada
yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun hadits-hadits tersebut
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah.
Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib bagi perempuan
sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki, karena pada asalnya hukum untuk
laki-laki juga berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang
membedakannya dan dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda. Namun
terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan
adalah sunah (dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka.
Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih
Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau
mengatakan, “Terdapat perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan
perempuan. Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya
karena hal ini akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh
(bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut
dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan akan ada yang
tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan
rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit akan
menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi
najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi
syahwatnya. Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam
rangka untuk menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/99-100
dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).
Kesimpulan: Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan bagi
perempuan. Minimal hukum khitan bagi perempuan adalah sunah (dianjurkan)
dan yang paling baik adalah melakukannya dengan tujuan sebagaimana
perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk mengurangi
syahwatnya.
- Dianjurkan Melakukan Khitan Pada Hari Ketujuh Setelah Kelahiran
Hal ini sebagaimana hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau
berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqah
Hasan dan Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh (setelah
kelahiran,-pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ada tujuh sunah bagi
bayi pada hari ketujuh, yaitu: pemberian nama, khitan,…” (HR. Ath
Thabrani dalam Al Ausath)
Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun saling menguatkan satu dan
lainnya. Jalur keduanya berbeda dan tidak ada perawi yang tertuduh
berdusta di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68).
Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum baligh. Sebagaimana
perkataan Ibnul Qoyyim: “Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tanpa
dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul Minnah, 1/69).
Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak masih kecil agar
luka bekas khitan cepat sembuh dan agar anak dapat berkembang dengan
sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu, khitan pada
waktu kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan ketika
sudah besar.
-bersambung insya Allah-
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Ma’had Ilmi)
Dimuroja’ah ulang oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id
http://aljaami.wordpress.com/2010/10/03/berhiaslah-dengan-sunah-sunah-fitrah-1/