Memelihara Jenggot
- Hukum Memelihara Jenggot Adalah Wajib
Hukum memelihara/membiarkan jenggot adalah wajib dan haram untuk
dicukur. Karena mencukurnya termasuk perbuatan merubah ciptaan Allah dan
termasuk perbuatan syaitan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ
الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِينً
“Dan akan Aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar
mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung
selain Allah, maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (An
Nisa’: 119)
Memotongnya juga berarti telah menyerupai wanita. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat bentuk penyerupaan (baca:
tasyabbuh) seperti ini. Beliau bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi, shahih)
Nabi telah memerintahkan untuk memelihara jenggot. Dan menurut ilmu
Ushul Fikih, perintah menunjukkan suatu kewajiban. Perintah tersebut
dapat dilihat dari hadits-hadits di bawah ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, dan selisilah majusi.” (HR. Muslim, 1/222/260)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa makna memelihara di atas
adalah membiarkannya sebagaimana adanya. (Syarah Shahih Muslim).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot, dan cukur habislah kumis.” (HR. Bukhari, 10/349/5892)
- Pernyataan Para Ulama Tentang Mencukur Jenggot
Mayoritas para ulama dan ahli fikih secara tegas menyatakan bahwa
mencukur jenggot itu haram. Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa
mencukur jenggot merupakan perbuatan mutslah yang terlarang.” Mutslah
adalah perbuatan memperburuk atau membuat jelek. Tidaklah diragukan
bahwa wajah adalah anggota tubuh yang mulia, karena di sana terdapat
sejumlah indera. Wajah juga merupakan sumber/pusat ketampanan. Pada
wajah terdapat ciptaan Allah yang indah yang seharusnya dijaga dan
diperlakukan secara istimewa. Tidak malah dihinakan dan dibuat agar
tampak buruk/jelek. Dari ‘Abdullah bin Yazid Al Anshory, beliau berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النُّهْبَى وَالْمُثْلَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan hewan sebagai sasaran dan melarang mutslah.” (HR. Bukhari no. 2294)
Dalam Al Ikhtiyarot Al Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Dan
beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad -ed) berkata, “Diharamkan mencukur
jenggot berdasar berbagai hadits yang shahih dan tidak seorang ulama pun
yang membolehkannya.” Ibnu Abidin dari kalangan ulama Hanafiah dalam
Roddul Muhtar menyatakan, “Diharamkan bagi laki-laki memotong jenggot.”
Dalam Al Umm Imam Syafi’i menegaskan haramnya mencukur jenggot. Dari
kalangan Malikiyyah, Al ‘Adawi menukil pernyataan Imam Malik, “Itu
termasuk perbuatan orang-orang Majusi.” Ibnu ‘Abdil Bar dalam At Tamhid
berkata, “Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya
kecuali laki-laki yang bergaya seperti perempuan.” (Lihat Minal Hadiin
Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No –
Media Hidayah). (Sehingga jelas bahwa banyak ulama empat mazhab yang
mengharamkan mencukur jenggot -ed).
- Rasulullah Tidak Suka Melihat Wajah Orang yang Tercukur Jenggotnya
Ketika Kisra (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan
jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya, “Celaka
kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata,
“Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tetapi, Rabbku
memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.”
(HR. Thabrani, Hasan)
Wahai saudaraku yang begitu mudah mencukur jenggotnya, bagaimana
pendapatmu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka
melihat wajahmu? Jawaban apa yang akan engkau berikan ketika beliau
memalingkan wajahnya darimu seraya berkata, “Siapa yang memerintahmu
seperti ini?” Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah menyuruh melakukan sesuatu melainkan beliau merupakan orang
yang pertama melakukannya. Oleh karenanya jenggot beliau lebat dan utuh.
(Lihat Minal Hadiin Nabawi I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul
Jenggot Yes, Isbal No – Media Hidayah).
- Mencukur Jenggot Adalah Suatu Bentuk Pemborosan dan Dosa Secara Terang-Terangan
Tidak perlu diragukan lagi bahwa mencukur jenggot membutuhkan biaya
yaitu untuk membeli alat cukur, sabun, dan silet. Ini semua termasuk
membelanjakan harta yang Allah amanahkan kepada hamba-Nya tidak pada
tempatnya sehingga pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban pada hari
kiamat. Seseorang tidak boleh berdalih, ‘ini kan cuma sedikit dan tidak
berarti apa-apa’. Ingatlah firman Allah,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (semut hitam),
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrah (semut hitam), niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (Al Zalzalah: 7-8)
Selain pemborosan harta, mencukur jenggot juga menghabiskan waktu.
Padahal waktu adalah hal yang mahal dan berharga, maka harus dijaga
sebaik-baiknya dan tidak boleh disia-siakan, apalagi untuk melakukan
perkara yang haram.
Mencukur jenggot merupakan sebuah perbuatan dosa yang dilakukan
terang-terangan. Padahal orang yang demikian tidak akan dimaafkan.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan.” (HR. Bukhari no. 5608)
Hukum “Merapikan” Jenggot
Ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Adapun pendapat yang
paling kuat di antara berbagai pendapat yang ada adalah tidak boleh
merapikan jenggot meski hanya memotong beberapa bagian saja. Hal ini
didasarkan pada sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
berupa ucapan maupun perbuatan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang
shohih. Salah satu ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
memiliki jenggot yang lebat.
كَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
“Rambut jenggot Nabi banyak (lebat).” (HR. Muslim)
Ketika Anas menceritakan ciri fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia berkata: “Jenggot Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi
sebelah sini dan sebelah sini. Anas lalu memberi isyarat dengan
tangannya pada dua tulang rahang bawahnya.” (HR. Ibnu Asakir dalam
tarikhnya)
Dan para sahabat radhiallahu ‘anhum ajma’in juga mengetahui kalau
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Quran dalam shalat Zuhur
dan Ashar melalui gerakan jenggot beliau. (HR. Bukhari)
Sungguh betapa aneh orang yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun tidak menyukai penampilan beliau dan tidak mau
menirunya. Padahal Allah ta’ala telah berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imron: 31)
Adapun hadits yang menyatakan bahwa Nabi memotong jenggotnya pada
sisi kanan dan sisi kiri merupakan hadits yang sangat lemah sehingga
tidak bisa dijadikan dalil. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa jika
jenggot telah lebih dari satu genggam maka selebihnya dipotong,
berdasarkan riwayat Umar dan Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- adalah
tidak tepat. Riwayat tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan
karena bertentangan dengan hadits-hadits yang mewajibkan memelihara
jenggot yang dinilai lebih kuat. Oleh karena itu, riwayat tersebut tidak
dapat dijadikan dalil karena sunah Nabi harus didahulukan dari
segalanya. Tidak ada pendapat yang bisa diterima, apabila menyelisihi
sunah. Dalil itu terdapat pada riwayat para sahabat Nabi, bukan dalam
pendapat pribadi mereka. Di samping itu, perbuatan Umar dan Ibnu Umar
ini itu khusus pada haji, tidak pada setiap kesempatan, sebagaimana
pendapat orang yang membolehkan merapikan jenggot.
Pendapat yang paling hati-hati adalah dengan mengikuti pendapat
tersirat dari hadits-hadits yang memerintahkan memelihara jenggot. Dan
memeliharanya adalah suatu pekerjaan yang mudah, tidak perlu biaya
apa-apa untuk menipiskan ataupun mencukurnya, tidak buang-buang waktu
dan tenaga. Wallahu a’alam bish showab. (Lihat Minal Hadiin Nabawi
I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media
Hidayah).
Teladanilah Rasulullah
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, kami ingatkan engkau dengan hadits berikut. Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata:
سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا
أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ
إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ
مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا
إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
“Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang
berkata: “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba
seorang laki-laki di belakangku berkata: “Angkat kainmu, karena itu
lebih terjaga (kebersihan dan semakin awet,-pen).” Ternyata orang itu
adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata:
“Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang
bergaris-garis hitam dan putus.” Beliau bersabda: “Apakah engkau tidak
menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau,
ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Mukhtashor
Syama’il Muhammadiyah, Imam Tirmidzi, shahih)
Wahai pencukur jenggot, alasan apa yang akan engkau kemukakan ketika
engkau berada di hadapan Rasulullah, tatkala beliau bertanya, “Tidakkah
dalam diriku terdapat dalam keteladanan?” (Lihat Minal Hadiin Nabawi
I’faul Lihyah, edisi terjemahan berjudul Jenggot Yes, Isbal No – Media
Hidayah).
Ingatlah wahai saudaraku, letakkanlah akhirat di pelupuk matamu
sehingga tidak tertipu oleh dunia yang fana, namun menggoda. Kehidupan
dunia ini hanya sementara. Negeri akhirat itulah yang merupakan tempat
tinggal kita yang abadi.
(*) Pembahasan mengenai jenggot, silakan merujuk buku Jenggot Yes,
Isbal No! yang di dalamnya terdapat tulisan yang berjudul Minal Hadiin
Nabawi I’faul Lihyah (Memelihara Jenggot) yang diterjemahkan oleh Al
Ustadz Aris Munandar dengan penerbit Media Hidayah.
Bersiwak
Siwak adalah nama untuk sebuah kayu yang digunakan untuk menggosok
gigi. Atau jika ditinjau dari perbuatannya, siwak adalah
menggosok/membersihkan gigi dengan kayu atau sejenisnya untuk
menghilangkan kuning gigi dan kotoran, dan juga untuk membersihkan
mulut. (Lihat Taisirul ‘Alam, 35).
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, “Lebih baik lagi jika yang
digunakan untuk menyikat gigi adalah kayu arak yang berasal dari negeri
Hijaz, karena di antara khasiatnya yaitu: menguatkan gusi, menghindarkan
sakit gigi, memudahkan pencernaan, dan melancarkan buang air kecil.
Walaupun demikian, sunah ini bisa didapatkan dengan segala sesuatu yang
dapat menghilangkan kuning gigi dan membersihkan mulut, seperti sikat
gigi, dan semacamnya.” (Fiqh Sunah, I/45). Dan pendapat ini juga dipilih
oleh penyusun Shohih Fiqh Sunah. Wallahu a’lam.
- Hukum Bersiwak Adalah Sunah (Dianjurkan)
Bersiwak hukumnya sunah (dianjurkan) pada setiap saat, sebagaimana
hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu membersihkan mulut dan diridhoi oleh Rabb.” (Shohih, HR. An Nasa’i, Ahmad, dll) (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I/100)
- Bersiwak Sangat Dianjurkan Jika Dilakukan Pada Waktu-Waktu Berikut:
1. Ketika berwudhu
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali ber wudhu.” (HR. Bukhari)
2. Ketika hendak shalat
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan
mereka bersiwak setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
3. Ketika membaca Al Quran
Dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata: Kami diperintahkan (oleh
Rasulullah) untuk bersiwak dan beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang
hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya.
Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan
Al-Qurannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan
mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah
hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut
malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shohih lighoirihi)
4. Ketika memasuki rumah
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya berkata, Aku bertanya pada
Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika
mulai memasuki rumah beliau?” Kemudian Aisyah menjawab: “Bersiwak.”
(Shohih, HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, an Nasa’i)
5. Ketika bangun untuk shalat malam
Dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah senantiasa
apabila hendak shalat malam (tahajjud), beliau membersihkan mulutnya
dengan siwak.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Muslim, Bukhari, Abu Daud, dan
An Nasa’i)
- Orang Yang Berpuasa Boleh Bersiwak Baik Ketika Pagi Dan Sore Hari
Hal ini dikatakan oleh Sayyid Sabiq, tetapi beliau membawakan hadits
yang lemah sebagaimana yang dinilai oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul
Minnah. Namun demikian, orang yang berpuasa boleh bersiwak baik ketika
pagi dan sore hari karena hukum asal seseorang tidak dibebani suatu
kewajiban. Seandainya bersiwak tidak diperbolehkan, tentu Allah dan
Rasul-Nya telah menjelaskannya.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Tuhanmu tidaklah lupa.” (Maryam: 64) (Lihat Tamamul Minnah dan Al Wajiz fii Fiqh Sunah wal Kitab Al ‘Aziz)
- Cara Bersiwak
Cara bersiwak adalah dengan menggosokkan siwak di atas gigi dan
gusinya. Di mulai dari sisi sebelah kanan dan sisi sebelah kiri. Dan
memegang siwak dengan tangan kanan. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqhiyyah).
Perihal Uban
- Dimakruhkan Mencabut Uban
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam
Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya
baginya pada hari kiamat nanti.” (Shohih, Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud,
an Nasa’i)
- Bolehnya Menyemir Uban Dengan Pacar, Inai, atau Sejenisnya dan Diharamkan Menyemirnya
Dengan Warna Hitam
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
“Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir
uban adalah pacar dan inai.” (Shohih Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i)
Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut
mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari,
Muslim, Sunan Abu Daud, An Nasa’i)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Pada hari penaklukan
Mekkah, Abu Quhafah (Ayah Abu Bakar-pen) datang dalam keadaan kepala dan
jenggotnya telah memutih (seperti kapas). Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Ubahlah rambut ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.”
(Shohih, HR. Muslim, Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah, dengan lafadz
semisalnya)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan
warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak akan mencium bau
surga.” (Shohih Al Jami’ush Shogiir, Abu Daud, An Nasa’i)
Wahai saudaraku! Demikianlah agama ini menetapkan macam-macam amalan
fitrah di atas. Di dalamnya terkandung keindahan, kebersihan, dan
kesucian sehingga menjadikan seorang muslim berpenampilan indah dan
menarik. Dengan melakukan hal ini, seorang muslim juga bersikap anti
yaitu menyelisih gaya hidup orang-orang kafir.
Semoga kita menjadi orang-orang yang dimudahkan untuk melakukan
sunah-sunah ini, yang seharusnya sudah menjadi tabiat bagi seorang
muslim untuk melakukannya dan dalam rangka mengikuti sunah (tuntunan)
dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah
memberi petunjuk bagi kita dalam perkataan dan perbuatan serta memberi
keselamatan bagi amal-amal kita. Sesungguhnya Allah Maha Mulia. Shalawat
dan salam atas Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
keluarganya. Amin…
Rujukan:
1. Al Mulakhos Al Fiqh, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan, Darul ‘Ashomah.
2. Asy Syarhul Mumthi’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Ibnul Haitsam.
3. Al Wajiz fii Fiqhis Sunnati wal Kitabil ‘Aziz, Dr. ‘Abdul ‘Adhim Badawi, Darul Ibnu Rojab, Mesir, cetakan ketiga.
4. Fiqh Sunah, Maktabah Syamilah.
5. Jenggot Yes, Isbal No!!, Abdullah bin Abdul Hamid, Abdul Karim Al Juhaiman, Abdullah bin Jarullah Al Jarullah, Media Hidayah.
6. Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah (Karakter dan Kepribadian Rasulullah), Imam At Tirmidzi, Pustaka At Tibyan.
7. Shohih Fiqhis Sunah wa Adillatuhu wa Tawdhihiu Mazahibil Aimmati, Abu
Malik Kamal bin As Sayyid Salim, Al Maktabah At Tawfiqiyyah.
8. Taisirul ‘Alam Syarhu ‘Umdatil Ahkaam, Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Ali Basam, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah.
9. Tamamul Minnah, Maktabah Syamilah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumni Ma’had Ilmi)
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id
http://aljaami.wordpress.com/2010/10/03/berhiaslah-dengan-sunah-sunah-fitrah-2/