Syaikh rahimahullah menjawab:
Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut
kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan
shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut
dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan.
Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada
shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa
musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh
jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir.
Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil
yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya
pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu
diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid
(sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan
qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali
jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini
imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain
shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun
pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu
kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun
qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini[1]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[2]
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih
spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam
fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut
witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir
shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan:
“Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah
diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para
ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat
shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum
muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa
musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka
membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a
qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca
qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut
tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan
kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada
ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin
–khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam
masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ” [3]
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad
bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya
mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam
karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya.
Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di
belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti
dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak
disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari
pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan
keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika
imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir
terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar
sesama muslim).”[4]
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Batu Merah, kota Ambon, 5 Syawal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1]
Hadits ini diriwayakan oleh At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu
Majah, dan Ad Darimiy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalm Misykatul Mashobih 1273 [20].
[2] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/97-98, Asy Syamilah
[3] idem, 14/78
[4] idem, 14/80
http://www.rumaysho.com/hukum-islam/umum/2713-qunut-shubuh-dalam-pandangan-empat-madz-hab.html