Niat merupakan bentuk ibadah qalbiyyah yang sangat
penting. Sehingga niat mempunyai peringkat pertama sebelum melakukan
aktivitas ibadah. Benar dan tidak sebuah ibadah atau perbuatan
ditentukan oleh niat. Karena niat mempunyai dua kecenderungan: ikhlas atau syirik.
Pengertian Niat
Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’. Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian ‘sesuatu yang dimaksudkan’.
Sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat.
Maka dari itu, barangsiapa yang menetapkan suatu definisi khusus yang
berbeda dengan makna niat secara bahasa, maka orang tersebut sebenarnya
tidak memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini
dijelaskan oleh Dr. Umar al-Asyqar dalam buku Maqashidu al-Mukallifin,
halaman 34.
Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa,
semisal Nawawi. Beliau mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan
sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya.” (Mawahidu al-Jalil,
2/230 dan Faidhu al-Qodir, 1/30)
Al-Qarafi mengatakan, “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan.” (Mawahid al-Jalil 2/230).
al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan
sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal
tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat
hati.” (Syarah al-Aini untuk shahih Bukhari)
Dr. Umar al-Asyqar mengatakan, “Mendefinisikan dengan niat dan maksud yang tekad bulat adalah pendapat yang kuat. Definisi tersebut mengacu kepada makna kata niat dalam bahasa Arab.”
Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlash. Hal ini bisa
diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan
suatu ibadah. Dan terkadang pula maknanya adalah ikhlash dalam
menjalankan suatu ibadah.
Melafadzkan Niat
Syaikh Salim al-Hilali mengatakan, “Letak niat adalah hati bukan
lisan dan hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama serta berlaku
untuk seluruh ibadah baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji
memerdekakan budak, berjihad dan lain-lain.” (Bahjatun Nadzirin, 1/32).
Jika demikian, lalu bagaimanakah hukum melafadzkan niat semacam mengucapkan, semisal, Ushalli Fardhal Magribi Tsalatsa Raka’atin Fardhan Lillahi Ta’ala?
Dalam hal ini perlu ada rincian:
a). Mengucapkan niat dengan bersuara keras
Dalam Qaul Mubin fi Akhta’ al-Mushallin halaman 95
disebutkan, “Mengucapkan niat dengan suara keras hukumnya tidaklah wajib
tidak pula dianjurkan berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Bahkan
orang yang melakukannya dinilai sebagai orang yang membuat kreasi dalam
agama yang menyelisihi syariat. Jika ada orang yang melakukan hal
demikian karena berkeyakinan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari
syariat Islam maka orang tersebut adalah orang yang tidak paham tentang
agama dan tersesat dari jalan yang benar. Bahkan orang tersebut berhak
untuk mendapatkan hukuman dari penguasa jika dia terus-menerus
melakukan hal tersebut setelah diberikan penjelasan. Terlebih lagi jika
orang tersebut mengganggu orang yang berada di sampingnya disebabkan
bersuara keras atau mengulang-ulangi bacaan niat berkali-kali.”
Nadzim Muhammad Sulthan mengatakan, “Mengucapkan niat dengan
suara keras adalah kreasi dalam agama dan satu perbuatan yang dinilai
munkar karena hal tersebut tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi
satupun dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal diatas. Padahal
kita semua mengetahui bahwa hukum asal ibadah adalah haram dan ibadah
tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan dalil.” (Qawaid wa Fawaid min al-Arbain an-Nawawiyah, halaaman 31)
Jamaluddin Abu Rabi’ Sulaiman bin Umar yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Mengucapkan
niat dengan suara keras dan juga membaca al-fatihah atau surat dengan
suara keras dibelakang Imam bukanlah termasuk sunnah Nabi bahkan
hukumnya makruh. Jika dengan perbuatan tersebut jamaah shalat yang lain
terganggu maka hukumnya berubah menjadi haram. Barang siapa yang
menyatakan bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras adalah
dianjurkan maka orang tersebut sudah keliru karena siapapun dilarang
untuk berkata-kata tentang agama Allah ini tanpa ilmu.” (al-A’lam, 3/194)
Syaikh Alauddin al-A’thar berkata, “Mengucapkan niat dengan suara
keras yang mengganggu jamaah shalat yang lain hukumnya adalah haram
dengan kesepakatan ulama. Jika tidak menggangu yang lain maka hukumnya
adalah kreasi dalam agama (baca: bid’ah) yang jelek. Jika ada orang
yang melakukan hal tersebut bermaksud riya dengan lafadz niat yang dia
ucapkan maka hukumnya haram. Karena dua alas an: riya dan pengucapan
niat itu sendiri.
Orang yang mengingkari pendapat bahwa mengucapkan niat itu
dianjurkan adalah orang yang benar. Sedangkan orang yang membenarkannya
adalah orang yang keliru. Meyakini hal tersebut bagian dari agama Allah
merupakan sebuah kekufuran. Sedangkan apabila tidak diyakini sebagai
bagian dari agama Allah maka bernilai kemaksiatan. Setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan ini memiliki kewajiban untuk
mencegah dan melarangnya. Mengucapkan niat tidaklah diajarkan oleh
Rasulullah shahabat, dan tidak pula seorangpun ulama yang menjadi
panutan umat.” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra 1/254)
Abu Abdillah Muhammad bin al-Qasim al-Thunisi yang mermadzhab Maliki mengatakan, “Niat merupakan perbuatan hati. Mengucapkan niat dengan suara keras adalah bid’ah di samping mengganggu orang lain.” (Lihat Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra hal 1/254-157)
b). Mengucapkan Niat dengan Suara Pelan
Syaikh Masyhur al-Salman mengatakan, “Demikian pula mengucapkan
niat dengan suara pelan tidaklah diwajibkan Menurut Imam Madzhab yang
empat dan para ulama yang lainnya. Tidak ada seorang ulama pun yang
mewajibkan hal tersebut, baik dalam berwudhu, shalat atau pun berpuasa.” (al-Qoul al-Mubin halaman 96)
Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah diperbolehkan mengucapkan sesuatu sebelum membaca takbiratul ihram?” “Tidak boleh,” jawab Imam Ahmad. (Majmu’ Fatawa XII/28)
Dalam al-Amru bil Ittiba’, halaman 28, Suyuthi yang bermadzhab Syafi’i mengatakan, “Di
antara perbuatan bid’ah adalah was-was berkenaan dengan niat shalat.
Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat. Mereka
tidak pernah mengucapkan niat shalat. Mereka hanya memulai shalat
dengan Takbiratul Ihram padahal Allah berfirman, yang artinya,
“Sungguh, pada diri Nabi telah ada suri tauladan yang baik.” (QS al-Ahzab: 21)
Imam Syafi’i sendiri menyatakan, “Bahwa was-was berkenaan dengan
niat shalat dan berwudhu merupakan dampak dari ketidakpahaman dari
aturan syariat. Dan akal pikiran yang sudah tidak waras lagi.”
Mengucapkan niat memiliki dampak negatif yang sangat banyak sekali.
Kita lihat ada seorang yang mengucapkan niat shalat secara jelas dan
terang kemudian dia berkeinginan untuk mengucapkan takbiratul ihram.
Orang tersebut lantas mengulangi lagi ucapan niatnya karena menganggap
dia belum berniat dengan benar.
Ibn Abi al-Iz yang bermadzhab Hanafi mengatakan, “Tidak ada
seorang pun di antara Imam Madzhab yang empat baik Imam syafi’i atau
yang lainnya yang mewajibkan ucapan niat sebelum beribadah.”
Tempat niat adalah hati dengan kesepakatan para Ulama.
Tetapi ada sebagian ulama mutaakhirin (belakangan) yang mewajibkan
mengucapkan niat dan dinyatakan sebagai salah satu pendapat dari Imam
syafi’i. Ini adalah sebuah kesalahan! Di samping itu, pendapat tersebut
melanggar kesepakatan para ulama yang sudah ada sebelumnya.” Demikian komentar Nawawi.” (al-Ittiba’ halaman 62)
Intinya: Keterangan berbagai ulama di atas menunjukkan bahwa mengucapkan niat dengan bersuara keras hukumnya adalah bid’ah. Sedangkan orang yang menganjurkan hal tersebut maka orang tersebut salah paham dengan perkataan Imam Syafi’i.
Artikel http://www.ustadzaris.com
http://aljaami.wordpress.com/2010/10/10/hukum-melafadzkan-niat/