Oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhu termasuk persoalan yang di
dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam prinsip Ahlus
Sunnah, perbedaan yang demikian termasuk sesuatu yang lumrah dan biasa
terjadi. Karenanya diperlukan sikap lapang dada untuk menerima perbedaan
pendapat tersebut, selama masing-masing berpegang pada dalil yang ada.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari
shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang
bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu
(pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula
shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya
sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’
di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang
diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun
tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara
ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan
pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2. Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang
mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila
seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan
berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiyallahu'anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiyallahu'anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah, datang menemui Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu. Ali berkata: “Aku seorang
yang banyak
mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya
(Fathimah radhiyallahu'anha) yang menjadi istriku.
Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiyallahu'anhu untuk
menanyakannya kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu'alaihi wa
sallam pun menjawab: “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
(HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita
adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang
bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang
batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan
nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama
dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya
berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam
keadaan junub / janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda
dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan
hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan: “Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak
sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘
perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal-Pembatal Wudhu
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat
dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa
perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih
Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan
membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk
berwudhu kembali Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi. Pembatal wudhu yang disepakati 1. Kencing (buang air kecil/BAK) Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135) Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil. 2.Buang Air Besar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat): أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ “Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6) Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya. 3. Keluar angin dari dubur (kentut) Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal. Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا “Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361) Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135) Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.” Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296) Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269) Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521) Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221) 4. Keluar Madzi Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ “Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303) 5. Keluar Wadi Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang. 6. Keluar Darah Haid dan Nifas Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci. Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50) 7. Keluarnya Mani Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu. 8. Jima’ (senggama) Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ “Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348) Dalam riwayat Muslim ada tambahan: وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “Sekalipun ia tidak keluar mani.” Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu. Sumber: asysyariah.com |