Sebelumnya kita telah mempelajari bersama
mengenai mandi yang diwajibkan, mandi yang disunnahkan, serta tata cara
mandi. Pada kesempatan kali ini, kita akan lanjutkan dengan
permasalahan seputar mandi Jum’at. Semoga bermanfaat bagi pengunjung
Rumaysho.com sekalian.
Mandi Jum’at disunnahkan menurut
mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan hal ini. [1] Oleh
karena itu, sudah sepantasnya mandi Jum’at tidak ditinggalkan. Inilah
pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama yang
ada.
Catatan penting yang perlu diperhatikan,
mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Sebagaimana
dinyatakan oleh Al Khottobi dan selainnya bahwa para ulama sepakat
(berijma’), mandi Jum’at bukanlah syarat sahnya shalat Jum’at. Shalat
tersebut tetap sah walaupun tanpa mandi Jum’at.[2]
Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang
yang menghadiri shalat Jum’at dan bukan karena hari tersebut adalah hari
Jum’at[3]. Sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban
untuk shalat Jum’at, tidak terkena perintah ini.
Sebagaimana dinukil dari Al Fath, Az Zain
bin Al Munir berkata, “Telah dinukil dari Imam Malik bahwa siapa saja
yang menghadiri shalat Jum’at selain pria, jika ia menghadirinya dalam
rangka mengharap keutamaan, disyari’atkan baginya mandi dan adab-adab di
hari Jum’at lainnya. Akan tetapi, jika menghadirinya cuma kebetulan
saja, seperti ini tidak disyari’atkan”.[4]
An Nawawi dalam Al Majmu’[5] menyatakan,
“Mandi Jum’at adalah sunnah dan bukanlah wajib yang menyebabkan
seseorang jika meninggalkannya menjadi berdosa. Hal ini tidak ada beda
pendapat di antara kami ulama Syafi’iyah. … Mayoritas ulama menyatakan
bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at baik itu pria, wanita,
anak-anak, musafir, budak dan selainnya tetap disunnahkan untuk mandi
Jum’at. Hal inilah yang jelas nampak pada hadits Ibnu ‘Umar. Karena
memang maksud mandi Jum’at adalah untuk membersihkan diri. Mereka yang
disebutkan tadi sama dalam hal ini. Sedangkan orang-orang yang tidak
menghadiri shalat Jum’at, tidak disunnahkan untuk mandi Jum’at –meskipun
ia terkena kewajiban shalat Jum’at (namun ia meninggalkannya karena
udzur, pen)-. Hal ini disebabkan ketika itu maksud untuk mandi Jum’at
telah hilang. Dalam hadits
Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
من أتى الجمعة من الرجال والنساء فليغتسل ومن لم يأتها فليس عليه غسل من الرجال والنساء
“Barangsiapa menghadiri shala Jum’at baik
laki-laki maupun perempuan, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan yang
tidak menghadirinya –baik laki-laki maupun perempuan-, maka ia tidak
punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan
bahwa hadits ini shahih).”
Demikian nukilan dari An Nawawi.
Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mandi Jum’at.
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ
“Jika salah seorang di antara kalian
menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919
dan Muslim no. 845)
لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حَقٌّ أَنْ يَغْتَسِلَ فِى كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا
“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh
setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari
hari-hari yang ada.” (HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849). Dua dalil
ini adalah di antara sekian dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa
mandi Jum’at itu wajib.
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berdalil dengan dalil-dalil berikut.
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at,
maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih
afdhol.” (HR. An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no.
1091). Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama. Sebagian lagi
menshahihkannya semacam Syaikh Al Albani rahimahullah[6].
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ
ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ
الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barang siapa berwudhu’ kemudian
menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia
mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka
akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at
(berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang siapa yang
bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim
no. 857).
Ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berargumen
bahwa dalam hadits ini hanya menyatakan wudhu, tidak disebutkan mandi.
Alasan semacam ini pun dibantah oleh ulama yang menyatakan wajib dengan
dalil yang sama, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafazh,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ
فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ
ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ
الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Barangsiapa yang mandi kemudian
mendatangi Jum’at, lalu ia shalat semampunya dan diam (mendengarkan
khutbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan shalat bersama
Imam, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya) antara hari itu
dan hari jum’at yang lain. Dan bahkan hingga lebih tiga hari.” (HR.
Muslim no. 857). Sehingga dari lafazh kedua ini (مَنِ اغْتَسَلَ) tidak
benar jika dikatakan bahwa cukup dengan wudhu.
Intinya, hukum mandi Jum’at apakah wajib
ataukah sunnah, lebih selamat kita tidak meninggalkannya. Karena
pendapat yang menyatakan wajib nampak lebih kuat. Wallahu a’lam.
Sejak kapan waktu mandi Jum’at?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika
seseorang mandi Jum’at sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu
Shubuh, pen), maka mandi Jum’atnya tidak sah menurut pendapat terkuat
dari ulama Syafi’iyah, seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama.
Namun Al Auza’i menganggapnya sah.”
An Nawawi rahimahullah kembali
melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar, maka mandi
Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama. Demikian
dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, An Nakho’i,
Ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat
shalat Jum’at. Namun para ulama tadi menyatakan bahwa mandi Jum’at
sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al
Auza’i. Al Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang
ingin mandi junub dan mandi Jum’at.”[7]
Al Bahuti Al Hambali rahimahullah
mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak
boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak
berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.”[8]
Apakah mandi Jum’at boleh digabungkan dengan mandi junub?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika
seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud
tersebut dibolehkan.”[9]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah
mengatakan, “Mandi Jum’at dan mandi junub boleh dalam satu niat dan satu
kali mandi. Kami tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah
ini.”[10]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub, maka
mandi Jum’at bisa tercakup di dalamnya asalkan mandi junub tersebut
dilakukan setelah terbit matahari. Jika ia meniatkan kedua mandi
tersebut sekaligus, maka itu dibolehkan dan ia akan mendapatkan pahala
keduanya. Jika ia meniatkan mandi Jum’at saja, maka mandi junub tidak
bisa tercakup di dalamnya. Karena mandi Jum’at itu wajib meskipun tidak
berhadats. Sedangkan mandi junub itu wajib karena adanya hadats. Oleh
karena itu, mandi Jum’at ini harus diniatkan untuk menghilangkan hadats
(yaitu diniatkan sekaligus untuk mandi junub, pen). Sebagian ulama
mengharuskan untuk mandi dua kali, namun pendapat ini tidak berdalil
sama sekali. ”[11]
Semoga sajian ini bermanfaat. Segala puji
bagi Allah atas nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat
dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Diselesaikan di waktu penuh kesunyian, Panggang-GK, 10 Rajab 1431 H (23/06/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.muslim.or.id
[1] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 2/100, Mawqi’ Al Islam.
[2] Lihat –idem-.
[3] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 83.
[4] Lihat Fathul Bari, 2/357.
[5] Al Majmu’, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/533, Mawqi’ Ya’sub.
[6] Lihat Shahih Ibnu Majah no. 1091.
[7] Al Majmu’, 4/536.
[8] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, Al Bahuti, 1/415, Mawqi’ Al Islam.
[9] Al Majmu’, 1/326.
[10] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/199, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405.
[11] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16/86, Asy Syamilah.
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/10/hukum-mandi-sebelum-shalat-jumat/