Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan
shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak
wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian
dari waktunya sebanyak satu raka’at sempurna, baik pada awal atau akhir
waktunya.
Contoh pada awal waktu : Seorang wanita
haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak
saru ra’kaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci,
mengqadha’ shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian
dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapaun contoh pada akhir waktu, seorang
wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat
mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
bersuci, mengqadha’ shalat Shubuh tersebut karena ia masih sempat
mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan
sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna;
seperti : Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat
sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat” [Hadits Muttafaq 'alaihi].
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan
kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah wajib baginya
mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat
dari waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib
bersama Isya’ .?
Terdapat perbedaan pendapat di antara
para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya
kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar
dan Isya’. Karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu
rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah
mendapatkan shalat Ashar itu”. [Hadits Muttafaq 'alaihi].
Nabi tidak menyatakan “maka ia telah
mendapatkan shalat Zhuhur dan Ashar”, juga tidak menyebutkan kewajiban
shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada
prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz
3, hal.70.
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih,
tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya,
membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al-Qur’an,
maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits
dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha
yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih
Al-Bukhari-Muslim dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Agar keluar para gadis,
perawan dan wanita haid -yakni ke shalat Idul fitri dan Adha- serta
supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang
beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”
Sedangkan membaca Al-Qur’an bagi wanita
haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan
dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau
lembaran Al-Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya
hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh Al- Muhadzdzab,
Juz 2, hal. 372 hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca
Al-Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak
membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnul
Munzdir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur’an bagi wanita
haid, menurut Malik dan Asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Baari (Juz 1, hal. 408),
serta menurut Ibrahim An-Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan : “Pada dasarnya, tidak ada
hadits yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an. Sedangkan
pernyataan “Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat
Al-Qur’an” adalah hadist dha’if menurut perkataan para ahli hadits.
Seandainya wanita haid dilarang membaca Al-Qur’an, seperti halnya
shalat, padahal pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum
wanitapun mengalami haid, tentu hal itu termasuk yang dijelaskan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui para istri
beliau sebagai ibu-ibu kaum mu’minin, serta disampaikan para shahabat
kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa
ada larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah
ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi
tidak melarangnya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti
hal ini tidak haram hukumnya” [Ibid,Juz 2. hal, 191].
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di
antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita
haid tidak membaca Al-Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan.
Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al-Qur’an
kepada siswi-siswinya atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu
diuji dalam membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
[2]. Puasa
Diaharamkan bagi wanita haid berpuasa,
baik itu puasa wajib mupun puasa sunat, dan tidak sah puasa yang
dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib,
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Ketika kami mengalami haid,
diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan
mengqadha’ shalat”. [Hadits Muttafaq 'alaih]
Jika seorang wanita kedatangan haid
ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu
terjadi saat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha’ puasa hari
itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan
datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah
maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempurna
dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim
belum ada hukumnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya
tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang
laki-laki, apakah wajib mandi ? Beliau pun menjawab.
“Artinya : Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani”.
Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku
hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar
seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada
hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci
menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah
terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat
puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali
setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, katanya.
“Artinya : Pernah suatu pagi pada bulan
Ramadhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub
karena jima’, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa”. [Hadits
Muattafaq 'alaihi].
[3]. Thawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan
thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun yang sunat, dan tidak sah
thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Aisyah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa’i
antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan
Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak
diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam
keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di
tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa hukumnya.
[4]. Jima’ (Senggama)
Diaharamkan bagi sang suami melakukan
jima’ dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang
isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut.
Dalilnya, firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah : ‘Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ; dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci …”. [Al-Baqarah :
222]
.
Yang dimaksud dengan “Al-mahidhi” dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya yaitu farji (vagina).
.
Yang dimaksud dengan “Al-mahidhi” dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya yaitu farji (vagina).
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni : bersenggama)”. [Hadits Riwayat Muslim]
“Artinya : Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni : bersenggama)”. [Hadits Riwayat Muslim]
Umat Islam juga telah berijma’ (sepakat)
atas dilarangnya suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid
dalam farji-nya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar
ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ ummat Islam. Maka siapa saja
yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan
Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarh Al
Muhadzdzab Juz 2, hal. 374. mengatakan : “Imam Asy-Syafi’i berpendapat
bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan
menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalalkan
senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir”.
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami
diperbolehkan melakukan selain jima’ (senggama), seperti : berciuman,
berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina). Namun,
sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut jika
sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
“Artinya : Pernah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruhku berkain, lalu beliau menggauliku sedang
aku dalam keadaan haid”. [Hadits Muttafaq 'Alaih].
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa'
Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al
'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, hal 26 - 31,
32-38 Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul Haq Jakarta]
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/06/hal-hal-yang-diharamkan-bagi-wanita-haid/