Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis sebagai
kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis dalam tulisan sebelumnya.
Semoga bermanfaat.
1 – Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan
disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan
disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan
tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya
tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah pendapat yang lebih kuat
dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai,
misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa
menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit
tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika
serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi
halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak
membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan
kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering
saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas.
Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara
membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang
menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut
“سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya
dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”,
yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع
مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh
dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة
بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan
tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah
mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata
“yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang
dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat
terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut
madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud
adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah
bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga
disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan
bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1]
Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih
dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu
dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah
kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[10]. Kemudian
shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ
فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى
فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ «
يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau
telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah
dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah
menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah
membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan
menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air
plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi,
maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon,
beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى
الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah
haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang
hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau
bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Beliau berkata,
إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ.
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di
atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[16] dan Imam
Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang
sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun
harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis
yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja.
Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai
pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang
kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah
yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang
mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits
tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini
adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung
pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak
seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika
kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan
pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat
dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[18]
5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”[19]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum
mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama
najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.[20]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ
قَالَتْ دَخَلْتُ بِابْنٍ لِى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon),
ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-.
Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi,
pen).”[21]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al
Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan
sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika
awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi
yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi
pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari
ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas.
Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita
menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan,
pen).”[22]
6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,
كُنْتُ أَلْقَى مِنَ الْمَذْىِ شِدَّةً وَكُنْتُ أُكْثِرُ مِنْهُ
الاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
ذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّمَا يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الْوُضُوءُ ». قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيبُ ثَوْبِى مِنْهُ قَالَ « يَكْفِيكَ
بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحَ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ
تُرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ ».
“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku
menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’
Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian
madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu
engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.” [23]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa
jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup untuk menghilangkan
najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban.
Madzi adalah najis yang ringan, sehingga diberi keringanan cara
menyucikannya.”[24]
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup
diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah
dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.
7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya
di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun
ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”.
Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga
ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat
kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
« إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِى
نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا »
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka
lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal
kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan
keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[26]. Hadits ini
menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis (ke tanah),
itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup
yang basah atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah
bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu
beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena
itu, jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia
ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di pertengahan
shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun
terus melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ ،
فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا
عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ،
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin
menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing
tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan
kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.” [28]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk
mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut
dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut
juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan
kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau
diperciki dengan air. Beliau berkata,
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى
زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا
يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki
kencing anjing tersebut.”[29]
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam
madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i,
juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan
menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika
ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam
Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari Imam Asy Syafi’i[30],
pendapat Ibnu Hazm[31], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[32] dan pendapat
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin[33] bahwa diperbolehkan
menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan
menggunakan air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka
demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa menyucikan dan
menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada
beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap
najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air.
Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika buang air
dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang
terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian
wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang
hal ini telah kami sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun
menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut
telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah
dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang
menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi
suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.[34]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang
terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan
cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya.
Karena hukum terhadap
sesuatu jika illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya.
Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk
menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan
mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan
menggunakan keduanya.”[35]
Demikian penjelasan kami mengenai cara membersihkan najis sebagai
kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis. Dalam tulisan selanjutnya
kita akan mengupas beberapa hal yang dianggap najis padahal bukan.
Semoga Allah memudahkan.
Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, 27 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.muslim.or.id
[1] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[2] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no.
3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa
Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[3] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian
ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya
disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman
hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat,
sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.
[4] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[5] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr,
cetakan pertama, tahun 1425 H.
[6] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini
adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat)
Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan
pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
[7] HR. Muslim no. 279
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[9] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.
[10] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al
Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu
Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.
[11] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[12] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[14] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531.
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa
hadits ini shohih.
[16] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai
hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”.
Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah
terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi,
ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia
melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis
sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub
Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)
[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[18] Idem.
[19] HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani
dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini
shohih.
[20] Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176-177, Darul Atsar
[21] HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287.
[22] Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214.
[23] HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu Majah no. 506.
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[24] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani,
1/35, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[25] HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih.
[26] Dengan catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika
memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman
sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah
seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid. Sunnah ini bisa
dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar.
[27] Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, cetakan keempat, tahun 1379.
[28] HR. Bukhari no. 220
[29] HR. Bukhari no. 174
[30] Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86.
[31] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub.
[32] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[33] Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, hal. 176.
[34] Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87.
[35] Majmu’ Al Fatawa, 21/475.
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/cara-membersihkan-najis.html
http://aljaami.wordpress.com/2010/10/03/cara-membersihkan-najis/