Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata [dalam kitabnya Tsalatsatu Ushul, lihat Majmu'at At-Tauhid, hal. 18-19] :
Saudaraku, semoga Allah
merahmatimu. Perlu engkau ketahui bahwa setiap muslim dan muslimah
wajib mempelajari tiga perkara ini dan beramal dengannya :
Pertama,
sesungguhnya Allah lah yang menciptakan kita. Allah tidak meninggalkan
kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi Allah telah mengutus Rasul
kepada kita. Oleh sebab itu barangsiapa yang menaatinya niscaya akan
masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadanya maka akan masuk
neraka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah)
seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah
mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun
mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.”
(QS. Al-Muzammil : 15-16)
Kedua,
sesungguhnya Allah tidak meridhai ada sesuatu yang dipersekutukan
bersama-Nya dalam hal ibadah kepada-Nya, entah itu malaikat yang dekat
[dengan Allah] maupun Nabi yang diutus. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya
di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin : 18)
Ketiga,
barangsiapa yang menaati Rasul dan mentauhidkan Allah maka dia tidak
boleh berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya
walaupun mereka adalah orang yang paling dekat dengannya. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kamu tak akan mendapati
kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara,
ataupun keluarga mereka. Mereka Itulah orang-orang yang telah Allah
tanamkan keimanan dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan
pertolongan dari-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa ridha terhadap-Nya. Mereka
itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah
(golongan Allah) itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujaadilah :
22)
Penjelasan Ringkas
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata :
Ketiga permasalahan ini secara global meliputi :
Pertama : Tentang tauhid rububiyah
Kedua : Tentang tauhid uluhiyah
Ketiga : Tentang wala’ (loyalitas) dan bara’ (kebencian)
Tiga
persoalan ini merupakan persoalan yang sangat besar dan setiap orang
harus mempelajari serta mengamalkan kandungannya karena ia merupakan
landasan agama serta asas aqidah (Hushulul ma’mul, hal. 27-28).
Tauhid Rububiyah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah memaparkan :
Tauhid rububiyah adalah : mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam hal penciptaan, kekuasaan, serta pengaturan. Yang dimaksud dengan mengesakan-Nya dalam hal penciptaan adalah hendaknya setiap insan meyakini bahwa tidak ada pencipta selain Allah.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-A’raaf : 54). Kalimat ini memberikan fungsi pembatasan karena
penempatan khabar (predikat kalimat) yang didahulukan. Sebab,
menempatkan sesuatu di depan padahal semestinya berada di belakang
menunjukkan adanya makna pembatasan. Allah ta’ala juga berfirman (yang
artinya), “Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepada kamu dari langit dan bumi ?” (QS. Faathir : 3). Ayat ini
menunjukkan pengkhususan hak mencipta adalah milik Allah saja….
Adapun yang dimaksud dengan
mengesakan Allah dalam hal kekuasaan (kerajaan) ialah : hendaknya
setiap orang meyakini bahwa tidak ada yang menguasai seluruh makhluk
selain Dzat yang menciptakan mereka. sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah ta’ala (yang artinya), “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan
bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-’Imran :
189) ….
Adapun yang dimaksud dengan
mengesakan Allah dalam hal pengaturan adalah hendaknya setiap insan
meyakini bahwa tidak ada pengatur yang hakiki melainkan Allah semata,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang
artinya),”Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit
dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup] dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah
“Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian)
Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah
kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan
(dari kebenaran)?” (QS. Yunus : 31-32). Adapun pengaturan yang
dilakukan oleh manusia adalah pengaturan yang terbatas pada apa-apa
yang berada di bawah kekuasaannya saja dan juga dibatasi dalam hal-hal
yang diizinkan menurut syariat… (Al-Qaul Al-Mufiid I, hal. 5-6, cet.
Maktabah Al-’Ilmu)
Tauhid Uluhiyah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah memaparkan :
Tauhid ini disebut juga tauhid ibadah dengan dua tinjauan. Dilihat dari sisi penyandaran tauhid ini kepada hak Allah, maka ia dinamai tauhid uluhiyah. Adapun apabila dilihat dari sisi penyandaran tauhid ini kepada kewajiban makhluk, maka ia disebut sebagai tauhid ibadah.
Sehingga yang berhak untuk mendapatkan ibadah adalah Allah ‘azza wa
jalla semata. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah,
karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang hak dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang
batil; dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.”
(QS. Luqman : 30)… …(Al-Qaul Al-Mufiid I, hal. 7, cet. Maktabah
Al-’Ilmu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba
terhadap ibadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun
dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang
bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi dari sebagian sisi ia bisa
diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di
antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena
sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya.
Padahal tidak ada kebaikan baginya (hati dan ruh) kecuali dengan
(pertolongan) Tuhannya, yang tiada ilah (sesembahan) yang hak selain
Dia. Sehingga ia tidak akan bisa merasakan ketenangan kecuali dengan
mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan
kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus
menerus terasa. Akan tetapi ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis
yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun tuhannya,
maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap
waktu. Dimanapun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya”
(Majmu’ Fatawa, I/24, dikutip dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Al
Fauzan, hal. 43)
Al-Wala’ wa Al-Bara’
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata :
Al
Wala’ berasal dari kata ‘waliya syai’a’ yang artinya berada dekat
dengan seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah wala’ di sini
adalah ‘al qurbu minal muslimin bimawaddatihim wa i’aanatihim wa
munaasharatihim ‘ala a’daa’ihim was sukna ma’ahum’. Artinya bersikap
dekat dengan kaum muslimin dengan cara mencintai mereka, membantu mereka
serta memberikan pertolongan dan pembelaan apabila mereka diserang
oleh musuh-musuh dan juga menetap hidup bersama mereka.
Adapun al baraa’ adalah berasal
dari kata ‘bara’ yang bermakna memutus. Diantara derivat dari kata ini
adalah ungkapan ‘baral qalamu’ yang artinya (tinta) pena itu telah
habis. Sedangkan yang dimaksudkan di sini adalah keterputusan hubungan
hati dengan orang-orang kafir, sehingga dia tidak lagi mencintai
mereka, tidak memberikan pembelaan kepada mereka, dan tidak menetap di
negeri-negeri mereka. (Kitab Tauhid li Shaffits Tsaani al ‘aali, hal.
96)
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak
dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Katakanlah: “Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. At-Taubah :
23-24)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan :
Ayat yang mulia ini merupakan dalil paling agung yang menunjukkan kewajiban untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan mendahulukannya di atas kecintaan kepada segala sesuatu,
dan menjanjikan ancaman yang sangat keras dan kemurkaan yang hebat
terhadap siapa saja yang menjadikan apa-apa yang disebutkan ini (bapak,
anak, saudara, istri, kaum keluarga, kekayaan, perniagaan dan tempat
tinggal) lebih dicintainya daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad
di jalan-Nya. Tanda kebenaran cinta itu ialah apabila seseorang
dihadapkan kepadanya dua perkara, salah satunya dicintai Allah dan
Rasul-Nya sementara di dalam dirinya tidak ada keinginan (nafsu) untuk
itu, sedangkan perkara yang lain adalah sesuatu yang disukai dan
diinginkan oleh nafsunya akan tetapi hal itu akan menghilangkan atau
mengurangi perkara yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Apabila ternyata
dia lebih memprioritaskan apa yang diinginkan oleh nafsunya di atas apa
yang dicintai Allah ini berarti dia telah berbuat zalim dan
meninggalkan kewajiban yang harus dilakukannya” (Taisir Al-Karim
Ar-Rahman, hal. 332)
Keteladanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya),“Sesungguhnya Telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas
diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah,
kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja, kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya “Sesungguhnya Aku
akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak
sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan
kami Hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan Hanya kepada Engkaulah
kami bertaubat dan Hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al
Mumtahanah : 4)
Di dalam ayat ini Allah
menyanjung sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam beserta orang-orang yang
beriman yang dengan tegas berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain
Allah” kemudian beliau pun mempertegas permusuhan dan kebencian yang
ada antara beliau dengan mereka, “kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian” yaitu kebencian
hati, tidak menaruh rasa sayang, serta permusuhan fisik. Permusuhan dan
kebencian ini tidak ada batas waktunya selama mereka masih bersikukuh
di atas kekafiran, kecuali jika mereka telah beriman kepada Allah saja.
Karena apabila mereka telah beriman kepada Allah maka permusuhan akan
berubah menjadi kasih sayang, kebencian akan berubah menjadi kesetiaan
(lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 856)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa al wala’ wal bara’ adalah
prinsip yang sangat agung, telah banyak nash (dalil) yang menjelaskan
tentangnya, kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat yang terkait dengan
masalah ini. Setelah itu beliau rahimahullah mengatakan : “Memberikan
loyalitas kepada orang yang memusuhi Allah dan bersikap lunak kepadanya
menunjukkan bahwa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang bersemayam
dalam hati seseorang sangat lemah; karena tidaklah masuk di akal
apabila ada seseorang yang menyenangi seseorang yang (justru) menjadi
musuh kekasih yang dicintainya. Bersikap loyal terhadap orang-orang
kafir adalah dengan membantu mereka dalam kekufuran dan kesesatan.
Sedangkan menyayangi mereka itu bisa berupa melakukan hal-hal demi
mendapatkan kecintaan mereka. Maka anda dapati mereka itu mencari
rasa senang dari orang-orang kafir dengan berbagai cara, hal ini tidak
ragu lagi termasuk perkara yang menafikan keimanan, baik keseluruhannya
maupun kesempurnaannya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap
mukmin untuk memusuhi orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun
mereka adalah orang terdekat, dan wajib membenci dan menjauhinya, akan
tetapi hal ini tidak berarti menghalangi kita dari memberikan nasihat
dan mengajaknya kepada kebenaran.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 36)
Catatan : Tidak semua orang kafir halal darahnya
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka
terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq
menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah Ta’ala” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz
Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan di dalam syarah Arba’in beliau
bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka
terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil bahwa orang
kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Namun,
yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah kafir harbi; yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan memusuhi kaum muslimin.
Sehingga, apabila misalnya anda mengambil harta seorang kafir harbi
maka tidak ada hukuman yang harus dijatuhkan kepada anda. Adapun orang
kafir mu’ahad, kafir musta’man, dan kafir dzimmi maka mereka semua
tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Kafir mu’ahad adalah
orang kafir yang negaranya memiliki ikatan perjanjian keamanan dengan
negara kaum muslimin, baik jaminan itu berasal dari pemerintah maupun
dari seorang muslim.
Sedangkan kafir dzimmi adalah orang kafir yang menjadi warga negara sebuah pemerintahan Islam dan tunduk kepada aturannya serta mau membayar jizyah.
Adapun kafir musta’man
ialah orang-orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan atau suaka
politik dari suatu negeri muslim. Orang-orang kafir semacam ini sama
sekali tidak boleh diperangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad maka
dia tidak akan bisa mencium baunya surga dan sesungguhnya baunya itu
bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari). Dalam
lafazh lain beliau menyatakan, “Barangsiapa membunuh jiwa seorang
mu’ahad dia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya baunya itu
bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari).
Wallahu a’lam bish shawaab. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa
sallam. Selesai disusun ulang pada sore hari Ahad, 16 Dzulhijjah 1429
H, alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat.
_____________________
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/tiga-kaidah-penting.html