Artikel
kali ini membahas permasalahan sholat jamak bagi musafir ditinjau dari
segi hukum dan pendalilannya serta permasalahan yang timbul berkaitan
dengan sholat jamak, seperti hukum menjamak sholat Jum'at, adzan dan
Iqomah bagi sholat jamak, sholat di atas kendaraan, bolehkah dijamak
saat jalanan macet atau sholat di ruang tunggu keberangkatan.
Dikumpulkan dari beberapa sumber untuk melengkapi artikel di
alquran-sunnah.com.
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
كَانَ
رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم - يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظُّهرِ
وَالعَصرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهرِ سَيرٍ، وَيَجمَعُ بَينَ المَغرِبِ
وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa
menjamak antara zuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau
juga menjamak antara maghrib dan isya.” (HR. Al-Bukhari no. 1107)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu dia berkata:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ
السَّيْرُ فِي السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ
بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ قَالَ سَالِمٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ
وَيُقِيمُ الْمَغْرِبَ فَيُصَلِّيهَا ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ ثُمَّ
قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيمَ الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيهَا رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يُسَبِّحُ بَيْنَهُمَا بِرَكْعَةٍ وَلَا بَعْدَ
الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍ حَتَّى يَقُومَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ
“Aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau
tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menangguhkan shalat maghrib dan
menggabungkannya bersama shalat isya”.
Salim (anak Ibnu Umar) berkata,
“Dan
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu juga mengerjakannya seperti itu bila
beliau tergesa-gesa dalam perjalanan. Beliau mengumandangkan iqamah
untuk shalat maghrib lalu mengerjakannya sebanyak tiga raka’at kemudian
salam. Kemudian beliau diam sejenak lalu segera mengumandangkan iqamah
untuk shalat isya, kemudian beliau mengerjakannya sebanyak dua rakaat
kemudian salam. Beliau tidak menyelingi di antara keduanya (kedua shalat
yang dijamak) dengan shalat sunnah satu rakaatpun, dan beliau juga
tidak shalat sunnah satu rakaatpun setelah isya hingga beliau bangun di
pertengahan malam (untuk shalat malam).” (HR. Al-Bukhari no. 1109)
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ
تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ
الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ
أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ
ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ
أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ
بَيْنَهُمَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
perang Tabuk, ketika matahari telah tergelincir sebelum beliau
berangkat, maka beliau menjamak antara shalat zuhur dan ashar (jamak
taqdim). Dan jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir, maka
beliau mengundurkan shalat zuhur sehingga beliau singgah untuk shalat
Ashar (lalu mengerjakan keduanya dengan jamak ta`khir). Demikian pula
ketika shalat maghrib, apabila matahari terbenam sebelum beliau
berangkat, maka beliau menjamak antara maghrib dan isya (dengan jamak
taqdim), dan jika beliau berangkat sebelum matahari terbenam maka beliau
mengakhirkan shalat maghrib hingga beliau singgah pada untuk shalat
isya, kemudian beliau menjamak keduanya (dengan jamak ta`khir).” (HR. Abu Daud no. 1220, At-Tirmizi no. 553, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 1344)
Penjelasan ringkas:
Di
antara kemudahan yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba adalah Dia
mensyariatkan kepada mereka untuk menjamak shalat dalam keadaan safar.
Hal itu karena musafir -biasanya- mendapatkan kesulitan dan kerepotan
kalau mereka harus singgah ke sebuah tempat untuk mengerjakan setiap
shalat pada waktunya masing-masing. Karenanya, boleh bagi musafir untuk
menjamak shalat maghrib dan isya pada waktu salah satu dari keduanya
(taqdim atau ta`khir) dan demikian pula antara shalat zuhur dan ashar.
Jamak ini boleh dia lakukan selama dia masih berstatus sebagai musafir,
baik sedang dalam perjalanan maupun dia singgah di sebuah tempat. Semua
ini berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas.
Hukum jamak shalat bagi musafir
Tidak
ada satupun dalil yang memerintahkan jamak shalat bagi musafir, yang
ada hanyalah nukilan ada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Karenannya, hukum jamak shalat bagi musafir adalah sunnah dan tidak
sampai dalam derajat wajib, berbeda halnya dengan qashar shalat yang
hukumnya wajib bagi musafir.
Azan dan iqamah dalam shalat jamak
Dalam
menjamak dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan azan di awal
dari dua shalat tersebut dan keduanya serta iqamah di awal kedua shalat
tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu
dimana beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الصَّلاتَينِ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتِينِ
“Sesungguhnya
Nabi shallallahu alaihi wasalam mengerjakan (menjamak) dua shalat di
Arafah dengan sekali azan dan dua kali iqamah.” (HR. Muslim no. 1818)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma di atas.
Jamak shalat jumat dan ashar
Tidak
ada satupun dalil yang mengecualikan shalat jumat dari keumuman
hadits-hadits tentang jamak shalat. Karenanya dibolehkan untuk menjamak
shalat jumat dengan shalat ashar berdasarkan keumuman semua dalil di
atas. Seandainya shalat jumat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda
dengan shalat-shalat lainnya dalam hal menjamak, niscaya para sahabat
dan para ulama setelahnya akan semangat dalam menukilnya karena hukum
tersebut keluar dari hukum asal. Karenanya, tatkala tidak ada satupun
nukilan dari para sahabat radhiallahu anhum yang membedakan antara
shalat jumat dengan selainnya. Dan barangsiapa yang hendak membedakannya
maka hendaknya dia mendatangkan dalilnya, wallahu a’lam.
Hukum shalat jumat bagi musafir
Sehubungan
dengan pembahasan di atas kami katakan: Tidak disunnahkan bagi musafir
untuk mengerjakan shalat jumat, akan tetapi dia disyariatkan untuk hanya
mengerjakan shalat zuhur lalu menjamaknya dengan ashar -jika dia
ingin-.
Dalil dalam masalah ini adalah tidak adanya satupun dalil
yang menunjukkan kalau Nabi dan para sahabat beliau mengerjakan shalat
jumat dalam keadaan safar. Di antarnya adalah hadits Jabir bin Abdillah
radhiallahu anhuma yang panjang dalam riwayat Muslim no. 1218 tentang
sifat haji Nabi shallallahu alaihi wasallam, sementara para ulama
menyebutkan bahwa hari arafah pada tahun itu jatuh pada hari jumat.
Jabir berkata setelah menyebutkan isi khutbah beliau di Arafah,
“Kemudian
Bilal mengumandangkan azan kemudian iqamah kemudian beliau mengerjakan
shalat zuhur. Kemudian iqamah kembali dikumandangkan lalu beliau shalat
ashar, dan beliau tidak melakukan shalat sunnah satu rakaat pun di
antara keduanya.”
Dari shalat yang beliau lakukan di Arafah pada hari jumat di atas berbeda bukanlah shalat jumat, ditinjau dari empat perkara:
1. Jabir menamakannya sebagai shalat zuhur dan bukan shalat jumat.
2. Azan di sini dikumandangkan setelah khutbah, sementara pada shalat jumat, azan dikumandangkan sebelum khutbah.
3. Hadits Jabir di atas hanya menyebutkan sekali khutbah, sementara shalat jumat memiliki dua khutbah.
4. Tidak dinukil bacaan beliau pada kedua rakaat tersebut, padahal
Jabir menukil bacaan beliau pada shalat sunnah tawaf. Ini menunjukkan
shalat yang beliau lakukan saat itu adalah shalat sirriah. Maka shalat
ini tentunya bukanlah shalat jumat karena shalat jumat adalah shalat
jahriah.
Sejumlah ulama seperti Ibnu Abdil Barr dalam
Al-Istidzkar (5/76), Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah, dan selainnya
menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya shalat jumat bagi musafir.
Hanya saja nukilan ijma’ ini kurang detail karena Ibnu Hazm rahimahullah
berpendapat tetap wajibnya jumat bagi musafir. Karenanya ini hanya
merupakan pendapat mayoritas ulama, dan inilah pendapat yang kuat insya
Allah.
Jika musafir shalat jumat, apakah shalatnya syah?
Tatkala
Nabi shallallah alaihi wasallam tidak pernah shalat jumat dalam keadaan
safar, maka sudah bias dipastikan bahwa amalan mengerjakan shalat jumat
dalam keadaan safar adalah salah dan menyelisihi tuntunan beliau, serta
pelakunya telah terjatuh ke dalam dosa penyelisihan kepada Ar-Rasul
shallallahu alaihi wasallam. Hanya saja, apakah shalat jumatnya dan
khutbahnya -jika dia adalah khatib- syah atau batal? Wallahu a’lam,
pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat mayoritas
ulama yang menyatakan syahnya shalat jumat serta khutbahnya walaupun dia
berdosa. Sebagaimana halnya jika ada seorang musafir yang shalat itmam
(4 rakaat), maka shalatnya syah akan tetapi dia berdosa karena menambah 2
rakaat dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menambahnya
dalam safar.
Kapan musafir mulai boleh menjamak?
Dari
hadits Muadz bin Jabal di atas menunjukkan bolehnya menjamak shalat
walaupun masih berada di negerinya, selama dia sudah ada niat untuk
mengerjakan safar. Karenanya, jika dia sudah ada niat untuk berangkat
setelah shalat zuhur, maka ketika shalat zuhur dia sudah bisa
menjamaknya dengan shalat ashar walaupun dia masih belum memulai
perjalanan.
Jika setelah menjamak, dia mengundurkan perjalanannya
-karena ada uzur- hingga masuk shalat ashar, maka dia tidak wajib
mengulangi shalat asharnya, karena shalatnya yang pertama tadi sudah
mencukupi. Hanya saja jika dia sedang berada di dalam masjid sementara
shalat ashar didirikan atau dia sengaja datang ke masjid untuk shalat
ashar, maka shalatnya saat itu dia niatkan sebagai shalat sunnah dan
bukan niat shalat ashar.
Tidak boleh dia mengerjakan shalat ashar
kembali dengan alasan shalat ashar yang pertama itu dirubah menjadi
shalat sunnah, karena merubah niat dalam keadaan seperti itu tentunya
tidak memberikan pengaruh apa-apa. Demikian pula tidak boleh walaupun
alasannya untuk berjaga-jaga, karena itu lebih mendekati amalan was-was
daripada amalan ihtiyath (jaga-jaga).
Adapun masalah kapan
seorang dikatakan musafir sehingga diperbolehkan menjamak. Demikian pula
berapa lama dia boleh menjamak, maka jawabannya sama seperti pada
pembahasan qashar shalat bagi musafir dalam artikel sebelumnya.
[Rujukan utama: Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Aadab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafizhahullah]
Menjamak Sholat Karena Macet?
Oleh Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari
Pertanyaan
; Kami tinggal di kota besar yang (lalu lintasnya) senantiasa padat,
terkadang seseorang terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam sampai
keluar waktu shalat, maka apa yang harus ia lakukan? Dan jika ia
memperkirakan bahwa kemacetan tersebut akan panjang, bolehkah baginya
menjama' dua shalat dengan jama' taqdim?
Jawab; Pada asalnya semua shalat itu dikerjakan pada waktunya, Allah 'azzawajalla berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا" (النساء – 103
"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (Qs. An-Nisa'; 103) maka yang wajib shalat-shalat tersebut dilakukan pada waktunya seperti yang disyariatkan.
Disini
penanya mengatakan bahwa ia tinggal di kota besar yang selalu macet
yang seseorang terkadang berada dalam kemacetan berjam-jam lamanya
hingga keluar waktu shalat. Ia tidak boleh untuk tetap didalam mobil,
sepertinya yang dimaksud si penanya apabila ia tetap didalam mobil,
yaitu (hukumnya) tidak boleh baginya untuk tetap di dalam mobil sampai
keluar waktu shalat, shalat-shalat tersebut harus dilakukan pada
waktunya sebagaimana ayat yang telah kami sebutkan tadi.
Maka
apabila terjadi kondisi seperti ini dengan artian ia tetap didalam mobil
sampai hampir keluar waktu shalat maka ia harus shalat pada waktunya
agar tidak keluar waktu shalat, akan tetapi apakah ia melakukan shalat
di dalam mobil atau diluar? Saya jawab, yang benar, jika ia mampu untuk
mengerjakan shalat yang diwajibkan di luar mobil dengan menghadap kiblat
maka inilah yang wajib ia kerjakan.
Dan
apabila ia tidak mampu dalam artian kepadatan tersebut (antara
kendaraan) menempel rapat (sampai-sampai) ia tidak mampu untuk keluar
dan tidak mendapatkan tempat untuk shalat, melakukan ruku' atau sujud
maka jawaban kami untuk keadaan seperti ini adalah, boleh baginya
melakukan shalat di atas kendaraannya yakni mobilnya dan disyaratkan
baginya menghadap kiblat ketika memulai takbir, kemudian (menyempurnakan
–ed) shalatnya kemana pun arah kendaraannya.
Maka
ruku'nya dengan merunduk dan sujudnya lebih rendah lagi, berdasarkan
hadits Ya'la bin Murrah riwayat Al Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan yang
lainnya, bahwa Ya'la pernah bersama Nabi Sholallohu'alaihiwasallam di
tempat yang sempit lalu datanglah awan dan tanah pun basah, kemudian
tiba waktu shalat, lalu nabi memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan
adzan, maka ia mengumandangkan adzan dan iqamah dan nabi pun shalat di
atas kendaraanya.
Ya'la berkata: "Beliau (shalat dengan-ed) merunduk dan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya.
Pada
hadist ini tidak didapatkan nabi menghadap kiblat, diantara ahlul ilmi
ada yang menshahihkannya dan berpendapat dengan hadits ini, diantara
mereka yang berpendapat dengan hadits ini adalah Al Imam Ahmad
rahimahullah, Ishaq bin Rahawaih dan selainnya dari kalangan ulama. Dan
diantara yang menshahihkannya dan mengatakan sanadnya baik adalah Al
Imam An-Nawawi dan yang lainnya dan sebagian ahlul ilmi berpendapat akan
lemahnya hadits ini diantara mereka adalah Al-Baihaqi. Karena itu
mereka tidak mengambil hadist ini. Yang kami maksudkan adalah hendaknya
ia mengerjakan sebagaimana yang terdapat didalam hadits Ya'la ini, dan
saya katakan: "menghadap kiblat " hal ini adalah sebagai kehatian-hatian.
Dan
saya katakan ini sebagai bentuk kehati-hatian, hendaknya ia menghadap
kiblat, walaupun hadits Ya'la dan yang lainnya menerangkan nabi tidak
menghadap kiblat yakni tidak ada nas yang menyatakan nabi menghadap
kiblat. Jika orang tersebut shalat dalam keadaan ini, maka boleh agar
tidak sampai keluar waktu shalat. Tetapi kalau ia mendapatkan tempat
shalat di luar mobil ia bisa shalat, ruku' dan sujud di situ maka inilah
yang lebih utama dan inilah yang harus ia kerjakan.
Adapun
ucapan si penanya jika ia merasa bahwa kemacetan akan lama, apakah ia
boleh menjama' dua shalat secara jama' taqdim? (Perkaranya) tidak
demikian, karena urusan ini kembalinya bukan kepada perasaan, dalam hal
ini ada waktu-waktu yang dibatasi oleh syari'at, waktu-waktu tersebut
ada awal dan ada akhirnya dengan kata lain ada waktu yang luas dan ada
waktu yang sempit, maka dalam kondisi ini ia melihat antara dua waktu
ini, seperti yang terdapat dalam hadits Jibril:
"Diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat, diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat".
Jibril
shalat bersama nabi Sholallohu'alaihiwasallam sekali diawal waktu dan
sekali diakhir waktu setiap shalat, kemudian berkata:
"Diantara dua waktu ini adalah waktu-waktu shalat".
Seperti yang datang dalam hadist yang shahih Maka perkaranya tidak
kembali kepada perasaan, akan tetapi waktu-waktu (yang membatasinya)
apakah ia mengetahui waktu shalat (atau tidak). Dan waktu-waktu tersebut
diketahui apakah dengan cara-cara syar'i atau dengan jam dan
diantaranya ada yang diketahui dengan perkiraan. Maka ia berupaya untuk
shalat pada waktunya. Kondisi ini bagaimanapun bukan udzur yang
membolehkan seseorang untuk menjama' shalat.
Sebagaimana
yang kalian ketahui jama' secara terus menerus bukan termasuk sunnah
Rasulullah Sholallohu'alaihiwasallam. Diriwayatkan oleh Al Imam Al
Bukhari dari hadits Ibnu Abbas beliau Sholallohu'alaihiwasallam pernah
mengerjakannya (jama') tanpa sebab rasa takut atau hujan. Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu berkata tatkala ditanya (akan hal ini):
"Beliau
Sholallohu'alaihiwasallam tidak ingin memberatkan umatnya" artinya
bahwa hal ini (jama' -ed) boleh dikerjakan sewaktu-waktu yakni jika
seseorang membutuhkannya seperi kalau sedang sakit, lelah atau ada
penghalang. Adapun keluar untuk urusan-urusan dan kebutuhan (sehari-hari
-ed), hal ini berlangsung terus menerus, bukankah begitu ? Dan ini akan
terus berulang, saya khawatir (apabila ia menjama' dalam kondisi
seperti ini-ed) ia akan mengambil keleluasaan tersebut dan
mengulang-ulanginya padahal perbuatan ini bukan sunnah baginya.
Sumber : Rec tanyajawab dgn Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari
http://www.alquran-sunnah.com/artikel/fiqh/612-permasalahan-menjamak-sholat
http://nhawadaa-chan.blogspot.com/2012/11/permasalahan-menjamak-sholat.html