Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat
diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Untuk berwudhu tentu saja
memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk
berwudhu? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga
bermanfaat.
Ada Dua Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama: Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan).
Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya.
Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari
langit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun,
dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama
dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air
tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut,
beliau pun menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun halal.” [1]
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya
sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap
disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu.
Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang
hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan
boleh digunakan untuk berwudhu.
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air
tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel”
(seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh,
disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq
sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua: Air Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari
tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum
asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu
berubah warna, rasa atau baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah
tambahan yang dho’if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah
sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika
terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air
yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits
Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah).
Yang menjadi hujah
(argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin)
sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum
muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak
mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak
ada nashnya.”[2]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3]
Bolehkah Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu
orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air
bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta’mal termasuk air muthohhir
(mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia
tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan
tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau
warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi Tholib, Ibnu
‘Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari
Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam
Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.[4]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ
يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami
di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu.
Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun
menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa
air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang
sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para
sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas
wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali
untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis,
lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap
bahwa air musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan
untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا
مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ،
فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika
aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas
wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan
perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama
lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para
ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan
orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci.
Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang
suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan
untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan
yang menyelisihinya.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal
yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi’i dalam salah satu
pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Imam Abu Hanifah serta
murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air
musta’mal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena
bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami
kemukakan di atas. Wallahu a’lam.
Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas
bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari
air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits ini tidak bertentangan
dengan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi
dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua
pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa
melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al
Hakam bin ‘Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak
sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi
makruh dan bukan haram. Wallahu a’lam.[17]
Apakah Air Kurang dari Dua Qullah Jika Kemasukan Najis Menjadi Najis?
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90
mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan
93,75 sho’[18]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa
jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg;
berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi,
ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya
adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.
Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua
qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah
atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Alangkah bagusnya jika kita
dapat melihat pembahasan berikut ini.
[Hadits Air Dua Qullah]
Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)[19]
[Jika Air Lebih Dari Dua Qullah]
Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air
telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun,
jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia
menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti
lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak
tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi
oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air
atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.
Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara
mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut
kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih
pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.
[Jika Air Kurang Dari Dua Qullah]
Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut
mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut
menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak
berubah rasa, warna atau baunya.
Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit)
kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah
rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka
adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini
yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka
kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis.
Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan
ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya
sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah
salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.
Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]
Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci
sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di
atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah
menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada
mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual
(mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan
secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para
ulama.
Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab). Jadi
kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena
benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak
berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut
tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat
kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat
ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.[21]
Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran
(sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua
qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi,
maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua
qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut
dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana
asalnya yaitu suci.
Bolehkah Menggunakan Air Musyammas (Air yang Terkena Terik Matahari)?
Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama
yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:
لا نعلم دليلا صحيحا يمنع من استعمال الماء المشمس.
“Kami tidak mengetahui satu dalil shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik matahari).”
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh
‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku
wakil ketua dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua. (Soal keenam
dari Fatwa no. 7757)[22]
Intinya, air musyammas masih boleh digunakan untuk berwudhu.
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan berkat nikmat Allah di saat turun berkah hujan di Pangukan-Sleman, 3 Shofar 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar
[3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah,
Syaikh Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian
seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104.
[5] HR. Bukhari no. 187.
[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut.
[7] HR. Bukhari no. 189.
[8] Fathul Bari, 1/296.
[9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] HR. Bukhari no. 194.
[11] HR. Bukhari no. 193.
[12] HR. Muslim no. 323.
[13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits.
[14] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa’.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106.
[16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih
Fiqh Sunnah -Syaikh Abu Malik-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al
Maktabah At Taufiqiyah.
[18] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H.
[19] Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah.
Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam
golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi
hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah
mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy,
Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang
shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu
Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas
pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan
hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela
(melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil
Marom, 1/116)
[20] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478
[21] Pembahasan ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil
Marom, 1/118 dan Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil Haitsam.
[22] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 7/54, Darul Ifta’.
http://aljaami.wordpress.com/2010/10/03/macam-macam-air/