Masih dalam usaha untuk
membatalkan pemahaman orang-orang musyrik yang memohon syafa’at, perlindungan
serta petunjuk kepada selain Allah (seperti malaikat, Nabi dan orang-orang
shalih), penulis Kitab
Tauhid menjelaskan juga bahwa Nabi pun tidak berkuasa memberikan hidayah.
Beliau membawakan kisah kematian paman Rasulullah.
Nabi Tidak Dapat Memberikan
Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah [1]
Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala;
“Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Diriwayatkan dalam Shahih
Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata,”Tatkala Abu
Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
kepadanya dan saat itu ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di
sisinya, maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya bersabda kepadanya,
“Wahai pamanku! Ucapkanlah "La Ilaha Illallah" suatu kalimat yang
dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah. Tetapi disambut oleh
‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl, "Apakah kamu membenci agama Abdul
Muththalib?" Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya mengulangi
sabdanya lagi, akan tetapi mereka pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula.
Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul
Muththalib dan enggan mengucapkan "La Ilaha Illallah". Kemudian Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya bersabda, "Sungguh, akan aku
mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang." Lalu Allah
menurunkan firmanNya, “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (At-Taubah:113)
Dan mengenai Abu Thalib, Allah
Ta’ala menurunkan firman-Nya,“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." [2]
- Tafsiran ayat:
"Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik."[3] - Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah", berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu.[4]
- Abu Jahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah." Karena itu, celakalah orang yang salah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
- Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada paman beliau untuk masuk Islam.
- Bantahan terhadap orang yang mengatakan ‘Abdul Muththalib dan leluhurnya menganut Islam.
- Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah Ta’ala ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya, bahkan beliau dilarang.
- Bahaya bagi seseorang yang jika berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berperilaku buruk.
- Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
- "Nama besar" mereka inilah yang menjadikan orang-orang Jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
- Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat Syahadat, niscaya akan berguna dirinya di hadapan Allah.
- Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang tersesat itu untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya. Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
Catatan Kaki
[1] Bab ini pun merupakan bukti
kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam sebagai makhluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi
Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang beliau shallallahu’alaihi wa
sallam inginkan, maka tiada Sembahan yang haq melainkan Allah, yang memberi
hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
[2] Ayat ini menunjukkan bahwa
hidayah masuk Islam hanya di Tangan Allah saja, tiada seorang pun yang dapat
menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendakNya;
dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa
para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudharat, sehingga
diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan dan untuk
kepentingan-kepentingan lainnya.
[3] Ayat ini menunjukkan bahwa
haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik; dan haram pula
ber-wala’ (mencintai, memihak dan membela) kepada mereka.
[4]
Tafsirannya adalah, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan
apa yang menjadi konsekwensinya, yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan
membersihkan diri dari ibadah kepada selainNya seperti malaikat, nabi, wali,
kuburan, batu, pohon, setan dan lain sebagainya.
Sumber: http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/kitab-tauhid.html
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.