Syari’at islam dibangun di atas
dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun beban
syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Allah
Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Qs. Al-Baqarah/2:286)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan menurut kemampuan mereka dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
Orang yang sakit tidak sama
dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya
menurut kemampuan masing-masing. Dengan ini nampaklah keindahan
syari’at dan kemudahannya.
Diantara kewajiban agung yang
harus dilakukan orang yang sakit adalah sholat. Banyak sekali kaum
muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau
memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang
sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu
sebagai beban yang menyusahkannya.
Solusinya adalah kewajiban
mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit sesuai
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para
ulama.
Hukum-Hukum yang berhubungan dengan sholat orang sakit
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib
sholat diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya [1],
sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
كَانَتْ بِي
بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Pernah
Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak
mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117)
2. Apabila berat melakukan
setiap sholat pada waktunya maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’
(menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik
dengan jama’ taqdim atau ta’khir [2]. Hal ini melihat kepada yang
termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’
karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara
dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan:
جَمَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا
مَطَرٍ قَالَ (أَبُوْ كُرَيْبٍ) قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ
ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu
Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma:
Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab:
Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas jelaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’ sholat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqoh) dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan sholat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya’. [3]
3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik [4].
4. Orang sakit yang berat untuk
mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah dan atau memperlambat
kesembuhannya bila sholat berjamaah di masjid maka dibolehkan tidak
sholat berjama’ah [5]. Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah
menyatakan: Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara ulama
bahwa orang sakit dibolehkan tidak sholat berjama’ah karena sakitnya.
Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat. (Muttafaqun ‘Alaihi) [6]
Tata cara sholat orang yang sakit
Tata cara shalat orang sakit dapat diringkas dalam keterangan berikut ini:
a. Diwajibkan atas orang yang
sakit untuk sholat berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya
bertambah parah, karena berdiri dalam sholat wajib adalah salah satu
rukunnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (Qs. Al-Baqarah/2:238) dan keumuman hadits ‘Imrân di atas.
Diwajibkan juga orang yang mampu
berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat atau bersandar ke tembok
atau berpegangan dengan tiang berdasarkan hadits Ummu Qais radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ
اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan
lemah maka beliau memasang tiang di tempat sholatnya untuk menjadi
sandaran. (HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319).
Demikian juga orang bongkok diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk. [7]
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Diwajibkan berdiri atas seorang dalam segala caranya,
walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok,
tiang ataupun manusia.” [8]
b. Orang sakit yang mampu
berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud tetap tidak gugur kewajiban
berdirinya. Ia harus sholat berdiri dan bila tidak bisa rukuk maka
menunduk untuk rukuk Bila tidak mampu membongkokkan punggungnya sama
sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk lalu
menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke
tanah sedapat mungkin. [9]
c. Orang sakit yang tidak mampu
berdiri maka melakukan sholat wajib dengan duduk, berdasarkan hadits
‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah
menyatakan, “Para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat -ed) bahwa orang
yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk.”
[10]
d. Orang sakit yang
dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau memperlambat
kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan
duduk [11].
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang benar adalah kesulitan (masyaqqah)
membolehkan sholat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah shalat
berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2:185)
Sebagaimana juga bila berat
berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih mampu diperbolehkan
berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka
ia dibolehkan shalat dengan duduk.” [12]
Orang yang sakit apabila sholat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا
Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dengan bersila. [13]
Juga karena bersila secara umum lebih enak dan tuma’ninah (tenang) dari duduk iftirâsy [14].
Apabila rukuk maka rukuk dengan
bersila dengan membungkukkan punggungnya dan meletakkan tangannya di
lututnya, karena ruku’ berposisi berdiri. [15]
Dalam keadaan demikian masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ
عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ
وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan
untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi –dan beliau mengisyaratkan
dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung
kedua telapak kaki.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Bila tidak mampu juga maka ia
meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk untuk sujud.
Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya
dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’. [16]
e. Orang sakit yang tidak mampu
melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh melakukannya dengan
berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri dengan
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan dasar
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah. (HR al-Bukhari no. 1117)
Dalam hadits ini nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menjelaskan sisi mana ke kanan atau ke kiri sehingga yang utama
adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah
maka itu yang lebih utama dan bila miring ke kiri itu yang termudah
maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya maka
miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي
شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan sebelah
kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan
bersucinya. (HR Muslim no 396).
Kemudian melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat menundukkan kepala ke dada dengan ketentuan sujud lebih rendah dari ruku’.
Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
- Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila ruku’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
- Gugur semua gerakan namun masih melakukan sholat dengan perkataan.
- Gugur kewajiban sholatnya dan inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Syeikh Ibnu Utsaimin merojihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “Yang rojih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja,
karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan maka
ia tidak gugur karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)” [17]
f. Orang sakit yang tidak mampu
berbaring miring, maka boleh melakukan shalat dengan terlentang dan
menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena hal ini lebih dekat kepada
cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya
di sebelah timur dan kakinya di arah barat. [18]
g. Apabila tidak mampu menghadap
kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya atau membantu mengarahkannya
ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Qs. Al-Baqarah/2:286)
h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalat sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
i. Orang yang sakit dan tidak
mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia tidak mampu menggerakkan
anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya, maka ia sholat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
j. Apabila orang sakit mampu di
tengah-tengah shalat melakukan perbuatan yang sebelumnya ia tidak
mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia melaksanakan sholatnya dengan yang ia telah mampui dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu karena yang telah lalu dari sholat tersebut telah sah. [19]
k. Apabila orang sakit tidak
mampu sujud di atas tanah, maka ia menundukkan kepalanya untuk sujud di
udara dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini
didasarkan kepada hadits Jâbir yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى
وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي
عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ
اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ
مِنْ رُكُوْعِكَ
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit lalu
melihatnya sholat di atas (bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya
dan melemparnya. Lalu ia mengambil kayu untuk dijadikan alas
sholatnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan
melemparnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah
di atas tanah apabila ia mampu dan bila tidak maka dengan isyarat
dengan menunduk (al-Imâ’) dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari
ruku’nya.” [20]
Demikianlah sebagian hukum-hukum
yang berkenaan dengan sholat orang yang sakit, mudah-mudahan dapat
memberikan pencerahan kepada orang sakit mengenai shalat mereka. Dengan
harapan setelahnya mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit
yang dideritanya. Wabillahi at-taufiq.
Maraji’:
- Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’, Syeikh Ibnu Utsaimin
- Manhaj as-Saalikin, Syiekh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di
- Shohih Fikih Sunnah, Syeikh Kamaal as-Sayid
- Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi
- Fatâwa al-Lajnah ad-Dâimah Lil Buhûts al-’Ilmiyah wa al-Ifta’
- Silsilah al-Ahâdits ash-Shohihah, Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
- Irwa’ al-Ghalîl, Syeikh al-Albani
- Dll.
Footnotes:
[1] Lihat Fatawa Lajnah ad-Dâ`imah 8/71 (no. 10527 )
[2] Lihat Manhaj as-Saalikin hlm 82.
[3] Hal ini ada dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai hasan oleh Syeikh al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Gholîl no. 188 lihat juga Shohih Fikih Sunnah 1/514
[4] Lihat Fatâwa Lajnah ad-Dâ’imah 8/69 (no. 782)
[5] Lihat Manhaj as-Sâlikin hlm 82
[6] Lihat Shohih Fikih Sunnah 1/512-513
[7] Lihat al-Mughni 2/571
[8] Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ 4/459
[9] Lihat al-Mughni 2/572
[10] al-Mughni 2/570
[11] al-Mughni 2/571
[12] Syarhu al-Mumti’ 4/461
[13] HR. An-Nasâ’I no. 1662 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih Sunan an-Nasâ’i 1/538.
[14] Lihat Syarhu al-Mumti’ 4/462-463
[15] Demikian yang dirojihkan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 4/463
[16] Syarhu al-Mumti’ 4/466-467
[17] Ibid 4/467
[18] Ibid 4/465
[19] Lihat al-Mughni 2/577, Majmu’ Fatawa Syeikh bin Baaz 12/243 dan Syarhu al-Mumti’ 4/472-473.
[20] HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 2/306 dan Syeikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shohihah no. 323 menyatakan: “Yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shohih.”
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: www.ekonomisyariat.com
Hukum Meninggalkan Shalat Karena Sakit
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya, ada pertanyaan yang menanyakan tentang shalat yang
ditinggalkan seseorang karena sedang menjalani pengobatan selama hampir
21 hari, Anda pernah menyebutkan bahwa waktu shalat itu dimulai dengan
zuhur atau ashar, bagaimanakah hukumnya?
Jawaban:
Kami
katakan bahwa diharuskan baginya untuk mengqadha shalat-shalat yang
telah ia tinggalkan semampu mungkin, bahkan jika mungkin ia harus
melakukan shalat-shalat itu dengan berurutan dalam satu hari, tapi jika
tidak mampu dalam satu hari, maka dibagi beberapa hari sesuai
kemampuannya. Hal itu ia lakukan secara tertib menurut hari dan waktu
shalat, dari awal hari dan dari awal shalat yang ia tingglkan. Adapun
mengenai puasanya, karena ditinggalkan sebab sakit dan telah diqadha,
maka tidak ada lagi kewajiban mengqadhanya.
Sumber: Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI 2010
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/bagaimanakah-sholat-orang-yang-sedang.html