Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Taat
kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip
agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah
sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk
dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di
antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat
menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam.
Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan
Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di
bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan
kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya,
ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan
umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan
menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi
malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya.
Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh
umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala
elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan
keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan.
Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan
terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya
yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar
kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena
perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena
menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu
karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah
awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul
hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda
mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya
berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing
negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu,
lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan
makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati
sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa
(pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
- Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
- Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
- Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى
أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa
menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin
(umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin
(umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di
dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para
penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya
adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di
dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
-Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang
(hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam,
baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
-Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul
ilmi menafsirkan hadits ini[1] dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum
dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat
Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
-Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang
jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini
(menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan
Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada
hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan
semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam
hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan
mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat
hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah
sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya
untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
-Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan
selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu
mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum
Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak
bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan
sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului
pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat
mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri.
Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
-Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam)
yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia,
menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat
pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat
pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang
bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah
engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat
bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang
berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya
darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak
berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna
(4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya
(2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk
melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda
pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut
sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam
urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan
sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat
pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu
semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan)
bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’
-pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari
haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar
dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman
shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian
(sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan
harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat
darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4
rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4
rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti
riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan
bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam
urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam
masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda
madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri,
baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan
dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan
mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu
yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi
kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar
mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum
muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
-Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika
awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam
semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan,
bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi
Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami,
manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul
Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri
kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka
bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu)
berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul
Adha di hari kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
-Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat
Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai
macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini
terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap
tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa
nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan
rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan
ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat
dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh
berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ
وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan
janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka
adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak
berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka
satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani
urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun
harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri
Islam lainnya.”
(Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
-Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan
tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal
(bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil
hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di
negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus
diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang
muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan
pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya
mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat
Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan
umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri
mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa
alihi wa shahbihi wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah
bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan
hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar
kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di
negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi
orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati
penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa
yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak
wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan
kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan
pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan
merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an)
dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi
perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar
bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun
amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada
Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan
As-Sunnah berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
-Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud
dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat.
Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan
ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau
seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya
dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى،
وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا
اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan
(terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan
terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan
kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian
kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR.
Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ
يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ
قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ):
قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟
قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ
مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu
tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan
akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan
namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila
aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah
(perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ
وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا
رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا
أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ
شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan
mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci
kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah
kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda:
“Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.
Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian
sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan
ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang
daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan
arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini,
sebagaimana berikut:
-Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan
kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau
yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin,
kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan
yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun)
penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya
sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…”
(Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari
kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal.
57)
-Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun
kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka
berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan
mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama
ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat
ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
-Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa
kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka,
-pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.
Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan
kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala
yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat
Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya
dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
-Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah
sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari
kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak
generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at,
Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta
penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang
jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal.
16)
-Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu
dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah,
Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata:
“Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara
berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya
kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
-Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di
dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu
Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati
para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun
hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam),
karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
- Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
- Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
- Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
- Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
- Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
________________
[1] Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka
adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di
hari kalian berkurban.”
[2] Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya
pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan
satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul
Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat
Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama
penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
Sumber : http://www.asysyariah.com/
Fatwa Ulama Islam Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Ied
Redaksi Buletin Al Atsariyah
Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya
khilaf sepanjang tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon.
Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak,
dan terpecah dalam urusan ibadah mereka. Ada yang berpuasa –misalnya-
tanggal 12 September karena mengikuti negeri lain; ada yang puasa
tanggal 13 karena mengikuti pemerintah; ada yang berpuasa tanggal 14,
karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga terkadang muncul
beberapa versi. Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin tentang
agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Nah,
manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim
dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada
salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’
kita, karena merekalah yang lebih paham agama.
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul “Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah”, (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)
Soal: ” Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…”
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:
“Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)”.Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul “Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah”, (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)
Soal: ” Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…”
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:
“Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)”.Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), “(Waktu) Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka berkurban”.[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660). Lihat Ash-Shohihah (224)]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya”.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)
Soal: “Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio, namun jumlah mereka sedikit. diantara kami; Ada yang menunggu sampai la melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah -Subhanahu wa Ta’la- (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”; sabda Nabi –Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya”. dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), “Bagi setiap daerah ada ru’yahnya”. sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut.
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:
“Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian. jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini, pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan. Adapun kalimat yang berbunyi, “bagi setiap tempat memiliki ru’yah”, ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta –Shollallahu ‘alaihi wasallam-, keluarga serta para sahabatnya”.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)
Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam. Setelah itu, tidak mungkin melihatnya, karena kondisi cuaca. Dengan memandang kondisi seperti ini, apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulai puasa Ramadhan yang penuh berkah?
Jawab: “Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepada ilmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak mensyari’atkan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa; Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri. Allah –Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari ‘ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain sebagainya.
Allah -Ta’ala-’ berfirman (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji”.[(QS. Al-Baqoroh: 189)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban) 30 hari”.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal. Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan tempat atau tidak”.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 388)
Soal: “Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah”.
Jawab: “Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka”.
Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah-
Syaikh Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 398-399), “Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa & hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak berpuasa sendiri-sendiri. Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain”; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an”.
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah.
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 30 Tahun I
Untuk Risalah lengkap dengan tulisan Arab, Klik http://almakassari.com/?p=170
Untuk Risalah lengkap dengan tulisan Arab, Klik http://almakassari.com/?p=170
Fatwa MUI tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Majelis Ulama Indonesia,
MENIMBANG:
- (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
- (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
- (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
- (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :
- (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
- (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.
- (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
- (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
- (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
MEMPERHATIKAN:
- Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
- Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
- Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
- Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
- Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
- Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
- Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Kedua : Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.
Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA,
Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/07/inilah-alasan-mengapa-harus-memulai.html