SIAPA YANG BERHAK BERADA DI BELAKANG IMAM?
Bila jumlah makmum banyak dan dapat membentuk satu
atau lebih shaf (barisan), maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan ahlul ahlam wan nuha (orang yang berakal baligh dan berilmu)
untuk berada di belakang imam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ
"Hendaknya
(yang) berada di dekatku (di belakangku) dari kalian adalah orang yang berakal
dan berilmu. Kemudian diikuti orang-orang berikutnya (tiga kali). Dan jauhilah
(suara) keributan pasar-pasar". [HR Muslim, no. 255].
Imam
Nawawi menyatakan, dalam hadits ini terdapat perintah, yakni mendahulukan yang
paling utama lalu di bawahnya, untuk yang berada di belakang imam, karena ia
(ahlul ahlam wan nuha, Red) lebih pantas dimuliakan. Dan terkadang imam
membutuhkan pengganti, sehingga ia lebih berhak. Juga karena ia akan dapat
memperingatkan imam, kalau imam lupa ketika selainnya tidak mengetahuinya. Juga
untuk menerapkan dengan baik tata cara shalat, menjaganya dan menukilkannya,
serta mengajari tata cara tersebut sehingga orang yang berada di belakangnya
mencontoh perbuatannya.[1]
Hal
seperti ini, tampak dijelaskan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits Anas bin Malik :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يَلِيَهُ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ
"Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam senang menjadikan orang-orang Muhajirin dan
Anshar berada di belakangnya, agar mereka mencontoh dari beliau." [Hadits
shahih, riwayat Ibnu Majah, 977 dan Ahmad, 3/100, hadits shahih Lihat Shahih
Fiqhus Sunnah, 1/534].
Oleh
karena itu, saat melaksanakan shalat berjama'ah, semestinya memperhatikan hal
ini. Yaitu memberi tempat kepada ahlul ahlam wan nuha, supaya berdiri di
belakang imam. Sehingga shalat berjama'ah yang dilaksanakan tersebut
bersesuaian dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam
hal ini, ahlul ahlam wan nuha lebih berhak menempati shaf awal. Bahkan
diperbolehkan memotong shaf agar dapat berdiri di belakang imam, seperti yang
pernah dilakukan oleh sahabat yang mulia, yaitu Ubaiy bin Ka’ab, sebagaimana
diceritakan Qais bin ‘Abad :
بَيْنَا أَنَا فِي الْمَسْجِدِ
فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ فَجَبَذَنِي رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي جَبْذَةً فَنَحَّانِي وَقَامَ مَقَامِي فَوَاللَّهِ مَا عَقَلْتُ صَلَاتِي فَلَمَّا انْصَرَفَ فَإِذَا هُوَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ فَقَالَ يَا فَتَى لَا يَسُؤْكَ اللَّهُ إِنَّ هَذَا عَهْدٌ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا أَنْ نَلِيَهُ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَقَالَ هَلَكَ أَهْلُ الْعُقَدِ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ مَا عَلَيْهِمْ آسَى وَلَكِنْ آسَى عَلَى مَنْ أَضَلُّوا قُلْتُ يَا أَبَا يَعْقُوبَ مَا يَعْنِي بِأَهْلِ الْعُقَدِ قَالَ الْأُمَرَاءُ
"Ketika
aku berada di suatu masjid di barisan pertama, tiba-tiba ada seseorang di
belakangku yang menarikku dengan kuat, lalu ia menggeserku dan menempati
tempatku tersebut. Demi Allah, aku tidak dapat khusyu’ dalam shalat. Ketika
selesai, ternyata ia adalah Ubaiy bin Ka’ab. Lalu beliau berkata: "Wahai
anak muda, semoga Allah melindungimu dari kejelekan. Sesungguhnya ini adalah
wasiat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami, untuk berada di
belakang beliau," kemudian Ubaiy bin Ka’ab pun menghadap kiblat dan
berkata: "Demi Rabb Ka’bah, celakalah ahlul ‘uqdah," tiga kali.
Kemudian beliau berkata : "Demi Allah, aku tidak merasa sedih atas mereka,
namun merasa sedih atas orang yang mereka sesatkan," lalu aku bertanya:
"Wahai Abu Ya’qub, siapa yang dimaksud ahlul ‘uqdah itu?" Beliau
menjawab,"Penguasa." [HR an Nasa-i, 2/69, dan Ibnu Khuzaimah dalam
Shahih-nya, no.1573. Dikatakan oleh Masyhur Hasan dalam al Qaulul Mubin,
halaman 220, bahwa sanadnya hasan].
KEWAJIBAN MENGIKUTI IMAM
Imam
dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
"Dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah
menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan
'sami’allahu liman hamidah', maka katakanlah,'Rabbana walakal hamdu'. Apabila
ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan
duduk semuanya". [Muttafaqun ‘alaihi].
Dengan
diwajibkannya mengikuti imam ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam memerintahkan orang yang tertinggal sebagian shalatnya (masbuq) untuk
memulai dan mengikuti imam dalam semua keadaan. Sebagaimana disampaikan Ali bin
Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ وَالْإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الْإِمَامُ
"Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Apabila salah seorang dari kalian
mendapatkan shalat dan imam sedang dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia
berbuat seperti imam berbuat." [HR at Tirmidzi, dan dishahihkan al Albani
dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 484]
Abu
Isa at Tirmidzi berkata,"Para ulama menyatakan, apabila seseorang datang
dan imam dalam keadaan sujud, maka hendaknya ia sujud, dan tidak dianggap
mendapat satu raka'at (bersama imam) apabila ia tidak mendapatkan ruku’ bersama
imam."
Dalam
permasalahan mengikuti imam dalam shalat berjamaah ada empat keadaan para
ma'mum :
Pertama
: Mutaba’ah (Mengikuti Imam).
Pengertiannya,
seseorang memulai melakukan perbuatan shalat, langsung, setelah imam
memulainya, namun tidak bersamaan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ
"Sesungguhnya
imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian
jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah, dan
kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan "sami’allahu
liman hamidah", maka katakanlah "Rabbana walakal hamdu". Apabila
ia sujud, maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud." [HR Abu
Dawud, no. 511]
Begitu
pula dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana
disampaikan Bara` bin ‘Azib :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila mengucapkan "sami’allahu
liman hamidah", tidak ada seorangpun dari kami yang mengangkat
punggungnya, sampai Nabi n sujud, kemudian barulah kami sujud
setelahnya."[HR Bukhari, no. 649]
Kedua
: Musabaqah (Mendahului Imam).
Pengertiannya,
seseorang mendahului imam dalam perbuatan shalat, seperti bertakbir sebelum
imam bertakbir, atau ruku’ sebelum imam ruku’. Mendahului imam, menurut
kesepakatan para ulama nya, hukumnya haram. Dalam hadits-hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam, di
antaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ
Dari
Anas , ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengimami kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami
dengan wajahnya, lalu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah
imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri
atau selesai". [HR Muslim, no. 426].
Rasulullah
memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Tidakkah orang yang mengangkat
kepalanya sebelum imam akan Allah rubah kepalanya menjadi kepala himar
(keledai)". [Muttafaqun ‘alaihi]
Lebih
jelasnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin berkata,"Yang benar
adalah, ketika seseorang mendahului imam dalam keadaan mengetahui dan sadar,
maka shalatnya batal. Apabila ia tidak mengetahui atau lupa, maka shalatnya
sah. Kecuali udzurnya (lupa, atau tidak tahu) hilang sebelum imam menyusulnya,
maka ia harus kembali melakukan amalan yang dilakukan sebelum (gerakan) imam,
yang ia telah mendahuluinya setelah imam. Maka apabila tidak melakukan hal
tersebut dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Jika tidak,
maka tidak batal". [2]
Ketiga
: Muwafaqah (Menyamai Imam).
Pengertiannya,
melakukan perbuatan dan perkataan bersamaan dengan gerakan dan ucapan imam .
Muwafaqah
ini ada dua jenis.
1.
Menyamai imam dalam perkataan, maka ini tidak mengapa, kecuali dalam takbiratul
ihram dan salam. Adapun dalam takbiratul ihram, seperti bertakbir sebelum imam
menyempurnakan takbiratul ihram, maka shalatnya belum dianggap sama sekali,
karena harus melakukan takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram.
Sedangkan
dalam salam, para ulama menyatakan, dimakruhkan salam bersama imam, baik salam
pertama maupun yang kedua. Adapun bila salam pertama setelah imam selesai salam
pertama, dan mengucapkan salam kedua setelah imam selesai salam kedua, maka ini
tidak mengapa. Namun yang lebih utama, tidak mengucapkan salam kecuali setelah
imam melakukan dua salam.
2.
Menyamai imam dalam gerakan shalat, hukumnya makruh. Dan ada yang menyatakan
menyelisihi sunnah, tetapi yang rajih adalah makruh.
Contoh
muwafaqah ini seperti, ketika imam mengatakan "Allahu Akbar" untuk
ruku’ dan mulai turun, lalu ma'mum juga turun menyamai imam tersebut, maka
perbuatan seperti ini hukumnya makruh, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyatakan:
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ
Apabila
ia ruku’, maka ruku’lah dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. [3]
Keempat
: At Takhalluf (Tertinggal Oleh Imam).
Pengertiannya
adalah, terlambat dalam melakukan amalan shalat dengan imam, seperti imam telah
sujud dan sang makmum baru ruku’.
At
Takhalluf ini ada dua jenis.
1.
Takhalluf dengan udzur.
Apabila
karena udzur, maka seorang ma'mum melakukan amalan yang tertinggal tersebut dan
mengikuti imam. Demikian ini tidak masalah, walaupun berupa satu rukun yang
sempurna atau dua rukun. Seandainya seseorang lupa, atau lalai, atau tidak
mendengar imamnya, hingga imam mendahuluinya satu rukun atau dua rukun, maka ia
(ma'mum) melakukan gerakan yang tertinggal dan langsung mengikuti imamnya.
Kecuali, jika imam sampai pada posisi yang sama dengannya, maka ia melakukan
amalan dan tetap bersama imam. Ia mendapatkan satu raka'at yang tergabung dari
dua raka'at imam, yaitu satu raka'at yang ia tertinggal dan raka'at yang imam
sampai padanya, ketika ia dalam keadaan posisi tersebut.
Contohnya,
seseorang shalat berjamaah bersama imam, lalu imam ruku’, berdiri, sujud, duduk
antara dua sujud dan sujud kedua lalu bangkit sampai berdiri. Sementara orang
ini (yaitu ma'mum) tidak mendengar suara takbir, kecuali pada raka'at kedua.
Misalnya, dikarenakan suara imam sangat pelan.
Contoh
lainnya, ketika dalam shalat Jum’at, ia (ma'mum) mendengar imam membaca surat
al Fatihah kemudian listrik mati -yang menyebabkan pengeras suara ikut mati,
sehingga suara imam tidak terdengar- lalu imam menyempurnakan raka'at pertama
dan sudah berdiri. Sementara itu, karena suara imam tak terdengar, ada seorang
ma'mum yang menyangka imam belum ruku’ di raka'at pertama. Tiba-tiba, ia
mendengar imam membaca surat al Ghasyiyah, maka ia (ma'mum) tetap bersama imam,
dan raka'at kedua imam menjadi raka'at pertamanya. Sehingga bila imam salam,
maka ia (ma'mum) mengqadha raka'at kedua.
Apabila
ma'mum mengetahui ketertinggalannya dari imam sebelum imam kembali ke
posisinya, maka ia (ma'mum) mengqadha, lalu mengikuti imamnya.
Contohnya,
ada seseorang mengerjakan shalat dengan imam. Lalu, imam ruku’, dan ia tidak
mengetahui imamnya sedang ruku’. Ketika imam mengucapkan "sami’allahu
liman hamidah", ia mendengarnya. Bila seperti ini keadaannya, maka kepada
ma'mum tersebut dikatakan : "Ruku’lah dan berdirilah; setelah itu ikuti
imam", sehingga ia mendapatkan raka'at, karena ketertinggalannya berasal
dari udzur". [4]
2.
Takhalluf tanpa udzur, meliputi dua jenis.
-
Takhalluf fi ar rukn (pada rukun ).
Pengertiannya,
tertinggal dari mengikuti imam, namun masih mendapati imam pada rukun
berikutnya.
Contohnya,
imam ruku’ dan ma'mum masih menyisakan satu ayat atau dua ayat, lalu ma'mum
tetap berdiri menyempurnakan kekurangan tersebut. Namun ma'mum itu pun ruku’
dan mendapatkan imam belum bangun dari ruku’nya, maka raka'at tersebut shahih,
namun perbuatannya menyelisihi sunnah. Karena, yang disyariatkan adalah memulai
ruku’ ketika imam sampai pada ruku’, dan tidak memperlambat yang menyebabkan ia
tertinggal, dengan dasar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
Apabila
ia ruku’, maka ruku’lah.
-
Takhalluf bi ar rukn (dengan rukun).
Pengertiannya,
seorang imam mendahului ma'mum satu rukun, yaitu imam ruku’ dan berdiri sebelum
ma'mum ruku’. Para ahli fiqih menyatakan bahwa, hukum takhalluf sama dengan
hukum mendahului imam. Apabila tertinggal satu ruku’, maka shalatnya batal,
sebagaimana bila mendahului imam. [5]
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: "Pendapat yang rajih, sesuai yang
kita rajihkan dalam masalah mendahului imam adalah, bila tertinggal satu rukun
tanpa udzur, maka shalatnya batal, baik yang tertinggal itu ruku’ atau
selainnya". [6]
MENYAMBUNG SUARA TAKBIR IMAM
Masalah
ini bergantung kepada kebutuhannya. Yaitu, jika memang dibutuhkan, seperti di
masjid yang besar dan suara tidak bisa terdengar sampai ke barisan belakang,
maka dalam keadaan seperti ini, menyambung suara takbir imam disyariatkan.
Dasarnya adalah hadits 'Aisyah yang berbunyi:
فَتَأَخَّرَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَعَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جَنْبِهِ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ التَّكْبِيرَ
"Lalu
Abu Bakar mundur dan Nabi duduk di sampingnya, sedangkan Abu Bakar
memperdengarkan (kepada) orang-orang takbir (Nabi)". [Muttafaqun ‘alaihi]
Oleh
karena itu perlu diingat, jika tidak ada kebutuhan, maka hal ini tidak
disyariatkan, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
"Tidak ada perselisihan di antara para ulama, bahwa tabligh ini (yaitu,
menyambung suara takbir imam dalam shalat, Red), jika tanpa hajat (kebutuhan),
(maka) tidak dianggap baik; bahkan sebagian ulama memandangnya makruh".[7]
Di
bagian lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaht mengatakan :
"Tidak disyariatkan mengeraskan takbir di belakang imam yang menjadi
penyambung (suara imam) tanpa hajat (kebutuhan); (demikian) menurut kesepakatan
para imam. Karena Bilal dan selainnya, tidak pernah menyambung suara (tabligh)
di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak ada juga yang
menyambung suara takbir di belakang para khulafaur rasyidin. Namun ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit, beliau pernah mengimami shalat sekali
dengan suara yang lemah. Dan Abu Bakar yang shalat di samping beliau n
memperdengarkan takbir. Maka dari kisah ini, para ulama mengambil dalil tentang
disyariatkannya menyambung takbir ketika ada hajat (kebutuhan), seperti
lemahnya suara. Adapun selain itu, para ulama sepakat, perbuatan tersebut
makruh dan tidak disyariatkan. [8]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan : "Adapun at tabligh
(yakni, menyambung suara takbir imam, Red), tanpa hajat (kebutuhan) adalah
perbuatan bid’ah yang dibenci, berdasarkan kesepakatan para imam".[9]
MENUNJUK PENGGANTI IMAM
Apabila
imam shalat mendapatkan udzur ketika dalam shalat, seperti terkena
pembatal-pembatal shalat, maka imam diperbolehkan menunjuk penggantinya dari
antara para ma'mum untuk menyempurnakan shalatnya. Hal ini didasarkan pada
beberapa hadits, di antaranya hadits Sahl bin Sa’ad as Sa’idi yang panjang,
tentang kepergian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Bani Amru bin Auf
untuk mendamaikan perselisihan di antara mereka, lalu Abu Bakar mengimami
shalat.
Di
antara isi hadits tersebut:
فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلَاتِهِ فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ امْكُثْ مَكَانَكَ فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ … ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Lalu
datanglah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati orang-orang telah
shalat, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerobos sampai berdiri di
barisan shalat. Lalu orang-orang tepuk tangan. (Adapun) Abu Bakar, waktu itu
tidak melirik dalam shalatnya. Tetapi ketika banyak yang bertepuk tangan, maka
ia menengok ke samping dan melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat untuknya agar ia
tetap pada posisinya. Kemudian Abu Bakar mengangkat kedua tangannya … Kemudian
Abu Bakar mundur hingga sejajar dengan shaf (barisan) dan Rasulullah n maju.
Ketika selesai, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Wahai Abu
Bakar, apa yang mencegahmu untuk tetap (jadi imam) ketika aku
perintahkan?" Abu Bakar menjawab,"Tidaklah boleh Ibnu Abi Quhafah
shalat di depan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ". [Muttafaqun
‘alaihi]
Juga
terdapat riwayat Amru bin Maimun yang panjang, tentang kisah terbunuhnya Umar
Ibnul Khaththab. Di antara isinya adalah:
فَمَا هُوَ إِلَّا أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ قَتَلَنِي أَوْ أَكَلَنِي الْكَلْبُ حِينَ طَعَنَهُ فَطَارَ الْعِلْجُ بِسِكِّينٍ ذَاتِ طَرَفَيْنِ لَا يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا إِلَّا طَعَنَهُ حَتَّى طَعَنَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا مَاتَ مِنْهُمْ سَبْعَةٌ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ طَرَحَ عَلَيْهِ بُرْنُسًا فَلَمَّا ظَنَّ الْعِلْجُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ نَحَرَ نَفْسَهُ وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ فَمَنْ يَلِي عُمَرَ فَقَدْ رَأَى الَّذِي أَرَى وَأَمَّا نَوَاحِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُمْ لَا يَدْرُونَ غَيْرَ أَنَّهُمْ قَدْ فَقَدُوا صَوْتَ عُمَرَ وَهُمْ يَقُولُونَ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ صَلَاةً خَفِيفَةً
Tidak
berapa lama setelah bertakbir, aku mendengar beliau Radhiyallahu 'anhu berkata
"anjing telah membunuhku atau 'memakanku'," ketika ditikam. Lalu
orang kafir itu menerjang dengan pisaunya yang memiliki dua ujung. Tidaklah
orang itu menerjang ke kanan dan ke kiri, kecuali menusukkan pisaunya hingga
melukai tiga belas orang. Tujuh dari mereka meninggal. Ketika salah seorang
dari kaum Muslimin melihat hal tersebut, ia (sahabat, Pen.) melemparkan baju
burnusnya ke orang kafir tersebut. Ketika orang itu yakin akan tertangkap, maka
ia bunuh diri. Kemudian Umar menarik tangan Abdurrahman bin Auf dan menyuruhnya
menuju ke depan (menjadi imam). Orang yang di dekat Umar melihat apa yang aku
lihat. Sedangkan yang berada di bagian lain dari masjid tidak mengetahuinya,
kecuali mereka (merasakan) kehilangan suara Umar, dan mereka menyatakan
"Subhanallah, subhanallah," kemudian Abdurrahman mengimami mereka
dengan shalat yang ringan". [HR al Bukhari, no. 3424].
Perbuatan
Umar Ibnul Khaththab ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya. Dengan demikian, bila seorang imam berhalangan
menyelesaikan shalatnya, maka ia dapat menunjuk salah seorang dari ma'mum untuk
menggantikan dalam menyempurnakan shalatnya.
Wallahu
a’lam bish shawab.
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat
Redaksi : Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp.
0271-5891016]
________
Footnote
[1].
Syarhu Shahih Muslim, 4/155. Lihat al Qulul Mubin fi Akhtha’ al Mushalin,
Masyhur Hasan Alu Salman, hlm. 220.
[2].
Syarhul Mumti’, 4/263.
[3].
Diambil dari keterangan Syaikh Ibnu 'Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, 4/267-268.
[4].
Syarhul Mumti’, 4/264-265.
[5].
Ibid, 4/265-266.
[6].
Ibid., 4/266.
[7].
Majmu’ Fatawa, 23/401.
[8].
Ibid., 23/402-403.
[9].
Ibid., 23/403.
http://almanhaj.or.id/content/2546/slash/0
Kewajiban Mengikuti Imam dalam Shalat Jama’ah
Imam dijadikan
sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya.
Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman
hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka
sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk
semuanya”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Dengan
diwajibkannya mengikuti imam ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan orang yang tertinggal sebagian shalatnya (masbuq) untuk
memulai dan mengikuti imam dalam semua keadaan. Sebagaimana disampaikan Ali bin
Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ
الصَّلَاةَ وَالْإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ
كَمَا يَصْنَعُ الْإِمَامُ
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apabila salah seorang dari kalian
mendapatkan shalat dan imam sedang dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia
berbuat seperti imam berbuat.” [HR at Tirmidzi, dan dishahihkan al Albani dalam
Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 484]
Abu Isa at
Tirmidzi berkata,”Para ulama menyatakan, apabila seseorang datang dan imam
dalam keadaan sujud, maka hendaknya ia sujud, dan tidak dianggap mendapat satu
raka’at (bersama imam) apabila ia tidak mendapatkan ruku’ bersama imam.”
Dalam
permasalahan mengikuti imam dalam shalat berjamaah ada empat keadaan para ma’mum :
Pertama
: Mutaba’ah (Mengikuti Imam).
Pengertiannya, seseorang memulai melakukan perbuatan shalat, langsung, setelah imam memulainya, namun tidak bersamaan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Pengertiannya, seseorang memulai melakukan perbuatan shalat, langsung, setelah imam memulainya, namun tidak bersamaan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ
“Sesungguhnya
imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian
jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah, dan
kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan “sami’allahu liman
hamidah”, maka katakanlah “Rabbana walakal hamdu”. Apabila ia sujud, maka
sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud.” [HR Abu Dawud, no. 511]
Begitu pula
dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disampaikan
Bara` bin ‘Azib :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila mengucapkan “sami’allahu liman
hamidah”, tidak ada seorangpun dari kami yang mengangkat punggungnya, sampai
Nabi n sujud, kemudian barulah kami sujud setelahnya.”[HR Bukhari, no. 649]
Kedua :
Musabaqah (Mendahului Imam).
Pengertiannya, seseorang mendahului imam dalam perbuatan shalat, seperti bertakbir sebelum imam bertakbir, atau ruku’ sebelum imam ruku’. Mendahului imam, menurut kesepakatan para ulama nya, hukumnya haram. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam, di antaranya:
Pengertiannya, seseorang mendahului imam dalam perbuatan shalat, seperti bertakbir sebelum imam bertakbir, atau ruku’ sebelum imam ruku’. Mendahului imam, menurut kesepakatan para ulama nya, hukumnya haram. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam, di antaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ
فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ
وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ
Dari Anas , ia
berkata: Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami
kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dengan
wajahnya, lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian,
maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri atau selesai”.
[HR Muslim, no. 426].
Rasulullah
memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ
أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidakkah orang yang mengangkat
kepalanya sebelum imam akan Allah rubah kepalanya menjadi kepala himar
(keledai)”. [Muttafaqun ‘alaihi]
Lebih jelasnya,
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin berkata,”Yang benar
adalah, ketika
seseorang mendahului imam dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya
batal. Apabila ia tidak mengetahui atau lupa, maka shalatnya sah. Kecuali
udzurnya (lupa, atau tidak tahu) hilang sebelum imam menyusulnya, maka ia harus
kembali melakukan amalan yang dilakukan sebelum (gerakan) imam, yang ia telah
mendahuluinya setelah imam. Maka apabila tidak melakukan hal tersebut dalam
keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Jika tidak, maka tidak
batal”. [2]
Ketiga
: Muwafaqah (Menyamai Imam).
Pengertiannya, melakukan perbuatan dan perkataan bersamaan dengan gerakan dan ucapan imam .
Pengertiannya, melakukan perbuatan dan perkataan bersamaan dengan gerakan dan ucapan imam .
Muwafaqah ini
ada dua jenis.
1. Menyamai imam dalam perkataan, maka ini tidak mengapa, kecuali dalam takbiratul ihram dan salam. Adapun dalam takbiratul ihram, seperti bertakbir sebelum imam menyempurnakan takbiratul ihram, maka shalatnya belum dianggap sama sekali, karena harus melakukan takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram.
1. Menyamai imam dalam perkataan, maka ini tidak mengapa, kecuali dalam takbiratul ihram dan salam. Adapun dalam takbiratul ihram, seperti bertakbir sebelum imam menyempurnakan takbiratul ihram, maka shalatnya belum dianggap sama sekali, karena harus melakukan takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram.
Sedangkan dalam
salam, para ulama menyatakan, dimakruhkan salam bersama imam, baik salam
pertama maupun yang kedua. Adapun bila salam pertama setelah imam selesai salam
pertama, dan mengucapkan salam kedua setelah imam selesai salam kedua, maka ini
tidak mengapa. Namun yang lebih utama, tidak mengucapkan salam kecuali setelah
imam melakukan dua salam.
2. Menyamai
imam dalam gerakan shalat, hukumnya makruh. Dan ada yang menyatakan menyelisihi
sunnah, tetapi yang rajih adalah makruh.
Contoh
muwafaqah ini seperti, ketika imam mengatakan “Allahu Akbar” untuk ruku’ dan
mulai turun, lalu ma’mum juga turun menyamai imam tersebut, maka perbuatan
seperti ini hukumnya makruh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan:
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ
Apabila ia
ruku’, maka ruku’lah dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’.
Keempat
: At Takhalluf (Tertinggal Oleh Imam).
Pengertiannya adalah, terlambat dalam melakukan amalan shalat dengan imam, seperti imam telah sujud dan sang makmum baru ruku’.
Pengertiannya adalah, terlambat dalam melakukan amalan shalat dengan imam, seperti imam telah sujud dan sang makmum baru ruku’.
At Takhalluf
ini ada dua jenis.
1. Takhalluf dengan udzur.
Apabila karena udzur, maka seorang ma’mum melakukan amalan yang tertinggal tersebut dan mengikuti imam. Demikian ini tidak masalah, walaupun berupa satu rukun yang sempurna atau dua rukun. Seandainya seseorang lupa, atau lalai, atau tidak mendengar imamnya, hingga imam mendahuluinya satu rukun atau dua rukun, maka ia (ma’mum) melakukan gerakan yang tertinggal dan langsung mengikuti imamnya. Kecuali, jika imam sampai pada posisi yang sama dengannya, maka ia melakukan amalan dan tetap bersama imam. Ia mendapatkan satu raka’at yang tergabung dari dua raka’at imam, yaitu satu raka’at yang ia tertinggal dan raka’at yang imam sampai padanya, ketika ia dalam keadaan posisi tersebut.
1. Takhalluf dengan udzur.
Apabila karena udzur, maka seorang ma’mum melakukan amalan yang tertinggal tersebut dan mengikuti imam. Demikian ini tidak masalah, walaupun berupa satu rukun yang sempurna atau dua rukun. Seandainya seseorang lupa, atau lalai, atau tidak mendengar imamnya, hingga imam mendahuluinya satu rukun atau dua rukun, maka ia (ma’mum) melakukan gerakan yang tertinggal dan langsung mengikuti imamnya. Kecuali, jika imam sampai pada posisi yang sama dengannya, maka ia melakukan amalan dan tetap bersama imam. Ia mendapatkan satu raka’at yang tergabung dari dua raka’at imam, yaitu satu raka’at yang ia tertinggal dan raka’at yang imam sampai padanya, ketika ia dalam keadaan posisi tersebut.
Contohnya,
seseorang shalat berjamaah bersama imam, lalu imam ruku’, berdiri, sujud, duduk
antara dua sujud dan sujud kedua lalu bangkit sampai berdiri. Sementara orang
ini (yaitu ma’mum) tidak mendengar suara takbir, kecuali pada raka’at kedua.
Misalnya, dikarenakan suara imam sangat pelan.
Contoh lainnya,
ketika dalam shalat Jum’at, ia (ma’mum) mendengar imam membaca surat al Fatihah
kemudian listrik mati -yang menyebabkan pengeras suara ikut mati, sehingga
suara imam tidak terdengar- lalu imam menyempurnakan raka’at pertama dan sudah
berdiri. Sementara itu, karena suara imam tak terdengar, ada seorang ma’mum
yang menyangka imam belum ruku’ di raka’at pertama. Tiba-tiba, ia mendengar
imam membaca surat al Ghasyiyah, maka ia (ma’mum) tetap bersama imam, dan
raka’at kedua imam menjadi raka’at pertamanya. Sehingga bila imam salam, maka
ia (ma’mum) mengqadha raka’at kedua.
Apabila ma’mum
mengetahui ketertinggalannya dari imam sebelum imam kembali ke posisinya, maka
ia (ma’mum) mengqadha, lalu mengikuti imamnya.
Contohnya, ada
seseorang mengerjakan shalat dengan imam. Lalu, imam ruku’, dan ia tidak
mengetahui imamnya sedang ruku’. Ketika imam mengucapkan “sami’allahu liman
hamidah”, ia mendengarnya. Bila seperti ini keadaannya, maka kepada ma’mum
tersebut dikatakan : “Ruku’lah dan berdirilah; setelah itu ikuti imam”,
sehingga ia mendapatkan raka’at, karena ketertinggalannya berasal dari udzur”.
2. Takhalluf
tanpa udzur, meliputi dua jenis.
- Takhalluf fi ar rukn (pada rukun ).
Pengertiannya, tertinggal dari mengikuti imam, namun masih mendapati imam pada rukun berikutnya.
- Takhalluf fi ar rukn (pada rukun ).
Pengertiannya, tertinggal dari mengikuti imam, namun masih mendapati imam pada rukun berikutnya.
Contohnya, imam
ruku’ dan ma’mum masih menyisakan satu ayat atau dua ayat, lalu ma’mum tetap
berdiri menyempurnakan kekurangan tersebut. Namun ma’mum itu pun ruku’ dan
mendapatkan imam belum bangun dari ruku’nya, maka raka’at tersebut shahih,
namun perbuatannya menyelisihi sunnah. Karena, yang disyariatkan adalah memulai
ruku’ ketika imam sampai pada ruku’, dan tidak memperlambat yang menyebabkan ia
tertinggal, dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
Apabila ia
ruku’, maka ruku’lah.
- Takhalluf bi
ar rukn (dengan rukun).
Pengertiannya, seorang imam mendahului ma’mum satu rukun, yaitu imam ruku’ dan
berdiri sebelum ma’mum ruku’. Para ahli fiqih menyatakan bahwa, hukum takhalluf
sama dengan hukum mendahului imam. Apabila tertinggal satu ruku’, maka
shalatnya batal, sebagaimana bila mendahului imam.
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Pendapat yang rajih, sesuai yang kita
rajihkan dalam masalah mendahului imam adalah, bila tertinggal satu rukun tanpa
udzur, maka shalatnya batal, baik yang tertinggal itu ruku’ atau selainnya”.