Banyak bicara merupakan sikap
berlebihan yang paling banyak terjadi dan paling besar pengaruhnya.
Tidak ada yang selamat dari sikap ini kecuali hanya sedikit.
Dalil-dalil yang menganjurkan untuk menjaga lisan dari banyak bicara
Allah Ta'ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata
dalam menukil perkataan Ibnu ‘Abbas: “Malaikat tersebut mencatat setiap
perkataan hamba, yang baik maupun yang buruk hingga mereka menulis
perkataan; saya berkata, saya minum, saya pergi, saya datang, dan saya
melihat.”
Ibnu Katsir juga berkata:
“Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengeluh ketika sakit. Kemudian ia
mendengar Thawus berkata, Malaikat mencatat segala sesuatu hingga suara
keluhan. Imam Ahmad pun tidak pernah mengeluh lagi hingga meninggal
dunia, semoga Allah merahmatinya.” [Tafsir Ibnu Katsir 4/225]
Demi Allah, jika Imam Ahmad
tidak mau mengeluh padahal rasa sakit mendorongnya untuk mengeluh,
mengapa kita tidak menahan diri perkataan-perkataan yang tidak ada
dorongan untuk mengucapkannya kecuali ingin bercanda dan melucu.
Dinukil dari sebagian ulama:
“Jikalau seandainya kalian yang membelikan kertas untuk malaikat yang
mencatat amalan, sesungguhnya kalian akan memilih lebih banyak diam dari
pada banyak bicara.”
Allah juga berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.”
(an-Nisaa’: 114)
Syekh as-Sa’di Rahimahullah
berkata: “Maksudnya tidak ada kebaikan dalam pembicaraan dan
perbincangan yang banyak dilakukan manusia. Hal itu kemungkinan karena
pembicaraan tersebut tidak ada manfaatnya, seperti berlebihan dalam
membicarakan yang mubah. Bisa juga karena pembicaraan tersebut
benar-benar jelek dan menimbulkan madharat, seperti pembicaraan yang
diharamkan dengan semua bentuknya. [Tafsir as-Sa’di hal. 165]
Dari Abu Hurairah Rådhiyallåhu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata
yang baik atau diam.” [HR. Al-Bukhari dalam al-Adab hadits (6018) dan
Muslim hadits (47).]
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
“Hadits ini termasuk jawami’ al kalim (perkataan ringkas tapi
mengandung makna yang luas -pent.), karena perkataan itu kalau tidak
baik pasti jelek atau bermuara kepada salah satunya. Yang termasuk
perkataan yang baik, segala perkataan yang dianjurkan dalam syariat baik
yang wajib maupun sunnah, sehingga perkataan jenis ini dengan segala
bentuknya diperbolehkan. Begitu pula semua perkataan yang mengarah
kepadanya. Selain hal itu, berupa perkataan yang buruk dan segala
perkataan yang mengarah kepada keburukan, seseoarang diperintahkan untuk
diam ketika hendak mengatakannya.”[Fath al-Bari 12/60]
An Nawawi Rahimahullah berkata:
“Apabila salah seorang diantara kalian hendak berbicara dan pembicaraan
tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik membicarakan perkara yang
wajib maupun sunnah silakan ia mengatakkannya. Jika belum jelas baginya,
apakah perkataan tersebut baik dan berpahala atau perkataan itu tampak
samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya ia tidak
mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya perkataan yang mubah
dianjurkan untuk ditinggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak
mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus ke dalam perkataan yang
haram dan makruh, dan inilah yang sering terjadi.”[Syarh an-Naw awi
untuk Shahih Muslim 2/209]
Diriwayatkan, bahwa Tsa’labah
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di
akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang
banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan
orang yang sombong…” [Shahih al-Jami’ash-Shaghir no. 1531]
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang sangat penyayang dan pengasih mengkhawatirkan umatnya
terkena bahaya lidah, dan beliau memperingatkan mereka akan hal
tersebut.
Suatu kali Sufyan bin Abdillah
at-Tsaqafi Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasullullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dengan berkata: “Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku
sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan hidupku! Beliau
berkata: “Katakanlah, Tuhanku adalah Allah kemudian beristiqamahlah!”
Aku berkata lagi: “Wahai rasulullah apa yang paling engkau takutkan
terhadap diriku?’ Beliau mengeluarkan lidahnya kemudian berkata, Ini.” [HR at-Tirmidzi dalam az-Zuhd hadits (2410) dan Ahmad 3/413]
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang tidak berkata sesuai hawa nafsunya memohon kepada Rabbnya
dan berdo’a kepadanya agar tidak berkata kecuali dengan benar.
Diriwayatkan, bawha Ibnu Abbas
Radhiyallu ‘anu berkata: “Nabi Shallallahu ‘alai wasallam berdo’a.” “Ya
Allah terimalah taubatku, terimalah do’aku, kuatkanlah hujjahku,
tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku.” [HR Abu Dawud dalam ash-Shalah hadits (1510) dan Ahmad 1/227.]
Dalam Aunul Ma’bud, sang
pengarang berkata: “Sadidid lisani, maksudnya ialah luruskan dan
benarkan lisanku sehingga tidak berucap kecuali dengan jujur dan tidak
berkata kecuali yang benar.” [Aun al-Ma’bud 3/264]
Pembaca yang dilindungi Allah,
perhatikanlah hadits berikut! Perhatikanlah pintu-pintu kebaikan paling
agung yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
secara satu persatu pada hadits berikut ini. Setelah itu beliau
menyebutkan pokok dan inti pintu kebaikan tersebut. Kemudian pada akhir
hadits, beliau (yang sangat tulus dalam menasihati umatnya) menjelaskan
satu perkara yang memudahkan seorang muslim untuk memasuki semua
pintu-pintu kebaikan itu dan mendapatkan kemenangan berupa pahala dan
ganjaran yang besar.
Diriwayatkan, Mu’adz bin Jabal
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku sering bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam perjalanan. Suatu hari ketika kami sedang dalam
perjalanan, aku berjalan berdekatan dengan Rasulullah.” Aku berkata
kepadanya: “Wahai rasulullah, beritahukan kepadaku tentang suatu amalan
yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka!”
Beliau menjawab: “Kamu telah menanyakan perkara yang besar. Sesungguhnya
ia sangat mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah. Sembahlah
Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, puasalah d ibulan Ramadhan dan tunaikan haji!” Kemudian beliau berkata, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu perisai, shadaqah itu akan menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api, shalatnya seseorang pada tengah malam,
beliau membaca ayat, تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ “Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya” (as-Sajdah 16) hingga firman Allah,
جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “sebagai balasan bagi mereka, atas apa
yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah 17) Beliau melanjutkan sabdanya:
“Maukah kamu aku tunjukkan pokok dan inti perkara (agama ini)? Ia adalah
Jihad.” Rasulullah bersabda lagi: “Maukah kamu aku tunjukkan perkara
yang dapat mempermudah kamu untuk melakukan itu semua?” aku menjawab:
“Ya.” Beliau mengeluarkan lidahnya lalu berkata: “Jagalah ini!”
Aku berkata: “Wahai Nabi Allah! Apakah kami akan di siksa karena apa
yang kami bicarakan?" Beliau menjawab: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ,
وَهَلْ يُكِبُّ النَّاسَ عَلَى وُجُوْهِهِمْ فِي النَّارِ إِلاَّ حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ “Celakalah engkau wahai Mu’adz! Tidak ada yang
melemparkan manusai ke neraka kecuali hasil yang dipetik dari lidah
mereka.” [HR. Ibnu Majah dalam al-Fitan hadits (3973) dengan lafazzh
beliau, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Iman hadits (2616)]
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Semoga Allah merahmati orang yang menahan diri dari banyak berbicara
dan lebih mengutamakan banyak beramal.” [‘Uyun al-Akhbar, Ibnu Taimiyyah
1/380]
Jika kita mau memperhatikan keadaan kita sekarang ini, niscaya kita dapati yang sebaliknya kecuali orang yang dirahmati Allah.
Mutiara Nasehat Dari Salafush Shalih
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam berbicara, cukup bagi seseorang umtuk berbicara seperlunya.” [Jami’ al - ‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali hal 134]
Beliau berkata kepada anaknya:
Beliau berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku, berleluasalah di rumahmu dan jagalah lisanmu serta menangislah mengingat dosamu!” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 134]
Beliau juga berkata:
Beliau juga berkata:
“Demi
Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia! Tidak
sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan dalam waktu
yang lama daripada lidah.”
[Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227]
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Lebih
berlaku adillah terhadap telingamu dari pada lidahmu! Karena tidaklah
diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar dari
pada berbicara.” [Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi]
Malik bin Anas mencela orang yang banyak bicara dengan mengatakan: “(Banyak berbicara) hanyalah kebiasaan wanita dan orang lemah.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/66]
Perhatikanlah!
Atha’ berkata: “Kaum salaf membenci sikap berlebihan dalam berbicara. Mereka menganggap selain membaca al-Qur’an, beramar ma’ruf nahi munkar, atau berbicara tentang kehidupan yang harus dibicarakan sebagai sikap berlebihan dalam berbicara.” [Al-Adab Asy-Syar’iyyah , Ibnu Muflih 1/62]
Al-Qaim bin Muhammad Rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan orang-orang yang tidak suka bicara tetapi mereka suka beramal.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 2/343]
Orang-orang bijak mengatakan: “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang bicaranya.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87]
Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang berbicara melampaui batas maka akalnya akan berkurang.
Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata: “Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Hayatilah hal ini, wahai saudaraku penuntut ilmu agar tercapai cita-citamu!
Abu Hatim Muhammad bin Hibban Rahimahullah berkata: “Yang
harus dilakukan bagi orang yang berakal adalah diam sampai ada hal yang
harus dibicarakan. Betapa banyak orang yang menyesal ketika berbicara,
dan betapa sedikit orang yang menyesal ketika diam. Orang yang paling
lama kesedihannya dan orang yang paling besar ujiannya, adalah orang
yang diuji dengan lisan yang banyak bicara dan kurang bermanfaat.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
(Ada sebuah sya’ir yang indah)
"Jika engkau menyukai sikap
diam, Sesungguhnya orang-orang mulia sebelum kamu telah menyukainya.
Jika kamu menyesal satu kali karena diam Sesungguhnya kamu akan menyesal
berulangkali karena berbicara". [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Abu Hatim bin Hibban Rahimahullah berkata: “Diantara
kesalahan paling besar yang dapat merusak kesehatan jiwa dan merusak
kebagusan hati, adalah banyak bicara walaupun perkataaan tersebut boleh
dibicarakan. Seseorang tidak akan bisa memiliki sifat diam kecuali
dengan meninggalkan perkataan yang boleh untuk dibicarakan.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Abu adz-Dziyal berkata Rahimahullah berkata: “Belajarlah
diam sebagaimana kamu belajar berbicara! Jika bicara itu memberikan
petunjuk kepadamu sesungguhnya diam itu menjaga dirimu. Dalam diam kamu
mendapatkan dua hal, yaitu dengan diam kamu dapat mengambil ilmu dari
orang yang lebih tahu dari pada kamu, dan dengan diam kamu dapat menolak
kebodohan orang yang lebih bodoh daripada kamu.” [Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Abd al-Barr 167]
(Ada sebuah sya’ir yang indah)
"Orang diam itu tidak tercela
Tidak ada orang yang banyak bicara kecuali akan terpeleset Dan tidak
akan dicela orang yang diam. Jika berbicara itu adalah perak Maka diam
adalah emas yang dihiasi dengan mutiara." [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat al-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 48]
Berkata al-Imam Ibnu Hibbbaan:
“Suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang yang memiliki akal sehat
bahwa ia lebih banyak mempergunakan telinganya dari pada mulutnya, untuk
ia ketahui kenapa dijadikan untuknya dua buah telinga satu buah
mulut,supaya ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara.. Karena
apabila berbicara ia akan menyesalinya, tapi bila ia diam ia tidak akan
menyesal, sebab menarik apa yang belum diucapkannya lebih mudah dari
pada menarik perkataan yang telah diucapkannya.. Perkataan yang telah
diucapkannya akan mengikutinya selalu, sedangkan perkataan yang belum
diucapkannya, (maka) ia mampu mengendalikannya..” [Raudhatul 'uqalaa' halaman (47)]
Beliau juga berkata: Orang
yang berakal sehat lidahnya dibelakang hatinya, apabila ia ingin
berbicara, ia kembalikan kepada hatinya, jika hal itu baik untuknya baru
ia bicara, jikalau tidak maka ia tidak bicara. (Sedangkan) Orang yang
dungu, hatinya dipenghujung lidahnya, apa saja yang lewat diatas
lidahnya ia ucapkan, tidaklah paham tentang agama orang yang tidak bisa
menjaga lidahnya. [Raudhatul 'uqalaa' halaman (47)]
Seorang laki-laki menulis surat kepada seorang hakim, dia berkata :
“Janganlah kamu pelit untuk berbicara kepada manusia”
Maka dijawab:
“Sesunggunya
al-Khaliq Subhanah telah menciptakan bagimu dua telinga dan satu lisan,
untuk lebih banyak mendengarkan apa-apa yang banyak dari perkataanmu,
bukan untuk lebih banyak berkata dari apa yang kamu dengar.”
Berkata al-Imam Ibnu Rajab: “Barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan.” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam (2/147)]
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin Ubaid, “Sesungguhnya ia berkata:
Berkata al-Imam Ibnu Rajab: “Barangsiapa yang menabur kebaikan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai kemulian, sebaliknya barangsiapa yang menabur kejelekkan baik berupa perkataan ataupun perbuatan ia akan menuai penyesalan.” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam (2/147)]
Kemudian Ibnu Rajab menukil sebuah perkataan dari Yunus bin Ubaid, “Sesungguhnya ia berkata:
"‘Tidak
seorangpun yang aku lihat yang lidahnya selalu dalam ingatannya,
melainkan hal tersebut berpengaruh baik terhadap seluruh aktivitasnya’.”
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia berkata: “Tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya.”
Imam Syafi’I pernah ditanya:
Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsrir, bahwa ia berkata: “Tidak aku temui seorangpun yang ucapannya baik melainkan hal tersebut terbukti dalam segala aktivitasnya, dan tidak seorangpun yang ucapannya jelek melainkan terbukti pula hal tersebut dalam segala aktivitasnya.”
Imam Syafi’I pernah ditanya:
“Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaan?”
Beliau menjawab:
“Agar aku dapat memahami mana yang lebih utama, diam atau menjawab pertanyaan”
Ibrahim bin adhim melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara yang tak ada gunanya, maka belaiu berhenti dan bertanya : “Apakah kamu mengira akan mendapatkan pahala dengan ucapanmu itu?”
Ibrahim bin adhim melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara yang tak ada gunanya, maka belaiu berhenti dan bertanya : “Apakah kamu mengira akan mendapatkan pahala dengan ucapanmu itu?”
Maka orang ini menjawab : “Tidak”
Maka beliau bertanya lagi : “Apakah kamu akan merasa aman dari siksaan akibat ucapanmu tadi?”
Dia menjawab: “Tidak”
Maka beliau menimpali: "Maka
kenapa kamu berkata dan berbicara yang tidak mendapat pahala dan belum
tentu selamat dari dosa!? Maka hendaklah kamu berdzikir kepada Allah!"
Dari Thahir az-Zuhriy dia
berkata: “Ada seorang laki-laki duduk di samping abu yusuf, dan orang
ini diam terus.Maka bertanya abu yusuf kepadanya:
“Kenapa engkau tidak berbicara?”
Orang ini menjawab :
“Tentu aku akan bicara… kapan waktunya berbuka puasa?”
Maka abu yusuf menjawab :
“Jika tengelam matahari”
Laki-laki ini bertanya :
“(bagaimana) jika sampai pertengahan malam tidak tenggelam (juga)?
Maka tertawalah abu yusuf sambil berkata:
“Kamu benar dalam diammu, dan aku salah telah menyuruh kamu berbicara.”
_________
Sumber: http://abuzuhriy.com/?p=1344
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/bahaya-banyak-bicara.html