Kaidah-kaidah ini pada awalnya
ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan beliau
menempatkannya di bagian awal kitab Syarah Lum’atul I’tiqaad. Adapun Syaikh Abdur Razzaaq adalah salah seorang pengajar yang menyertai dakwah Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah di Daarul Hadits As Salafiyah Yaman. Beliau menjelaskan kaidah-kaidah ini sebagai pengantar Syarah Lum’atul I’tiqaad dengan merujuk kepada penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Al Qawaa’idul Mutsla
serta keterangan dari ulama’ lain yang juga sangat bermanfaat seperti
Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Hajar -semoga Allah merahmati mereka semua-.
KAIDAH
PERTAMA: Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan
As Sunnah yang berbicara tentang Nama dan Sifat Allah.
Dalam menyikapi nash-nash Al
Kitab dan As Sunnah kita wajib membiarkan penunjukannya sebagaimana
zhahir nash tanpa perlu menyimpangkan maksudnya. Ini adalah kaidah yang
sangat penting. Penetapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk
perkara ghaib sehingga hal itu tidak bisa dijangkau dengan akal dan
rasio semata.
Makna zhahir dari Nama dan Sifat
tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab, karena Al Qur’an
turun dengan bahasa ini. Begitu pula Rasul yang kepada beliau diturunkan
Al Qur’an adalah orang yang berbahasa Arab. Orang-orang yang diajak
bicara oleh beliau di masa itu juga orang-orang yang berbahasa Arab.
Mereka bisa memahami Al Qur’an dengan bahasa tersebut.
Allah Ta’ala berfirman, “Dia
(Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az Zukhruf: 3)
Maka setiap muslim wajib
memahami nash-nash sesuai dengan makna zhahirnya yaitu menurut bahasa
Arab selama tidak ada dalil dari syar’i yang menghalanginya.
Yang
dimaksud dengan makna zhahir dari pembicaraan adalah makna yang bisa
langsung tergambar di dalam benak pikiran ketika mendengarnya. Dengan
demikian makna zhahir itu bisa berbeda-beda tergantung kepada susunan
kalimat dan menyesuaikan konteks pembicaraan serta kepada siapa ucapan
tersebut disandarkan.
Contoh penerapannya adalah dalam firman Allah Ta’ala, “Tak ada suatu negeripun/qoryah (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya…” (QS. Al Israa’: 58)
Bandingkan dengan firman Allah yang berikut ini, “Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk (Sodom)/ahlul qoryah ini.” (QS. Al Ankabuut: 31). Di dalam kedua ayat ini kata ‘qoryah’ memiliki perbedaan maksud.
Begitu pula firman Allah Ta’ala, “Dan supaya kamu (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku (‘alaa ‘ainy).”
(QS. Thahaa: 39). Orang yang berakal tentu tidak akan mengatakan bahwa
makna zhahir yang bisa langsung ditangkap dari ayat ini adalah Nabi Musa
diciptakan di atas Mata Allah Ta’ala, tetapi makna zhahir yang pasti
benar adalah Musa ‘alaihi salam dipelihara dan diciptakan Allah sementara Mata Allah senantiasa mengawasi dan melindunginya.
Begitu pula apabila ada orang yang berkata, ‘Si Fulan ‘alaa ‘ainy (di mataku)’ atau mengatakan ‘Dia tahta ‘ainy
(di bawah penglihatanku)’. Maka tidak pernah anda dapatkan ada orang
yang memahaminya dengan arti si fulan itu masuk di dalam matanya atau
dibawah bola matanya.
Orang-orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan:
Golongan pertama
Ahlu Sunnah wal Jama’ah As Salafiyyuun (pengikut Salaf). Mereka bersikap sebagaimana kaidah yang telah diterangkan.
Golongan kedua
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah mengarah kepada tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-pent). Sehingga apabila dia membaca firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64). Maka dia akan berkata, “Saya
tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali dengan bentuk sebagaimana tangan
saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu tangan-pent). Namun alasan
ini terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11)
Sebagaimana diketahui bahwa terkadang sesuatu yang namanya sama akan tetapi bentuk/kaifiyah-nya
bisa jadi berbeda-beda. Seperti contohnya apabila anda menyebut ‘tangan
manusia, tangan tikus, tangan gajah dan lain sebagainya…’ bukankah
sesuatu yang dinamai sama (yaitu tangan-pent) sedangkan kaifiyahnya
jelas berbeda-beda, sebagaimana hal itu bisa kita saksikan. Perbedaan
semacam ini amat jelas terbukti ada pada sesama makhluk, lalu bagaimana
pula dengan perbedaan yang ada antara Al Khaaliq (Pencipta) dengan makhluk?
Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim bersya’ir tentang permasalahan ini,
Kami (Ahlu Sunnah) tidaklah menyerupakanantara sifat Allah dan sifat ciptaan
Adapun orang yang menyerupakan
sebenarnya merekalah penyembah berhala pujaan
Golongan ketiga
Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan Sifat Allah merupakan bentuk penyerupaan/tamtsil. Pemahaman seperti ini mendorong mereka untuk melakukan penolakan/ta’thil.
Kemudian mereka berusaha menentukan makna lain yang bisa diterima oleh
akal mereka, dan mereka pun berselisih dalam menentukannya. Mereka
menyebut tindakan ini sebagai ta’wil/tafsir, padahal sesungguhnya mereka telah melakukan tahrif/penyimpangan.
Alangkah benar ungkapan orang yang mengomentari tingkah mereka ini:
Mereka itu bukan menolong Islam, tapi menghancurkan filsafat juga tidak.
Golongan ketiga ini telah
mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia sendiri tidak mensifati
Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah dengan sifat-sifat yang
maknanya sama sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa Arab. Ambil contoh
firman Allah Ta’ala, “(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam/istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Thahaa: 5). Orang-orang yang melakukan ta’thil itu mengatakan, “Istiwa itu maksudnya istaula.” (berkuasa setelah berhasil menaklukkan lawan-pent). Mereka menolak makna yang benar dari lafazh istiwa’ yaitu: tinggi dan menetap dan inilah sifat yang pantas bagi Allah Ta’ala
kemudian mereka justru menetapkan makna baru yang tidak benar
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Ini termasuk perkataan tentang Allah
tanpa ilmu. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36). Allah Ta’ala juga berfirman, “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?” (QS. Al Baqarah 140)
Golongan keempat
Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak mengetahui keinginan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat Allah. Mereka mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada Allah Ta’ala.” Mereka ini adalah golongan terjelek.
Konsekuensi dari pendapat mereka
ini adalah para Sahabat tidak bisa memahami nash-nash yang ditujukan
kepada mereka, sehingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mengajak bicara mereka dengan sesuatu yang tidak mereka pahami, bahkan
ini juga berarti sesuatu itupun tidak dipahami oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau jauh sekali dari tuduhan semacam ini!
Kalau kita mau merujuk kepada
Kitabullah niscaya kita jumpai bahwa Allah senantiasa memerintahkan kita
untuk memikirkan, merenungkan dan memahami Al Qur’an. Allah juga telah
memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).
Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44).
Madzhab golongan ini merupakan madzhab yang batil, yang membuka celah yang lebar bagi munculnya berbagi macam kesesatan dan penyimpangan. Bacalah kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wa Naql (Menepis dakwaan pertentangan antara akal dan dalil naql) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalamnya beliau telah membongkar kebatilan golongan ini.
Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44).
Madzhab golongan ini merupakan madzhab yang batil, yang membuka celah yang lebar bagi munculnya berbagi macam kesesatan dan penyimpangan. Bacalah kitab Dar’u Ta’aarudhil ‘Aql wa Naql (Menepis dakwaan pertentangan antara akal dan dalil naql) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalamnya beliau telah membongkar kebatilan golongan ini.
Bagaimanapun juga, tidak mengikuti madzhab salaf radhiyallahu ‘anhum termasuk dalam kategori penyimpangan/tahrif
terhadap Kalam Allah ‘Azza wa Jalla dari maksud yang sebenarnya.
Orang-orang yang melakukan tahrif ini sangat tercela, sebagaimana Allah
Ta’ala telah mencela orang-orang Yahudi karena mereka
mengubah-ubah/melakukan tahrif terhadap firman Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah
kamu masih mengharapkan mereka (Yahudi) percaya kepadamu (Muhammad),
padahal segolongan dari mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 75)
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
1. Seluruh Asmaa’ Allah pasti husna.
Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’
yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-Nama
Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya
dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentuk mu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’ (bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…”
(QS. Al A’raaf: 180). Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung
sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan
padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).
Semua Nama Allah menunjukkan
sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi Nama Allah
berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka
berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.
Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah
adalah setiap Nama dari Nama-Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup
seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama
Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al ‘Aliim
merupakan salah satu Nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang
sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan
terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak
ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi
maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.
Faidah:
Dengan
memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu
Hazm dan orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan
dengan beliau ketika mereka menetapkan Ad Dahr (artinya ‘masa’) sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala. Sebab Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang terdapat di dalam Ash Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Anak
Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr). Padahal Aku
adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang
membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui dari dua sisi argumentasi:
1. Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Padahal Aku adalah Ad Dahr” telah dijelaskan maksudnya oleh firman-Nya, “Semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa semua urusan ditangan-Nya,
Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam. Sedangkan
pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah, mereka berkata,
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan
kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa.” (QS. Al Jaatsiyah: 24). Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, “Mereka tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent).”
2. Firman Allah Ta’ala, “Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Di dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab-dengan fathah pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib-dengan kasrah pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).
2. Asmaa’ Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.
Hal
ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di
dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau
dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba
memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai
Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama
yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama
yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.”
Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka
tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang
diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi
golongan yang lain tidak mengetahuinya.
Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas
ulama’ bahwa Nama Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu,
sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari.
Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman
mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan
dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”
Ibnu Hazm -semoga Allah
mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya Allah memiliki Nama
selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan
Nabi ’seratus kurang satu’ menjadi perkataan yang tidak ada
gunanya…” Sedangkan Jumhur ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan
jumlah Nama Allah. Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji balasan yang akan
diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.
Imam Nawawi -semoga Allah
merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil pembatasan
jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah
tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99. Sesungguhnya maksud
dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk
Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya
(melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.
Al ‘Allamah Al Utsaimin
memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud hadits ini dengan
kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda
mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah.” Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah itu.
Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata “Nama yang Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu”
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama
Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar dua ungkapan hadits
ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh
sembilan.
Faidah:
Sabda Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam, “apabila seseorang menjaganya”
merupakan dalil bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda
telah mengerti bahwasanya tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian
Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam
Fathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang ingin
mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk
menjaganya Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama-Nama yang
dimaksud?
Para ulama’ memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:
- Ketidaktahuan orang yang berdo’a terhadap rincian Nama-Nama Allah yang dimaksud dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo’a dengan menyertakan seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
- Alif lam ta’rif (pada kata al asmaa’) dalam firman Allah, “Dan hanya milik Allah Al Asmaa’ul Husna maka berdo’alah kalian dengan perantara menyebutkannya”, berfungsi untuk ‘ahd (menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara-pent). Dengan begitu pasti ada ma’huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dengan menyebutkan Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Saya berpendapat Al Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur’an itulah yang lebih mendekati kebenaran.”
Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama’ yang lain menerangkan maksud dari sabda Nabi tentang ihsho’/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda merujuk kepada kitab Fathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits nomor 6410.
3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar’i.
Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi
(penetapannya membutuhkan dalil syar’i-pent) yang penetapannya
bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan
Nama ini terdapat perbedaan pendapat:
- Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
- Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
- Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya tidak termasuk perkara tauqifi.
- Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah dan Karraamiyah.
Diantara beragam pendapat
tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan akal sekedar
berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama
disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai
pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)
Nama-Nama Allah hanya bisa
diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits-pent) bukan dari
hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta’ala ‘anha, Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maha
Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats
tsanaa’/sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan
kepada Diri-Mu sendiri.” Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan tsanaa’/sanjungan
(sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi
shalallahu’alaihi wa sallam tidak dapat menyempurnakan sanjungan
terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak diperbolehkan
memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan nama
yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka
terhadap Allah Rabbul ‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang
Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk
dilakukan.
Oleh karena itulah penetapan
Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita melakukan
penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri-Nya
sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah
tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama
yang sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan
penolakan. Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja
yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan
Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.
Faidah:
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai’ul Fawaa’id: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa’ dan Sifat adalah perkara tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi, contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai’ (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim (terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan ungkapan, “Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama.”
Jika anda menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di
dalam Al Kitab maupun As Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya
seperti Al Jaa’i (yang datang), Al Aakhidz (yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil
(yang turun)… maka Allah Ta’ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama
tersebut tetapi kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat tersebut.”
4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi.
Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:
Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:
- Beriman dengan Nama tersebut.
- Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
- Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.
Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah
Ta’ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang sedikit berbeda untuk
rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”.
Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud
dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin -pent) sama
artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana
tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan
Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana
dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh
Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan
kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.
Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi
maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus
menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang
terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa
Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang
paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya
Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.
Contoh dari penjelasan ini:
- Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘Aliim. Ar Rahiim (Yang Maha Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
- Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal, Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali (Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al ‘Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi-Nya.
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat
yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah
bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang
(yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi
pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi
sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia
Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa
Al Qur’an yang sangat indah!!
Rabb Sesembahan yang berhak
menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya
mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan.
Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap
berhala-berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang
penuh kekurangan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengapakah kamu
menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat
sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah
sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya
sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari
(memperhatikan) do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka serukan.
Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:
- Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
- Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
- Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.
Faidah:
Apakah
semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi
sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat
kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat
kekurangan jika disandang oleh makhluk?
Jawabnya:
Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong
adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru
akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan,
minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi
sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri
Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan
kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib
mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.
2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.
Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:
- Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
- Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.
Ketahuilah saudaraku -semoga
Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati
Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’
(para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati
Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah
sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh
Al Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:
- Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
- Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu tidak berbuat zhalim.” Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.
- Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.
Oleh
karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2
perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan
Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah
Ta’ala.
Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.”
(QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat
lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan
sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.
3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.
Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:
A. Sifat Dzatiyah
Yaitu
sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak
terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila
dilihat dari kandungan isinya:
A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah
Yaitu
sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al
hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.
A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah
Yaitu
Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian
dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain
sebagainya.
B. Sifat Fi’liyah
Yaitu
Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah.
Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait
dengannya:
- Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
- Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.
Faidah:
Diantara
Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga
sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya
sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat
Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti
sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu
peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah,
artinya Allah Ta’ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.
4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.
- Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
- Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
- Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?
Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:
- Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
- Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
- Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?
Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik
Faidah Pertama:
Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut dengan tamtsil. Tamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku.”
Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapun takkyif
tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh
karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat
Allah termasuk tindakan takyif.
Faidah Kedua:
Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:
- Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau menjawab: “Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid’ah.”
- Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat Allah?” atau “Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.
- Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”
Faidah Ketiga:
Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentang kaifiyah‘. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!
Faidah Keempat:
Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan ‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:
- Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
- Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
- Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
Kaum Mu’aththilah itu terbagi-bagi ke
dalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada pihak yang mengingkari Nama
dan Sifat Allah secara mutlak semacam kelompok Jahmiyah. Ada pula pihak
yang mengingkari Sifat saja semacam kelompok Mu’tazilah. Ada pula yang
mengingkari sebagian Sifat dengan tetap menetapkan Nama-Nama Allah
semacam kelompok Asyaa’irah (yang mengaku-aku pengikut Imam Abul Hasan
Al Asy ‘ari-pent). Diantara mereka ada yang terjerumus dalam sikap tafwidh (menyerahkan lafazh, makna dan kaifiyah Sifat hanya kepada Allah-pent). Ada yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang seperti, “Allah
itu tidak hidup juga tidak mati, tidak mendengar juga tidak melihat
(mungkin maksud beliau tidak tuli, wallahu a’lam-pent), tidak bisu tapi
juga tidak berbicara, dst.” Itu semua mereka lakukan dengan alasan untuk menghindar dari penyerupaan/tamtsil. Pendapat terakhir ini adalah madzhab orang-orang mulhid/atheis di kalangan sekte Bathiniyah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- menerangkan bagaimana
cara membantah orang-orang semacam ini. Beliau mengatakan: “Pendapat-pendapat
yang mereka lontarkan bertentangan dengan makna zhahir dari nash-nash
yang ada, juga menyimpang dari manhaj/metode para Salaf, dan tidak ada
dalil shahih yang mendukung pendapat mereka. Bahkan untuk membantah
(kesalahan) mereka dalam beberapa Sifat tertentu bisa ditambahkan
bantahan keempat bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu.” Yang
dimaksud oleh beliau (Syaikh ‘Utsaimin) ialah penambahan terhadap tiga
bantahan yang telah diajukan tadi sangat mungkin untuk disampaikan
sehingga jumlahnya menjadi empat bantahan dan bahkan bisa lebih banyak
daripada itu tergantung Sifat mana yang sedang dibicarakan.
Faidah:
Apakah perbedaan tahrif dengan ta’thil?
Tahrif terjadi pada dalil (merubah lafazh maupun maknanya, lihat Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Al Wasithiyah hlm 6 oleh Syaikh Al Utsaimin-pent) sedangkan ta’thil terjadi pada madlul/makna yang ditunjukkan dalil. “Syaikh Utsaimin juga mendefinisikan ta’thil sebagai pengingkaran Nama atau Sifat yang seharusnya ditetapkan dimiliki Allah, dengan bentuk ta’thil kulli/total seperti yang dilakukan oleh Jahmiyah atau ta’thil juz’i/sebagian’
seperti yang dilakukan oleh Asy’ariyah” [yang ada dalam tanda petik
adalah tambahan dari penterjemah]. (Sehingga setiap orang yang melakukan
tahrif pasti melakukan ta’thil akan tetapi tidak setiap orang yang melakukan ta’thil itu mesti melakukan tahrif, lihatlah Syarah ‘Aqidah Wasithiyah Syaikh Shalih Al Fauzan hlm 15 -pent).
Misalnya, ada seseorang yang mengomentari firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang” dengan menyatakan “(dua Tangan) itu artinya dua Kekuatan-Nya.” Maka orang ini telah terjerumus dalam tindakan tahrif terhadap dalil dan sekaligus melakukan ta’thil terhadap madlul/makna yang ditunjukkan oleh dalil; yaitu Tangan yang hakiki. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kelompok Mufawwidhah/pelaku tafwidh
(diantara mereka Syaikh Hasan Al Banna pendiri Jama’ah Al Ikhwan Al
Muslimin, semoga Allah mengampuninya dan memberi hidayah taufiq kepada
para pemujanya-pent) termasuk dalam jajaran penolak Sifat
(Mu’aththilah).
Demikianlah kemudahan yang
dianugerahkan Allah kepada saya guna menjelaskan kaidah-kaidah ini,
semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Segala Puji dari awal sampai
akhir bagi Allah Rabb penguasa alam semesta. Semoga shalawat dan barakah
tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
(Diterjemahkan oleh Abu Muslih dengan sedikit perubahan tanpa menyertakan catatan kaki dari Penulis)
***
Diterjemahkan dari Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad
karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa’iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/normal-0-false-false-false.html