Menarik untuk mengkaji terminologi
“syirik” dari kacamata para ulama Madzhab Syafi’i. Selain pandangan-pandangan
Syafi’iyyah sangat dominan dan populer di Indonesia, juga dikarenakan para
pembesar ulama Syafi’i ternyata mewariskan kepada kita karya-karya fenomenal
bagi khasanah keilmuan Islam, khususnya di bidang aqidah, salah satu cabang
ilmu yang fundamental bagi kaum muslimin. Di sisi yang lain, ternyata fakta di
lapangan seolah menunjukkan adanya tali penghubung yang terputus antara konsep
ulama Syafi’iyyah dalam memahami terminologi syirik dengan praktik kebanyakan
kaum muslimin tanah air.
Melalui artikel singkat ini, kami akan suguhkan beberapa nukilan dari Imam-Imam Madzhab Syafi’i rahimallaahul jamii’ ketika mereka berbicara tentang “syirik”. Namun sebelum itu, perlu kami tegaskan bahwa syirik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah syirik besar, yang bisa mengeluarkan seseorang dari koridor Islam, dan pelakunya tidak akan diampuni (kelak di akhirat) jika belum sempat bertaubat di dunia.
Definisi Syirik Secara Harfiah (Bahasa)
Kata “syirik” berasal dari akar kata syaroka (شرك) yang berarti: sekutu, sejawat (partner). Ibnu Faaris rahimahullaah (wafat: 395-H) dalam Maqooyiisi al-Lughoh (3/265, cet. Daarul Fikr, 1399-H) mengatakan:
“(kata syirik) menunjukkan makna muqooronah (berbanding atau bersamaan dalam sesuatu) dan khilaaf infirood (lawan dari kesendirian)...yaitu manakala sesuatu dimiliki berdua, tidak dimiliki sendiri.”
Ibnu Manzhuur rahimahullaah (wafat: 711-H) berkata dalam kitabnya Lisaanul ‘Arob (10/449, cet.-3, Daar Shoodir, 1414-H):
“Berbuat syirik pada Allah: yaitu menjadikan adanya sekutu atau partner bagi Allah dalam hal kepemilikan alam semesta. Mahatinggi Allah dari hal tersebut.”
Kemudian Ibnu Manzhuur rahimahullaah menukil ucapan Abul ‘Abbas ketika mengomentari firman Allah:
“Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” [QS. an-Nahl: 100]
“Maknanya adalah; orang-orang yang menjadi musyrik karena mentaati syaitan. Bukanlah yang dimaksud mempersekutukan di sini, bahwa mereka beriman kepada Allah lantas mempersekutukan syaitan. Akan tetapi (maknanya adalah), mereka beribadah pada Allah bersamaan dengan itu pula mereka beribadah kepada syaitan. Maka jadilah mereka orang yang berbuat syirik (mempersekutukan Allah dengan syaitan).” [Lisaanul ‘Arob: 10/449]
Syirik Menurut Imam Abu Manshur al-Azhariy rahimahullaah
Beliau adalah salah satu ulama besar Syafi’iyyah yang terdahulu, wafat pada tahun 370-H. Karya tulis beliau yang terkenal adalah Tahdziibul Lughoh. Ibnu Manzhuur rahimahullaah mengatakan tentang karya tulis beliau ini:
“Saya belum pernah menemukan dalam buku-buku bahasa, sesuatu yang lebih bagus daripada Tahdziibul Lughoh karya al-Azhary.”
Beliau berkata dalam Tahdziibul Lughoh (10/hal. 12, Cet.-1, Daar Ihyaaut Turots) ketika mendefinisikan syirik:
والشرك: أَن تجْعَل لله شَرِيكا فِي رُبُوبيَّته، تَعَالَى الله عَن الشُّركاءِ والأنْدَادِ
“Syirik adalah; (tatkala) engkau menjadikan sekutu (atau tandingan) bagi Allah dalam Rububiyyah-Nya, Mahatinggi Allah dari berbagai macam sekutu dan tandingan.”
Termasuk dalam lingkup Rububiyyah Allah adalah; pengetahuan tentang yang ghaib, menciptakan dan memilihara alam semesta, menghidupkan dan mematikan makhluk, menurunkan penyakit dan menyembuhkan, membagi rizki makhluk, dsb. Ketika seseorang meyakini ada selain Allah yang memiliki kekuasaan atau kekuatan mandiri dalam Rububiyyah, maka saat itu ia telah berbuat syirik pada Allah.
Syirik Menurut Imam as-Sam’aaniy rahimahullaah
Beliau adalah ulama besar Syafi’iyyah abad ke-5, wafat tahun 489-H. Sangat mengakar dalam ilmu tafsir dan periwayatan. Di antara karya tulis beliau adalah; Tafsiir as-Sam’aaniy, al-Intishoor Li-ash-haabil Hadiits, dan al-Qowaathi’ di bidang ushul fiqh.
Beliau berkata dalam tafsirnya (Tafsir as-Sam’aaniy: 2/121, Cet.-1, Daarul Wathon – Riyadh, 1418-H) ketika menafsirkan ayat ke-81 dari Surat al-An’am:
الْإِشْرَاك: هُوَ الْجمع بَين الشَّيْئَيْنِ فِي مَعْنًى؛ فَالإشْرَاكُ بِاللَّهِ: هُوَ أَن يُجْمَعَ مَعَ اللهِ غَيْرُ اللهِ فِيمَا لَا يجوز إِلَّا لِلَّهِ.
“Kesyirikan adalah menggabungkan antara dua hal dalam satu makna. Maka yang dimaksud dengan syirik pada Allah adalah menggabungkan antara Allah dan selain-Nya, dalam perkara yang tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya bagi Allah saja.”
Mari mengambil contoh sederhana; ibadah. Kita sepakat bahwa ibadah hanya boleh diperuntukkan bagi Allah semata. Nah, tatkala ibadah tersebut diselewengkan kepada selain Allah (walaupun di saat yang sama pelakunya masih beribadah kepada Allah), maka saat itu sang pelaku dikatakan telah berbuat syirik pada Allah. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, sang pelaku telah “menduakan” Allah dalam ibadahnya. Inilah hakikat syirik menurut Imam as-Sam’aaniy.
Kata kuncinya ada pada ungkapan beliau “...dalam perkara yang tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya bagi Allah saja.” Banyak hal bisa ditimbang dengan kata kunci tersebut, termasuk perkara-perkara yang terkait dengan Rububiyyah Allah seperti; pengetahuan tentang hal ghaib, penciptaan makhluk, pembagian rizki makhluk, menyembuhkan, mematikan, dsb.
Syirik Menurut Imam an-Nawawi rahimahullaah
Beliau wafat tahun 676-H. Merupakan salah satu ulama Syafi’iyyah yang terbesar dan paling tersohor hingga hari ini. Karya tulis beliau yang paling fenomenal adalah al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, penjelasan kandungan Shahih Muslim.
Beliau mengatakan dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (2/71, cet.-2 Daar Ihyaa’ at-Turaats, 1392-H) ketika berbicara tentang definisi kufur dan syirik:
الشِّرْكُ وَالْكُفْرُ قَدْ يُطْلَقَانِ بِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ الْكُفْرُ بِاللهِ تَعَالَى، وَقَدْ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فَيُخَصُّ الشِّرْكُ بِعِبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ مَعَ اعْتِرَافِهِمْ بِاللهِ تَعَالَى ككفار قريش فيكون الكفر أعم من الشرك
“Syirik dan kufur terkadang dimutlakkan penyebutan keduanya pada satu makna, yaitu al-Kufru (kekufuran) pada Allah ta’aala. Dan terkadang keduanya dibedakan, sehingga istilah syirik secara khusus mengandung makna: peribadatan kepada autsaan (patung-patung) atau selainnya dari kalangan makhluk, sekaligus mengakui Allah sebagai Tuhan. (Syirik model ini) persis seperti kesyirikan kaum kafir Quraisy. Dengan demikian, isitilah kufur punya pengertian yang lebih umum (luas) dibanding syirik.”
Berdasarkan definisi tersebut, ada kesimpulan penting yang bisa dirumuskan terkait pemahaman Imam Nawawi rahimahullaah tentang syirik:
“Bahwa syirik adalah beribadah kepada makhluk di samping juga beribadah kepada Allah. Dan bahwasanya kaum kafir Quraisy beriman kepada Allah akan tetapi mereka memperuntukkan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah.”
Syirik Menurut Imam Ibnu Katsiir rahimahullaah
Seorang ahli tafsir dan sejarawan besar Islam, yang juga terhitung salah satu pembesar Syafi’iyyah. Beliau wafat tahun 774-H. Dalam bidang tafsir, tentunya tidak ada penggelut ilmu tafsir yang tidak mengenal karya beliau Tafsiirul Qur-aanil ‘Azhiim. Dalam bidang sejarah, beliau punya karya yang melegenda berjudul al-Bidaayah wan-Nihaayah.
Beliau menegaskan bahwa orang-orang musyrik di masa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sebenarnya mengakui Rububiyyah Allah, namun mereka tetap dikatakan berbuat syirik karena beribadah kepada selain Allah (berhala orang shalih) dengan dalih; berhala-berhala tersebut bisa mendekatkan mereka kepada Allah.
Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. al-Mu’minun ayat 84 sampai 89, beliau menegaskan:
قَالَ لِرَسُولِهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ لِلْمُشْرِكِينَ الْعَابِدِينَ مَعَهُ غَيْرَهُ، الْمُعْتَرِفِينَ لَهُ بِالرُّبُوبِيَّةِ، وَأَنَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ فِيهَا، وَمَعَ هَذَا فَقَدَ أَشْرَكُوا مَعَهُ في الْإِلَهِيَّةِ، فَعَبَدُوا غَيْرَهُ مَعَهُ، مَعَ اعْتِرَافِهِمْ أَنَّ الَّذِينَ عَبَدُوهُمْ لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا، وَلَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا، وَلَا يَسْتَبِدُّونَ بِشَيْءٍ، بَلِ اعْتَقَدُوا أَنَّهُمْ يُقَرِّبُونَهُمْ إِلَيْهِ زُلْفَى: {مَا (1) نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى} [الزُّمَرِ: 3]
“Allah berfirman kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam agar berkata (melemparkan argumen) kepada orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah di samping juga beribadah kepada-Nya, orang-orang musyrik yang (sebenarnya) mengakui Rububiyyah (Allah) dan bahwasanya Dia tidak punya sekutu/tandingan dalam Rububiyyah tersebut. Namun begitu, mereka tetap berbuat syirik dalam Uluhiyyah, (yaitu dengan) beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya, disertai pengakuan bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka itu tidak mampu menciptakan suatu apapun, tidak memiliki secuil apapun, dan tidak menguasai sedikitpun, tetapi mereka (orang-orang musyrik) berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan itu mampu mendekatkan mereka kepada Allah sedekat-dekatnya (sebagaimana firman Allah dalam QS. az-Zumar: 3 yang artinya[1]): “Tidaklah kami mengibadahi mereka (di samping kami beribadah kepada Allah), melainkan supaya mereka sudi memberi kami syafa’at dan mendekatkan kedudukan kami di sisi Allah.”
Kesimpulan
Menurut Imam-Imam Syafi’iyyah (yang juga Imam kaum muslimin) di atas, kesyirikan adalah; menyekutukan Allah dalam Rububiyyah dan ‘Uluhiyyah-Nya. Kebanyakan jenis syirik adalah syirik dalam hal Uluhiyyah, yaitu beribadah kepada Allah dan juga kepada selain-Nya, atau memalingkan sesuatu yang menjadi hak Allah berupa peribadatan kepada selain-Nya, seperti menyembelih kurban sebagai bentuk pengabdian kepada selain Allah (baca: sesajen), dsb.
__________
[1] Disadur maknanya dari at-Tafsiir al-Muyassar, yang disusun bersama oleh pakar-pakar tafsir, Cet.-2, Majma’ul Malik Fahd, KSA, 1430-H:
قالوا: ما نعبد تلك الآلهة مع الله إلا لتشفع لنا عند الله، وتقربنا عنده منزلة، فكفروا بذلك؛ لأن العبادة والشفاعة لله وحده
Sumber: http://alhujjah.com/index.php/aqidah/81-syirik-menurut-ulama-syafiiyyah
Kesalahan dalam memahami syirik:
Melalui artikel singkat ini, kami akan suguhkan beberapa nukilan dari Imam-Imam Madzhab Syafi’i rahimallaahul jamii’ ketika mereka berbicara tentang “syirik”. Namun sebelum itu, perlu kami tegaskan bahwa syirik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah syirik besar, yang bisa mengeluarkan seseorang dari koridor Islam, dan pelakunya tidak akan diampuni (kelak di akhirat) jika belum sempat bertaubat di dunia.
Definisi Syirik Secara Harfiah (Bahasa)
Kata “syirik” berasal dari akar kata syaroka (شرك) yang berarti: sekutu, sejawat (partner). Ibnu Faaris rahimahullaah (wafat: 395-H) dalam Maqooyiisi al-Lughoh (3/265, cet. Daarul Fikr, 1399-H) mengatakan:
“(kata syirik) menunjukkan makna muqooronah (berbanding atau bersamaan dalam sesuatu) dan khilaaf infirood (lawan dari kesendirian)...yaitu manakala sesuatu dimiliki berdua, tidak dimiliki sendiri.”
Ibnu Manzhuur rahimahullaah (wafat: 711-H) berkata dalam kitabnya Lisaanul ‘Arob (10/449, cet.-3, Daar Shoodir, 1414-H):
“Berbuat syirik pada Allah: yaitu menjadikan adanya sekutu atau partner bagi Allah dalam hal kepemilikan alam semesta. Mahatinggi Allah dari hal tersebut.”
Kemudian Ibnu Manzhuur rahimahullaah menukil ucapan Abul ‘Abbas ketika mengomentari firman Allah:
“Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” [QS. an-Nahl: 100]
“Maknanya adalah; orang-orang yang menjadi musyrik karena mentaati syaitan. Bukanlah yang dimaksud mempersekutukan di sini, bahwa mereka beriman kepada Allah lantas mempersekutukan syaitan. Akan tetapi (maknanya adalah), mereka beribadah pada Allah bersamaan dengan itu pula mereka beribadah kepada syaitan. Maka jadilah mereka orang yang berbuat syirik (mempersekutukan Allah dengan syaitan).” [Lisaanul ‘Arob: 10/449]
Syirik Menurut Imam Abu Manshur al-Azhariy rahimahullaah
Beliau adalah salah satu ulama besar Syafi’iyyah yang terdahulu, wafat pada tahun 370-H. Karya tulis beliau yang terkenal adalah Tahdziibul Lughoh. Ibnu Manzhuur rahimahullaah mengatakan tentang karya tulis beliau ini:
“Saya belum pernah menemukan dalam buku-buku bahasa, sesuatu yang lebih bagus daripada Tahdziibul Lughoh karya al-Azhary.”
Beliau berkata dalam Tahdziibul Lughoh (10/hal. 12, Cet.-1, Daar Ihyaaut Turots) ketika mendefinisikan syirik:
والشرك: أَن تجْعَل لله شَرِيكا فِي رُبُوبيَّته، تَعَالَى الله عَن الشُّركاءِ والأنْدَادِ
“Syirik adalah; (tatkala) engkau menjadikan sekutu (atau tandingan) bagi Allah dalam Rububiyyah-Nya, Mahatinggi Allah dari berbagai macam sekutu dan tandingan.”
Termasuk dalam lingkup Rububiyyah Allah adalah; pengetahuan tentang yang ghaib, menciptakan dan memilihara alam semesta, menghidupkan dan mematikan makhluk, menurunkan penyakit dan menyembuhkan, membagi rizki makhluk, dsb. Ketika seseorang meyakini ada selain Allah yang memiliki kekuasaan atau kekuatan mandiri dalam Rububiyyah, maka saat itu ia telah berbuat syirik pada Allah.
Syirik Menurut Imam as-Sam’aaniy rahimahullaah
Beliau adalah ulama besar Syafi’iyyah abad ke-5, wafat tahun 489-H. Sangat mengakar dalam ilmu tafsir dan periwayatan. Di antara karya tulis beliau adalah; Tafsiir as-Sam’aaniy, al-Intishoor Li-ash-haabil Hadiits, dan al-Qowaathi’ di bidang ushul fiqh.
Beliau berkata dalam tafsirnya (Tafsir as-Sam’aaniy: 2/121, Cet.-1, Daarul Wathon – Riyadh, 1418-H) ketika menafsirkan ayat ke-81 dari Surat al-An’am:
الْإِشْرَاك: هُوَ الْجمع بَين الشَّيْئَيْنِ فِي مَعْنًى؛ فَالإشْرَاكُ بِاللَّهِ: هُوَ أَن يُجْمَعَ مَعَ اللهِ غَيْرُ اللهِ فِيمَا لَا يجوز إِلَّا لِلَّهِ.
“Kesyirikan adalah menggabungkan antara dua hal dalam satu makna. Maka yang dimaksud dengan syirik pada Allah adalah menggabungkan antara Allah dan selain-Nya, dalam perkara yang tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya bagi Allah saja.”
Mari mengambil contoh sederhana; ibadah. Kita sepakat bahwa ibadah hanya boleh diperuntukkan bagi Allah semata. Nah, tatkala ibadah tersebut diselewengkan kepada selain Allah (walaupun di saat yang sama pelakunya masih beribadah kepada Allah), maka saat itu sang pelaku dikatakan telah berbuat syirik pada Allah. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, sang pelaku telah “menduakan” Allah dalam ibadahnya. Inilah hakikat syirik menurut Imam as-Sam’aaniy.
Kata kuncinya ada pada ungkapan beliau “...dalam perkara yang tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya bagi Allah saja.” Banyak hal bisa ditimbang dengan kata kunci tersebut, termasuk perkara-perkara yang terkait dengan Rububiyyah Allah seperti; pengetahuan tentang hal ghaib, penciptaan makhluk, pembagian rizki makhluk, menyembuhkan, mematikan, dsb.
Syirik Menurut Imam an-Nawawi rahimahullaah
Beliau wafat tahun 676-H. Merupakan salah satu ulama Syafi’iyyah yang terbesar dan paling tersohor hingga hari ini. Karya tulis beliau yang paling fenomenal adalah al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, penjelasan kandungan Shahih Muslim.
Beliau mengatakan dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (2/71, cet.-2 Daar Ihyaa’ at-Turaats, 1392-H) ketika berbicara tentang definisi kufur dan syirik:
الشِّرْكُ وَالْكُفْرُ قَدْ يُطْلَقَانِ بِمَعْنًى وَاحِدٍ وَهُوَ الْكُفْرُ بِاللهِ تَعَالَى، وَقَدْ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا فَيُخَصُّ الشِّرْكُ بِعِبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ مَعَ اعْتِرَافِهِمْ بِاللهِ تَعَالَى ككفار قريش فيكون الكفر أعم من الشرك
“Syirik dan kufur terkadang dimutlakkan penyebutan keduanya pada satu makna, yaitu al-Kufru (kekufuran) pada Allah ta’aala. Dan terkadang keduanya dibedakan, sehingga istilah syirik secara khusus mengandung makna: peribadatan kepada autsaan (patung-patung) atau selainnya dari kalangan makhluk, sekaligus mengakui Allah sebagai Tuhan. (Syirik model ini) persis seperti kesyirikan kaum kafir Quraisy. Dengan demikian, isitilah kufur punya pengertian yang lebih umum (luas) dibanding syirik.”
Berdasarkan definisi tersebut, ada kesimpulan penting yang bisa dirumuskan terkait pemahaman Imam Nawawi rahimahullaah tentang syirik:
“Bahwa syirik adalah beribadah kepada makhluk di samping juga beribadah kepada Allah. Dan bahwasanya kaum kafir Quraisy beriman kepada Allah akan tetapi mereka memperuntukkan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah.”
Syirik Menurut Imam Ibnu Katsiir rahimahullaah
Seorang ahli tafsir dan sejarawan besar Islam, yang juga terhitung salah satu pembesar Syafi’iyyah. Beliau wafat tahun 774-H. Dalam bidang tafsir, tentunya tidak ada penggelut ilmu tafsir yang tidak mengenal karya beliau Tafsiirul Qur-aanil ‘Azhiim. Dalam bidang sejarah, beliau punya karya yang melegenda berjudul al-Bidaayah wan-Nihaayah.
Beliau menegaskan bahwa orang-orang musyrik di masa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sebenarnya mengakui Rububiyyah Allah, namun mereka tetap dikatakan berbuat syirik karena beribadah kepada selain Allah (berhala orang shalih) dengan dalih; berhala-berhala tersebut bisa mendekatkan mereka kepada Allah.
Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. al-Mu’minun ayat 84 sampai 89, beliau menegaskan:
قَالَ لِرَسُولِهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ لِلْمُشْرِكِينَ الْعَابِدِينَ مَعَهُ غَيْرَهُ، الْمُعْتَرِفِينَ لَهُ بِالرُّبُوبِيَّةِ، وَأَنَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ فِيهَا، وَمَعَ هَذَا فَقَدَ أَشْرَكُوا مَعَهُ في الْإِلَهِيَّةِ، فَعَبَدُوا غَيْرَهُ مَعَهُ، مَعَ اعْتِرَافِهِمْ أَنَّ الَّذِينَ عَبَدُوهُمْ لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا، وَلَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا، وَلَا يَسْتَبِدُّونَ بِشَيْءٍ، بَلِ اعْتَقَدُوا أَنَّهُمْ يُقَرِّبُونَهُمْ إِلَيْهِ زُلْفَى: {مَا (1) نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى} [الزُّمَرِ: 3]
“Allah berfirman kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam agar berkata (melemparkan argumen) kepada orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah di samping juga beribadah kepada-Nya, orang-orang musyrik yang (sebenarnya) mengakui Rububiyyah (Allah) dan bahwasanya Dia tidak punya sekutu/tandingan dalam Rububiyyah tersebut. Namun begitu, mereka tetap berbuat syirik dalam Uluhiyyah, (yaitu dengan) beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya, disertai pengakuan bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka itu tidak mampu menciptakan suatu apapun, tidak memiliki secuil apapun, dan tidak menguasai sedikitpun, tetapi mereka (orang-orang musyrik) berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan itu mampu mendekatkan mereka kepada Allah sedekat-dekatnya (sebagaimana firman Allah dalam QS. az-Zumar: 3 yang artinya[1]): “Tidaklah kami mengibadahi mereka (di samping kami beribadah kepada Allah), melainkan supaya mereka sudi memberi kami syafa’at dan mendekatkan kedudukan kami di sisi Allah.”
Kesimpulan
Menurut Imam-Imam Syafi’iyyah (yang juga Imam kaum muslimin) di atas, kesyirikan adalah; menyekutukan Allah dalam Rububiyyah dan ‘Uluhiyyah-Nya. Kebanyakan jenis syirik adalah syirik dalam hal Uluhiyyah, yaitu beribadah kepada Allah dan juga kepada selain-Nya, atau memalingkan sesuatu yang menjadi hak Allah berupa peribadatan kepada selain-Nya, seperti menyembelih kurban sebagai bentuk pengabdian kepada selain Allah (baca: sesajen), dsb.
__________
[1] Disadur maknanya dari at-Tafsiir al-Muyassar, yang disusun bersama oleh pakar-pakar tafsir, Cet.-2, Majma’ul Malik Fahd, KSA, 1430-H:
قالوا: ما نعبد تلك الآلهة مع الله إلا لتشفع لنا عند الله، وتقربنا عنده منزلة، فكفروا بذلك؛ لأن العبادة والشفاعة لله وحده
Sumber: http://alhujjah.com/index.php/aqidah/81-syirik-menurut-ulama-syafiiyyah
Kesalahan dalam memahami syirik:
- Syirik dianggap hanyalah bentuk penyembahan terhadap berhala. Sedangkan bentuk beribadah pada wali, orang sholih atau pada kuburan, maka bukanlah syirik. Bentuk peribadahan yang ada hanyalah tawassul, meminta syafa’at atau semacam itu. Sehingga syirik hanyalah bentuk peribadahan pada berhala.
- Yang dianggap syirik adalah jika meyakini bahwa ada pencipta selain Allah, ada yang memberi rizki selain Allah dan ada yang mengatur alam semesta selain Allah. Jadi dianggap seseorang disebut bertauhid jika meyakini bahwa tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta selain Allah.
- Yang disebut syirik adalah dalam tauhid hakimiyah yaitu ketika tidak berhukum dengan hukum Allah.
Seseorang tidak akan paham
tentang Tauhid apabila tidak mengetahui lawan dari Tauhid yaitu Syirik
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
"Lawan dari sesuatu akan
membuat sesuatu tampak keindahannya. Hanya dengan (mengetahui) lawannya maka
hakikat sesuatu tersingkap sebenar-benarnya." (Mukaddimah Masaa-ilul
Jahiliyah)
Seseorang tidak akan sampai kepada
pemahaman yang benar tentang Tauhid apabila tidak mengetahui lawan dari Tauhid,
yaitu Syirik.
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Sunnah apabila tidak mengetahui lawan dari Sunnah, yaitu Bid'ah.
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Kebenaran apabila tidak mengetahui lawan dari Kebenaran, yaitu Kebathilan (kesesatan).
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Kebaikan apabila tidak mengetahui lawan dari Kebaikan, yaitu Keburukan.
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Ilmu apabila belum mengetahui lawan dari Ilmu, yaitu Jahil (kebodohan).
Karena itulah Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
“Dahulu orang-orang (para Sahabat) bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan. Sementara aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata:
“Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai satu per satu apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan ia tidak mengetahui arti jahiliyah.” [Al-Fawa'id, hal. 109 dan al-Jawab al-Kafi, hal. 152]
Hal ini selaras dengan ucapan penyair,
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan,
namun untuk menjaga diri darinya.
Karena barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan,
niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya.
[Lihat Miftah Dar as-Sa'adah (I/296)]
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:
"Jika manusia tidak lagi mengetahui perkara jahiliyah, tentu ia akan LEBIH MUDAH terjerumus ke dalamnya. Karena syaitan tidak akan pernah melupakannya, tidak pula berhenti mengajak manusia untuk melakukannya (perkara jahiliyah).
Syaitan dan bala tentaranya dari para penyeru kesesatan akan selalu mengajak kepada perkara jahiliyah, untuk menghidupkan perkara-perkara jahiliyah beserta kemusyrikan, kebid'ahan dan khurafat, di samping melestarikan sisa-sisa kejahiliyahan yang ada.
Semua tujuan tersebut bertujuan untuk menghancurkan Islam, mengajak umat manusia kepada kejahiliyahan. Oleh sebab itu, kita HARUS MEMPELAJARI (untuk mengetahui) perkara-perkara jahiliyah agar dapat menghindari dan menjauhinya."
(Syarh Masaa-ilil Jahiliyah, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, edisi Indonesia: Syarah 128 Tabi'at dan Perangai Jahiliyah, penerbit Pustaka at-Tibyan, Solo, cet. pertama Pebruari 2003)
Oleh: Abu Muhammad Herman
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Sunnah apabila tidak mengetahui lawan dari Sunnah, yaitu Bid'ah.
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Kebenaran apabila tidak mengetahui lawan dari Kebenaran, yaitu Kebathilan (kesesatan).
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Kebaikan apabila tidak mengetahui lawan dari Kebaikan, yaitu Keburukan.
Seseorang tidak akan sampai kepada pemahaman yang benar tentang Ilmu apabila belum mengetahui lawan dari Ilmu, yaitu Jahil (kebodohan).
Karena itulah Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu 'anhu pernah berkata:
“Dahulu orang-orang (para Sahabat) bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan. Sementara aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata:
“Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai satu per satu apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan ia tidak mengetahui arti jahiliyah.” [Al-Fawa'id, hal. 109 dan al-Jawab al-Kafi, hal. 152]
Hal ini selaras dengan ucapan penyair,
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan,
namun untuk menjaga diri darinya.
Karena barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan,
niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya.
[Lihat Miftah Dar as-Sa'adah (I/296)]
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:
"Jika manusia tidak lagi mengetahui perkara jahiliyah, tentu ia akan LEBIH MUDAH terjerumus ke dalamnya. Karena syaitan tidak akan pernah melupakannya, tidak pula berhenti mengajak manusia untuk melakukannya (perkara jahiliyah).
Syaitan dan bala tentaranya dari para penyeru kesesatan akan selalu mengajak kepada perkara jahiliyah, untuk menghidupkan perkara-perkara jahiliyah beserta kemusyrikan, kebid'ahan dan khurafat, di samping melestarikan sisa-sisa kejahiliyahan yang ada.
Semua tujuan tersebut bertujuan untuk menghancurkan Islam, mengajak umat manusia kepada kejahiliyahan. Oleh sebab itu, kita HARUS MEMPELAJARI (untuk mengetahui) perkara-perkara jahiliyah agar dapat menghindari dan menjauhinya."
(Syarh Masaa-ilil Jahiliyah, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, edisi Indonesia: Syarah 128 Tabi'at dan Perangai Jahiliyah, penerbit Pustaka at-Tibyan, Solo, cet. pertama Pebruari 2003)
Oleh: Abu Muhammad Herman
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/08/syirik-menurut-ulama-syafiiyyah_29.html