Syahadat
Laa ilaaha illallah merupakan pondasi dasar dienul Islam. Ia
merupakan rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Kalimat Laa ilaaha
illallah merupakan kalimat yang menjadi pemisah antara mukmin dan
kafir. Ia menjadi tujuan diciptakannya makhluk. Ia juga merupakan
sebab di utusnya para rasul. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sendiri diperintah untuk memerangi manusia sehingga manusia
mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, sebagaimana hadits yang
terdapat dalam Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiallahu 'Anhu (yang artinya):
“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”
Karena kalimat Laa ilaaha
illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal.
Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan
asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan
kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.
Kita terkadang melihat sebagian
kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah
mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya
sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa
ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api
neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak
memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah
telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau
tidak.
Mereka, selain menyembah Allah
juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan,
menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan
jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih
binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah
kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun,
melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat
mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.
Ketika diberitahu dan
diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari
Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):
“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)
Sudahkah mereka memahami, apa
makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula
konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?
Ketika mereka (para penyembah
berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka
berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka
tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah
dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak
petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka
justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan
dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.
Mereka lupa (atau berpura-pura
lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena
tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu
A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan
rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus
kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita
tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa
ilaaha illallah semuanya menjadi beres.
Kalau kita tidak waspada dan
hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang
dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang
dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min
dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.
Karenanya mari kita bersama-sama
mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan.
Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya,
apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila
sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila
sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan.
Selagi ajal belum sampai tenggorokan.
Makna Laa ilaaha illallah
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi
“Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman
bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid
halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna
Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid
(tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu),
yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.
“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)
Makna ilah
yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya
ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik
Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:
“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)
Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37.
Syaikh Shalih bin Fauzan
al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab
Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil
menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat.
(Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak
ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini
adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada
kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran
tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq
maupun batil adalah Allah.
Sedangkan penafsiran “Tidak ada
pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini
hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini
yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja,
sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat
Allah.
Demikian pula penafsiran
“Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma
sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang
dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.
Syarat Laa ilaaha illallah
Bersaksi Laa ilaaha illallah
harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat
bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Al-Ilmu artinya
mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa
memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat
sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi
ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19)
“Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86)
Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun.
Dalilnya firman Allah (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya):
“Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Ash-Shidqu artinya
jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang
mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.
Firman Allah (yang artinya):
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)
5. Al-Mahabbah artinya
mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira
dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang
munafik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)
Dalam hadits shahih dari Anas
bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”
6. Al-Inqiyad artinya
tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara
melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini
termasuk konsekuensinya.
Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya):
“Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22)
7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.”(Ash-Shofat:35)
Syarat-syarat di atas diambil
oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara
khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan
yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.
Rukun Laa ilaaha illallah
Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu:
1. An-Nafyu (peniadaan)
artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan
kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2. Al-Itsbat (penetapan)
artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah
dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya):
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)
‘Barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan
‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.
Konsekuensi Laa ilaaha illallah
Mengamalkan konsekuensi Laa
ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan
mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik).
Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini
adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam
masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam
bentuk syariat dari selain-Nya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)
Pembatal-Pembatal Laa ilaaha illallah
Di dalam buku: “Penjelasan
Tentang Pembatal Keislaman” disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan
pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah atau pembatal keislaman adalah
hal-hal yang dapat merusakkan keislaman seseorang. Manakala hal itu
menimpa diri seseorang, maka hal itu dapat merusakkan keislamannya
dan mengguggurkan amalan-amalannya, dan dia menjadi termasuk
orang-orang yang kekal di dalam api neraka.
Oleh karena itu, setiap muslim
dan muslimah wajib mempelajari pembatal-pembatal ini. Jika tidak,
maka bisa jadi seorang muslim terperosok ke dalamnya sedangkan ia tidak merasa,
seperti yang terlihat pada kebanyakan orang yang mengaku dirinya
sebagai orang islam. La Haula wa la Quwwata Illah Billah!
Di dalam buku tersebut, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa
pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah ini jumlahnya banyak, tapi yang
pokok ada sepuluh. Pembatal-pembatal yang lain kembalinya kepada yang
sepuluh ini. Saya ringkskan permasalahan ini dari buku tersebut
untuk Anda wahai Saudaraku. Pahamilah!
Pembatal-pembatal tersebut adalah:
1. Syirik dalam beribadah kepada Allah
Syirik
yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang
merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah,
menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan,
jembatan, rumah, atau lainnya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)
Ada ulama yang membagi syirik
menjadi tiga, yaitu: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi.
Namun ada juga yang cuma membagi menjadi dua, yaitu: syirik akbar dan
syirik ashgar.
Syirik besar bisa mengeluarkan
pelakunya dari Islam dan menjadikannya pelakunya kekal di dalam
neraka, jika ia mati dalam keadaan membawa dosa syirik besar tersebut
dan belum bertaubat.
Diantara
yang termasuk syirik besar adalah penyembelihan kurban atau nadzar
untuk selain Allah, takut kepada orang yang mati, jin, syaithan bahwa
mereka bisa membahayakan dan membuat sakit, meminta kepada orang
mati.
Syirik besar dibagi menjadi empat, yaitu
- syirik doa (disamping berdoa kepada Allah juga berdoa kepada selainnya),
- syirik niat, keinginan dan tujuan (menunjukkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah),
- syirik ketaatan (mentaaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah),
- syirik kecintaan (menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan).
Syirik kecil tidak menjadikan
pelakunya keluar dari Islam, tetapi mengurangi tauhid dan merupakan
perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil dibagi dua, yaitu
- syirik zhahir (nyata) dan
- syirik khafi (tersembunyi).
Syirik zhahir ini
terdiri dari perkataan dan perbuatan. Contoh dari perkataan adalah
ucapan “Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”, adapun contoh
yang berupa perbuatan misalnya memakai kalung atau benang sebagai
pengusir atau penangkal mara bahaya atau namimah. Apabila ia
berkeyakinan bahwa hal itu sebagai perantara maka ia jatuh pada syirik kecil, namun apabila ia berkeyakin bahwa hal itu dapat menolak bahaya maka itu syirik besar.
Syirik khafi yaitu syirik dalam keingin dan niat, seperti riya (ingin dipuji orang), sum’ah (ingin didengar orang)
2. Orang yang
membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang kepada
perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta
bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)
3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka.
Mengapa demikian?
Sebab,
Allah Jalla wa ‘Ala telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak
ayat di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka
disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama
Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah
mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk
memusuhi dan membenci mereka.
Seseorang tidak bisa disebut
sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan orang-orang musyrik. Jika ia
meragukan hal itu, padahal persoalannya sudah nyata mengenai siapa
sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang mengenai kekafiran mereka
padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti ia telah kafir seperti
mereka.
Orang yang membenarkan
orang-orang musyrik itu dan menganggap baik terhadap kekufuran dan
kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir berdasarkan ijma kaum
muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal Islam secara hakiki,
yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk dan patuh
kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-orang
yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan
loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan
mereka.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah:4)
Inilah millah Ibrahim, barang
siapa membencinya, maka ia berarti telah membodohi diri sendiri.
Perhatikan pula surat Al-Maidah:51, Ali Imron:28, Az-Zukhruf:26-27,
at-taubah:5, at-taubah:23, al-Mujadilah:23, al-mumtahanah:1, dan msih
banyak ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini.
Perhatikanlah wahai Saudaraku kamu muslimin. Janganlah kalian tertipu
oleh dai-dai yang menyeru kepada api neraka!!
4.
Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih baik
daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya):
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka pastilah kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (HR. Ahmad)
5. Membenci
sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia mengamalkannya.
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)
6. Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)
7. Sihir,
seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan seseorang
dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa dikenal dengan
istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah:102)
8. Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah:51)
9. Meyakini
bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari
syariat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana
keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat Musa alaihi
salam.
Dalilnya adalah:
An-Nasa’I
dan laiinya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin
Al-Khattab Radhiallahu 'Anhu, lalu beliau Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda (yang artinya):
“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku telah membawakan kepadamu ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu tersesat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginya kecuali harus mengikutiku,”
lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagai nabi.”
10. Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah:22)
Wahai saudaraku,
Semoga
Allah senantiasa memberi kita petunjuk kepada kebenaran; ketahuilah
bahwa pelaku-pelaku hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang di
atas, tidak ada bedanya antara yang melakukan dengan main-main,
sungguh-sungguh, ataupun takut (karena harta,jabatan). Semuanya sama
saja, kecuali bagi orang yang dipaksa. Orang yang dipaksa memiliki
udzur sebagaimana kisahnya Ammar bin Yassir yang kemudian turun ayat
An-Nahl:106.
Semua hal itu besar sekali
bahayanya, karenanya setiap kita harus berhati-hati dan menjaga diri
dengan baik. Jangan sampai kita terjerumus dalam hal yang berbahaya
ini. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan adzab-Nya yang
pedih.
Untuk melengkapi risalah ini,
saya ingin menyampaikan beberapa hal yang dapat
mengurangi,merusak,atau membatalkan kesempurnan tauhid Laa ilaaha
illallah ini, selain apa yang telah disebutkan di atas. Diantaranya
adalah:
Menggunakan benang, gelang, dan
sejenisnya untuk menangkal bahaya. Termasuk juga menggantungkan
selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi yang di atasnya
tertulis lafdhul jalalah (Allah) atau ayat kursi atau meletakkan
mushaf al-Qur’an di dalam mobil atau tempat lainnya dengan keyakinan
bahwa semua itu dapat menjaga dan mencegahnya dari bahaya kecelakaan,
dari kejelekan pandangan mata yang mengandung sihir (‘ain). Termasuk
pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak
tangan atau terdapat gambar mata dengan keyakinan untuk mencegah
pandangan mata (‘ain). Memasang rajah-rajah di warung atau toko
dengan harapan agar terhindar dari kecurian,perampokan, dan harapan
agar dagangannya laris.
Menggunakan akik, sabuk, atau
benda-benda lainnya yang katanya benda tersebut sudah “diisi”,
sehingga orang yang menggunakannya memiliki kesaktian, kekebalan, dan
lain sebagainya dari banutan jin.
Ilmu-ilmu
tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin, apakah itu white magic
ataupun black magic. Semuanya itu dilarang oleh syariat Islam. Apakah
itu yang langsung “diisi” ataupun yang diperoleh dengan menggunakan
ayat-ayat atau dzikir-dzikir yang bid’ah yang beraneka ragam yang
tidak ada asalnya. Semuanya itu dapat merusak syahadat Laa ilaaha
illallah.
Melakukan ruqyah-ruqyah yang
tidak syar’i. Membaca hal-hal yang tidak dimengerti. Membaca ayat
Qur’an dicampur hafalan-hafalan lain yang mengandung kesyirikan.
Termasuk juga pengobatan-pengobatan “alternatif” yang dilakukan oleh
para dukun dengan nama yang beraneka ragam, dengan mengelabui kaum
muslimin bahwa seolah-olah pengobatannya adalah pengobatan sacara
islam, yang diperbolehkan. Di antaranya adalah pemindahan penyakit
dari orang yang sakit ke binatang, kemudian binatang itu disembelih
untuk melihat bagian mana yang sakit dari si penderita.
Melakukan penyembelihan bukan
karena Allah. Untuk rumah atau gedung yang baru di bangun. Disembelih
untuk jembatan-jembatan. Penyembelihan kurban pada bulan Syuro (apa
yang dinamakan Syuran). yang semuanya itu bertujuan untuk mengambil
manfaat dan menghindari kejahatan dari jin dan setan yang dianggap
menunggu dan atau menguasai tempat tersebut. Termasuk juga pembuatan
bubur syuro yang ada pada masyarakat jawa. Bernadzar, isti’adzah
(mohon perlindungan), istighatsah (mohon pertolongan tuk
dimenangkan), dan berdoa kepada selain Allah juga tidak
diperbolehkan. Hal yang demikian merusak tauhid.
“Ngalap berkah” ke
kuburan-kuburan/petilasan-petilasan orang-orang yang dianggap shaleh
seperti: kyai, nyai, syaikh. Atau “ngalap berkah” ke pohon-pohon
angker, tempat-tempat “wingit”. Ada juga yang ke kuburannya para
pahlawan, raja, presiden, ataupun nenek moyang. Bahkan ada juga ke
makam yang sebenarnya kosong tapi dikatakan sebagai makamnya orang
shaleh. Yang aneh lagi, ada juga kuburan yang didatangi untuk ngalap
berkah ini yang merupakan kuburan binatang!!.
Beribadah di samping kubur
dengan keyakinan hal itu lebih afdhal. Meminta kepada penghuni kubur,
menjadikan penghuni kubur sebagai perantara antara kita dengan
Allah. Melakukan thawaf di kuburan. Kita dilarang sholat di kuburan
karena dapat menggiring kepada kesyirikan, bagaimana pula kalau kita
beribadah kepada kubur? Untuk menjaga tauhid kita dilarang untuk
membuat bangunan di atas kubur (memasang “kijing”). Kita dilarang juga
untuk menjadikan kuburan sebagai ied (hari raya).
Kita dilarang untuk bersikap
berlebih-lebihan kepada orang shalih dan mengangkat mereka melebihi
dari kedudukannya. Ada di antara kaum muslimin yang mengangkat mereka
melebihi kedudukannya, mereka angkat sederajat dengan kedudukan
rasul, bahkan sederajat dengan Allah. Orang-orang shalih tersebut
dianggap ma’sum, terbebas dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan di
atas, kita tidak boleh melakukan sihir, mendatangi tukang sihir,
dukun, para normal, orang pintar, atau apapun namanya yang berprofesi
seperti mereka, yang mengaku mengetahui hal yang ghaib. Kita tidak
boleh mendatangi, bertanya, apalagi membenarkan mereka. Hal ini dapat
merusak tauhid kita, merusak Laa ilaaha illallah kita. Termasuk juga
ilmu nujum yang menggunakan perbintangan yang sekarang ini dinamakan
astrologi. Demikian pula Zodiak-zodiak seperti: leo, pisces, aries,
dan sebagainya; yang hal ini marak di koran, majalah, ataupun di
televisi. Semua ini adalah dilarang.
Merasa bernasib sial karena
suatu hal juga dilarang. Hal ini dalam bahasa dien (agama) dinamakan
sebagai thiyarah. Merasa sial kalau mendengar suara burung tertentu,
sehingga membatalkan rencananya. Apabila menabrak kucing ketika
berkendaraan sudah pasti akan merasa sial (misalnya kecelakaan).
Takut mengadakan perkawinan pada bulan Muharram (Suro), tidak boleh
bepergian pada hari Sabtu karena hari tersebut hari sial, dan hal-hal
lainnya yang semacam dengan ini. Semuanya ini adalah batil. Tidak
ada perhitungan bulan atau hari baik, semua hari adalah baik.
_______________________
Sumber: http://www.perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=149:sudah-benarkah-syahadat-laa-ilaaha-illallah-saya&catid=34:tauhid
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/sudah-benarkah-syahadat-laa-ilaaha.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/06/sudah-benarkah-syahadat-laa-ilaaha.html