Karena satu dan lain sebab, banyak suami istri yang menjalani rumah tangga mereka tanpa rasa cinta kepada pasangan. Meski dirasa tidak nyaman, faktanya hal ini bukanlah pertanda akhir dari eksistensi sebuah keluarga. Bahkan Umar bin Khathab pernah mengatakan bahwa tidak banyak keluarga yang dibangun di atas cinta, namun di atas komitmen syariat dan keinginan mencari ridha Allah.
Ada banyak hal yang bisa kita tempuh untuk menjemput datangnya rasa cinta itu. Atau minimal untuk menyamankan hati ketika terbersit rasa tidak enak kepada pasangan, hal yang bisa mengganggu keikhlasan dan bisa membatalkan nilai ibadah yang kita lakukan. Sedang di sisi lain kita percaya bahwa takdir Allah adalah yang terbaik, meski sering tidak seperti apa yang kita inginkan.
Yang pertama adalah saling memberi hadiah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari).
Hadiah, sebagaimana penjelasan risalah Barid al-Hadiyyah dapat efektif melakukan apa yang tidak dapat dilakukan verbal ucapan termasuk permintaan maaf. Ia mampu menghilangkan kabut hati, memadamkan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. Ia dapat mendatangkan kecintaan dan persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai.
Hadiah selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta, perhatian dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Dalam konteks keluarga, ia bisa memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan. Kerena seorang istri lebih mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya daripada hadiah dari orang lain, demikian pula sebaliknya dengan si suami. Bahkan bila diinginkan, istri boleh memberikan sebagian maharnya sebagai hadiah kepada si suami asalkan ridha.
Yang kedua adalah menjalani kebersamaan. Bagaimana kita bisa memenej waktu yang ada, agar di tengah kesibukan yang sangat padat, selalu ada waktu untuk dihabiskan bersama. Selain sebagai bentuk mu’asyarah bil ma’ruf kepada pasangan, yang memang wajib hukumnya, hal itu juga menandakan kepedulian dan penghargaan. Kebersamaan juga menjadi sarana ta’awun dalam ketakwaan, penghilang keterasingan di dalam rumah, proses komunikasi secara bertahap, dan pemicu produksi hormon oksitosin yang membuat kita terikat dengan pasangan.
Dalam hal ini, Rasulullah bersabda kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yang sibuk dengan shalat malam dan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap istrinya, “Berpuasa dan berbukalah! Tidur dan bangunlah! Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak, dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap istrimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi).
Yang ketiga adalah memperlihatkan wajah ceria. Meski tidak mudah, berwajah ceria di hadapan pasangan, insyaallah akan membuatnya merasa nyaman. Rasulullah bersabda, “Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meski sekedar menampakkan wajah ceria saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim). Pasangan kita, dalam hal ini, jelas lebih layak untuk mendapatkannya.
Meski tidak mudah, berusaha menyamankan hati pasangan dengan berwajah ceria di hadapannya sangatlah terpuji, bahkan ia termasuk kebaikan akhlak dan ciri dari keshalihan pribadi. Asal sabar dan diniatkan untuk ibadah, insyaallah tidak ada yang sulit untuk dijalani.
Yang keempat adalah saling menghargai dan menghormati di antara pasangan suami istri. Hal ini karena sebagai manusia kita membutuhkan penghargaan atas apa yang kita kerjakan sebagai nutrisi hati. Membuat kita merasa diterima, nyaman, dan lebih percaya diri. Dimana ini semua menjadi pondasi yang kokoh untuk sebuah hubungan yang kuat, karena hati yang terhubung.
Sekadar ucapan terima kasih, menyentuh dan membelai, mencium pasangan, memanggil dengan panggilan sayang, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak membesar-besarkan masalah kecil, memberi sambutan hangat, mendengarkannya saat bicara, atau menyediakan apa yang diperlukan pasangan. Kita harus yakin, bahwa meski tampak kecil dan sepele, hal-hal seperti ini sangat pening bagi kenyamanan hati kita.
Yang berikutnya adalah empati kepada pasangan. Bukankah Rasulullah sudah menggambarkan kaum beriman sebagai satu tubuh yang jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka yang lainnya akan merasakan hal sama? Dan bukankah pasangan kita adalah belahan jiwa yang mestinya mendapatkan dukungan penuh atas apa yang dialaminya, agar dia bisa maksimal menemani kita menjalani hari-hari yang panjang ini?
Untuk itu, rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, terutama pasangan hidup kita. Jangan sampai suami sakit, terbaring di tempat tidur, istri tertawa-tawa di sampingnya, bergurau, bercanda, dan tidak peka atas apa yang sedang terjadi. Pun demikian sebaliknya. Jangan atas alasan kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh istri. Rasulullah bahkan bisa mengenali kondisi hati Aisyah hanya dari pilihan katanya saat bersumpah. Subhanallah!
Semoga Allah menguatkan kita menjalani hari-hari dalam keluarga dengan kesabaran hingga semuanya menjadi ibadah di sisi-Nya. Baik cinta yang kita harapkan datang atau tidak, asal cinta kita kepada Allah tidak pernah memudar. Aamiin!