Sungguh, kalimat “asyhadu allaa ilaaha illalloh” tidaklah asing bagi kita. Tinggal di negeri kaum muslimin seperti ini, setidaknya kita biasa mendengarkan lantunan muadzin yang menyerukan kalimat tersebut minimal lima kali sehari semalam. Inilah persaksian seorang hamba yang lemah atas ke-Esa-an Alloh yang Maha Perkasa dalam hak-hak seluruh macam maupun bentuk peribadahan yang tiada sekutu bagi-Nya.
Persaksian yang Paling Agung
Keagungan persaksian allaa ilaaha illalloh
nampak terlihat dari dua sisi, dari sisi yang bersaksi dan dari sisi
yang dipersaksikan. Dalam sebuah ayat begitu jelas lagi tegas Alloh
menunjukkan dua sisi keagungan tersebut dengan firmanNya:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا
هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imron[3]: 18)
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imron[3]: 18)
Syeikh Muhammad al-Utsaimin mengatakan: “Dan
persaksian ini merupakan persaksian yang paling agung sebab agungnya
yang bersaksi juga yang dipersaksikan. Yang bersaksi ialah Alloh, para
malaikat, dan ahi ilmu. Sedangkan yang dipersakiskan adalah ke-Esa-an
Alloh dalam uluhiyah-Nya.”[1]
Antara ‘Laa Ilaaha Illalloh’ dan Umat Manusia
Di antara keagungan kalimat laa ilaaha illalloh
itu tampak juga pada orang yang mengikrarkannya. Siapa saja yang telah
mengikrarkannya, dari mana pun dan siapa pun dirinya, berarti telah
mengikrarkan keislamannya[2] yang dengannya menjadi terhormat dan terjagalah darah serta hartanya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ
إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintah supaya memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa ‘laa ilaaha illalloh’ (tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Alloh) dan bahwa Muhammad adalah rosul Alloh, dan menegakkan sholat, serta menunaikan zakat, apabila mereka telah melaksanakannya maka berarti mereka telah memelihara darah dan hartanya dariku kecuali (yang harus ditunaikan) dari haknya Islam. Adapun perhitungan (amal mereka) menjadi haknya Alloh (menghukuminya).” (HR Bukhori-Muslim)
Sehingga kalimat laa ilaaha illalloh
itu menjamin kehormatan serta keamanan manusia pada jiwa maupun
hartanya. Dan kita sebagai manusia bisa dengan mudah menghukumi zhohir
sesama dari ucapan dan tingkah lakunya. Namun apakah semudah itu
persaksian yang diucapkan manusia diterima di sisi Alloh meski manusia
lainnya telah mengakuinya?
Makna Bersyahadat ‘Laa Ilaaha Illalloh’
Asy-syahadah maknanya pengakuan dengan lisan, keyakinan dalam hati, dan pembuktian dengan amalan anggota badan.[3]
Dari maknanya itu sehingga syahadah atau persaksian tidak akan ada
melainkan bila dibangun di atas ilmu sebelumnya. Sebab untuk bersaksi
seseorang membutuhkan ilmu pengetahuan tentang apa yang hendak
dipersaksikan. Apalagi ketika ia harus menjadikan sesuatu tersebut
sebagai sebuah keyakinan dalam hati yang harus ia buktikan dengan amalan
nyata.
Maka bisa dipastikan bahwa persaksian yang
tidak didahului ilmu tidak akan bermanfaat bagi seseorang. Oleh sebab
itu Alloh berfirman:
… إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
…. Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmui (meyakini)-nya. (QS. az-Zukhruf [43]: 86)
…. Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengilmui (meyakini)-nya. (QS. az-Zukhruf [43]: 86)
Dengan demikian haruslah ada ilmu terlebih dahulu tentang laa ilaaha illalloh baru kemudian ia dipersaksikan.[4]
Oleh sebab itu pulalah tatkala orang-orang munafiq bersaksi bahwa Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah rosul Alloh, bahkan meski persaksian mereka telah mereka kuatkan dengan tiga penguat sekali pun[5], Alloh Azza wa Jalla tetap mendustakan persaksian mereka.[6]
Yang demikian itu sebab persaksian mereka hanya sekedar pengakuan di bibir semata yang tidak sampai ke hati, apalagi sampai dibuktikan dengan amalan yang nyata. Sehingga persaksian semacam ini tidak sah dan tiada berguna sedikit pun bagi pemiliknya.
Agar Syahadah Kita Sah
Tentunya setiap kita sangat berharap akan disahkannya syahadah kita oleh Alloh Azza wa Jalla
dan akan manfaat syahadah kita bagi diri-diri kita. Salah satu caranya
adalah dengan membuang jauh-jauh sifat kemunafikan, yaitu membuang
sekedar pengakuan lisan yang tidak sejalan dengan hakikat yang diyakini
oleh hati dan tidak terbukti dalam amalan anggota badan. Secara lebih
rinci, agar syahadah seseorang sah dan berguna bagi dirinya, ia harus
memenuhi tujuh syarat-syaratnya dengan sempurna[7].
1. Ilmu
1. Ilmu
Yaitu ilmu tentang makna dan hakikat laa ilaaha illalloh
sesuai dengan maksudnya. Termasuk mengilmui apa yang ditetapkan olehnya
dan apa pula yang dienyahkannya. Ketahuilah bahwa rukun laa ilaaha illalloh ada dua, yaitu: pertama, an-nafyu (peniadaan) pada kata laa ilaaha, dan kedua, al-itsbat (penetapan) pada kata illalloh.
Makna rukun pertama ialah mengenyahkan dan meniadakan hak peribadahan bagi selain Alloh, sedangkan makna rukun yang kedua yaitu menetapkan seluruh hak peribadahan hanya bagi Alloh semata.
Semua itu harus diilmui dan hanya dengan mengilmuinya syahadah menjadi sah lagi berguna bagi seseorang. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Alloh Azza wa Jalla dalam surat az-Zukhruf ayat 86 di atas.
Makna rukun pertama ialah mengenyahkan dan meniadakan hak peribadahan bagi selain Alloh, sedangkan makna rukun yang kedua yaitu menetapkan seluruh hak peribadahan hanya bagi Alloh semata.
Semua itu harus diilmui dan hanya dengan mengilmuinya syahadah menjadi sah lagi berguna bagi seseorang. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Alloh Azza wa Jalla dalam surat az-Zukhruf ayat 86 di atas.
Sehingga orang yang bersyahadah tidak boleh jahil (tidak tahu) akan makna laa ilaaha illalloh.
Sebab bila ia tidak tahu berarti dia belum dan tidak akan bisa meyakini
apa yang dikehendaki oleh kalimat tersebut. Sebagai akibatnya
persaksian tersebut tidak memberikan sedikit pun manfaat bagi
pemiliknya.
2. Yakin
2. Yakin
Orang yang bersyahadah laa ilaaha illalloh
harus meyakini seluruh yang dikehendaki oleh kalimat tersebut dan tidak
ragu maupun bimbang. Dan orang yang beriman tidak akan ragu tidak pula
bimbang.[8]
Bila seseorang ragu dan bimbang, dan tidak yakin atas syahadahnya, ia tidak berhak mendapatkan surga. Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam menegaskan dalam potongan sebuah hadits yang panjang dari sahabat Abu Huroiroh Rodhiallohuanhu:
Bila seseorang ragu dan bimbang, dan tidak yakin atas syahadahnya, ia tidak berhak mendapatkan surga. Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam menegaskan dalam potongan sebuah hadits yang panjang dari sahabat Abu Huroiroh Rodhiallohuanhu:
فَمَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا
الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُسْتَيِْنًا بِهَا
قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Maka siapa saja yang kamu dapati dari balik tembok ini ia bersaksi ‘allaa ilaaha illalloh’ dan hatinya meyakininya maka beri kabar gembira bahwa ia akan masuk surga.” (HR. Musllim: 10/31)
3. Menerima
Yaitu menerima apa saja yang menjadi tuntutan kalimat laa ilaaha illalloh. Dan ketahuilah bahwa pengikraran seseorang terhadap kalimat tauhid laa ilaaha illalloh
menuntut dirinya untuk meniadakan hak seluruh peribadahan bagi selain
Alloh. Juga harus menetapkan hak seluruh peribadahan hanya bagi Alloh
semata dan tiada sekutu bagi-Nya.
Bila justru meninggalkannya dan enggan menerimannya, dengan tetap saja melakukan peribadahan kepada selain Alloh di samping beribadah keada-Nya, maka syahadahnya batal dan tidak berguna. Simaklah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. ash-Shofat ayat 35-36.
4. Tunduk Patuh dan Berserah Diri
Bila justru meninggalkannya dan enggan menerimannya, dengan tetap saja melakukan peribadahan kepada selain Alloh di samping beribadah keada-Nya, maka syahadahnya batal dan tidak berguna. Simaklah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. ash-Shofat ayat 35-36.
4. Tunduk Patuh dan Berserah Diri
Artinya mematuhi dan berserah diri atas apa yang dikehendaki oleh syahadah laa ilaaha illalloh. Alloh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ
وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى
اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedangkan dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah kesudahan segala urusan. (QS. Luqman [31]: 22)
5. Jujur dan Benar
Artinya seseorang yang bersaksi dengan
lisannya harus disertai kejujuran dan pembenaran hatinya. Sebab bila
tidak begitu berarti ia seorang munafik, di mana apa yang ia ucapkan
menyelisihi apa yang ia yakini dalam hati.[9]
6. Ikhlas
6. Ikhlas
Yaitu membersihkan persaksian an laa ilaaha illalloh dari segala racun-racun syirik. Maknanya, tatkala seseorang bersaksi an laa ilaaha illalloh dia sama sekali tidak bermaksud untuk meraup dunia, atau pamrih apa pun, selain mengharap wajah Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Dalam sebuah hadits Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Alloh mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan ‘laa ilaaha illalloh’ yang hanya mengharap wajah Alloh.”. (HR. Bukhori: 1/154 dan Muslim: 1/455)
7. Cinta
Yaitu mencintai kalimat laa ilaaha illalloh
ini. Juga cinta pada sesuatu yang dikehendakinya, termasuk mencintai
pemilik dan ahli kalimat tersebut yang senantiasa mengamalkan
tuntutan-tuntutanya. Sehingga pemilik kalimat ini akan sangat tinggi
kecintaan mereka yang tulus ikhlas kepada Alloh. Sementara orang yang
mencintai Alloh, tetapi pada waktu yang sama ia juga mencintai
selain-Nya, maka ia telah merusak tauhidnya dan menggantinya dengan
kasyirikan. Naudzu billahi minasy syirki.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ …
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah… (QS. al-Baqoroh [2]: 165)
Fenomena Memilukan
Sungguh begitu memilukan fenomena yang
terjadi pada sebagian masyarakat kita, di mana mereka telah berulang
kali mengucapkan kalimat tauhid uluhiyah laa ilaaha illalloh namun peribadahan kepada selain Alloh masih saja tetap dijalaninya.
Fenomena pengobatan alternatif oleh para dukun dan gemarnya masyarakat berobat pada mereka, mengelu-elukan jimat, ritual larung sesaji, rutinitas suguhan sesaji alias tumbal, ngalap berkah dan ibadah kepada kuburan serta ahli kubur, dan masih bayak kiranya yang mereka lakukan, cukup membuat hati ini pilu bahkan sakit tak terkira. Bagaimana hati ini tidak pilu dan sakit sementara Alloh Azza wa Jalla, Robb kita yang Esa dalam hak rububiyah maupun uluhiyah, dengan amat mudah mereka sekutukan dengan makhluk-Nya.
Kalau demikian keadaannya, bagaimana syahadah mereka dinilai sah? Maka serukan persaksian atas kalimat tauhid laa ilaaha illalloh. Dan pahamilah hakikat serta maknanya, lalu penuhi syarat-syarat maupun rukunnya. Semoga kita menjadi saksi-saksi bagi Alloh atas ke-Esa-an-Nya. Wallohul muwaffiq.
Fenomena pengobatan alternatif oleh para dukun dan gemarnya masyarakat berobat pada mereka, mengelu-elukan jimat, ritual larung sesaji, rutinitas suguhan sesaji alias tumbal, ngalap berkah dan ibadah kepada kuburan serta ahli kubur, dan masih bayak kiranya yang mereka lakukan, cukup membuat hati ini pilu bahkan sakit tak terkira. Bagaimana hati ini tidak pilu dan sakit sementara Alloh Azza wa Jalla, Robb kita yang Esa dalam hak rububiyah maupun uluhiyah, dengan amat mudah mereka sekutukan dengan makhluk-Nya.
Kalau demikian keadaannya, bagaimana syahadah mereka dinilai sah? Maka serukan persaksian atas kalimat tauhid laa ilaaha illalloh. Dan pahamilah hakikat serta maknanya, lalu penuhi syarat-syarat maupun rukunnya. Semoga kita menjadi saksi-saksi bagi Alloh atas ke-Esa-an-Nya. Wallohul muwaffiq.
[1] Syarah tsalatsatil ushul, Ibnu Utsaimin: 70
[2] Syarah alarbain annawawiyah, hadits kedelapan oleh Ibnu utsaimin.
[3] al-Qoulul Mufid: 1/ 66-67
[4] al Qoulul mufid: 1/63-64
[5]
Tiga penguat atau dalam bahasa arab disebut ta’kid tersebut ialah
persaksian, kata إِنَّ (sesungguhnya) dan yang ketiga huruf ل (laam)
yang berarti benar-benar.
[6] Lihat QS. Al-Munafiqun: 1
[7] At-Tauhid, DR Sholih al Fauzan 1/47-49
[8] Lihat QS. Al-Hujurot: 15
[9] Sebagaimana penjelasan sebelumnya dan silakan baca juga QS. al-Baqoroh[2]: 8-10
Sumber: http://alghoyami.wordpress.com/
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/08/hakikat-persaksian-asyhadu-allaa-ilaaha.html