Tauhid
adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada
salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa
menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang
selama ini yang mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan
berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.
Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh
berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar
beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim,
Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah
mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36). Thoghut
adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As Sa’di berkata, Allah Ta’ala
memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak
ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah
mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu
sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah
kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya (Taisir Karimirrohman, Tafsir surat An Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib
Allah berfirman, “Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain
itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 116). Sehingga
syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah
larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang
terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya
yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (An Nisaa’: 36)
Kewajiban ini lebih wajib
daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada
orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat
syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman, “Dan jika keduanya
(orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya…” (Luqman: 15)
Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah
di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah
seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (Asy Syu’araa’: 88-89). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.
Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…”
(Riwayat Bukhori dan Muslim). Menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga
wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak
membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang
yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata,
maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah
berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan
menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid
sebagai ruh perjuangan mereka.
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum
adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam
mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah
generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah
meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak
negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi
teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Orang-orang
yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada
mereka dan mereka pun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan
bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)
Namun sangat disayangkan,
kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam
masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa
pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah. Wallahu A’lam bish showaab.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Jika dilihat dari judulnya,
mungkin banyak di antara kaum muslimin sendiri yang malas untuk membaca
tulisan dengan judul ini. Karena menganggap bahwa masalah tauhid ini;
anak kecil juga tahu kalau Allah subhanahu wa ta’ala itu Tuhan yang Satu
(Esa), Dialah yang menciptakan alam semesta ini beserta segala isinya,
jadi buat apa diperpanjang lebar?
Ketahuilah Bahwa Penghuni Surga Itu Sedikit
Yang
jadi masalah adalah ketika penghuni surga jumlahnya sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah penghuni neraka sebagai mana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah
berfirman: “Wahai Adam!” maka ia menjawab: “Labbaik wa sa’daik”
kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah dari keturunanmu delegasi
neraka!” maka Adam bertanya: “Ya Rabb, apakah itu delegasi neraka?”
Allah berfirman: “Dari setiap 1000 orang 999 di neraka dan hanya 1 orang
yang masuk surga.” Maka ketika itu para sahabat yang mendengar
bergemuruh membicarakan hal tersebut. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah
siapakah di antara kami yang menjadi satu orang tersebut?” Maka beliau
bersabda: “Bergembiralah, karena kalian berada di dalam dua umat,
tidaklah umat tersebut berbaur dengan umat yang lain melainkan akan
memperbanyaknya, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Pada lafaz yang lain: “Dan
tidaklah posisi kalian di antara manusia melainkan seperti rambut putih
di kulit sapi yang hitam, atau seperti rambut hitam di kulit sapi yang
putih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Padahal kita ketahui bahwa kaum
muslimin saat ini adalah hampir separuh penduduk dunia dan terus
bertambah, sedangkan kaum kuffar di Eropa jumlahnya kian berkurang
karena mereka ‘malas’ untuk menikah dan punya anak. Bahkan ada di antara
negara-negara Eropa yang memberikan tunjangan agar penduduknya mau
menikah dan punya anak.
Kabar yang sedikit
menggembirakan kita adalah kenyataan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang akan
keluar menjelang hari kiamat itu jumlahnya sangat banyak, hingga mampu
meminum air danau thobariah hingga kering, sebagaimana dikabarkan dalam
hadits yang shahih. Akan tetapi kita tidak mengetahui berapa
perbandingan sebenarnya antara orang yang mengaku islam dengan
orang-orang kafir. Sedangkan orang yang mengaku Islam dan mengucapkan
kalimat syahadat belum tentu masuk surga. Sebab…
Mengucapkan Kalimat Syahadat Bukan Jaminan Masuk Surga
“Wah, ngawur ente!!” (berdasarkan hadits “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah akan masuk surga”).
Mungkin itu komentar yang muncul, setelah membaca sub judul di atas.
Akan tetapi yang kami maksudkan di sini adalah, bahwa hanya sekedar
perkataan tidaklah bermanfaat bagi kita jika kita tidak memahami dan
mengamalkan maknanya. Karena kaum munafik juga mengatakan kalimat
tersebut, mereka juga sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan pergi haji
seperti kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi, mengapa kaum munafik
ditempatkan pada jurang neraka yang paling dasar? Allah berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Yang lebih mengherankan, apa yang menyebabkan mereka tidak bisa menjawab 3 pertanyaan yang mudah (siapa Rabbmu? apa agamamu? dan siapa nabimu? di dalam kubur?).
Jawaban mereka adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هاه، هاه، لا أدري، سمعت الناس يقولون شئ فقلته
“Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”
Pertanyaannya memang mudah,
tetapi menjawabnya sangatlah sulit. Karena hati manusia di akhirat
merupakan hasil dari perbuatannya di dunia. Jika di dunia dia meremehkan
agamanya, maka dia tidak akan bisa mengatakan bahwa agamanya adalah
Islam. Sekarang, jika kaum munafik yang mengucapkan syahadat kemudian
mengamalkan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak dianggap telah
mengamalkan makna syahadat, maka apa sih makna syahadat yang (harus kita amalkan) sebenarnya?
Makna Kalimat Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”
Makna
kalimat syahadat tersebut bukanlah pengakuan bahwa Allah adalah
pencipta, pemberi rezeki dan pengatur seluruh alam semesta ini. Karena
orang Yahudi dan Nasrani juga mengakuinya. Akan tetapi mereka tetap
dikatakan kafir. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga meyakini hal tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat di Al Quran, di antaranya adalah:
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Bahkan kaum musyrikin tersebut
mengatakan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala-berhala yang
merupakan patung orang-orang shalih itu adalah dengan tujuan untuk
mendapatkan syafaat mereka dan kedekatan di sisi Allah subhanahu wa
ta’ala (sebagaimana para penyembah kuburan para wali di sebagian negeri
kaum muslimin). Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah subhanahu wa
ta’ala berikut:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat bagi mereka, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)
Yaitu mengimani, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam
semesta, akan tetapi mempersekutukan-Nya dalam peribadatan. Secara
ringkas makna syahadat “Laa ilaaha illallah” adalah tidak ada
sembahan yang haq (benar) kecuali Allah. Seorang yang bersaksi dengan
kalimat tersebut harus meninggalkan pengabdian kepada selain Allah dan
hanya beribadah kepada Allah saja secara lahir maupun batin. Sama saja,
baik yang dijadikan sembahan selain Allah itu malaikat, nabi, wali,
orang-orang shalih, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, jin, patung
dan gambar-gambar. Jika kita masih merasa tenang dengan menganggap diri
kita adalah ahli tauhid serta memandang remeh untuk mendalami dan
medakwahkannya maka perhatikanlah beberapa hal berikut:
Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia Adalah untuk Menauhidkan Allah
(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanya)
menyembahku
.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Seseorang tidaklah dianggap
telah beribadah kepada Allah jika dia masih berbuat syirik, sebab amalan
ibadah dari orang yang mempersekutukan Allah akan dihapuskan dan tidak
bermanfaat sedikit pun di sisi Allah.
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Karena tauhid adalah menunggalkan Allah dalam peribadatan, maka syirik membatalkan tauhid
sebagaimana berhadats dapat membatalkan wudhu. Jika sholatnya orang
yang berhadats tidaklah sah, dalam arti kata belum dianggap telah
melakukan sholat sehingga harus diulangi, maka begitu pun syirik jika
mencampuri tauhid, akan merusak tauhid tersebut dan membatalkannya.
Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul
Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi Adam ‘alaihissalam.
Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. Kemudian
datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam
agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remeh saat
generasi berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada
akhirnya menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu
kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ’sabar’ dalam melancarkan aksinya selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada kemusyrikan -sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)- Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam.
Demikianlah, setiap kali
kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya
untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi syirik.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
وَمَا أَرْسَلنَا مِن قَبلِكَ مِنْ رََسُولٍ إِلا نُوحِي إلَيهِ أنَّه لا إِلهَ إلا أنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diutus, Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini
bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana
dikatakan beberapa orang. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin
bahwa akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang berada di atas
tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan Berakal
Allah
subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah tauhid dan
menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap
firmannya di Al Quran.
وَاعْبُدُواْ
اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
وَبِذِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَالْجَارِ ذِي القُرْبَى
وَالجَارِ الجُنُبِ والصَّاحِبِ بِالجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah pada kedua orang tua (ibu & bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabiil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)
Pelanggaran Tauhid Adalah Keharaman yang Terbesar
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
Allah mendahulukan penyebutan pengharaman syirik sebelum yang lainnya, karena keharaman syirik adalah yang terbesar.
Tauhid Harus Diajarkan Sejak Dini
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas tentang tauhid sejak beliau masih kecil.
إذا سألت فاسأل الله و إذ استعنت فستعن بالله
“Jika engkau hendak memohon, maka mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Tauhid Adalah Materi Dakwah yang Pertama Kali Harus Diserukan
Saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله – و في رواية : إلي أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (dalam riwayat lain disebutkan: agar mereka menauhidkan Allah).” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika kita masih menganggap
bahwa, itu jika yang menjadi objek dakwah kita adalah orang kafir. Jika
kaum muslimin maka tidak demikian. Maka ingatlah, betapa banyak kaum
muslimin yang jika tidak mendapatkan kesembuhan dari penyakit secara
medis mereka berbondong-bondong mengunjungi dukun atau yang dikenal
dengan istilah sekarang sebagi paranormal. Ingatlah, betapa banyak kaum
muslimin yang tinggal di pesisir pantai yang melakukan penyembelihan
kurban kepada selain Allah (baca: Nyi Roro Kidul) yang mereka istilahkan
dengan sedekah laut. Ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang
menyembelih kerbau untuk ditanam kepalanya di bawah jembatan yang hendak
mereka bangun, sebagai persembahan agar mereka tidak diganggu oleh jin
penunggu daerah tersebut? Berapa banyak kemusyrikan-kemusyrikan yang
merajalela di tengah umat ini, sedangkan sebagian kaum muslimin yang
lain mengatakan bahwa hal tersebut adalah ‘kebudayaan’ bangsa yang harus
dilestarikan? Betapa sedikitnya kaum muslimin yang memahami dan
mengamalkan tauhid? Lahan dakwah tauhid masih terlalu luas, akankah kita
berdiam diri dan tetap meremehkan masalah ini? Wallahu waliyyut taufiiq.
Rujukan:
- Firqotun Naajiyah (Syaikh Muhammad bin Jamil Zaini)
- Syarah Qowaidul Arba’ (Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh)
- Mutiara Faidah Kitab Tauhid (Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam)
***
Penulis: Abu Yahya Agus Wahyu (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ust. Afifi Abdul Wadud
Artikel www.muslim.or.id
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/pentingnya-tauhid.html
http://muslim.or.id/aqidah/pentingnya-tauhid-1.html
http://muslim.or.id/aqidah/pentingnya-tauhid-2.html
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/pentingnya-tauhid.html
http://muslim.or.id/aqidah/pentingnya-tauhid-1.html
http://muslim.or.id/aqidah/pentingnya-tauhid-2.html