Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.
Dapat dibayangkan, bagaimana
ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil mengangkat
tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian
dalam mengikutinya.
Tidak salah,
jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus
dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam :
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ
لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
"Hendaklah
kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan
kalian" [1]
Pembahasan
ini terbagi menjadi dua bagian.
- Pertama, adad-adab imam.
- Kedua, adab-adab makmum.
Tidak
diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang
telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu
juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
Banyak
hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari
kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang
menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya.
Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala
orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan
tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
Pertama
: Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada
penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua
: Sangat disayangkan masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam
yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali
orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.
Bahkan
kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan
orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat,
apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak
yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan,
kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya.
Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang
semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi
di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak
memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam. Oleh karenanya,
tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot,
memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong,
atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba,
menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya
bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang
sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di
atas”. [3]
Di
bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan
beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.
Pertama
: Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada
Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian
ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi
penilaiannya ialah: [4]
1).
Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah,
jika tuan rumah layak menjadi imam.
2).
Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh
maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh
penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3).
Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam
membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang
tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri
Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
"Yang
(berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca
Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang
sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika
mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat
lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat
kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat
duduknya, kecuali seizinnya" [5]
4).
Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثََلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ
صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لََهُ
كَارِهُوْنَ...
"Tiga
golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala
mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya"[6]
Berkata
Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa
tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang
mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur
kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk
meninggalkannya".
Kebanyakan,
kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari
permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena
kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang
yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan
kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk
menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali
pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang
mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang
mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab
agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar
dari pahala melakukannya.[7]
Berkata
Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa
ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]
Kedua
: Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan
Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi
Dan Seterusnya.
Karena
seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga
merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam
sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa
`addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti
‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.
Ketiga
: Mentakhfif Shalat.
Yaitu
mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya.
Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan
yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak
mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10]. Diantara nash yang menerangkan hal
ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ
فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ
إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ
"Jika
salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia
shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya" [11]
Akan
tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak
ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang
pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa
pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal
ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa
penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan Beliau Shallallahu'alaihi wa
sallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah
dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada
keinginan makmum.[12]
Keempat
: Kewajiban Imam Untuk
Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.
Ketika
shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakannya.
Dari
Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak
panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau.
Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika
hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun
berkata:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُْم أَوْ
لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ
"Hendaklah
kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan
kalian" [13]
Adalah
Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf.
Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu
juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai
fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah
satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia
mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia
langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat
dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus
yang dipahami oleh semua orang?!
Anas
bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan
bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat
disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu
kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman
sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu,
pen).”[15]
Oleh
karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu
'anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang
engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari
dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata
Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan
apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu 'anhu, maka celah-celah
tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi
oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya,
niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at.
Diantaranya;
1).
Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan
luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan
celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya
Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya
Allah akan memutus (urusan)nya.”[17]
2).
Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
3).
Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih,
diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّ الله َوَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلوُْنَ الصُّفُوْفَ
"Sesungguhnya
Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf" [18
[19]
Kelima
: Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا اْلأَحْلاَمَ وَ النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ وَإِيَّاكُمْ وَ هَيْشَاتُ اْلأَسْوَاقِ
"Hendaklah
yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian
orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah
kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh
kalian suara riuh seperti di pasar" [20].
Keenam
: Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits
yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhu :
لاَ تُصَلِّ إِلاََّ إِلَى
سُتْرَةٍ ، وَ لاََ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى
فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ القَرِيْنَ
"Janganlah
shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan
seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia,
sesungguhnya bersamanya jin." [22]
Sedangkan
dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam.
Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi
telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan
dosa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di
hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya
(dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang
sedang shalat tersebut.”
Salah
seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang
dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh
: Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau
Sujudnya,
Karena
(Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam
Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati
orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya
dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan)
dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud
mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia
berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan
akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam memperbaiki
shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi
perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun
memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya.
Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan
shalatnya.”[25]
Kedelapan
: Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya,
manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu
raka’at, selagi tidak memberatkan
makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan
orang yang masuk tersebut.
Demikianlah
sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang
akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu
`a`lam.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1].
HR Muslim no. 436.
[2].
Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[3].
Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
[4].
Ibid, halaman 1/151.
[5].
HR Muslim 2/133. Lihat Irwa` Ghalil 2/256-257.
[6].
HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,“Sanad ini shahih,
dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah,
Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,“Dalam bab ini,
banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat
Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7].
Ta`liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8].
Lihat Dha`if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9].
Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah
raka’at keempat pada shalat ruba`iah (empat raka`at). Ketika dia berdiri, maka
bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid
menjadi riuh. Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah
berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang
makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan
makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10].
Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan
1414 H.
[11].
HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12].
Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13].
HR Muslim no. 436.
[14].
Lihat Jami` Tirmidzi, 1/439; Muwaththa`, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
[15].
HR Abu Ya`la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah
Shahihah, no. 31.
[16].
HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur
Hasan, halaman 207.
[17].
HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
[18].
HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
[19].
Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20].
HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21].
Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu
kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22].
HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23].
Fathul Bari, 1/572.
[24].
HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25].
Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman
254.
[26].
“Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)
http://almanhaj.or.id/content/2486/slash/0
Yang
Paling Berhak Menjadi Imam & Imam Bacaannya Kurang Bagus
Tanya
: Siapakah orang yang paling
berhak untuk menjadi imam shalat ? Lalu bagaimana halnya jika kita diimami oleh
orang yang awam lagi tidak bagus bacaannya ? Apakah shalat kita batal ?
Jawab
: Yang paling berhak menjadi imam
shalat adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya[1], yang mengetahui
hukum-hukum shalat [2]. Kalau kemampuannya setara, maka dipilih yang paling
dalam ilmu fiqhnya. Kalau ternyata kemampuannya juga setara, maka dipilih yang
paling dulu hijrahnya. Kalau ternyata dalam hijrahnya sama, maka dipilih yang
lebih dulu masuk Islam. Dasarnya adalah hadits Abu Mas’ud Al-Anshari
radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
telah bersabda :
”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله فإن
كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواءً فأقدمهم هجرة،
فإن كانوا في الهجرة سواءً فأقدمهم سلماً – وفي رواية - سنّاً ولا يؤمّنَّ
الرَّجلُ الرَّجلَ في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكْرِمَتِه إلا بإذنه“. وفي
لفظ: ”يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله وأقدمهم قراءة، فإن كانت قراءتهم سواءً...“
”Yang
berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak
hafalan Al-Qur’annya [3]. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang
paling mengerti tentang Sunnah. Kalau dalam Sunnah juga sama, maka dipilih yang
lebih dahulu berhijrah [4]. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih
dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”.....yang paling tua usianya” [5].
Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan
janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk
tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya”.
Dan
dalam lafadh yang lain : ”Satu kaum diimami oleh orang yang paling pandai
membaca Al-Qur’an di antara mereka dan yang paling berpengalaman membacanya.
Kalau bacaan mereka sama.... (sama seperti lafadh sebelumnya).[6]
Yang
paling utama adalah mengamalkan sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam di atas.
Adapun
pertanyaan yang Saudara sampaikan berkaitan dengan kondisi kurang bagusnya
bacaan imam; jika yang dimaksud sekedar bahwa seseorang atau beberapa orang
yang lebih bagus dalam bacaannya bermakmum di belakang imam yang kedudukannya
di bawah mereka (dalam hal bacaan tersebut), maka shalatnya tetap sah. Hal itu
didasarkan oleh hadits Al-Mughiirah bin Syu’bah radliyallaahu ’anhu bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah sedikit terlambat dalam shalat
berjama’ah Shubuh yang ketika itu telah ditegakkan dengan imam ’Abdurrahman bin
’Auf radliyallaahu ’anhu. Beliau masuk pada raka’at kedua. Setelah jama’ah
selesai, maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam melanjutkan satu raka’at
sisa tanpa ada pengingkaran pada apa yang dilakukan oleh para shahabat.[7] Ini
menunjukkan sahnya orang yang kurang utama mengimami orang yang lebih utama.
Namun
jika yang dimaksudkan adalah bahwa keabsahan shalat berjama’ah yang diimami
oleh seseorang yang sering keliru bacaannya, maka ini harus diperinci.
Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya menjelaskan
sebagai berikut :
إذا كان لحنه لا يحيل المعنى فلا
حرج في الصلاة خلفه مثل نصب رب أو رفعها في سورة الفاتحة الآية 2 الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وهكذا نصب الرحمن أو رفعه ونحو ذلك ، أما إذا كان يحيل المعنى فلا يصلى خلفه إذا لم ينتفع بالتعليم والفتح عليه ، مثل أن يقرأ إياك نعبد بكسر الكاف ، ومثل أن يقرأ أنعمت بكسر التاء أو ضمها فإن قبل التعليم وأصلح قراءته بالفتح عليه صحت صلاته وقراءته ، والمشروع في جميع الأحوال للمسلم أن يعلم أخاه في الصلاة وخارجها ؛ لأن المسلم أخو المسلم يرشده إذا غلط ويعلمه إذا جهل ويفتح عليه إذا ارتج عليه القرآن
وهكذا نصب الرحمن أو رفعه ونحو ذلك ، أما إذا كان يحيل المعنى فلا يصلى خلفه إذا لم ينتفع بالتعليم والفتح عليه ، مثل أن يقرأ إياك نعبد بكسر الكاف ، ومثل أن يقرأ أنعمت بكسر التاء أو ضمها فإن قبل التعليم وأصلح قراءته بالفتح عليه صحت صلاته وقراءته ، والمشروع في جميع الأحوال للمسلم أن يعلم أخاه في الصلاة وخارجها ؛ لأن المسلم أخو المسلم يرشده إذا غلط ويعلمه إذا جهل ويفتح عليه إذا ارتج عليه القرآن
“Bila
lahn (kesalahan baca)-nya tidak merubah makna (ayat), maka tidak apa-apa shalat
dengan bermakmum kepadanya. Seperti me-nashab-kan kata Rabb [menjadi Rabba =
رَبَّ] atau me-rafa’-kannya [menjadi Rabbu = رَبُّ] di dalam Alhamdulillaahi
rabbil-‘aalamiin [الْحَمْدُ للّهِ رَبّ الْعَالَمِينَ].
Begitu
pula jika me-nashab-kan Ar-Rahman [menjadi Ar-Rahmaana = الرّحْمـَنَ] atau
me-rafa’-kannya [menjadi Ar-Rahmaanu = الرّحْمـَنُ] dalam ayat
Ar-Rahmaanir-Rahiim [الرّحْمـَنِ الرّحِيمِ]. Dan lain-lain.
Adapun
bila menyebabkan perubahan makna, maka tidak (boleh) shalat bermakmum dengannya
jika orang tersebut tidak mengambil manfaat dengan belajar atau diberi tahu
(bacaan salahnya) seperti membaca Iyyaaka na’budu dengan kaf di-kasrah [yaitu
menjadi Iyyaki na’budu : إِيّاكِ نَعْبُدُ] dan seperti membaca an’amta
[أَنْعَمْتَ] dengan kasrah [menjadi an’amti = أَنْعَمْتِ] atau di-dlammah huruf
ta’-nya [menjadi an’amtu = أَنْعَمْتُ]. Bila dia menerima arahan dan
memperbaiki bacaannya dengan cara diberitahu oleh makmum, maka shalat dan
bacaannya itu sah. Yang jelas, setiap muslim dalam semua keadaan disyari’atkan
mengajari saudaranya, baik dalam shalat atau di luar shalat, karena seorang
muslim merupakan saudara muslim lainnya. Dia mengarahkannya bila salah dan
mengajarinya bila bodoh dan membetulkan bacaannya bila terjadi
kekeliruan”.[selesai] [8]
Semoga
apa yang ditulis dapat menjawab dan memberi manfaat. Wallaahu a’lam.
[Abu
Al-Jauzaa’, Muharram 1430].
[1]
Yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, ada yang menafsirkan : yang paling
banyak hafalannya. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah yang paling
bagus tajwid-nya dan paling bagus mutu bacaannya (أجودهم وأحسنهم وأتقنهم قراءة).
Namun yang paling benar adalah pendapat yang pertama, berdasarkan hadits ’Amr
bin Salamah radliyallaahu ’anhu : ”... وليؤمكم أكثركم قرآناً“ : ”....hendaknya
yang mengimami kalian orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4302. Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radliyallaahu ’anhu : ”وأحقهم بالإمامة أقرؤهم“ : ”Yang paling berhak
menjadi imam adalah yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya”. Diriwayatkan oleh
Muslim no. 672. Maknanya : yang paling banyak hafalannya. Akan tetapi jika
mereka sama dalam hafalan Al-Qur’annya dimana seluruh orang yang shalat atau
orang yang akan dimajukan sebagai imam telah hafal Al-Qur’an, baru dipilih mana
yang paling mantap (كان أتقنهم قراءة وأضبط لها) dan bagus bacaannya. Karena
itulah arti yang paling bagus Al-Qur’annya bagi mereka semua yang dalam hafalan
sama. Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/297, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/14,
dan Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390.
[2]
Yang mengerti hukum-hukum shalat, yaitu : mengerti syarat-syaratnya,
rukun-rukun kewajiban dan hal-hal yang membatalkannya, serta hukum-hukum
lainnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan :
”ولا يخفى أن محل تقديم الأقرأ إنما هو حيث يكون عارفًا بما يتعين معرفته من أحوال
الصلاة، فأما إذا كان جاهلاً بذلك فلا يقدم اتفاقاً“
”Sudah jelas bahwa dikedepankannya orang-orang yang paling pandai bacaan
Al-Qur’annya berarti ia juga orang yang paling mengerti kondisi shalatnya
sendiri. Namun kalau ternyata tidak mengerti kondisi shalatnya, secara mufakat
dikatakan bahwa ia tidak berhak dikedepankan” [Fathul-Bari 2/171). Lihat
Hasyiyah Ibni Qasim ’alar-Raudlil-Murbi’ 2/296 dan Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu
’Utsaimin 4/291].
[3]
Perkataan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Yang berhak mengimami
shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al-Qur’annya”;
menunjukkan secara tegas bahwa orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya
didahulukan dari orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya. Itu adalah madzhab
Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sebagian shahabat Al-Imam Syafi’i. Al-Imam
Malik sendiri, juga Al-Imam Syafi’i dan para shahabat beliau mengatakan :
”Orang yang lebih dalam ilmu fiqhnya didahulukan dari orang yang lebih bagus
bacaan Al-Qur’annya. Karena bacaan yang dibutuhkan dalam shalat sudah tertentu,
sementara yang harus diketahui tentang hukum shalat lebih luas lagi. Terkadang
dalam shalat ada hal-hal yang hanya diketahui oleh orang yang sempurna ilmu
pengetahuannya tentang fiqh shalat. Hanya saja dalam sabda Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam : ”Kalau dalam Al-Qur’an kemmapuannya sama, dipilih yang
paling mengerti tentang Sunnah” ; menjadi dalil untuk mendahulukan orang yang
lebih mahir dalam Al-Qur’annya secara mutlak dari orang yang mengerti Sunnah.
Yang benar, bahwa orang yang lebih mahir dalam Al-Qur’an memang didahulukan
bila ia sudah mengerti hukum-hukum shalatnya. [Lihat Syarah An-Nawawi ’alaa
Shahih Muslim 5/178; Al-Mufhim Talkhiisu Kitabi Muslim oleh Al-Qurthubi 2/297;
danAl-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/11-12. Lihat juga Fathul-Bari oleh Ibnu Hajar
2/171, Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/389, Hasyiyah Ibni Qasim
’alar-Raudlil-Murbi’ 2/296, Asy-Syarhul-Mumti’ oleh Ibnu ’Utsaimin 4/289-291,
dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani 3/95].
[4]
Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Kalau dalam Sunnah juga
sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah” . Hijrah yang didahulukan dalam
pemilihan imam tidaklah dikhususkan pada hijrah yang dilakukan Nabi pada masa
beliau. Tetapi yang dimaksud adalah hijrah yang tidak akan pernah terputus
hingga hari kiamat sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits (yaitu hijrah)
dari negeri kafir ke negeri Islam demi menjalankan ketaatan dan mendekatkan
diri kepada Allah. Maka orang yang lebih dahulu melakukan hijrah tersebut,
didahulukan menjadi imam, karena ia lebih dahulu melakukan ketaatan. Lihat
Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/15, Syarhun-Nawawi ’alaa Shahih Muslim 5/179,
Nailul-Authar oleh Asy-Syaukani 2/390, dan Subulus-Salam oleh Ash-Shan’ani
3/96.
[5]
“Yang paling dahulu masuk Islam”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tua
usianya”. Dalam riwayat lain : ”yang paling tinggi usianya”. Usia di sini
berkaitan dengan kemuliaan keislaman yang lebih dahulu. Dalam riwayat lain
menyebut : ”usia” ; bukan Islam. Kembalinya kepada usia keislaman. Karena orang
yang lebih tinggi usianya berarti lebih lama ke-Islam-annya dibandingkan dengan
orang yang lebih rendah usianya [Lihat Al-Mufhim oleh Al-Qurthubi 2/298].
[6]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al-Masaajid wa Mawaa’idlush-Shalaah, bab :
Orang yang paling berhak menjadi imam, no. 673.
[7]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 182 dan Muslim no. 274.
[8]
Majmu’ Fataawaa wa Maqaalaat oleh Asy-Syaikh Ibni Baaz, 12/98-99 (حكم الصلاة
خلف من يلحن في القرآن).
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/yang-paling-berhak-menjadi-imam-imam.html
Dipublikasikan
ulang oleh:http://faisalchoir.blogspot.com/2011/10/adab-adab-imam-dalam-shalat-berjamaah.html
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.