Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa': 103].
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.
B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:
أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah...”
[Al-Maa-idah: 6].
Dan hadits Ibnu 'Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.
"Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci." [1]
C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا
جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ
فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ
لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.
"Jika salah
seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik
sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia
menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat
dengannya."[2]
Adapun dalil bagi disyaratkannya
kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
'Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.
"Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu." [3]
Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:
اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.
"Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah." [4]
Adapun dalil bagi sucinya tempat
adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para
Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:
أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]
Catatan:
Barangsiapa
telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya
sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat,
maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau
pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus
melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan
untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib
mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa'id:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua
sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka.
Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, 'Kenapa kalian
melepas sandal kalian?' Mereka menjawab, 'Kami melihat Anda melepasnya,
maka kami pun melepasnya.' Beliau berkata, 'Sesungguhnya Jibril datang
kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika
salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah
membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia
gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.'”[6]
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” [Al-A'raaf: 31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan
lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu'aib Radhiyallahu anhum,
dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
Dari Jarhad al-Aslami, ia
berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan
kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:
غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.
"Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat." [9]
Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.
“Wanita adalah aurat.” [10]
Juga sabda beliau:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup." [11]
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“...
maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
(sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya...” [Al-Baqarah:
150].
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu'lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat...” [12]
Boleh (shalat) dengan tidak
menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika
shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”
Nafi'
berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
[13]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di
atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di
atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]
Catatan:
Barangsiapa
berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang
disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia
tidak wajib mengulang.
Dari 'Amir bin Rabi’ah
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang
gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari
kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami
ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu
turunlah ayat:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“... maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah...” [Al-Baqarah: 115].”[15]
F. Niat
Hendaklah
orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia
kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur,
‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya
karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya.
Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau
mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya.
Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula
mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat,
empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai
atau qadha'...”
Ini semua adalah bid'ah. Tidak
seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha'if, musnad atau
pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat
beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang
empat. [17]
(*) Bisa dibaca pembahasan tentang Niat disini:
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428
no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no.
125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan
Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9].
Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi
(IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995),
lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus
Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan
Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no. 6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara mu’allaq.
[15].
Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216
no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa,
begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma'aad (I/51).
(*) Belajar Islam menambahkan didalamnya.
Tata Cara Shalat [1]
Jika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau menghadap ke arah Kiblat
dan berdiri mendekat ke pembatas (sutrah).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan sesungguh-nya setiap orang hanya mendapat (balasan) berdasarkan niatnya.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai shalat dengan ucapan:
اَللهُ أَكْبَرُ.
“Allah Mahabesar.”
Beliau mengangkat kedua
tangannya lalu meletakkan yang kanan di atas yang kiri di atas dada.
Beliau mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud). Kemudian
membuka bacaan dengan berbagai macam do’a (do’a istiftah), beliau
memuji, menyanjung dan memuliakan Allah. Kemudian beliau memohon
perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (ta’awwudz).
Kemudian membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” Dengan tidak nyaring.
Kemudian membaca al-Faatihah
dengan berhenti pada tiap-tiap ayat (tartil). Seusai membaca
al-Faatihah, beliau mengucapkan: “Aamiin,” dengan menjaharkan
(mengeraskan) dan memanjang-kan suaranya. Setelah membaca al-Faatihah,
beliau membaca surat lainnya. Terkadang memanjangkannya, dan terkadang
memendekkannya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengeraskan bacaan pada shalat Shubuh dan dua raka'at pertama
dari shalat Maghrib dan ‘Isya'. Serta memelankan bacaan pada shalat
Zhuhur, ‘Ashar, raka’at ketiga dari shalat Maghrib serta dua raka’at
terakhir dari shalat ‘Isya'.
Beliau juga mengeraskannya pada shalat Jum’at, dua Hari Raya, Istisqa', dan Gerhana.
Beliau menjadikan dua raka'at
terakhir lebih pendek dari dua raka'at pertama kira-kira separuhnya,
sekitar lima belas ayat, atau mencukupkan dengan al-Faatihah.
Kemudian jika beliau selesai
membaca, beliau diam sejenak. Setelah itu beliau mengangkat kedua
tangannya, bertakbir, dan ruku'. Beliau letakkan kedua telapak tangannya
pada kedua lutut lalu meregangkan jari-jemarinya. Beliau tekankan kedua tangannya pada kedua lututnya seakan-akan menggenggamnya.
Beliau regangkan kedua sikunya ke samping sambil meratakan dan meluruskan punggungnya. Hingga andaikata dituangkan air di atasnya, niscaya air itu tetap tenang (tidak tumpah).
Beliau berdiam agak lama saat ruku' dan mengucapkan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ (ثَلاَثًا)
“Mahasuci Engkau, wahai Rabb-ku Yang Mahaagung.” (Diucapkan sebanyak tiga kali).
Dalam rukun ini beliau
mengucapkan banyak macam dzikir dan do’a. Terkadang mengucapkan ini,
terkadang pula yang itu. Beliau melarang membaca al-Qur-an dalam ruku'
dan sujud.
Setelah itu beliau mengangkat punggungnya dari ruku’ sambil mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
“Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”
Ketika i’tidal ini beliau mengangkat kedua tangannya sambil membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ.
“Ya Rabb kami, hanya bagi-Mu-lah segala pujian."
Terkadang beliau membaca do’a lebih dari itu. Kemudian beliau bertakbir dan menyungkur sujud.
Beliau meletakkan kedua tangannya di atas tanah sebelum kedua lututnya. Beliau bertelekan pada kedua telapak tangannya dan membuka (lengan)nya. Beliau merapatkan jari-jemarinya dan menghadapkannya ke Kiblat. Beliau meletakkan sejajar dengan kedua bahunya dan terkadang sejajar kedua telinganya. Beliau menempelkan hidung dan dahinya ke tanah.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ
بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ
الْقَدَمَيْنِ.
“Aku diperintahkan
untuk bersujud di atas tujuh tulang: dahi -sambil menunjuk hidungnya
dengan tangan- kedua tangan dan kedua lutut, serta ujung jari-jemari
kedua kaki.”
Beliau juga pernah mengatakan:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.
“Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya.”
Beliau berdiam sejenak dalam sujudnya sambil mengucapkan:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى. (ثَلاَثًا)
“Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi.” (Diucapkan tiga kali)
Terkadang beliau juga membaca
berbagai macam dzikir dan do’a, terkadang ini dan terkadang itu. Beliau
memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dan memperbanyak do’a pada rukun
ini.
Kemudian beliau mengangkat
kepala sambil bertakbir, lantas menggelar kaki kirinya dan mendudukinya
(duduk iftirasy) dengan tenang. Beliau tegakkan telapak kaki kanannya
sambil menghadapkan jari-jari telapak kaki kanan tersebut ke Kiblat.
Lalu beliau mengucapkan:
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِـي وَارْحَمْنِى، وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.
“Ya
Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, cukupilah kekurangan-ku, angkatlah
derajatku, tunjukilah aku, maafkanlah aku, dan berilah rizki kepadaku.”
Kemudian beliau bertakbir dan melakukan sujud kedua sebagaimana yang pertama lalu mengangkat kepalanya sambil bertakbir.
Kemudian bangkit duduk tegak di
atas kaki kirinya hingga tulang-tulang kembali pada tempatnya semula
(duduk istirahat). Kemudian bangkit ke raka'at kedua dengan bertumpu
pada tanah.
Beliau melakukan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama. Hanya saja beliau melakukannya lebih singkat daripada yang pertama.
Kemudian beliau duduk tasyahhud
seusai raka'at kedua. Jika shalat terdiri dari dua rak'at, maka duduk
iftirasy sebagaimana duduk di antara dua sujud. Begitupula pada raka'at
kedua dari shalat yang berjumlah tiga atau empat raka'at. Jika beliau
duduk tasyahhud, beliau letakkan telapak tangan kanannya di atas paha
kanannya dan meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya.
Beliau buka tangan kirinya dan menggenggamkan tangan kanannya di atas
paha kanannya sambil menunjuk dengan jari telunjuknya dan memusatkan
pandangan padanya. Jika beliau mengangkat telunjuknya, beliau
menggerak-gerakkannya dan berdo’a dengannya. Beliau bersabda, "Dia
memiliki (pengaruh) yang lebih dahsyat terhadap syaitan daripada besi.”
Maksudnya telunjuk tadi.
Beliau lantas membaca tahiyyat
pada setiap dua raka'at. Beliau bershalawat bagi dirinya sendiri pada
tasyahhud awal maupun yang seterusnya. Dan beliau mensyari'atkan hal ini
pada umatnya. Dalam shalatnya beliau mengucapkan banyak do’a yang
beraneka ragam.
Beliau kemudian mengucap salam sambil menoleh ke kanan dan mengucap: "اَلسَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
(semoga kesejahteraan dan rahmat Allah terlimpahkan atas kamu
sekalian." Begitupula pada yang kiri. Beliau terkadang menambah kalimat "وَبَرَكَاتُهُ (dan berkah-Nya)" pada salam pertama.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Diringkas dari Shifatu Shalaatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karya Syaikh al-Albani.
Rukun-Rukun Shalat
A. Rukun-Rukun Shalat
Shalat
memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang hakekat shalat itu tersusun
darinya. Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal, maka shalat tersebut
tidak terealisir dan secara hukum tidak di-anggap (batal). Berikut
adalah rukun-rukunnya:
1. Takbiratul ihram
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.
"Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah." [2]
2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat wajib
Allah berfirman:
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“... Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” [Al-Baqarah: 238]
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam shalat sambil berdiri. Beliau juga menyuruh 'Imran bin Hushain
untuk mengerjakan yang demikian. Beliau berkata kepadanya:
صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.
"Shalatlah
sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk.
Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring (yaitu di atas
tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap kiblat.-ed." [3]
3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka'at
Dari 'Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
"Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah)."[4]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyuruh orang yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian
berkata, "Kemudian lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu."
[5]
4, 5. Ruku' secara thuma'ninah (tenang)
Berdasarkan firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
[Al-Hajj: 77]
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.
"Kemudian ruku'lah hingga kau merasa tenang dalam ruku'mu." [6]
6, 7. Berdiri tegak setelah ruku' sambil thuma'ninah di dalamnya
Dari
Abu Mas'ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak diganjar
shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku' dan
sujud." [7]
Beliau juga berkata kepada orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.
"Kemudian bangkitlah hingga kau tegak berdiri." [8]
8, 9. Sujud dan thuma'ninah di dalamnya
Berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu...” [Al-Hajj: 77]
.
Juga
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm terhadap orang yang buruk
shalatnya, "Kemudian bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam
sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu. Lantas
bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu." [9]
Anggota sujud:
Dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى
سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ،
وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.
"Aku
diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil
menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung
jari-jemari kedua kaki." [10]
Juga dari Ibnu 'Abbas, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.
"Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya." [11]
10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma'ninah padanya
Berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak diganjar shalat
seseorang yang tidak menegakkan (meluruskan) punggungnya dalam ruku' dan
sujud."
Juga berdasarkan perintah beliau
pada orang yang buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana
telah dibicarakan dalam pembahasan sujud.
12. Tasyahhud akhir
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan:
"اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ،
اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ وَمِيْكَـائِيْلَ،" فَقَـالَ رَسُـوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ
قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ...
"Semoga kesejahteraan
terlimpahkan atas Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril
dan Mikail." Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Janganlah kalian mengucapkan seperti itu. Tapi ucapkanlah, 'Segala
penghormatan... [12]
Catatan:
Riwayat
paling shahih tentang tasyahhud adalah riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu
anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku surat
al-Qur-an.
"التَّحِيَّاتُ
للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ."
“Segala penghormatan hanya bagi
Allah. Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan
terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah
dan berkahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua
dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya."[13]
Catatan lain:
Sabda beliau:
"اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
"Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya."
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h
(II/314), "Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu
ini adanya konsekuensi perbedaan antara zaman beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam (dan kita) sehingga (pada waktu itu) diucapkan dengan
lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman) selanjutnya, maka diucapkan
dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab "al-'Isti'dzan" pada Shahiih
al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari Ibnu Mas'ud. Setelah menyebutkan
hadits tasyahhud dia berkata, "Beliau (masih) berada di antara kami.
Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ، يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ (semoga
kesejahteraan terlimpahkan, -maksudnya- atas Nabi), maksudnya kepada
Nabi." Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari. Abu 'Awwanah juga
mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj,
al-Jauzaqi, Abu Nu'aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur
menuju Abu Nu'aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh,
"Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan "اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ" tanpa lafazh: يعنى (maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Nu'aim.
As-Subki berkata dalam Syarh
al-Minhaaj setelah menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu 'Awwanah
secara sendiri, "Jika benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa
kalimat langsung dalam salam setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”.
Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak diragukan
lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. 'Abdurrazzaq
berkata, "Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, 'Atha’
memberitahuku bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih
hidup para Sahabat mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad yang shahih.
Al-Albani berkata dalam
Shifatush Shalaah (hal. 126), "Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung
dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh
riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari
mereka tasyahhud dalam shalat: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”
diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash dalam
al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.
13. Shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah tasyahhud akhir
Berdasarkan
hadits Fadhalah bin 'Ubaid al-Anshari: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam melihat seorang laki-laki yang sedang shalat. Dia tidak memuji
dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat atas Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Dia lalu pergi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam lantas berkata, "Orang ini terlalu tergesa-gesa." Kemudian beliau
memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya, "Jika salah
seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan sanjungan
dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya." [14]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu
anhu, dia berkata, "Seorang laki-laki datang dan duduk di depan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi
beliau. lalu dia berkata, "Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas
engkau, maka kami sudah tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas
engkau jika kami bershalawat atas engkau dalam shalat-shalat kami?
Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas engkau?" Dia (Ibnu Mas’ud)
berkata, "Beliau terdiam hingga kami berharap laki-laki itu tak pernah
menanyainya (seperti itu)." Beliau kemudian berkata, "Jika kalian
bershalawat atasku, maka ucapkanlah:
"اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ..."
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad...” [15]
Catatan:
Kalimat
shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang terbaik adalah yang
diriwayatkan Ka'b bin 'Ujrah, dia mengatakan bahwa kami berkata, "Wahai
Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal bagaimana mengucap salam
atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?" beliau berkata,
"Ucapkanlah:
"اَللّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ."
"Ya Allah, berilah rahmat kepada
Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau
Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah berkah kepada Muhammad dan
kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung.” [16]
14. Salam
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
"Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam."[17]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1].
Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 222)], Sunan at-Tirmidzi
(I/5 no. 3), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/88 no. 61), dan Sunan
Ibni Majah (I/101 no. 270).
[2]. Telah disebutkan takhirjnya.
[3].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3778)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/587 no. 1117). Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/233 no. 939) dan Sunan at-Tirmidzi (I/231 no. 369).
[4].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no.
756)], Shahiih Muslim (I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no.
247), Sunan an-Nasa-i (II/137), Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42 no. 807), dengan tambahan: "Dan
begitulah seterusnya." Hal ini tidak terdapat pada riwayat selainnya.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Ibid.
[7].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 71)], Sunan an-Nasa-i (II/183),
Sunan at-Tirmidzi (I/165 no. 264), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/93 no. 840), dan Sunan Ibni Majah (I/282 no. 870).
[8]. Telah berlalu takhrijnya
[9]. Telah berlalu takhrijnya.
[10].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/297/812)],
Shahiih Muslim (I/354/230-490), dan Sunan an-Nasa-i (II/209).
[11]. Shahiih: [Ad-Daraquthni (I/348/3). Al-Albani menyebutkannya dalam "Shifatu ash-Shalaah." Hal. 123.
[12]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).
[13]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).
[14].
Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 128). Cet. Maktabah
al-Ma'arif], Sunan at-Tirmidzi (V/180 no. 3546), dan Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (IV/354 no. 1468).
[15]. Sanadnya Hasan: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/351 dan 352 no. 711)].
[16].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/152 no.
6357)], Shahiih Muslim (I/305 no. 406), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/264 no. 963), Sunan at-Tirmidzi (I/301/482), Sunan Ibni Majah
(I/293 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (III/47).
[17]. Telah disebutkan takhrijnya.
Kewajiban-Kewajiban Shalat
B. Kewajiban-Kewajiban Shalat
1. Takbir al-intiqal (takbir yang mengiringi perubahan gerakan) dan ucapan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, maka beliau
bertakbir ketika berdiri. Kemudian bertakbir ketika ruku', kemudian
mengucapkan: “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)” ketika mengangkat punggungnya dari ruku'. Kemudian mengucapkan, "رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
(Rabb kami, untuk-Mu segala puji)" sambil berdiri. Kemudian bertakbir
ketika menyungkur sujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya.
Kemudian bertakbir ketika bersujud. Kemudian bertakbir ketika
mengangkat kepalanya. Kemudian melakukan semua itu pada semua shalatnya
hingga selesai. Beliau bertakbir ketika bangkit dari raka'at kedua
setelah duduk (tasyahhud)." [1]
Beliau juga bersabda:
"صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ."
"Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat." [2]
Beliau juga menyuruh orang yang
tidak menyempurnakan shalatnya dan berkata, "Sesungguhnya belumlah
sempurna shalat seseorang dari manusia hingga ia berwudhu' kemudian
meletakkan air wudhu'nya (tempat wudhu’nya) kemudian bertakbir dan
memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla. Lalu membaca (beberapa ayat)
al-Qur-an sesuka hatinya. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَرُ (Allah Mahabesar)." Kemudian ruku' hingga persendiannya tenang. Lalu mengucapkan: “سَـمِعَ اللهُ لِـمَنْ حَـمِِدَه” hingga berdiri tegak. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَرُ”. Kemudian sujud hingga persendiannya tenang. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَـرُ” sambil mengangkat kepalanya hingga duduk tegak. Kemudian mengucap-kan: “اللهُ أَكْبَرُ”.
Kemudian bersujud hingga tenang persendiannya. Kemudian mengangkat
kepalanya lalu bertakbir. Jika dia melakukan itu, maka telah sempurnalah
shalatnya." [3]
2. Tasyahhud awal
Dari
Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian duduk pada
setiap raka'at, maka katakanlah:
"اَلتَّحِيَّـاتُ
للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَـاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَـاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْـنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ، وَأَشْـهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ."
‘Segala
penghormatan hanya bagi Allah. Begitu pula semua pengagungan dan
kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpah-kan atas engkau, wahai Nabi.
Begitu pula kasih sayang Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan
kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang
shalih. Aku ber-saksi tidak ada ilah yang layak diibadahi selain Allah.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’ Setelah itu
hendaklah salah seorang di antara kalian memilih do’a yang ia sukai.
Lalu hendaklah ia menyeru Rabb-nya Azza wa Jalla dengannya (do’a itu)."
[4]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa
salalm juga menyuruh orang yang buruk shalatnya dan mengatakan, "Jika
engkau duduk dalam pertengahan shalat, maka tenangkanlah dirimu,
gelarlah paha kirimu kemudian bertasyahhudlah." [5]
3. Wajib meletakkan sutrah (pembatas) di hadapannya jika hendak shalat. Pembatas itu untuk menghalangi orang yang lewat dan membatasi pandangannya dari melihat apa yang berada di baliknya
Dari Sahl bin Abi Hatsmah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِِِِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلِيَدْنُ مِنهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ.
"Jika
salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaklah shalat menghadap
ke pembatas dan mendekat padanya agar syaitan tidak memutus shalatnya."
[6]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى
سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى
فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ.
"Janganlah
engkau shalat kecuali menghadap ke pembatas. Dan janganlah engkau
biarkan seorang pun lewat di depanmu. Jika dia membantah, maka
perangilah (lawanlah) ia. Karena sesungguhnya ia bersama syaitan." [7]
Pembatas bisa berupa tembok,
drum, tongkat yang dibenamkan, dan hewan tunggangan yang ditambatkan.
Hendaklah ia shalat dengan menghadap ke sana. Ukuran minimalnya adalah
seperti pelana tunggangan.
Berdasarkan hadits Musa bin Thalhah dari ayahnya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذلِكَ.
"Jika
salah seorang telah meletakkan (pembatas) seukuran pelana di
hadapannya, maka hendaklah ia shalat. Dan janganlah ia hiraukan siapa
saja yang lewat di belakang (pembatas) itu." [8]
C. Jarak Kedekatan Antara Orang yang Shalat dan Pembatasnya
Dari Bilal Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
أَنَّهُ صَلَّّى وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوَ مِنْ ثَلاَثَةِ أَذْرَعِ.
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat. Sedangkan antara dia dan tembok berjarak tiga siku (hasta)." [9]
Juga dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ.
"Jarak antara tempat sujud Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok adalah selebar jalan kambing." [10]
Jika telah meletakkan pembatas, maka janganlah membiarkan seorang pun lewat antara dia dan pembatas.
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَـانَ يُصَلِّي فَمَرَّتْ شَاةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ،
فَسَاعَاهَا إِلَى الْقِبْلَةِ حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْقِبْلَةِ.
"Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat. Kemudian seekor kambing
lewat di hadapannya, maka beliau pun mendahuluinya ke kiblat hingga
beliau tempelkan perutnya ke kiblat." [11]
Juga dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي
فَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهَ، وَلْيَدْرَأُهُ مَا
اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ الشَّيْطَانُ.
"Jika
kalian shalat, maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di depannya.
Dan hendaklah ia tahan semampunya. Jika dia membangkang, maka
perangilah (lawanlah), karena sesungguhnya ia adalah syaitan." [12]
Jika tidak meletakkan pembatas, maka shalatnya dapat terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam (yang lewat di depannya-ed.):
Dari 'Abdullah bin ash-Shamit, dari Abu Dzar, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ
يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يُسْتَرَهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ
آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ
الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ
اْلأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ اْلأَحْمَرِ وَمِنَ الْكَلْبِ اْلأَصْفَرِ؟
قَالَ: يَا ابْنَ أَخِيْ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِيْ فَقَالَ: "اَلْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ
شَيْطَانٌ."
"Jika salah seorang dari kalian
shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas)
seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat
(pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus
oleh keledai, wanita, dan anjing hitam." Aku berkata, "Wahai Abu Dzarr,
apa bedanya antara anjing hitam dengan anjing merah atau anjing kuning?"
dia berkata, "Wahai anak saudaraku, aku pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya
kepadaku. Lalu beliau menjawab, "Anjing hitam adalah syaitan." [13]
Diharamkan lewat di depan orang yang sedang shalat.
Dari Abu Juhaim Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ
يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ
خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ.
"Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui balasan yang menimpanya, niscaya berdiri selama empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di depannya." [14]
Pembatas imam adalah pembatas bagi makmum
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى
أَتَـانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَـاهَزْتُ اْلاِحْتِلاَمَ وَرَسُـوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنَى.
فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اْلأَتَانِ
تَرْتَعُ. وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ. فَلَمْ يُنْكِرْ ذلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ.
"Aku
tiba dengan mengendarai unta betina. Sedangkan aku pada waktu itu telah
baligh. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mengimami
manusia di Mina. Lalu aku lewat di depan shaff, maka aku turun dan
melepaskan unta betina agar makan. Aku masuk shaff dan tak seorang pun
mencelaku atas perbuatan itu." [15]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/272 no.
289)], Shahiih Muslim (I/293 no. 392 (28)), dan Sunan an-Nasa-i
(II/233).
[2]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 262)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/ 111 no. 631).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 763)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/99 dan 100 no. 842).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 336)] dan Sunan an-Nasa-i (II/238).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 766)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/102 no. 840).
[6].
Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 722)], Mustadrak al-Hakim
(I/251), ini adalah lafazh darinya. Dan pada Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/388 no. 681), Sunan an-Nasa-i (II/62), dengan lafazh:
إِِِِذَا صلَّى أَحَدُكُمِ إِلَى سُتْرَةٍ... إلخ.
[7]. Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 62)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/9 no. 800).
[8].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (339)], Shahiih Muslim (I/358 no.
499), Sunan at-Tirmidzi (I/210 no. 334), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/380 no. 671), dengan lafazh serupa.
[9]. Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 62)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/579 no. 506).
[10].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/574 no. 496)],
Shahiih Muslim (I/364/508), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/389 no. 682), dengan lafazh serupa.
[11]. Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 64)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/20 no. 827).
[12]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 338)] dan Shahiih Muslim (I/326 no. 505).
[13].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 719)], Shahiih Muslim
(I/365 no. 510), Sunan an-Nasa-i (II/63), Sunan at-Tirmidzi (I/212 no.
337), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/394 no. 688).
[14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/584 no. 510)],
Shahiih Muslim (I/363 no. 507), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/393 no. 687), Sunan at-Tirmidzi (I/210 no. 235), Sunan an-Nasa-i
(II/66), dan Sunan Ibni Majah (I/304 no. 945).
[15].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/361 no. 504)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (II/403 no. 701), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/571 no. 493), dengan tambahan: “بِمِنَى إِلَى غَيْرِجِدَارِ (di Mina
tanpa menghadap ke tembok).” Riwayat ini tidak menafikan selain tembok.
Karena sudah dikenal bahwa termasuk kebiasaan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah beliau tidak shalat di lapangan terbuka melainkan
meletakkan (menancapkan) tombak di hadapannya.
Sunnah-Sunnah Shalat : Sunnah Ucapan
D. Sunnah-Sunnah Shalat
Sunnah-sunnah shalat terbagi dua; sunnah ucapan dan sunnah perbuatan.
1. Sunnah-Sunnah Ucapan:
a. Membaca do’a istiftah
Do’a
istiftah yang paling baik adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu. Dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertakbir dalam shalat, beliau diam sejenak sebelum membaca
(al-Faatihah). Aku berkata, "Wahai Rasulullah, ayah ibuku menjadi
penebusmu. Saya melihat Anda terdiam antara takbir dan membaca
(al-Faatihah). Apakah yang Anda baca? Beliau berkata, "Aku membaca:
"اَللّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى
الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ
خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ الْبَرَدِ."
"Ya Allah, jauhkanlah antara aku
dan dosaku sebagaimana Kau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah,
sucikanlah aku dari dosa-dosaku sebagaimana kain putih tersuci dari
noda. Ya Allah, basuhlah aku dari dari dosa-dosaku dengan salju, air,
dan es (embun)." [1]
b. Membaca isti'adzah
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” [An-Nahl: 98]
Dari Abu Sa'id al-Khudri
Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Jika hendak
shalat, beliau membaca do’a istiftah lalu membaca:
"أَعُوْذُ بِـاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفَثِهِ."
"Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dari
syaitan yang terkutuk, dari bisikan, tiupan, dan godaannya." [2]
c. Mengucapkan amin
Dari
Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: “وَلاَ الضَّالّيِنْ” beliau
mengucap “آمِيْن” sambil mengeraskan suaranya."[3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَمَّنَ اْلإِمَامُ
فَأَمِّنُوْا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ
الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
"Jika
imam mengucap amin, maka ucapkanlah amin. Sesungguhnya orang yang
ucapan aminnya bertepatan dengan ucapan amin para Malaikat akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." [4]
d. Membaca (surat) setelah al-Faatihah
Dari
Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Pada dua raka'at pertama
shalat Zhuhur, Nabi Shallallahu 'alaihim membaca al-Faatihah dan dua
surat. Beliau memanjangkan raka'at pertama dan memendekkan raka'at
kedua. Terkadang beliau memperdengarkan (bacaan) ayatnya. Pada dua
raka'at pertama shalat 'Ashar beliau juga membaca al-Faatihah dan dua
surat. Beliau memanjangkan raka'at pertama shalat Shubuh dan memendekkan
raka'at kedua." [5]
Juga dari Abu Qatadah
Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Pada dua raka'at pertama shalat Zhuhur
dan 'Ashar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca al-Faatihah dan
surat. Beliau terkadang memperdengarkan (bacaan) ayatnya. Pada dua
raka'at terakhir beliau membaca al-Faatihah." [6]
Disunnahkan membaca (surat) pada dua raka'at terakhir, jika dilakukan secara temporer (kadang-kadang)
Berdasarkan hadits Abu Sa'id:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca (surat) pada dua raka'at
shalat Zhuhur. Pada dua raka’at pertama sekitar tiga puluh ayat. Dan
pada dua raka'at terakhir sekitar lima belas ayat. Atau dia berkata,
"Separuhnya." Dan pada shalat 'Ashar pada dua raka'at pertama setiap
raka'atnya membaca sekitar lima belas ayat. Sedang pada dua raka'at
terakhir sekitar setengahnya." [7]
Disunnahkan mengeraskan bacaan
dalam shalat Shubuh dan dua raka'at pertama pada shalat maghrib dan
'isya'. Serta memelankannya pada shalat Dzuhur dan 'Ashar, juga pada
raka'at ketiga dari shalat Maghrib dan dua raka'at terakhir pada shalat
'Isya'."
e. Membaca tasbih saat ruku' dan sujud
Dari
Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku shalat bersama Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam ruku'nya beliau membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ."
"Mahasuci Rabb-ku Yang Mahaagung."
Dan dalam sujudnya beliau membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى."
“Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi.” [8]
Dari 'Utbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ."
‘Mahasuci Rabb-ku Yang Mahaagung dan dengan memuji-Nya,’ tiga kali'.
Dan jika sujud membaca:
"سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ."
‘Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi dan dengan memuji-Nya,’ tiga kali." [9]
f. Menambah do’a bangkit dari ruku'
"رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ."
Dengan salah satu tambahan berikut ini:
"مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ."
Jika suka, dibolehkan cukup sampai pada tambahan ini. Namun jika mau dibolehkan menyempurnakannya dengan ucapan:
"أَهْلَ
الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وُكُلُّنَا لَكَ
عَبْدٌ، لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ
وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ."
"Yang
Maha berhak atas sanjungan dan kemuliaan. Serta Yang paling berhak atas
ucapan seorang hamba. Dan kami semua adalah hamba-Mu. Tidak ada yang
menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang mampu memberi
apa yang Engkau tahan. Sehingga tidak bermanfaatlah bagi pemilik
kekayaan. Karena dari-Mu-lah kekayaan itu." [10]
"رَبَّنَـا
وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارِكًا فِيْهِ
(مُبَارَكًا عَلَيِهِ)، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى."
"Ya
Rabb kami, bagi-Mu-lah segenap pujian yang baik dan penuh berkah.
Sebagaimana yang disukai Rabb kami dan di-ridhai-Nya." [11]
g. Membaca do’a di antara dua sujud
Dari Hudzaifah, dia berkata, "Pada saat berada di antara dua sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan:
"رَبِّ اغْفِرْ لِيْ، رَبِّ اغْفِرْ لِيْ."
"Ya Rabb-ku, ampunilah aku. Ya Rabb-ku, ampunilah aku." [12]
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu
anhuma, dia berkata, "Pada saat berada di antara dua sujud Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucap
"اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ."
"Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, cukupilah kekuranganku, tunjukilah aku dan karuniakanlah rizki kepadaku." [13]
h. Mengucapkan shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah tasyahhud awal. Berdasarkan perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Dahulu kami menyiapkan siwak
dan air wudhu' untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian
Allah membangunkan beliau pada malam hari menurut kehendak-Nya. Beliau
kemudian bersiwak dan wudhu' lalu shalat sembilan raka'at tanpa duduk
kecuali pada raka'at ke delapan. Kemudian beliau berdo’a kepada Rabb-nya
dan bershalawat atas Nabi-Nya. Setelah itu bangkit tanpa salam lalu
(melanjutkan) shalat (raka’at) kesembilan lantas duduk. Kemudian memuji
Rabb-nya, dan bershalawat atas Nabi-Nya, berdo’a, lalu salam... [14]
i. Membaca do’a baik setelah tasyahhud awal maupun kedua
Adapun
pada tasyahhud awal, maka dalilnya adalah: Dari Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا قَعَدْتُمْ فِيْ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ فَقُوْلُوا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ، وَالصَّلَوَاتُ
وَالطَّيِّبَـاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلى عِبَادِ اللهِ
الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْـهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. ثُمَّ لِيَتَّخِيْرَ أَحَدُكُمْ مِنَ
الدُّعَاءِ أَعْجَبُهُ إِلَيْهِ، فَلْيَدْعُ رَبَّهُ عزوجل."
"Jika kalian duduk pada setiap
dua raka'at, maka ucapkanlah: ‘Segala penghormatan hanya bagi Allah.
Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan
terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan
berkah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan
para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tidak ada ilah yang layak
diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya.’ Setelah itu, hendaklah salah seorang di antara kalian
memilih do’a yang paling ia sukai lalu hendaklah ia berdo’a kepada
Rabb-nya Azza wa Jalla." [15]
Sedangkan pada tasyahhud yang kedua, maka dalilnya adalah:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ
التَّشَهُّدِ اْلآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ
عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَـا
وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
"Jika
salah seorang di antara kalian selesai dari tasyahhud akhir, maka
hendaklah ia berlindung dari empat perkara: dari siksa Jahannam, siksa
kubur, fitnah kehidupan dan fitnah kematian, serta kejahatan al-Masih
ad-Dajjal." [16]
j. Mengucapkan salam yang kedua
Karena
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dulu mengucapkan dua kali salam.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma :
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucap salam ke kanan dan ke kiri:
"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ."
“Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas kamu sekalian, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya.”
Dan:
"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ."
“Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurahkan kepada kamu sekalian.”
Hingga tampaklah putih pipinya." [17]
Terkadang beliau mengucapkan
salam sekali saja, sebagaimana diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucap salam dalam shalat
dengan sekali salam dari depan wajahnya dengan sedikit miring ke sisi
kanan." [18]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/227 no.
744)], Shahiih Muslim (I/419 no. 598), Sunan Ibni Majah (I/264 no. 805),
dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/485 no. 766).
[2].
Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 342)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/ 476 no. 760), dan Sunan at-Tirmidzi (I/153 no. 242).
[3].
Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 82)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/ 205 no. 920), dan Sunan at-Tirmidzi (I/157 no. 248).
[4].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/307 no. 410)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/262 no. 780), Sunan an-Nasa-i (II/144), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/211 no. 924), Sunan at-Tirmidzi (I/158 no.
250), dan Sunan Ibni Majah (I/277 no. 851).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 932)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/243 no. 759).
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 286)] dan Shahiih Muslim (I/333 no. 421 (155)).
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 287)] dan Shahiih Muslim (I/334 no. 452 (157)).
[8].
Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1001)], Sunan an-Nasa-i (II/190),
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/123 no. 857), Sunan at-Tirmidzi
(I/164 no. 261).
[9]. Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 127)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/121 no. 856), al-Baihaqi (II/86).
[10]. Idem.
[11]. Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 119].
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 731)] dan Sunan Ibni Majah (I/289 no. 897).
[13].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 732)], Sunan at-Tirmidzi (I/175
no. 283), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/87 no. 835), dan Sunan
Ibni Majah (I/290 no. 898).
Catatan:
pada riwayat Abu Dawud terdapat lafazh: “وَعَافِنِي (maafkanlah aku”
sebagai ganti dari lafazh: “وَاجْبُرْنِي (cukupilah keluargaku)” dan
dalam riwayat Ibnu Majah terdapat lafazh: “وَارْفَعْنِي (angkatlah
derajatku)” sebagai ganti dari: “وَاهْدِنِي (tunjukilah aku).”
Disunnahkan menggabungkan keduanya dan menambah: “وَعَافِنِي
وَارْفَعْنِي”.
[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 390)] dan Shahiih Muslim (I/512 no. 746).
[15]. Telah disebutkan takhrijnya.
[16].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 306)], Shahiih Sunan Ibni Majah
(no. 741), Shahiih Muslim (I/412 no. 588), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (III/273 no. 968), dan Sunan Ibni Majah (I/294 no. 909).
[17].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 878)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (III/288 no. 983), Sunan an-Nasa-i (III/62), Sunan Ibni Majah
(I/296 no. 914), dan Sunan at-Tirmidzi (I/181 no. 294), tanpa kalimat
terakhir.
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 242)] dan Sunan at-Tirmidzi (I/182 no. 295).
Sunnah-Sunnah Shalat : Sunnah Perbuatan
2. Sunnah-Sunnah Perbuatan:
a. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram
Begitupula ketika ruku', i'tidal, serta bangkit dari tasyahhud awal.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu
anhuma : "Ketika memulai shalat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, begitupula saat takbir
hendak ruku'. Beliau juga mengangkat keduanya saat mengangkat kepala
dari ruku'." [1]
Juga dari Nafi': "Jika Ibnu
'Umar Radhiyallahu anhuma memulai shalat, dia bertakbir dan mengangkat
kedua tangannya. Jika hendak ruku', dia angkat kedua tangannya. Dan saat
mengucapkan: "سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ" dia angkat kedua tangannya. Dan jika bangkit dari dua raka'at, dia angkat kedua tangannya. Dia menisbatkannya kepada Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [2]
Disunnahkan mengangkat kedua tangan secara kadang-kadang ketika turun dan bangkit.
Berdasarkan hadits Malik bin
al-Huwairits: “Dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat
kedua tangannya dalam shalat ketika ruku', ketika mengangkat kepala
dari ruku', ketika sujud, dan ketika mengangkat kepala dari sujud.
Hingga beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan bagian atas
telinganya.” [3]
b. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada
Dari
Sahl bin Sa'd, dia berkata, "Dulu orang-orang diperintahkan agar
masing-masing mereka meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya
dalam shalat." Abu Hazim berkata, "Aku tidak mengetahui melainkan hal
itu dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [4]
Juga dari Wa-il bin Hujr, dia
berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada."
[5]
c. Melihat ke tempat sujud
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki Ka'bah, tidaklah pandangannya
bergeser dari tempat sujudnya. Hingga beliau keluar darinya." [6]
d. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini ketika ruku'.
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam ruku', beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak
pula merundukkannya. Akan tetapi di antara keduanya." [7]
Dan dari Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata, "Jika ruku', beliau tekankan kedua tangannya pada kedua lutut. Kemudian beliau rentangkan punggungnya dengan lurus." [8]
Juga dari Wa-il bin Hujr, "Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau rentangkan jari-jemarinya." [9]
Dari Abu Humaid: "Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ruku', beliau letakkan kedua
tangannya di atas lututnya seakan-akan mengenggamnya. Kemudian beliau
merenggangkan (sedikit membengkokkan) kedua tangannya dan menjauhkannya
dari lambung." [10]
e. Mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut ketika turun sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
"Jika
salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah menderum sebagaimana
menderumnya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya." [11]
f. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebut dalam hadits-hadits berikut ini ketika sujud.
Dari
Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, dia berkata: "Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya
tanpa menggelarnya (di atas lantai) dan tidak pula menggenggamnya.
Beliau hadapkan ujung jari-jemari kedua kakinya ke arah kiblat." [12]
Dari al-Bara', ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ.
"Jika engkau sujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu. Dan angkatlah kedua siku tanganmu." [13]
Dari 'Abdullah bin Malik bin
Buhainah Radhiyallahu anhu, "Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
shalat, beliau rentangkan kedua tangannya hingga tampak putih kedua
ketiaknya." [14]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma, dia berkata, "Aku mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang tadi bersamaku di ranjang. Lalu aku mendapatkannya sedang
sujud sambil menggabungkan (merapatkan) kedua tumitnya dan menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat." [15]
Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu
anhu, dia berkata, "Aku datang ke Madinah dan berkata, "Sungguh aku
akan melihat shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Dia
kemudian menyebutkan beberapa hadits dan berkata, "Kemudian beliau
menyungkur sujud dan kepalanya berada di antara kedua telapak
tangannya…" [16]
Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu
anhu, dia berkata, "Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud,
beliau rapatkan jari-jemarinya." [17]
Dari al-Barra', dia berkata,
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm sujud dan meletakkan
kedua tangannya di atas lantai, beliau hadapkan kedua telapak tangan dan
jari-jemarinya ke kiblat." [18]
g. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini ketika duduk di antara dua sujud.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Beliau menggelar (membentangkan) kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya."[19]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu
ahuma, dia berkata, "Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan kaki kanan
dan menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat serta duduk di atas kaki
kiri." [209]
Dari Thawus rahimahullah, dia
berkata, "Kami berkata kepada Ibnu 'Abbas tentang duduk di atas kedua
telapak kaki." Dia berkata, "Itu termasuk sunnah." Kami berkata padanya,
"Tetapi kami memandangnya tidak pantas bagi laki-laki." Ibnu 'Abbas
lalu berkata, "Bahkan, itulah sunnah Nabimu." [21]
h. Tidak bangkit dari sujud melainkan setelah duduk tegak
Dari
Abu Qilabah, dia mengatakan bahwa kami diberitahu Malik bin
al-Huwairits al-Laitsi, "Dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sedang shalat. Jika beliau berada pada raka'at ganjil dari shalatnya,
beliau tidak bangkit melainkan setelah duduk tegak." [22]
i. Bertumpu pada lantai ketika berdiri dari sebuah raka'at
Dari
Ayyub, dari Abu Qilabah, dia berkata, "Malik bin al-Huwairits
mendatangi kami. Lalu dia mengimami kami shalat dalam masjid kami ini.
Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak ingin mengimami kalian dan
tidak ingin shalat. Akan tetapi aku ingin menunjukkan pada kalian
bagaimana aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat.’
Ayyub berkata, "Aku berkata pada Abu Qilabah, "Bagaimanakah shalat
beliau?" Dia berkata, "Seperti shalat syaikh kita ini, yaitu 'Amr bin
Salamah." Ayyub berkata, "'Amr bin Salamah menyempurnakan takbir. Jika
mengangkat kepalanya dari sujud kedua, dia duduk dan bertumpu pada
lantai kemudian berdiri." [23]
j. Melakukan duduk pada dua tasyahhud sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari
Abu Humaid, dia berbicara tentang cara shalat Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam : "Jika duduk pada dua raka'at, beliau duduk di atas kaki
kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan jika duduk pada raka'at
terakhir, beliau masukkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang satunya,
dan duduk di atas pantatnya." [24]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu
anhuma : "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dalam
shalat, beliau letakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya.
Beliau genggam semua jari-jemarinya dan menunjuk dengan jari yang dekat
ibu jari (jari telunjuk). Dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di
atas paha kirinya." [25]
Dari Nafi', dia berkata: "Jika
'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma duduk dalam shalat, dia
letakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Dia menunjuk dengan
jarinya dan mengikutinya dengan pandangannya. Kemudian dia berkata,
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ.
"Bagi syaitan, ia memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari-pada besi.”
Maksudnya jari telunjuk. [26]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/218 no.
735)], Shahiih Muslim (I/292 no. 390 (22)), Sunan at-Tirmidzi (I/161 no.
255), dan Sunan an-Nasa-i (II/122).
[2].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 663)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/222 no. 739), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/439 no. 727).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 104)], Sunan an-Nasa-i (II/206), dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaanii) (III/168 no. 493).
[4].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 402)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/224 no. 740), dan Muwaththa' Malik (CXI/376).
[5]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (hal. 352)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/243 no. 479).
[6]. Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 69)] dan Mustadrak al-Hakim (I/479).
[7]. Shahih: [Shifatush Shalaah (111)], Shahiih Muslim (I/357/498), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/489/768).
[8].
Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 110)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (II/305/ 828), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/427 no.
717)
[9]. Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 110)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/301/594).
[10].
Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 214)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/429/720), dan Sunan at-Tirmidzi (I/163 no. 259).
[11].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 746)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (III/70 no. 825), Sunan an-Nasa-i (II/207), dan Ahmad
(al-Fat-hur Rabbaani) (III/276 no. 656).
[12].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 672)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/305 no. 828), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/427/718).
[13]. Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 126] dan Shahiih Muslim (I/356 no. 494).
[14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/294 no.
807)], Shahiih Muslim (I/356 no. 495), dan Sunan an-Nasa-i (II/212).
[15]. Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 126], Shahiih Ibni Khuzaimah (I/328 no. 654), dan al-Baihaqi (II/116).
[16]. Sanadnya Shahih: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/323 no. 641).
[17]. Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 23], Shahiih Ibni Khuzaimah (I/324 no. 642), dan al-Baihaqi (II/112).
[18]. Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 123] dan al-Baihaqi (II/113).
[19].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 302)], Shahiih Muslim (I/357
no. 498), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/489 no. 768).
[20]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1109)] dan Sunan an-Nasa-i (II/236).
[21].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 303)], Shahiih Muslim (I/380
no. 536), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/79 no. 830), dan Sunan
at-Tirmidzi (I/175 no. 282).
[22].
Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 437)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/302 no. 823), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/78 no. 829).
[23]. Shahih:
[Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 437)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (II/303 no. 824), al-Baihaqi (II/123), dan asy-Syafi'i (al-Umm)
(I/116). Asy-Syafi’i berkata, "Inilah yang kami ambil. Kami menyuruh
orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat agar bertumpu pada
lantai dengan kedua tangannya bersama-sama, karena mengikuti sunnah.
Sebab, hal itu lebih menyerupai ketawadhu'an dan lebih mudah bagi orang
yang shalat. Selain itu juga lebih pas agar tidak terjungkal ke belakang
atau hampir ter-jungkal. Kami membenci model bangkit mana saja selain
itu. Namun dia tidak wajib mengulang dan tidak pula sujud sahwi." Al-Umm
(I/117).
[24]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 448)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/305 no. 828).
[25].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 851)], Shahiih al-Imam Muslim
(I/408 no. 580 (116)) dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/277/972).
[26]. Hasan: [Shifatush Shalaah hal. 140] dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (IV/15 no. 721).
Dimakruhkan Dalam Shalat, Diperbolehkan Dalam Shalat Dan Yang Membatalkan Shalat
Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat:
1. Bermain-main dengan pakaian atau anggota badan tanpa keperluan
Dari
Mu'aiqib Radhiyallahu anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada orang yang mengusap debu ketika sujud, ‘Jika engkau
melakukannya, maka cukup sekali saja.’" [1]
2. Berkacak pinggang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصَرًا.
"Dilarang shalat sambil berkacak pinggang." [2]
3. Mengangkat pandangan ke langit
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي
الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.
"Hendaklah
orang-orang berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika
berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan tersambar." [3]
4. Menoleh tanpa keperluan
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat.
Lalu beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ.
"Ia merupakan sebuah curian yang dilakukan syaitan terhadap shalat seorang hamba." [4]
5. Memandang pada sesuatu yang memalingkan
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat
dengan mengenakan pakaian yang ada tandanya. Kemudian beliau bersabda:
شَغَلَتْنِيْ أَعْلاَمُ هذِهِ، اِذْهَبُوْا بِهَـا إِلَى أَبِيْ جَهْمٍ، وَأْتُوْنِـيْ بِأَنْبِجَانِيَّةِ.
"Tanda
pada pakaian ini telah menyibukkanku. Bawalah ia ke Abu Jahm dan
bawakan aku anbijaniyyah (pakaian tebal dari wol yang tidak ada
tandanya)."[5]
6. Sadl dan menutup mulut
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat."[6]
Syamsul Haq berkata dalam 'Aunul
Ma'buud (II/347): Al-Khaththabi berkata: As-sadl adalah menjulurkan
pakaian hingga menyentuh tanah.
Disebutkan dalam an-Nailul
Authaar: Abu 'Ubaidah berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan
pakaian tanpa menyatukan kedua sisinya ke depan. Jika disatukan ke
depan, maka tidak dinamakan sadl. Pengarang kitab an-Nihaayah berkata:
Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangan
dari dalam lalu ruku' dan sujud dalam keadaan seperti itu. Ini berlaku
pada gamis dan jenis pakaian yang lain. Ada pula yang mengatakan:
meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan kedua
tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu.
Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah
artinya arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada
semua arti ini, karena sadl mengandung banyak arti. Membawa kalimat yang
mengandung banyak arti pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.
7. Menguap
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلتَّثَـاؤُبُ فِي الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَـاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ.
"Menguap dalam shalat adalah dari syaitan. Jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah sebisa mungkin." [7]
8. Meludah ke arah kiblat atau ke kanan
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ
يَمِيْنِهِ. وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى،
فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى
ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ.
"Sesungguhnya
jika salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka sesungguhnya
Allah Tabaraka wa Ta'ala berada di hadapannya. Maka janganlah ia meludah
ke arah depan atau ke kanan. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri di
bawah kaki kirinya. Dan jika terlanjur keluar, maka hendaklah ia
tumpahkan ke pakaiannya." Beliau kemudian melipat bajunya satu sama
lain.[8]
9. Menyilangkan jari-jemari
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ كَانَ فِي
صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ، فَلاَ يَقُلْ هكَذَا، وَشَبَكَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ.
"Jika salah seorang
di antara kalian wudhu' di rumahnya kemudian mendatangi masjid, maka dia
berada dalam sebuah shalat hingga pulang. Janganlah ia melakukan
seperti ini." Beliau menyilangkan jari-jemarinya. [9]
10. Menggulung rambut dan pakaian
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا.
"Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan tidak menggulung rambut maupun pakaian."
11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
"Jika
salah seorang di antara kalian hendak sujud, maka janganlah turun
sebagaimana unta menderum. Hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum
kedua lututnya."
12. Membentangkan kedua tangan (menempel dengan lantai) ketika sujud
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اِعْتَدِلُوْا فِـي السُّجُوْدِ، وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ اِنْبِسَاطَ الْكَلْبِ.
"Bersikaplah
pertengahan ketika sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian
membentangkan tangannya sebagaimana anjing." [10]
13. Shalat ketikan hidangan sudah disajikan atau menahan buang air besar dan kecil
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ.
"Tidak
(sempurna) shalat ketika hidangan sudah disajikan, dan tidak (sempurna)
pula shalat orang yang menahan buang air besar atau kecil." [11]
14. Mendahului imam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَمَا
يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ
يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ
صُوْرَةَ حِمَارٍ.
"Tidakkah salah
seorang di antara kalian takut, Allah menjadikan kepalanya seperti
kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya sebelum imam. Atau
menjadikan rupanya seperti rupa keledai." [12]
Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat
1. Berjalan untuk keperluan
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah shalat di dalam rumah sedangkan pintunya
tertutup. Lalu aku datang dan minta dibukakan. Kemudian beliau berjalan
dan membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau kembali ke tempat
shalatnya. ‘Aisyah menyifatkan bahwa pintu tersebut berada di arah
Kiblat." [13]
2. Menggendong anak kecil
Dari
Abu Qatadah: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat
sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan Abu al-'Ash bin ar-Rabi'. Jika beliau berdiri,
beliau menggendongnya. Namun jika sujud, beliau meletakkannya." [14]
3. Membunuh al-aswadain (kalajengking dan ular)
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyuruh agar membunuh dua binatang hitam dalam shalat, yaitu
kalajengking dan ular." [15]
4. Menoleh dan memberi isyarat untuk keperluan
Dari
Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menderita sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau yang
shalat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau menoleh dan melihat kami
berdiri. Kemudian beliau mengisyaratkan kepada kami (untuk duduk), lalu
kami pun duduk."[16]
5. Meludah di baju atau mengeluarkan sapu tangan dari saku
Dalilnya telah disebutkan dalam hadits Jabir tentang larangan meludah ke arah kiblat.
6. Memberi isyarat untuk menjawab salam
Dari
'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju Quba' untuk shalat di sana.
Tak lama kemudian datanglah orang-orang Anshar dan mengucapkan salam
kepada beliau yang sedang shalat. Lalu aku berkata pada Bilal,
"Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau padahal beliau
sedang shalat?" Dia berkata, "Beliau memberi isyarat seperti ini." Dia
membuka telapak tangannya. Ja'far bin 'Aun (perawi hadits) pun membuka
telapak tangannya. Ia jadikan bagian dalamnya menghadap ke bawah dan
bagian luarnya ke atas."[17]
7. Mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat.
Dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ
حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ،
إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ
فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِيْنَ
يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ...
"Wahai
manusia, kenapa jika terjadi sesuatu dalam shalat kalian bertepuk
tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita. Barangsiapa
menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan:
subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika
ia mengucap: subhaanallah melainkan ia telah berpaling...[18]
8. Mengingatkan imam
Dari
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengerjakan suatu shalat lalu membaca surat dan bacaannya tercampur
(keliru). Ketika selesai beliau berkata pada Ubay, "Apakah engkau shalat
bersama kami?" Dia berkata, "Ya." Beliau berkata, "Lalu, apakah yang
menghalangimu (untuk membenarkan bacaanku tadi?" [19]
9. Mencolek kaki orang yang sedang tidur
Dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku menyelonjorkan kakiku
pada kiblat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat. Jika
sujud, beliau mencolekku dan aku pun mengangkatnya. Jika beliau berdiri
aku menyelonjorkannya lagi." [20]
10.Menahan orang yang ingin lewat di depannya
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى
شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يُجْتَـازُ بَيْنَ
يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ،
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ.
"Jika
salah seorang di antara kalian shalat menghadap ke sesuatu yang menjadi
pembatas baginya dari manusia, kemudian seseorang hendak lewat di
depannya, maka doronglah pada lehernya. Jika dia menolak, maka
perangilah (lawanlah) dia. Karena sesungguhnya dia adalah syaitan." [21]
11. Menangis
Dari
'Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Tidak ada seorang penunggang kuda
pun di antara kami pada hari perang Badar selain al-Miqdad. Aku tidak
melihat seorang pun di antara kami melainkan sedang tidur (malam).
Kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shalat sambil
menangis di bawah sebuah pohon hingga Shubuh." [22]
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
1. Yakin adanya hadats
Dari
'Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari pamannya: “Ada seseorang yang
mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sesuatu
(hadats) yang seolah-olah terjadi dalam shalatnya. Lalu beliau bersabda:
لاَ يَنْفَتِلْ -أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ- حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.
"Janganlah ia membubarkan (membatalkan shalatnya) atau berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium bau."[23]
2. Meninggalkan salah satu rukun atau syarat dengan sengaja atau tanpa alasan.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.
"Kembali dan shalatlah, karena engkau belum shalat." [24]
Juga perintah beliau terhadap
orang yang pada punggung telapak kakinya terdapat sedikit bagian yang
tidak terkena air wudhu’ agar mengulang wudhu' dan shalatnya.
3. Makan dan minum dengan sengaja
Ibnul
Mundzir rahimahullah berkata, "Para ahlul ilmi sepakat bahwa orang yang
makan atau minum dengan sengaja ketika shalat wajib, maka dia wajib
mengulang shalatnya.[25] " Begitupula pada shalat sunnah menurut jumhur
(mayoritas ulama. Karena apa yang membatalkan shalat wajib, juga
membatalkan shalat sunnah.
4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat
Dari
Zaid bin Arqam, dia berkata, "Dulu kami berbicara dalam shalat.
Seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan kawan di sebelahnya yang
sedang shalat. Hingga turunlah ayat:
.وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
‘...
Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.’
[Al-Baqarah: 238]. Kami pun diperintah diam dan dilarang berbicara."
[26]
5. Tertawa
Ibnul Mundzir rahimahullah menukil ijma' bahwa tertawa membatalkan shalat.
6. Lewatnya perempuan baligh, keledai, atau anjing hitam di antara orang yang shalat dan tempat sujudnya
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ
يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ
آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ
الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ
وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَد.ُ
"Jika salah seorang dari kalian
shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas)
seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat
(pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus
oleh keledai, wanita, dan anjing hitam."
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin
Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan
Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/79 no.
1207)], Shahiih Muslim (I/388 no. 546 (49)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (III/223 no. 934), Sunan at-Tirmidzi (I/235 no. 377), Sunan
Ibni Majah (I/327 no. 1026), dan Sunan an-Nasa-i (III/7).
[2].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/88 no.
1220)], Shahiih Muslim (I/387 no. 545), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/223 no. 94), Sunan at-Tirmidzi (I/237 no. 381), dan Sunan
an-Nasa-i (II/127).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 343)], Shahiih Muslim (I/321 no. 429), dan Sunan an-Nasa-i (III/39).
[4].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7047)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/234 no. 751), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/178 no. 897), dan Sunan an-Nasa-i (II/8).
[5].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2066)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/234 no. 752), Shahiih Muslim (I/391 no. 556), Sunan
Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/182 no. 901), Sunan an-Nasa-i (II/72),
dan Sunan Ibni Majah (II/1176 no. 3550).
[6].
Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 376), pada
kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat
kedua saja.
[7]. Shahih: [Shahiih
al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3013)], Sunan at-Tirmidzi (I/230 no. 368),
dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/61 no. 920).
[8]. Shahih: [Shahiih Muslim (IV/2303 no. 3008)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/144 no. 477).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 445)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/206).
[10].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/301 no.
822)], Shahiih Muslim (I/355 no. 493), Sunan at-Tirmidzi (I/172 no.
275), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/166 no. 883), Sunan Ibni
Majah (I/288/892), dan Sunan an-Nasa-i (II/212) dengan lafazh serupa.
[11].
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7509)], Shahiih Muslim
(I/393 no. 560), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/160 no. 89).
[12].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/182 no.
691)], ini adalah lafazhnya. Shahiih Muslim (I/320 no. 427), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/330 no. 609), Sunan an-Nasa-i (II/69), dan
Sunan Ibni Majah (I/308 no. 961).
[13].
Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1151)], Sunan at-Tirmidzi (II/56
no. 598), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/190 no. 910), dan Sunan
an-Nasa-i (III/11).
[14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/590 no. 516)],
Shahiih Muslim (I/385 no. 543), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/185 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (II/45).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1147)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/41 no. 869).
[16].
Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1145)], Shahiih Muslim (I/309 no.
413), Sunan an-Nasa-i (III/9), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/313
no. 588).
[17]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 820)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/195 no. 915).
[18].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/107 no.
1234)], Shahiih Muslim (I/316/421), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/216 no. 926).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 803)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/175 no. 894).
[20].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/80 no.
1209)], ini adalah lafazhnya, serta Shahiih Muslim (I/367 no. 512
(272)), dengan lafazh serupa.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 638)] dan Shahiih Muslim (I/362 no. 505 (259)).
[22]. Sanadnya shahih: [Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (XXI/36 no. 225)], dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/52 no. 899).
[23].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/237 no. 137)],
Shahiih Muslim (I/272 no. 361), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/299
no. 174), Sunan Ibni Majah (I/171 no. 513), dan Sunan an-Nasa-i (I/99).
[24].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267, 277 no.
793)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(III/96-93 no. 841), Sunan at-Tirmidzi (I/186-185 no. 301), Sunan
an-Nasa-i (II/125).
[25]. Al-Ijma' hal. 40.
[26].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/383 no. 539)], Sunan at-Tirmidzi
(I/252 no. 4003), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/227 no. 936),
Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/72 no. 1200), dan Sunan
an-Nasa-i (III/18), pada kedua riwayat terakhir ini tidak terdapat
kalimat: "Dan kami dilarang ber-bicara."
Sumber: http://almanhaj.or.id/
Untuk dzikir setelah Shalat bisa dibaca disini:Dzikir
Setelah Shalat Wajib
Semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.