Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1.
Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk
melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2.
Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut
ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3.
Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus
diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah
dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan
duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur
menyamping.”[1]
Rukun kedua: Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka
shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di
luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali
adalah ucapan salam. ”[2]
Yang
dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan
takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun
semakna.
Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena
tidak memenuhi rukun),
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِع
“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan
thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut
tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan
pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk
mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
لاَ
تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ … ثُمَّ يُكَبِّرُ
فَيَرْكَعُ فَيَضَعُ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِىَ
“Shalat
tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan
wudhu, ... kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan
telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan
thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.
Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada
tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4]
Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi
sekaligus dengan hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ
بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ
الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan
bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga
hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan
kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan
dan kiri. ”
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ
اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian
sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan
thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah
ketika sujud.”[8]
_____________
[1] HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.
[2]
HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no.
301.
[3] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit
[4] HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.
[5] HR. Ad Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[6] Sudah disebutkan takhrijnya.
[7] Idem
[8] Idem
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[1]
Bacaan tasyahud:
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At
tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika
ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala
‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu
anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan
hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah
dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada
kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [2]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“Dalam
tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan
nabi” atau bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah
mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”.
Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan
nabi”.
Jawab:
Yang
lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan
“assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya,
inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun
riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat
yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada
perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang
menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai
Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah
bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota)[3]
Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[4]
Dalilnya
adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam
shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu
berkata padanya dan lainnya,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد الله والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Jika
salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan
menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.”[5]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma
sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala
Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik
‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala
aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[6]
Rukun kelimabelas: Salam
Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Yang
mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir.
Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[7]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[8]
Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya
karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“
dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.
[1] HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.
[2] HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’.
[4]
Point ini adalah tambahan dari Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil
‘Aziz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy, hal. 89, Dar Ibni Rojab,
cetakan ketiga, tahun 1421 H.
[5]
Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan
Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.
[6] HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh.
[7]
HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no.
301.
[8] Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188, Maktabah Al Ma’arif.
Hukum Menggunakan Lafadz "Sayyidina " Muhammad
Pertanyaan Ketiga dari Fatawa no. 4276
Soal : Bolehkan kita mengatakan dalam sanjungan kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sayyidina Muhammad’ dalam shalawat yang ma’tsur sebagaimana shalawat Ibrahimiyyah atau selainnya?
ج3: الصلاة على رسول الله صلى الله
عليه وسلم في التشهد لم يرد فيها - فيما نعلم - كلمة سيدنا أي: (اللهم صل
على سيدنا محمد ..إلخ) وهكذا صفة الأذان والإقامة فلا يقال فيها سيدنا،
لعدم ورود ذلك في الأحاديث الصحيحة التي علم فيها النبي صلى الله عليه وسلم
أصحابه كيفية الصلاة عليه وكيفية الأذان والإقامة، ولأن العبادات توقيفية
فلا يزاد فيها ما لم يشرعه الله سبحانه وتعالى، أما الإتيان بها في غير ذلك
فلا بأس، لقوله صلى الله عليه وسلم: أخرجه أحمد 1 / 5، 281، 295، 3 / 2،
144، ومسلم 4 / 1782 برقم (2278)، وأبو داود 5 / 54 برقم (4673) والترمذي 4
/ 622، 5 / 587 برقم (2434، 3615 ) وابن ماجه 2 / 1440 برقم (4308) . أنا
سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر
Jawab :
Shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahud, sepengetahuan kami tidak terdapat kalimat sayyidina yaitu ‘Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad ...’. Begitu juga pada do’a sesudah adzan dan iqomah tidak terdapat pula kalimat sayyidina. Alasannya karena tidak ada dalil shohih
(yang bisa diterima, pen) yang menyebutkan bahwa Nabi mengajarkan para
sahabatnya mengenai tata cara shalawat kepada beliau atau pun adzan dan
iqomah. Dan juga hal ini dikarenakan ibadah adalah tauqifiyyah (harus ada dalil untuk dilaksanakan, pen). Tidak boleh seseorang menambah ajaran yang bukan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun menggunakan lafadz sayyidina selain tempat-tempat tadi (selain tasyahud dan doa sesudah adzan) maka tidaklah mengapa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر
“Aku
adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat maka janganlah berbangga
diri.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
وبالله التوفيق وصلى الله على
نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء عضو
... عضو ... الرئيس عبد الله بن قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد العزيز
بن عبد الله بن باز
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com/
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/rukun-rukun-shalat.html
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/rukun-rukun-shalat.html
Rukun-Rukun Shalat
Rukun-Rukun Shalat
Rukun shalat adalah sesuatu yang harus
dikerjakan pada saat melakukan shalat. Jika salah satu rukun tidak
terpenuhi, maka belum dikatakan shalat dan belum disebut shalat secara
syar’i. Adapun rukun-rukun shalat adalah sebagai berikut:
1. Berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu
Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
”Peliharalah semua shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu’.” [QS. Al_Baqarah (2): 238]
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
“Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak sanggup, maka dengan duduk. Jika
tidak sanggup, maka dengan tidur miring.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari, Abu Dawud, dan At_Tirmidzi]
Berdasarkan juga ijma’ ulama bahwa
berdiri adalah salah satu dari rukun shalat bagi orang yang mampu.
Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang sakit dan tidak sanggup
shalat dengan berdiri, maka gugurlah darinya kewajiban shalat dengan
berdiri, dan ia boleh shalat sambil duduk. Demikian juga bagi mereka
yang sanggup berdiri tapi dilakukan dengan susah payah, atau khawatir
penyakitnya bertambah parah dan memperlambat kesembu-hannya, maka ia
boleh shalah dengan duduk.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah jatuh dari kudanya sehingga berbirat (terkoyak kulitnya
dan terkelupas) samping kanannya. Lalu kami datang menjenguknya. Ketika
waktu shalat tiba, beliau shalat mengimami kami dengan posisi duduk
dan kami shalat di belakang beliau juga dalam posisi duduk.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Ibnu Qudamah berkata, “Zhahir hadits ini
bahwa beliau bukan sama sekali tidak sanggup berdiri. Tetapi karena
beliau susah untuk berdiri, maka gugurlah kewajiban shalat dengan
berdiri. Demikian juga kewajiban tersebut gugur dari selainnya (yaitu
makmumnya).” [Lihat Ibnu Qudamah, Al_Mughni (II/571)]
2. Takbiratul Ihram
Menurut ijma’ para ulama bahwa takbiratul ihram merupakan salah satu rukun shalat, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Kunci shalat adalah bersuci, permulaannya adalah takbir, dan
akhirnya adalah salam.” [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan At_Tirmidzi. Syaikh Al_Albani men-shahih-kan hadits
ini dalam kitab Irwa’ Al_Ghalil, namun terjadi perdebatan dalam masalah
ini]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada orang yang salah dalam shalatnya, “Jika kamu berdiri untuk
mengerjakan shalat, maka bertakbir-lah…” [Hadits shahih]
Juga berdasarkan riwayat dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memulai shalatnya dengan ber-takbir.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]
Takbir yang dimaksud di atas adalah
takbir yang sudah dimaklumi dan telah diwarisi umat ini dari generasi
ke generasi, dari generasi salaf ke generasi khalaf, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengucapkan “Allahu Akbar”
pada seluruh shalatnya. Beliau tidak pernah mengucapkan kalimat yang
lain, walaupun hanya sekali. [Lihat Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Tahdzib
As_Sunan (I/49)]
Oleh karena itu, tidak boleh memulai
shalat dengan kalimat selain Allahu Akbar. Ini adalah pendapat Imam
Malik, Ahmad, Ats_Tsauri, dan Asy_Syafei. Hanya saja Imam Asy_Syafe’i
membolehkan dengan ucapan “Allahul-Akbar”. Ucapan ini diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Berbeda halnya dengan Imam Abu Hanifah
bahwa ia membolehkan membuka shalat dengan semua nama Allah sebagai
tanda pengagungan, seperti Allahul-‘Azhim, Allahul-Jalil, Subhanallah,
Alhamdulillah dan lain sebagainya. Imam Abu Hanifah beralasan bahwa
semua itu adalah dzikir. Dan juga diqiyaskan dengan khuthbah yang tidak
ditentukan lafalnya.
Penulis berkata, “Tidak disangsikan lagi
bahwa qiyas dianggap batil jika bertentangan dengan nash – baik Alquran
maupun As_Sunnah – yang sudah jelas. Dengan demikian, pendapat yang
benar adalah pendapat jumhur ulama.”
Tidak Sah dengan Selain Bahasa Arab Bagi yang Mampu
Tidak sah bertakbir dengan selain bahasa
Arab bagi siapa yang mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengucapkan kalimat tersebut
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, tidak boleh dialihkan ke bahasa
lain selamanya. Bukankah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Ahmad dari hadits Malik bin Hiwairits]
Adapun bagi yang tidak mampu bertakbir
dengan bahasa Arab, maka ia wajib untuk mempelajarinya – karena mudah
untuk dipelajari –. Jika ia khawatir waktu akan habis sebelum
mempelajarinya, atau tidak mampu sama sekali mengucapkannya dalam
bahasa Arab, maka ia boleh mengucapkannya dengan bahasa sendiri.
Wallahu ‘alam
3. Membaca Al_Fatihah di setiap rakaat
Membaca Al_Fatihah merupakan salah satu
dari rukun yang dibaca di setiap rakaat dalam shalat fardhu dan shalat
sunnah, shalat jahr (dikeraskan suaranya) dan shalat sir (yang
dipelankan suaranya). Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy_Syafe’i,
Ats_Tsauri, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Di antara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Hadits dari Ubadah bin Ash_Shamit
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al_Fatihah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mengerjakan shalat dengan tanpa membaca Al_Fatihah,
berarti shalatnya kurang, kurang, kurang, tidak sempurna.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An_Nasa’i, At_Tirmidzi, dan Ibnu Majah]
Dengan demikian, shalat yang kurang tidak
disebut sebagai shalat yang hakiki. Hal ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan kurang di sini adalah tidak sah shalatnya.
Dalil lainnya adalah hadits dari Rifa’ah
bin Rafi’ tentang orang yang salah dalam shalatnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Kemudian bacalah Ummul Quran,
lalu baca surat yang engkau kehendaki… Kemudian lakukanlah semua itu
dalam semua rakaat.” [Hadits syadz, diriwayatkan oleh
Ahmad. Hadits ini dikatakan syadz karena hanya berasal dari Ishaq bin
Abdullah. Lihat Abu Umair, Syifa’ Al_’Aiy (I/192)]
Bacaan Basmalah Sebelum Membaca Al_Fatihah
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum membaca basmalah di awal Al_Fatihah, sebagai konsekuensi dari
perselisihan mereka mengenai persoalan: apakah basmalah itu termasuk
salah satu ayat dari surat Al_Fatihah ataukah tidak?
Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim dalam
kitab Shahih Fiqih Sunnah mengatakan bahwa pendapat yang benar
basmalah adalah ayat Alquran di setiap awal surat, jika ditulis dalam
mushaf. Meskipun menurut pendapat yang paling rajih bahwa basmalah
tidak termasuk ayat dalam surat Al_Fatihah, tetapi wajib membacanya
sebelum membaca surat Al_Fatihah, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Wallahu ‘alam
Bagi yang Tidak Mampu Menghapal Surat Al_Fatihah
Imam Al_Khaththabi berkata, “Pada
dasarnya, shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surat Al_Fatihah.
Tentunya kewajiban ini hanya untuk mereka yang sanggup menghapal surat
Al_Fatihah, tidak untuk mereka yang tidak sanggup menghapalnya.
Seandainya seseorang tidak mampu menghapal Al_Fatihah tetapi mampu
menghapal ayat yang lain, maka sebagai gantinya ia membaca ayat yang
lain sebanyak tujuh ayat. Karena dzikir yang paling utama setelah
Al_Fatihah adalah ayat Alquran semisalnya. Seandainya ia tidak sanggup
sama sekali belajar membaca Alquran, mungkin karena kondisinya yang
sangat lemah, tidak mampu menghapal, karena ia non Arab, atau karena ia
bisu, maka dzikir yang paling utama setelah Alquran adalah dzikir yang
telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
tasbih, tahmid, dan tahlil.”
Penulis berkata, “Maksud dari perkataan
Imam Khaththabi di atas, adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada orang yang tidak mampu menghapal Alquran: Ucapkan
subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallahu akbar walaa haula
walaa quwwata illa billah.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain]
4. Rukuk disertai tuma’ninah (diam sebentar)
Menurut ijma’ para ulama bahwa ruku’
merupakan salah satu dari rukun shalat pada setiap rakaat. Di antara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan.” [QS. Al_Hajj (22): 77]
Berdasarkan juga bahwa
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan-nya secara kontinyu
dalam setiap rakaat dari semua shalatnya, seraya bersabda, “Shalatlah
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Ahmad dari hadits Malik bin Huwairits]
Adapun tentang thma’ninah, menurut jumhur
ulama bahwa thuma’ninah merupakan salah satu dari rukun ruku’ dan
sujud, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kemudian ruku’lah hingga kamu ruku’ dengan tenang.” Juga sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak sah shalat seseorang
hingga ia meluruskan punggungnya pada saat ruku’ dan sujud.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi An_Nasa’i, dan Ibnu Majah]
Penulis berkata, “Walaupun dalam kitab
Al_Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan bahwa thu’maninah bukanlah
termasuk rukun dari ruku’ dan sujud. Namun pendapat yang rajih adalah
pendapat jumhur ulama.”
Kemudian untuk praktek thu’maninah adalah
bersikap tenang hingga seluruh persendiannya tenang dan lurus,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang
yang salah dalam shalatnya: “Tidak sempurna shalat seorang dari kalian
hingga ia menyempurnakan wudhunya … kemudian ia ruku’ dan meletakkan
kedua tangannya di atas kedua lututnya hingga seluruh persendiannyya
tenanng dan lurus.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, At_Tirmidzi, An_Nasa’i, dan Ibnu Majah]
5. Iktidal disertai disertai tuma’ninah
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya, “Kemudian
bangunlah hingga kamu bangun dengan tenang.” Juga hadits dari Abu
Humaid tentang sifat-sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
disebutkan bahwa beliau mengangkat kepala-nya, beliau berdiri lurus
hingga seluruh persendian punggung kembali ke tempatnya. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari]
6. Sujud dua kali disertai tuma’ninah
Menurut ijma’ ulama bahwa sujud dua kali
dalam setiap rakaat merupakan salah satu rukun shalat. Di antara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan.” [QS. Al_Hajj (22): 77]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada orang yang salah dalam shalatnya, “Kemudian sujudlah
hingga kamu sujud dengan tenang.” Juga sabda beliau, “Tidak ada shalat
bagi orang yang hidungnya tidak menyentuh lantai sebagaimana dahinya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ad_Daruquthni. Lihat Muhammad Nashiruddin Al_Albani, Shifat-Shifat Shalat, hal. 142]
Juga berdasarkan sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sempurnakalah ruku’ dan sujud kalian. Demi dzat
yang jiwaku ada di tangan_Nya, sesungguhnya aku melihat kalian dari
sebelah punggungku ketika kalian ruku’ dan sujud.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah]
Penulis berkata, “Sujud harus dilakukan
di atas tujuh anggota tubuh, yaitu: Dua telapak tangan; Dua lutut; Dua
telapak kaki; Dahi; dan hidung.” Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda, “Kami diperintahkan untuk sujud di atas tujuh tulang,
yaitu: dahi (beliau menunjuk dahi dan hidung); kedua tangan (dalam
lafaz lain: dua telapak tangan); dua lutut; dan ujung telapak kaki. Dan
kami tidak menggulung pakaian dan rambut (dalam shalat).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
7. Duduk di antara dua sujud disertai tuma’ninah
Duduk di antara dua sujud adalah termasuk
rukun shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada orang yang salah shalatnya: “Kemudian sujudlah hingga
kamu sujud dengan tenang. Lalu angkatlah kepalamu hingga engkau
benar-benar duduk dengan tenang. Lantas sujudlah kembali hingga engkau
sujud dengan tenang.”
Juga berdasarkan riwayat dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak langsung sujud
hingga duduk dengan tenang.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah]
Imam Asy_Syafe’i dan Ahmad menetapkan
bahwa duduk di antara dua sujud yang disertai dengan thuma’ninah
sebagai rukun shalat. Dan Imam Abu Hanifah hanya mencukupkan mengangkat
kepala seperti mengangkat mata pedang. Namun tidak ada riwayat yang
menyebutkan, bagaimana pendapat Imam Malik mengenai permasalahan ini.
8. Duduk akhir
9. Membaca tasyahud akhir
Duduk akhir dan membaca tasyahud akhir
adalah salah satu rukun shalat, dan shalat menjadi batal bila hal ini
ditinggalkan, baik sengaja maupun tidak sengaja, berdasarkan
dalil-dalil berikut ini:
Hadits dari Ibnu Mas’ud radhyallahu
‘anhu, ia berkata, “Sebelum diwajibkan tasyahhud kepada kami, kami
biasa membaca: As_Salamu ‘alallah qibalah ‘ibadihi, As_Salamu ‘ala
Jibril, As_Salamu ‘ala Mika’il. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Jangan kalian katakan As_Salamu ‘alallah, tetapi
ucapkan At_Tahiyyaatu lillah…(hingga akhir bacaan).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh An_Nasai’ dan Al_Baihaqi. Lihat Al_Albani, Irwa’ Al_Ghalil (319)]
Hal ini menunjukkan bahwa bacaan tasyahhud tadinya tidak wajib hingga akhirnya diwajibkan.
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian duduk dalam shalat, maka
ucapkanlah: At_Tahiyyaatu lillah.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Bacaan Tasyahhud
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku bacaan
tasyahhud, sebagaimana mengajariku Alquran: “At_Tahiyyaatu lillah, wash
shalawaatu wath thoyyibaatu, as_salaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullahi wa barokaatuhu, as_salamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish
shoolihiin. Asy_hadu allaa ilaaha illallahu wa asy_hadu anna Muhammadan
‘abduhu wa rosuwluh.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al_Bukhari dan Muslim]
Ini adalah bacaan tasyahhud yang paling
shahih, dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya,
Ats_Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan jumhur ulama lainnya. Walaupun
para ulama sepakat dibolehkannya membaca semua bentuk bacaan tashyahhud
yang ada dalilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penjelasan Tentang Bacaan Tasyahhud
Pada sebagian jalur hadits Ibnu Mas’ud
ini ada lafal yang menuntut perubahan, yaitu pada lafal: (As_Salaamu
‘alaika ayyuhan nabiyyu..). yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam masih hidup digunakan kata orang kedua tunggal: (’alaika),
dan setelah beliau wafat digunakan kata orang ketiga tunggal:
(As_Salaamu ‘alan nabiy).
Dalam sebuah lafal yang diriwayatkan oleh
Al_Bukhari, setelah bacaan tasyahhud, Ibnu Mas’ud berkata, “Ini ketika
beliau masih berada di tengah-tengah kami. Setelah beliau wafat, kami
mengucapkan: As_salaamu ‘alan nabiy.” Lafal ini dikuatkan oleh
Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani dalam kitab Fathul Bari, seraya
berkata: “Hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Aku telah
menemukan sanad-sanad penguat lainnya.”
Abdurrazaq berkata, “Ibnu Juraij
mengabarkan kepadaku, ‘Atha’ mengabar-kan kepadaku bahwa para sahabat
mengatakan pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
As_salaamu ‘alaika ayyuhan Nabi.” Setelah beliau wafat, mereka
mengucapkan: As_Salaamu ‘alan Nabiy.” (Sanadnya shahih]
Syaikh Al_Albani berkata, “Tentu hal ini
berdasarkan penetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang
menegaskan hal itu bahwa Aisyah juga mengajarkan mereka tasyahhud
seperti ini dalam shalat.” [Lihat Al_Albani, Shifat Shalat Nabi. Beliau
menyandarkan atsar Aisyah kepada As_Siraj dan Al_Mukhlish dengan dua
sanad yang shahih dari Aisyah]
10. Mengucapkan salam
Jumhur ulama – tidak termasuk Imam Abu
Hanifah – berpendapat bahwa mengucapkan salam adalah salah satu dari
rukun shalat, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup
shalatnya dengan mengucapkan salam.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud]
Hadits Abu Sa’id Al_Khudri radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Jika
salah seorang dari kalian lupa dalam shalatnya sehingga tidak tahu
berapa rakaat yang sudah ia laksanakan, apakah tiga atau empat, maka
tinggalkan keraguan tersebut dan tentukan rakaat yang ia yakini,
kemudian sujudlah dua kali sebelum mengucapkan salam.” [Hadits shahih, insya Allah akan dibahas dalam bab sujud syahwi]
Kemudian, hadits Ibnu Mas’ud tentang
sujud sahwi: “Tetapkanlah apa yang ia yakini kebenarannya, lalu
mengucapkan salam, kemudian bersujud dua kali sujud sahwi.” [Hadits shahih, insya Allah akan dibahas dalam bab sujud sahwi]
Berdasarkan keterangan di atas, maka
perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut
mengetahui bahwa mengucapkan salam adalah rukun shalat. Wallahu ‘alam
Tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa mengucapkan dua kali salam adalah perkara ikhtiar (disunnahkan),
bukan termasuk rukun shalat. Bahkan apabila seseorang duduk selama
kadar waktu membaca tasyahhud, maka shalatnya sudah sempurna. Dalilnya
hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarinya bacaan tasyahhud; “Jika kamu mengucapkan
ini, berarti kamu telah menyelesaikan shalatmu. Jika kamu ingin
bangkit, silakan dan jika kamu masih ingin duduk, silakan.” [Hadits
riwayat oleh Abu Dawud, Ahmad, Ad_Daruquthni. Lihat Ibnu Hazm,
Al_Muhalla (III/278)]
Apakah Satu Salam Sudah Sah ataukah Dua Salam ?
Madzhab Imam Asy_Syafe’i dan Malik serta
jumhur ulama berpendapat bahwa yang termasuk rukun salat hanya salam
pertama saja. Adapun salam kedua hukumnya sunnah. Ibnul Mundzir
berkata, “Semua ulama yang menghapal hadits ini dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan sah shalat bagi yang hanya
mengcapkan satu salam saja, dan mensunnah-kan mengucapkan dua salam.”
[Lihat kitab Shahih Fiqih Sunnah, hal. 503]
Begitu juga Imam An_Nawawi berkata, “para
ulama yang dipegang pendapatnya bersepakat bahwa tidak wajib kecuali
satu salam saja.” [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayyid Salim, Shahih
Fiqih Sunnah, hal. 503]
Jumhur ulama berargumen tentang sahnya shalat dengan satu kali salam, dengan dalil-dalil berikut ini:
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Dan diakhiri dengan salam.” [Hadits ini
di-shahih-kan oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din Al_Albani]
Hadits di atas adalah lafal mutlak yang membenarkan satu salam.
Berdasarkan juga hadits dari Abdullah bin
Abi Aufa, ia berkata; “Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang
shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – pada hadits ini
tercantum bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak duduk
kecuali pada rakaat ke delapan untuk duduk tasyahhud. Lalu beliau
bangkit tanpa mengucapkan salam sebelumnya. Kemudian melanjutkan satu
rakaat lagi lantas duduk tasyahhud, berdoa, dan mengucapkan satu kali
salam: As_Salamu ‘alaikum, dengan mengeraskan suaranya sehingga kami
terbangun.”
Kemudian pada riwayat Imam Muslim,
“Kemudian beliau mengucapkan salam satu kali atau dua kali dan
memperdengarkannya kepada kami.” Adapun mengucapkan salam satu kali
terdapat dalam riwayat shahih dari para sahabat, di antaranya adalah
Anas bin Malik dan Ibnu Umar. [Lihat Abu Malik Kamal bin As_Sayid
Salim, Shahih Fiqih Sunnah, alih bahasa Abu Ihsan Al_Atsari, dari judul
asli Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Mahzahib
Al_A’immah, Jilid. 1, (Jakarta: Pustaka At_Tazkia, 2006), cet. 1, hal.
506]
11. Menertibkan rukun
Berdasarkan hadits-hadits shahih bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya secara tertib,
disamping sabda beliau, “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku
shalat.” Lantas beliau mengajarkan shalat kepada orang yang salah dalam
shalatnya dengan menggunakan kata: Kemudian ….. kemudian ….. kemudian.
Alasan lainnya, karena shalat adalah ibadah yang batal jika berhadats,
demikian juga tertib merupakan salah satu dari rukun shalat seperti
yang lainnya. [Lihat kitab Ad_Dasuqi (I/241); Al_Mughni Al_Muhtaj
(I/158); Kasyaf Al_Qanna’ (I/389); dan Al_Mumti’ (III/426)]
http://alhafizh84.wordpress.com/2009/11/02/rukun-rukun-shalat/
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/30/rukun-rukun-shalat/
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/30/rukun-rukun-shalat/