Nama Allah Ta’ala yang maha indah ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,
{قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}
“Katakanlah:”Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” (QS al-An’aam:162).
Dan dalam firman-Nya,
{قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ}
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?” (QS al-An’aam:164).
Demikian pula dalam firman-Nya,
{رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ}
“Rabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Shaad: 66).
Juga dalam firman-Nya,
{سَلامٌ قَوْلا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ}
“(Kepada penghuni surga dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang” (QS Yaasiin:58).
Makna ar-Rabb secara bahasa
Ibnu Faris berkata, “Kata Rabb menunjukkan beberapa arti pokok, yang pertama: memperbaiki dan mengurus sesuatu. Maka ar-Rabb berarti yang menguasai, menciptakan dan memiliki, juga berarti yang memperbaiki/mengurus sesuatu[1].
Ibnul Atsir berkata, “Kata ar-Rabb
secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus
dan pemberi nikmat. Kata ini tidak boleh digunakan dengan tanpa
digandengkan (dengan kata yang lain) kecuali untuk Allah Ta’ala (semata), dan kalau digunakan untuk selain-Nya maka (harus) digandengkan (dengan kata lain), misalnya: rabbu kadza (pemilik sesuatu ini)[2].
Lebih lanjut imam Ibnu Jarir ath-Thabari memaparkan, “(Kata) ar-Rabb dalam bahasa Arab memliki beberapa (pemakaian) arti, penguasa yang ditaati di kalangan orang-orang Arab disebut rabb …, orang yang memperbaiki sesuatu dinamakan rabb …, (demikian) juga orang yang memiliki sesuatu dinamakan rabb.
Terkadang
kata ini juga digunakan untuk beberapa arti selain arti di atas, akan
tetapi semuanya kembali pada tiga arti tersebut. Maka Rabb kita (Allah Ta’ala)
yang maha agung pujian-Nya adalah penguasa yang tidak ada satupun yang
menyamai dan menandingi kekuasaan-Nya, dan Dialah yang memperbaiki
(mengatur semua) urusan makhluk-Nya dengan berbagai nikmat yang
dilimpahkan-Nya kepada mereka, serta Dialah pemilik (alam semesta
beserta isinya) yang memiliki (kekuasan mutlak dalam) menciptakan dan
memerintahkan (mengatur)”[3].
Penjabaran makna nama Allah ar-Rabb
Ar-Rabb adalah al-Murabbii
(yang maha memelihara dan mengurus) seluruh makhluk-Nya dengan
mengatur urusan dan (melimpahkan) berbagai macam nikmat (kepada
mereka)[4]. Maka ar-Rabb adalah Yang Maha Pencipta sekaligus Penguasa dan Pengatur alam semesta beserta isinya[5].
Makna ar-Rabb adalah yang memiliki sifat rububiyah terhadap seluruh makhluk-Nya dalam hal menciptakan, menguasai, berbuat sekehendak-Nya dan mengatur mereka.
Nama Allah yang mulia ini termasuk nama-nama Allah Ta’ala yang mengandung beberapa arti dan bukan hanya satu arti. Bahkan nama ini jika disebutkan sendirian tanpa nama Allah Ta’ala lainnya, kandungannya mencakup semua nama Allah yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna[6].
Dalam hal ini imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Sesungguhnya ar-Rabb
adalah (zat) yang maha kuasa, yang mengadakan, pencipta, pembentuk
rupa, yang maha hidup lagi berdiri sendiri dan menegakkan urusan
makhluk-Nya, maha mengetahui, mendengar, melihat, luas kebaikan-Nya,
pemberi nikmat, pemurah, maha memberi dan menghalangi, yang memberi
manfaat dan celaka, yang mendahulukan dan mengakhirkan, yang memberi
petunjuk dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya (sesuai dengan
hikmah-Nya yang agung), yang menganugerahkan kebahagiaan dan
menyengsarakan siapa yang dikehendaki-Nya, yang memuliakan dan
menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, dan semua makna rububiyah lainnya yang berhak dimiliki-Nya dari (kandungan) nama-nama-Nya yang maha indah”[7].
Sifat rububiyah Allah Ta’ala
ini meliputi seluruh alam semesta beserta isinya, karena Dialah yang
memelihara dan mengatur semua makhluk dengan berbagai macam nikmat yang
dilimpahkan-Nya kepada mereka, Dialah yang menciptakan mereka dengan
kehendak dan kekuasaan-Nya, Dialah yang menyediakan semua kebutuhan
makhluk-Nya, dan Dialah yang memberikan kepada semua makhluk penciptaan
yang sesuai dengan keadaan mereka kemuadian memberi petunjuk kepada
mereka untuk kebaikan dalam hidup mereka[8].
Pembagian sifat rububiyah Allah Ta’ala
Sifat rububiyah Allah Ta’ala ada dua macam:
1- Rububiyah
umum yang mencakup semua makhluk, baik yang taat maupun yang selalu
berbuat maksiat, yang beriman maupun kafir, yang berbahagia maupun
celaka, yang mendapat petunjuk maupun yang sesat.
Rububiyah ini berarti
menciptakan, memberi rezki, mengatur, melimpahkan berbagai macam
nikmat, memberi dan menghalangi, meninggikan dan merendahkan,
menghidupkan dan mematikan, mamberi kekuasaan dan menghilangkannya,
melapangkan dan menyempitkan, melapangkan semua penderitaan, menolong
orang yang kesusahan dan memenuhi permohonan orang yang ditimpa
kesulitan. Ini semua berlaku umum untuk selauruh makhluk-Nya, Allah Ta’ala berfirman,
{يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ}
“Semua yang ada di langit di bumi selalu meminta kepada-Nya, setiap hari Dia (memenuhi) semua kebutuhan (makhluk-Nya)” (QS ar-Rahmaan:29).
2- Rububiyah
yang khusus bagi para kekasih dan orang-orang yang dicintai-Nya, yaitu
dengan dia menjaga dan memberi taufik kepada mereka untuk beriman dan
melaksanakan ketaatan kepada-Nya, serta melimpahkan kepada mereka ilmu ma’rifatullah
(mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya) dan (taufik)
untuk selalu kembali/bertobat kepada-Nya, mengeluarkan mereka dari
berbagai macam kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), dan
memudahkan mereka untuk melakukan semua kebaikan serta menjaga mereka
dari semua keburukan[9].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “(Rububiyah)
yang lebih khusus dari itu adalah penjagaan-Nya terhadap
hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan memperbaiki hati, jiwa dan akhlak
mereka[10].
Inilah sebabnya mengapa mayoritas doa yang diucapkan hamba-hamba Allah Ta’ala yang shaleh, yang disebutkan dalam al-Qur’an selalu diawali dengan nama Allah ar-Rabb (misalnya: Wahai Rabb kami, atau wahai Rabb-ku), karena mereka sangat mengharapkan makna yang khusus dari sifat rububiyah ini, sehingga isi doa mereka pun tidak lepas dari makna yang dijelaskan di atas[11].
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah ar-Rabb
Mengimani Rububiyah
Allah akan menumbuhkan dalam diri seorang muslim keikhlasan dalam
beribadah kepada-Nya dan ketundukan yang seutuhnya di hadapan-Nya. Hal
ini disebabkan karena keimanan terhadap Rububiyah Allah Ta’ala mengandung konsekwensi penetapan uluhiyah (penghambaan diri dengan ikhlas) bagi Allah Ta’ala.
Inilah yang ditunjukkan dalam firman Allah Ta’ala,
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu (semata-mata), Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa” (QS al-Baqarah:21).
{إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ}
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabb-mu, maka beribadahlah kepada-Ku (semata-mata)” (QS al-Anbiyaa’:92).
Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal penting ini dalam ucapannya, “… Inilah tanda (adanya) tauhid uluhiyah (penghambaan kepada Allah Ta’ala yang sempurna) dalam hati seorang hamba, dan pintu masuk (yang membawa) hamba ini (mencapai kedudukan ini) adalah tauhid Rububiyah. Artinya: pintu masuk (untuk mencapai) tauhid uluhiyah adalah tauhid rububiyah.
Sesungguhnya yang pertama kali tertanam dalam hati (manusia) adalah (mengimani) keesaan Allah Ta’ala dalam Rububiyah-Nya, kemudian (kedudukannya) meningkat kepada keimanan terhadap keesaan Allah Ta’ala dalam uluhiyah-Nya. Sebagaimana hal inilah yang diserukan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an, (yaitu) dengan (pengakuan) manusia terhadap tauhid Rububiyah yang (mengandung konsekwensi) mengakui tauhid uluhiyah.
Allah menegakkan argumentasi kepada mereka dengan pengakuan mereka
ini, kemudian Dia menyampaikan bahwa mereka sendiri yang menentang
pengakuan mereka itu dengan menyekutukan-Nya dalam uluhiyah.
Maka dalam keadaan ini terwujudlah pada diri seorang hamba tingkatan:
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).
Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ}
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan mereka? niscaya mereka menjawab:”Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS az-Zukhruf: 87).
Artinya: bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari mempersaksikan (kalimat) laa ilaaha illallah
(tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah) dan dari penghambaan
diri kepadanya semata, padahal mereka telah mempersaksikan bahwa tidak
ada Rabb (penguasa dan pengatur alam semesta) dan tidak ada pencipta selaun Allah?…” [12].
Demikian pula beriman kepada Rububiyah-Nya dengan benar akan membawa seorang hamba menuju tingkatan ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb,
yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada
ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang
tidak diberikan-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha
kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya, dan ini
merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan
kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[13].
Penutup
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Rabb semesta alam, agar senantiasa menganugerahkan kepada kita semua penjagaan dan taufik dari-Nya, serta semua makna Rububiyah-Nya
yang khusus, sebagaimana yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya
yang shaleh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 5 Rabi’ul Tsani 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] Kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (2/313). [2] Kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (2/450)
[3] Kitab “Tafsir ath-Thabari” (1/89).
[4] Ucapan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab “Tafsiirul asma-illahil husna” (hal. 47).
[5] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Syarhul arba’iin an-Nawaawiyyah” (hal.43).
[6] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 79).
[7] Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/473).
[8] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 80).
[9] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 80-81).
[10] Kitab “Tafsiirul asma-illahil husna” (hal. 47).
[11] Lihat kitab “Tafsiirul asma-illahil husna” (hal. 47) dan “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[12] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/411).
[13] HSR Muslim (no. 34).
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/ar-rabb-yang-maha-mengatur-dan.html