Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara
singkat mengenai status orang yang berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Apa saja dan bagaimana bentuknya? Simak penjelasannya berikut ini.
Firman
Allah,
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
kamu (tunduk) kepada hokum Allah yang telah diturunkan dan kepada hukum
Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia)
dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila
mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah,
"Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang
baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 60 – 62).
“Dan
bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi"[1], mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah:
11).
“Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
…” (Al-A’raf: 56).
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).
Diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah beriman (sempurna) seseorang di antara kamu, sebelum keinginan
dirinya menuruti apa yang telah aku bawa (dari Allah).” [2]
Asy-Sya’bi
menuturkan,
“Pernah
terjadi pertengkaran antara orang munafik dan seorang Yahudi. Berkatalah orang
Yahudi itu, "Mari kita berhakim kepada Muhammad!", karena ia mengerti
bahwa beliau tidak mengambil risywah (sogok). Sedangkan orang munafik itu
berkata, "Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi!", karena ia
tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk
datang berhakim kepada seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat,
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).”[3]
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).”[3]
Dikatakan
pula bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan dua orang yang bertengkar.
Salah seorang mengatakan, "Mari kita bersama-sama mengadukan kepada
Nabi!", sedangkan yang lainnya mengatakan, "Kepada Ka’ab Al-Asyraf."
Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”
Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’.[4] Dan ayat ini dapat membantu untuk memahami pengertian thaghut.
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[5]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-A’raf. [6]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[7]
- Sebab turunnya ayat-ayat yang pertama, sebagaimana dijelaskan Asy-Sya’bi.
- Pengertian iman yang benar dan iman yang palsu. [Iman yang benar yaitu berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta menerima hukumya dengan tunduk dan ridha. Dan iman yang palsu yaitu mengaku beriman tetapi tidak mau berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, bahkan berhakim kepada thaghut].
- Kisah ‘Umar dengan orang munafik, [bahwa 'Umar memenggal leher orang munafik tersebut karena tidak rela dengan keputusan Rasulullah].
- Seseorang tidak akan beriman (sempurna dan benar) sebelum keinginan dirinya mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Catatan Kaki
[1]
Maksudnya, janganlah kamu membuat kerusuhan di muka bumi dengan kekafiran dan
perbuatan maksiat lainnya.
[2]
Kata An-Nawawi, "Hadits shahih, kami riwayatkan dari kitab Al-Hujjah
dengan isnad shahih.
[3]
Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya.
[4]
Ayat ini menunjukkan kewajiban berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah, dan menerima hukum keduanya dengan ridha dan tunduk. Barangsiapa
yang berhukum kepada selainnya, berarti berhakim kepada thaghut, apapun
sebutannya.
Dan
menunjukkan kewajiban mengingkari thaghut serta menjauhkan diri dan waspada
terhadap tipu daya setan. Menunjukkan kepada bahwa barangsiapa diajak berhakim
dengan hukum Allah dan Rasul-Nya haruslah menerima; apabila menolak maka dia
adalah munafik, dan apa pun dalih yang dikemukakan seperti menghendaki
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna bukanlah merupakan alasan
baginya untuk menerima selain hukum Allah dan Rasul-Nya.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain
hukum yang diturunkan Allah, maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat
di muka bumi. Dan dalih mengadakan perbaikan bukan alasan sama sekali untuk
meninggalkan hukumNya.
Menunjukkan
pula bahwa orang yang sakit hatinya akan memutar balik nilai-nilai, di mana
yang baik dijadikan bathil dan yang bathil dijadikan baik.
[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain
hukum Allah maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan
menunjukkan bahwa perbaikan di muka bumi adalah dengan menerapkan hukum yang
diturunkan Allah.
[7]
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menghendaki selain hukum Allah, berarti
dia menghendaki hukum Jahiliyah.
Sumber: http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/kitab-tauhid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar