Boleh jadi, banyak orang beranggapan
bahwa masalah tauhid itu penting dan utama, bahkan wajib. Anggapan ini seratus
persen benar. Namun, karena dalam kacamata sebagian orang tauhid itu -meskipun
penting dan utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah untuk
direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid pada diri
masyarakat sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di antara mereka
yang meremehkan atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang senantiasa
mendengung-dengungkannya.
Terkadang muncul celetukan di antara
mereka, “Kalian ini ketinggalan jaman, hari gini masih bicara tauhid?”.
Atau yang lebih halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah
TBC -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian
terhadap agenda kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau
kita meributkan masalah aqidah umat itu artinya kita su’udzan kepada sesama
muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik mereka, yang penting kita
bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”. Allahul musta’aan…
Sampai kapan kita bicara
tauhid?
Tauhid adalah agenda terbesar umat
Islam di sepanjang jaman. Sebab tauhid adalah hikmah penciptaan, tujuan hidup
setiap insan, misi dakwah para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab suci yang
Allah turunkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.
adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang
menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian siapakah di antara
kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat
seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS.
an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah
Kami utus sebelum kamu -hai Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan
kepada mereka, bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, maka
sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)
Bahkan, tauhid adalah syarat pokok
diterimanya amalan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia
melakukan amal salih dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada
Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh, apabila kamu berbuat syirik maka
benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65).
Lebih daripada itu, kemusyrikan
-sebagai lawan dari tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang masuk
surga untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya
surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang
penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72).
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya
sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb
seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan
aku adalah orang yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).
Oleh sebab itu, berbicara masalah
tauhid berarti berbicara mengenai hidup matinya kaum muslimin dan keselamatan
mereka di dunia maupun di akherat. Berbicara masalah tauhid adalah berbicara
tentang tugas mereka sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS.
al-Hijr: 99). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia
pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu’anhu). Maka dengan alasan apakah agenda yang sangat
besar ini dikesampingkan?
Kami berjuang demi membela
hak-hak manusia!
Seruan semacam ini sering kita
dengar. Dan banyak sekali kalangan yang tertipu dan terbius dengannya,
sampai-sampai sebagian aktifis gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini.
Padahal, di balik slogan -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat
Iblis dan bala tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala,
yaitu jalan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah;
Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah, di atas landasan bashirah/ilmu,
inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).
Hak-hak manusia sedemikian agung
dalam pandangan mereka. Mereka benci dan murka apabila hak-hak manusia
dihinakan dan diinjak-injak oleh sesamanya. Mereka pun bangkit dengan mengatasnamakan
pejuang hak azasi manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas, dan
gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk
mendukung mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian
terhadap sesama. Dan yang lebih busuk lagi, kalau ada yang menjadikannya
sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan belaka!
Padahal, hak-hak manusia -sebesar
apapun jasanya, semulia apapun kedudukannya- tetap saja masih lebih rendah
apabila dibandingkan dengan hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan
mengatur jagad raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewasiatkan agar dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan
yang lainnya. Beliau bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu
serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma).
Demikian pula beliau mengajarkan
kepada kita, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu). Namun, jangan
disalahpahami bahwa ini berarti kita meremehkan hak-hak manusia, sama sekali
tidak!
Jangan bicara masalah
bid’ah!
Ungkapan semacam ini pun sering
terlontar. Dalam persepsi mereka, bid’ah itu adalah masalah sensitif yang tidak
perlu diungkit-ungkit. Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan umat dari
bahaya bid’ah dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang
bid’ah akan menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum
muslimin, dan menurut ‘hemat mereka’ hal itu akan melemahkan kekuatan
kaum muslimin dan memecah belah persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini
adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima… Namun, jangan terburu-buru!
Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan oleh agama.
Sebelumnya, kita yakini bersama
bahwa bid’ah adalah tercela dan sesat. Allah tidak menerima ibadah yang
dilakukan namun tidak ada tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak
ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah
radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga berkata, “Bid’ah lebih
disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih ada kemungkinan diharapkan
taubat darinya. Adapun bid’ah, maka sulit diharapkan taubat darinya.”
Selain itu, sebagaimana kita yakini
pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak boleh serampangan
atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah merupakan pilar dalam dakwah.
Namun, bersikap bijak bukan dengan cara membiarkan kemungkaran merajalela tanpa
pengingkaran kepadanya.
Tatkala bid’ah menjadi penghalang
diterimanya amalan, bahkan ia termasuk kategori dosa dan kemungkaran, maka
sudah sewajarnya seorang da’i memperingatkan bahayanya dan menjelaskannya
kepada umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari
bahaya bid’ah dan mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan yang
berujung kepada kehancuran, sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul
hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para ulama menganggap bahwa
orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk golongan mujahid!
Tidakkah anda ingat bagaimana
sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dengan ilmu sunnah yang
dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas diri dari bid’ah Qadariyah yang
muncul di masanya? Demikian pula para ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah yang dengan tegar mempertahankan aqidah
al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang
melakukan perjuangan serupa seperti mereka berdua dengan segala resiko yang
harus mereka tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita telah mengetahui
itu semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan ini
-memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah berkhianat
terhadap amanah dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah statusnya akan berubah
dari seorang da’i ilallah -orang yang mengajak kepada Allah- menjadi
da’i ila ghairillah -orang yang mengajak kepada selain Allah-! Nas’alullahas
salamah
Jangan merasa paling
benar!
Sebagian orang ketika ditegur dan
diingatkan untuk meninggalkan atau menjauhi perkara-perkara yang menyimpang
dari agama -karena bertentangan dengan al-Qur’an ataupun as-Sunnah- dengan
ringannya mengucapkan perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu terkait dengan
aqidah, ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk dalam kategori
syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang lainnya. Belum lagi,
jika orang tersebut memiliki sedikit ‘ilmu’ dan wawasan, maka dengan sigapnya
dia akan ‘memperkosa’ dalil demi melanggengkan tindakannya yang keliru. Keras
kepala, itulah sifat yang melekat dalam dirinya. Kalau dicermati lebih dalam,
justru ternyata sikapnya yang tidak mau menerima nasehat dan teguran itu
merupakan bentuk kesombongan dan ekspresi perasaan diri yang paling benar [!], Wal
‘iyadzu billah…
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala juga
berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman
sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim atas segala perkara
yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati
mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah sepenuhnya.”
(QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah
pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya
telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain
dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya
sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS.
al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah
dia -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS.
an-Najm: 3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama
adalah nasehat, untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin,
dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).
Tauhid sudah ada di
dada-dada manusia!
Sebagian orang mengucapkan perkataan
semacam ini, sehingga secara sadar ataupun tidak dia telah menjauhkan manusia
dari dakwah tauhid. Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka mereka tidak
lagi memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah
perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang menyeret
mereka dalam kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada dua kesimpulan;
mungkin karena ketidaktahuannya sehingga dengan mudahnya dia berkata demikian,
atau karena dia mengetahui kebenaran namun sengaja berpaling darinya. Dan
keduanya ini apabila menimpa seorang yang digelari sebagai da’i, ustadz ataupun
murabbi merupakan realita yang sangat pahit sekali. Oleh sebab itu, kita
perlu meluruskannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
tauhid bukan sekedar ucapan la ilaha illallah yang tidak diiringi dengan
konsekuensinya. Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis
akan menempati kerak neraka yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena mereka
tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid juga bukanlah sekedar keyakinan
bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam
semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang melimpahkan rezki, bukan
itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam niscaya beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada
kaum kuffar Quraisy yang telah mengimani perkara-perkara itu.
Jangan runtuhkan
persatuan!
Apabila para da’i berbicara tentang
tauhid dan membantah berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada serta
menjelaskan sunnah dan membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang merajalela,
maka bangkitlah sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya berteriak, “Mengapa
kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah belah akibat
dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang mereka lontarkan.
Padahal, kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan kaum muslimin yang
hakiki -yang dengannya mereka akan selamat di hadapan Rabbnya- adalah persatuan
di atas tauhid dan sunnah, bukan persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang
yang gemar menebar syirik dan bid’ah -dengan dipoles berbagai macam hiasan-
maka mereka itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah dan pengacau
persatuan!
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk,
dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan
biarkan dia terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan
memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak akan bermanfaat
harta dan keturunan, melainkan bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu
ketika di dunia- saling berkasih sayang berubah menjadi saling memusuhi,
kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67). Allah ta’ala
juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada kaumnya
(yang artinya), “Sesungguhnya Allah, Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka
sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64).
Allah ta’ala berfirman tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka
ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu, karena
hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan
kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)
Khilafah, itu solusinya!
Sebagian gerakan Islam yang telah
kehilangan arah dan lalai dari misi dakwah para rasul sangat getol
mendengung-dengungkan slogan ini. Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada
syari’ah. Tanpa khilafah, kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka
jadilah khilafah sebagai target perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak
ada satupun problema di masyarakat atau negara melainkan mereka sangkut-sangkutkan
dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka menuding para da’i tauhid sebagai
da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-masalah sepele. Tidak
bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan demi kejayaan umat,
dan lain sebagainya.
Padahal, kita semua tahu bahwa
bangunan umat ini tidak akan tegak dan kokoh kecuali di atas aqidah yang kuat
dan murni. Seorang muslim dengan aqidah yang kokoh akan dengan sukarela
menerapkan syari’ah dalam kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya
ternyata khilafah belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih
berlumuran dengan kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas
menjangkiti anak bangsa dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi dan melindas lembaran sejarah sedemikian lama.
Perubahan ini membutuhkan proses
yang bertahap, tidak bisa terjadi secara tiba-tiba seperti membalikkan telapak
tangan begitu saja. Hal ini dapat kita saksikan dalam individu-individu kaum
muslimin. Yang mana perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang
tidak sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki
beragam problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan masalah
yang menghimpit warga negara mereka masing-masing? Tentu merubahnya tidak cukup
dengan teriakan dan slogan semata. Kembali kepada syari’ah tidak seratus persen
bergantung pada khilafah. Betapa banyak syari’at yang bisa diterapkan oleh
seorang individu umat ini, sebuah keluarga atau sekumpulan orang tanpa perlu
menunggu tegaknya khilafah. Tidak ada yang salah dalam merindukan khilafah,
akan tetapi tatkala khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka silahkan
anda jawab sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah menegakkan
tauhid?
Dari situlah perlu kita camkan wahai
saudaraku, bahwa tidak akan berhasil upaya apapun yang ditempuh oleh gerakan
mana saja selama mereka lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau mengikuti jejak
para pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak
akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki
generasi awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum
muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan
hal itu gara-gara mengikuti pendapat seseorang.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena
sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian
kaum dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan menghinakan sebagian kaum yang
lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab
radhiyallahu’anhu). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).
Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu,
“Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak berhasil
mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang mengira dirinya pejuang Islam,
mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah jalan dan justru
menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah;
Maukah kuberitakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi
amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan
tetapi mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang
sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)
Saudaraku, betapa banyak rumah yang
roboh bukan karena tiupan angin kencang ataupun terpaan banjir bandang. Akan
tetapi ia roboh karena pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-pilarnya yang
begitu lemah, tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat
yang ada di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh
lantaklah seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa pemiliknya!
Maka demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengimpikan kekuasaan dan
khilafah namun menyingkirkan agenda terbesar umat Islam yang sesungguhnya.
Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda telah bisa menjawabnya.
_________________
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/tauhid-sepenting-apakah.html
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.