Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“…Merealisasikan la ilaha illallah adalah suatu hal yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata: ‘Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan’. Sebagian salaf juga mengatakan: ‘Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas’.
Dan tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun
selain mukmin, maka dia tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi
menggapai keikhlasan.
Oleh sebab itu, pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat’. Maka beliau menjawab: ‘Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?’ Setan tidak akan repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur -dengan iman-.
Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam
hatinya sesuatu yang terasa berat dan tidak sanggup untuk diucapkan
-karena buruknya hal itu, pent-. Maka beliau berkata, ‘Benarkah kalian merasakan hal itu?‘. Mereka menjawab, ‘Benar’. Beliau pun bersabda, ‘Itulah kejelasan iman‘ (HR. Muslim). Artinya hal itu merupakan bukti yang sangat jelas yang menunjukkan keimanan kalian, karena perasaan itu muncul dalam dirinya sementara hal itu tidak akan muncul kecuali pada hati yang lurus dan bersih.” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38] cet. Makt. al-’Ilmu)
Apa yang dimaksud dengan merealisasikan la ilaha illallah?
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya
merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya
dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa
ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan
dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara
menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan,
kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok
tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut
kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20 cet. Makt. al-’Ilmu)
Benarkah sesulit itu merealisasikan la ilaha illallah?
Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan,
“Aku
telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa
kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan
bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikhnya tanpa menyebutkan jumlah sahabat yang ditemui, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang fuqaha’ dan ahli ibadah di kalangan tabi’in- berkata,
“Tidaklah
aku hadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir termasuk
orang yang didustakan/tidak dipercayai nasehatnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh beliau dalam Tarikhnya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar. al-Hadits)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata -menjelaskan maksud ucapan di atas-,
“Maksudnya;
aku merasa takut orang akan mendustakan diriku karena melihat amalanku
yang menyelisihi ucapanku, sehingga dia akan berkata, ‘Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang menyelisihi ucapanmu’.
Beliau mengucapkan hal itu karena beliau sering memberikan
nasehat/wejangan kepada orang-orang -sementara beliau mengkhawatirkan
amalannya, pent-…” (Fath al-Bari [1/136])
Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata,
“…
Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha
Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya
amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak
akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa’id, hal. 34 cet. Dar al-’Aqidah)
Lalu bagaimana langkah mewujudkannya?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“…Tauhid (la ilaha illallah) itu tidak akan terwujud kecuali dengan tiga perkara:
Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.’ (QS. Muhammad: 19).
Kedua, i’tiqad/keyakinan,
apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru
menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan
tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), ‘Apakah
dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak-
itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang
sangat mengherankan.’ (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir-
tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka
memahami seruan Nabi tersebut, pent-.
Ketiga,
inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun
tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Sesungguhnya
mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada
sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan
diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan
sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?’ (QS. ash-Shaffat: 35-36)…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55] cet. Makt. al-’Ilmu)
Ilmu tentang la ilaha illallah
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
“…
La ilaha illallah tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya
kecuali apabila dia telah mewujudkan syarat-syaratnya yang jumlahnya
ada delapan:
- Ilmu -tentang makna la ilaha illallah, pent- yang menepis kebodohan
- Keyakinan yang menepis adanya keragu-raguan
- Keikhlasan yang menepis kemusyrikan
- Kejujuran yang menepis dusta/kepura-puraan
- Kecintaan yang menepis kebencian
- Ketundukan yang menepis sikap meninggalkan
- Sikap menerima yang menepis penolakan
- Mengingkari segala sesembahan selain Allah…” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 15)
Makna la ilaha illallah
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
“…Maknanya: Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.
Makna lain yang keliru adalah:
[1] Tidak ada sesembahan selain Allah.
Ini keliru, sebab makna(konsekuensi)nya: segala yang disembah benar atau salah adalah Allah.
[2] Tidak ada pencipta selain Allah.
Ini
memang sebagian dari maknanya, akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan;
sebab seandainya itu merupakan makna la ilaha illallah niscaya tidak
akan terjadi persengketaan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaumnya, sebab mereka mengakui hal ini -yaitu keesaan Allah dalam hal mencipta, dsb. Pent-.
[3] Tidak ada penetapan hukum selain oleh Allah.
Ini
juga sebagian saja dari maknanya, akan tetapi hal ini belum mencukupi
dan bukan maksud utamanya. Sebab seandainya Allah diesakan dalam
perkara hukum namun tetap ada selain-Nya yang disembah/diibadahi -oleh
seorang hamba- maka tauhid belum dianggap terwujud.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 13)
Apa konsekuensi la ilaha illallah?
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“… (konsekuensinya) adalah meninggalkan peribadahan kepada segala sesuatu selain Allah, hal ini ditunjukkan oleh ungkapan penolakan yaitu dalam ucapan kita ‘la ilaha’, dan beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, yang hal ini ditunjukkan oleh penetapan yaitu dalam ucapan kita ‘illallah’…” (at-Tauhid li as-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 50)
Apa itu ibadah?
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
“Pengertiannya:
Secara bahasa artinya perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut
syari’at adalah sebuah ungkapan yang mewakili segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang
tersembunyi/batin maupun yang tampak/lahir.” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)
Apa saja pilar-pilar ibadah?
Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Huwail berkata,
“Pilar-pilar ibadah:
- Kecintaan (mahabbah)
- Rasa takut (khauf)
- Harapan (raja’).” (at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)
Ada apa antara cinta dengan ibadah?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“…Pokok semua amalan adalah kecintaan.
Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk
apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat
atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa
jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi
karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang
mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada
Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah.
Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta
niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…”
(al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Makt. al-’Ilmu)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
“… Tidak akan sempurna tauhid seorang hamba sampai sempurna kecintaan hamba tersebut kepada Rabbnya dan kecintaan kepada-Nya harus lebih didahulukan
di atas semua perkara yang dicintainya dan mengalahkan itu semua serta
kecintaan kepada Allah itulah yang menghakimi semua kecintaan yang
lain sehingga semua yang dicintai oleh hamba tersebut senantiasa
mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan meraih
kebahagiaan dan keberuntungan dirinya.” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Menggapai manisnya iman dengan cinta
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada
tiga perkara yang barangsiapa ketiganya terdapat dalam dirinya niscaya
dia akan merasakan manisnya iman. [1] Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. [2] Tidaklah dia
mencintai seseorang kecuali karena Allah. [3] Dia benci kembali kepada
kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang
yang tidak suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kamu ini memang aneh!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Sungguh
sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya
lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang
menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi
seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai
dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah
dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya
namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan
betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun
kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya.
Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri
dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian
kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan
bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya
hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak
meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta
kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi
daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya
dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi
kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan
dirimu dari-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 45)
Mana bukti cintamu?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Katakanlah
(Muhammad): ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/merealisasikan-kalimat-tauhid-tak.html
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/05/merealisasikan-kalimat-tauhid-tak.html
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.