Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani
Merupakan
suatu perkara yang tidak bisa disangkal, bahwa alam semesta ini pasti ada yang
menciptakan. Yang mengingkari hal tersebut hanyalah segelintir orang. Itu pun
karena mereka tidak menggunakan akal sesuai dengan fungsinya. Sebab akal yang
sehat akan mengetahui bahwa setiap yang tampak di alam ini pasti ada yang mewujudkan.
Alam yang demikian teratur dengan sangat rapi tentu memiliki pencipta,
penguasa, dan pengatur. Tidak ada yang mengingkari perkara ini kecuali orang
yang tidak berakal atau sombong dan tidak mau menggunakan pikiran sehat. Mereka
tidaklah bisa dijadikan tempat berpijak dalam menilai.
Dzat
yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini adalah Allah
subhanahu wa ta`ala. Inilah yang disebut dengan rububiyyah Allah. Tauhid
rububiyyah adalah sebuah keyakinan yang diakui bahkan oleh kaum musyrikin.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Katakanlah: Siapakah yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang
mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah:
Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus:31)
Oleh
sebab itu, selayaknya manusia hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta`ala
saja. Allah subhanahu wa ta`ala telah menciptakan untuk manusia berbagai
prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu untuk mewujudkan peribadatan
kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala juga membantu mereka untuk mewujudkan
peribadahan tersebut dengan limpahan rezeki. Sedangkan Allah tidak membutuhkan
imbalan apa pun dari para makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki
sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku
makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan
lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzaariyaat:56-58)
Sesungguhnya
tauhid tertanam pada jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak
oleh bujuk rayu syaithan yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke
dalam syirik. Para syaithan baik dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu
untuk menyesatkan umat dengan ucapan-ucapan yang indah. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-pekataan yang indah-indah untuk menipu manusia” (Al-An’aam:112)
Tauhid
adalah asal yang terdapat pada fitroh manusia sejak dilahirkan. Sedangkan
kesyirikan adalah sesuatu yang mendatang dan merasuk ke dalam pikiran manusia.
Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitroh Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitroh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh Allah.”
(Ar-Ruum:30)
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak yang lahir, dilahirkan
atas fitroh, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau
Majusi” (HR.Al-Bukhari)
Berarti
asal yang tertanam pada diri manusia secara fitroh adalah bertauhid kepada
Allah subhanahu wa ta`ala.
Kesyirikan adalah Sebab Perselisihan Manusia
Mulai
masa Nabi Adam `alaihis-salam sampai kurun waktu yang cukup panjang setelahnya,
manusia senantiasa berada di atas Islam sebagai agama tauhid. Allah subhanahu
wa ta`ala berfirman:
“Dahulu manusia itu adalah ummat
yang satu. maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan.” (Al-Baqarah: 213)
Kesyirikan
berawal pada masa kaum Nabi Nuh `alaihis-salam. Maka Allah mengutus Nabi Nuh
`alaihis-salam sebagai rasul yang pertama. Allah ta`ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan
wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
yang kemudiannya.” (An-Nisaa`: 163)
Jarak
antara Nabi Adam dan Nabi Nuh `alaihimas-salam adalah sepuluh generasi yang
seluruhnya berada di atas Islam. Sebagaimana penjelasan Ibnu `Abbas
radhiyallahu ta`ala `anhu.
Menurut
Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa ini merupakan pendapat yang benar. (Al-MuntaQao
min Ighootsatil Lahafaan hal. 440)
Ubay
bin Ka`ab rodiyallahu ‘anhu membaca firman Allah ta`ala dalam surat Al-Baqarah
ayat ke-213 dengan bacaan sebagai berikut,
“Dahulu manusia itu adalah ummat
yang satu, lalu mereka berselisih, maka Allah mengutus para nabi sebagai
pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Bacaan
Ubay bin Ka`ab di atas dikuatkan oleh firman Allah ta`ala:
“Dahulu manusia hanyalah ummat yang
satu, kemudian mereka berselisih.” (Yuunus: 19)
Maksud
pernyataan Ibnul Qayyim yang terdahulu bahwa para nabi diutus karena
perselisihan manusia. Mereka telah keluar dari agama yang benar sebagaimana
yang mereka pegangi sebelumnya.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.
Dahulu bangsa Arab juga berada di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam yaitu at-tauhid. hingga datang `Amr bin Luhai Al-Khuza`i lalu merubah agama Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Melalui orang ini tersebar penyembahan terhadap berhala di bumi Arab, terlebih khusus wilayah Hijaz. Maka Allah subhanahu wa ta`ala mengutus Nabi kita Muhammad shallallohu `alaihi wa sallam menjadi nabi yang terakhir.
Rasulullah
shallallohu `alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama tauhid dan mengikuti
ajaran Nabi Ibrahim `alaihis-salam. Beliau berjihad di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya. Sampai tegak kembali agama tauhid dan runtuh segala
penyembahan terhadap berhala. Saat itulah Allah menyempurnakan agama dan
nikmat-Nya bagi alam semesta.
Selanjutnya
generasi yang terbaik dari umat ini berjalan di atas ajaran tauhid. Namun
setelah masa mereka berlalu umat ini kembali didominasi oleh berbagai
kebodohan. Mereka terkungkung dengan berbagai pemikiran baru yang mengembalikan
kepada syirik. Bahkan pengaruh dari agama-agama lain cukup kuat mewarnai
semangat keagamaan yang mereka miliki.
Sejarah
penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru kesesatan.
Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburan-kuburan dalam
rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang shalih secara
berlebihan.
Dengan
demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang
disembah selain Allah. Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa
doa, penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. (lihat Kitabut-tauhid karya
DR.As- Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 6-7)
Itulah
fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari
belakangan kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit
sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari
syirik. As-Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu As-Syaikh pernah berkata:
“Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. (Qurratul-`Uyuun hal.24)
“Di awal umat ini jumlah orang yang bertauhid cukup banyak sedangkan di masa belakangan jumlah mereka sedikit”. (Qurratul-`Uyuun hal.24)
Kita
mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian
masyarakat muslimin. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku
sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di
tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk
ditunaikan oleh manusia.
Tauhid, Hak Allah atas Segenap Manusia
Sesungguhnya
tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah
tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah subhanahu wa ta`ala
berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Ad-Dzaariyaat: 56)
Sebagian
ulama menafsirkan kalimat:
“supaya menyembah-Ku”
dengan
makna:
“supaya mentauhidkan-Ku”
(Lihat
Al-Qaulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)
Jika
peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan
bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik.
Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang
dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An`aam:88)
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An`aam:88)
“Jika kamu mempersekutukan (Allah),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.” (Az-Zumar: 65)
Dua
ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana
dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah
sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.
Tauhid
adalah hak Allah subhanahu wa ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur
alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam
keduanya terwujud karena penciptaan Allah subhanahu wa ta`ala.
Allah
menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak
bagi Allah subhanahu wa ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para
makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Allah
telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat
disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai
dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah
telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut
ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak
ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya
melainkan Allah subhanahu wa ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk
mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala. Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala
telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa
dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Itu
semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang
dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan
keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah
ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya
mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini. Rahmat dan keutamaan Allah yang
sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar
yaitu beribadah kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta`ala tidak pernah meminta dari
kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.
Peribadahan
kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan
keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap
hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan
Allah yang tak terhingga dan ternilai.
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kami tidak meminta rezeki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Ketika
manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya
kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan
manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka
dengan yang setimpal. Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan
bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.
Manusia
yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda
syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat. Allah
subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim
itu seorang penolong pun.” (Al-Maaidah: 72)
Sementara
mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di
dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka
mendapatkan petunjuk.” (Al-An`aam: 82)
Kedzoliman
yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR.
Bukhari)
Sebagai
penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai
menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang
kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa
taala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya
orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan
keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang
nyata.” (Az-Zumar: 15)
Wallohu
a`lam bish-shawaab.
Menggapai Keutamaan Tauhid
Dalam
tulisan yang lalu telah dijelaskan tentang keharusan manusia untuk beribadah
kepada Allah semata tanpa berbuat syirik sedikit pun. Itulah yang disebut
dengan tauhid uluhiyyah. Seorang muslim adalah yang mengamalkan tauhid
uluhiyyah setelah mengakui tauhid rububiyyah. Sehingga tauhid ini menjadi tema
pembahasan kita.
Tauhid
adalah ajaran keselamatan yang dibawa oleh para nabi. Tak seorang nabi pun
melainkan menyeru umatnya kepada tauhid. Sebab tauhid merupakan inti ajaran
agama samawi. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tiada
ilah (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka beribadahlah kamu sekalian kepadaku.”
(Al-Anbiyaa`: 25)
Para
nabi menyeru umatnya kepada tauhid karena memiliki keutamaan yang sangat besar.
Nasib baik umat manusia di dunia dan akhirat bergantung kepada perealisasian
tauhid. Demikian pula keselamatan hanya bisa diraih dengan bertauhid. Allah
telah menjanjikan kepada orang-orang yang bertauhid berbagai keutamaan. Semua
itu sebagai pelecut bagi kaum muslimin untuk menggapai keutamaan tauhid
tersebut.
Rasa Aman dan Petunjuk bagi Penganut Tauhid
Setiap
penganut tauhid akan mendapatkan jaminan keselamatan dari Allah berupa rasa
aman dan petunjuk. Hal ini membuktikan betapa penting bagi sekalian manusia
untuk memiliki tauhid. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzoliman, mereka itulah orang-orang
yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.” (Al-An`aam: 82)
Yang
dimaksud dengan kedzoliman di sini adalah syirik besar. Karena Ibnu Mas`ud
radhiyallahu `anhu pernah berkata:
“Tatkala ayat ini turun, mereka
bertanya: Siapa diantara kami yang tidak mendzolimi dirinya? Maka Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: (Ayat ini) bukan seperti yang kalian
fahami. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman: Sesungguhnya syirik adalah
kedzoliman yang besar.” (HR. Bukhari).
Dengan
demikian berarti seorang yang tidak menjauhi syirik besar akan nihil perolehan
rasa aman dan petunjuk secara mutlak. Sebaliknya seorang yang bersih dari
syirik besar akan mendulang rasa aman dan petunjuk sesuai dengan tingkat
keislaman dan keimanan yang tertanam pada dirinya. Maka rasa aman dan petunjuk
yang sempurna hanya akan diraih oleh seorang yang bertauhid dan bertemu dengan
Allah tanpa membawa dosa besar yang dilakukan secara terus-menerus.
Seorang
yang bertauhid akan menggapai rasa aman dan petunjuk sesuai dengan nilai tauhid
dan akan hilang sesuai dengan kadar maksiat. Ini apabila dia memiliki dosa-dosa
dan tidak bertaubat darinya.
Allah
subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Kemudian kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang mendzolimi dirinya sendiri, dan di antara mereka ada yang
pertengahan, dan di antara mereka ada yang bersegera berbuat kebaikan dengan
seizin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Faathir: 32)
Orang
yang mendzolimi dirinya adalah orang yang mencampur adukkan amalan baik dengan
amalan buruk. Golongan ini berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah
berkehendak maka diampuni dosanya. Bila tidak maka Allah akan menyiksanya
akibat dosanya pula. Namun Allah selamatkan dari kekekalan dalam api neraka
sebab dia memiliki tauhid. Sedangkan golongan yang pertengahan adalah orang
yang hanya mengamalkan kewajiban dan meninggalkan perkara yang haram. Ini
adalah keadaan Al-Abror (orang-orang yang berbuat kebaikan). Adapun golongan
yang bersegera kepada kebaikan adalah orang yang memiliki kesempurnaan iman
dengan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk taat kepada Allah, baik dalam
berilmu maupun beramal.
Dua
golongan yang terakhir akan memperoleh keamanan dan petunjuk yang sempurna di
dunia dan akhirat. Karena sebuah kesempurnaan akan memperoleh kesempurnaan
pula. Dan sebuah kekurangan akan memperoleh kekurangan pula. Oleh sebab itu
kesempurnaan iman akan mencegah pemiliknya dari berbagai maksiat dan siksanya.
Hingga dia berjumpa dengan Rabbnya tanpa membawa satu dosa pun yang bisa
mengundang siksa. Sebagaimana Allah ta`ala berfirman:
“Mengapa Allah akan mengadzab
kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisaa`: 147)
Penjelasan
di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
rahimahullah dan juga merupakan pendapat Ahlus-sunnah wal Jama`ah. (lihat
Qurratul `Uyuun karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus- Syaikh hal. 12-13,
dinukil dengan sedikit perubahan)
Rasa
aman dan petunjuk yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah rasa aman dan
petunjuk di dunia dan akhirat. Ini pendapat yang benar menurut Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-`Utsaimin. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 58)
Allah
telah menjanjikan bagi orang-orang yang bertauhid rasa aman yang langgeng di
dalam mengarungi kehidupan dunia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shalih bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan mereka), sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nuur:55)
Dalam
kehidupan akhirat seseorang yang bertauhid dengan sempurna akan menikmati rasa
aman dari kekalan dalam api neraka dan ancaman adzab. Sementara orang yang
tidak menyempurnakan tauhid karena melakukan dosa besar tanpa bertaubat akan
mengecap rasa aman dari kekalan dalam api neraka tetapi tidak merasa aman dari
ancaman adzab. Nasibnya tergantung pada kehendak Allah. Apakah Allah mau
mengampuninya atau justru mengadzabnya. Allah ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidaklah
mengampuni dosa syirik terhadap-Nya dan akan mengampuni yang lebih ringan dari
itu bagi orang yang Dia kehendaki.” (An-Nisaa`: 116)
Seorang
yang bertauhid akan menggapai petunjuk kepada syari`at Allah, baik yang berupa
ilmu maupun amal dalam menapaki kehidupan dunia. Ketika di akhirat mereka akan
memperoleh petunjuk ke jalan menuju surga. Allah ta`ala berfirman:
“(kepada malaikat diperintahkan):
“Kumpulkanlah orang-orang yang dzolim beserta teman sejawat mereka dan
sesembahan-sesembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah; maka
tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (Ash-Shaaffaat: 22-23)
Ayat
ini menerangkan bahwa orang-orang yang dzolim beserta teman sejawat mereka akan
digiring ke jalan menuju neraka Al-Jahim di alam akhirat. Dipahami dari sini
bahwa orang-orang yang beriman (baca: bertauhid) akan diarahkan ke jalan menuju
surga An-Na`im. (lihat Al-Qaulul Mufiid jilid 1 hal. 57-58)
Bertauhid
kepada Allah merupakan modal pokok untuk menggapai segala keberuntungan di
dunia dan akhirat. Itulah rahmat Allah yang sangat luas bagi para pemeluk
tauhid. Hak timbal balik ini merupakan ketetapan Allah bukan paksaan dan
kehendak seorang pun. Allah membentangkan keutamaannya bagi siapa yang mau
merealisasikan tauhid.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal
radhiyallahu’anhu,
“Wahai Mu’adz! Tahukah engkau hak
Allah atas hamba-Nya dan hak hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: “Allah dan
rasul- Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam
kemudian bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan hak hamba-Nya atas Allah adalah
tidak menyiksa barangsiapa yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seorang yang beribadah kepada-Nya
tanpa berbuat syirik. Maka tidak berbuat syirik belum cukup untuk menghindarkan
dari adzab Allah. Akan tetapi harus disertai dengan peribadahan kepada
Allah.
Allah
akan menyiksa seorang yang tidak mau beribadah kepada-Nya walaupun tidak
berbuat syirik. Ini berarti ibadah kepada Allah dan tidak syirik harus
dilaksanakan oleh seorang hamba secara berbarengan guna menggapai keutamaan
ini. Sebab hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan terlepas
dari berbagai noda syirik. Demikian pula status sebagai hamba Allah tidak akan
melekat pada dirinya sampai dia mewujudkan peribadahan kepada Allah semata.
(lihat
Al-Qaulul Mufid karya As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 1/ 42-43)
Tentu
setiap muslim berkeinginan masuk surga disamping selamat dari adzab Allah.
Masuk surga merupakan perkara yang sangat mereka idamkan. Surga adalah tempat
kesudahan yang baik bagi mereka. Syarat memasukinya adalah dengan bertauhid
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tauhid
sangat berpengaruh dalam menentukan nasib seorang muslim guna menggapai
keutamaan ini. Pelaksanaan tauhid secara murni dan tidak berbuat syirik sama
sekali dapat memudahkan jalan menuju surga tanpa penghalang. Maka tingkat
keberhasilan ini diukur dengan nilai tauhid yang telah dicapai oleh
masing-masing personil dalam menjalaninya.
Namun
siapapun orangnya selama dia memiliki tauhid maka tempat perhentian terakhirnya
adalah surga. Ini perkara pasti yang bersifat mutlak. Walaupun sebagian mereka
harus terlebih dahulu melalui kenyataan pahit yaitu merasakan siksa
neraka.
Yang
demikian dikarenakan nilai tauhidnya tidak sempurna akibat bercampur dengan
perbuatan dosa besar tanpa bertaubat kepada Allah. Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, ‘dan Isa adalah
hambanya, rasul-Nya, kalimat yang dianugrahkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari
sisinya, dan bersaksi bahwa (perihal) surga dan neraka itu adalah benar, Allah
memasukkannya kedalam Surga walau bagaimana amalnya”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafidz
‘Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Makna sabda Rasulullah (… walau
bagaimana amalnya) yaitu (amalnya) yang baik maupun yang buruk. Karena ahli
tauhid mesti masuk surga. Mungkin pula maknanya: penduduk surga memasukinya
sesuai dengan amalan masing-masing dari mereka dalam (menempati)
tingkatan-tingkatannya.”
Sedangkan
menurut Imam Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah,
“Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama”. (lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)
“Yang tertera dalam hadist ‘Ubadah khusus bagi seorang yang mengucapkan hal-hal yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Lalu menggandengkan dua kalimat syahadat dengan hakikat keimanan dan tauhid yang terlampir dalam haditsnya. Sehingga dia memperoleh pahala yang bisa memperingan timbangan dosa-dosanya, serta mengundang keampunan, rahmat dan masuk surga pada tahapan yang pertama”. (lihat Fathul Majid karya Asy-Syaikh Abdurrahman Alus Syaikh hal. 60)
As-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Masuk
surga terbagi menjadi dua jenis:
Pertama,
masuk yang sempurna. Tidak didahului dengan siksa bagi seorang yang
menyempurnakan amalan.
Kedua,
masuk yang kurang sempurna. Didahului dengan siksa bagi seorang yang kurang
beramal.
Maka
seorang mukmin bila dosa-dosanya mengalahkan kebaikan-kebaikannya, Allah akan
menyiksanya sesuai dengan kadar perbuatannya dan bisa pula tidak menyiksanya
jika berkehendak. Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi
orang yang dikehendaki-Nya”. (An-Nisa: 116)”
(lihat
Al-Qaulul Mufid 1/ 72)
Demikian
pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharomkan api
neraka bagi orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ (Tidak ada sesembahan
yang berhak diibadahi selain Allah), dengan hal itu dia mencari wajah Allah.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh
Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan hadits ini,
”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.
Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam. (lihat Qurratul Uyun halaman 18)
”Sabdanya, (..dengan hal itu dia mencari wajah Allah) merupakan hakikat makna yang ditunjukkan oleh kalimat La Ilaha Illallah. Yaitu berupa memurnikan peribadahan kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Sikap jujur dalam mengucapkannya dan keikhlasan (memurnikan ibadah) adalah dua perkara yang saling terkait erat. Tidak didapati salah satu dari keduanya tanpa yang lain. Maka barangsiapa yang tidak ikhlas (memurnikan ibadah) berarti dia seorang musyrik. Dan barangsiapa yang tidak jujur dalam mengucapkannya berarti dia seorang munafik.
Orang yang ikhlas dalam mengucapkannya adalah yang memurnikan ibadah kepada Zat Yang Berhak yaitu Allah bukan kepada yang selain-Nya. Inilah yang disebut dengan tauhid dan merupakan pondasi Islam. (lihat Qurratul Uyun halaman 18)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, ‘Sesungguhnya seorang yang mencari wajah Allah harus
menyempurnakan sarana-sarana yang mendukung pencariannya. Apabila dia
menyempurnakannya maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak.
Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina”. (HR Bukhari-Muslim dari hadits Abu Huroiroh)
Demikian pula jika dia melakukan kebaikan-kebaikan dengan sempurna maka neraka diharamkan atasnya secara mutlak. Namun jika dia kurang menyempurnakannya maka nilai pencariannya juga menjadi kurang. Sehingga kadar pengharoman neraka atasnya juga berkurang. Hanya saja tauhidnya mencegah dari kekekalan di dalam api neraka. Barangsiapa yang berzina, minum khomr atau mencuri, lalu dia mengucapkan persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dalam rangka mencari wajah Allah, berarti dia berdusta dalam persaksiannya. Karena nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,“Tidaklah seseorang yang berzina sebagai mukmin ketika berzina”. (HR Bukhari-Muslim dari hadits Abu Huroiroh)
Apalagi bila persaksiannya itu ingin
dianggap dalam rangka mencari wajah Allah.” (lihat Al-Qaulul Mufid halaman
1/74).
Pengetahuan
tentang keutamaan-keutamaan tauhid bukan hanya sekedar sekilas info. Hendaknya
berbagai keutamaan tauhid ini mampu membangkitkan semangat kita untuk lebih
tekun mempelajari tauhid dan mengamalkannya. Merugilah orang-orang yang ilmunya
tidak membuahkan amal. Perumpamaannya ibarat sebuah pohon yang tidak
menghasilkan buah. Bahkan lebih dari pada itu, orang yang tidak mewujudkan
tauhid baik secara ilmu maupun amal niscaya akan sengsara di dunia sebelum
akhirat.
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam mengungkap keutamaan tauhid dengan tujuan untuk
membangkitkan semangat umatnya bertauhid secara benar dan sungguh-sungguh.
Bukan dengan maksud agar mereka berpangku tangan dan merasa puas terhadap
kelemahan dan kekurangan dalam bertauhid. Keutamaan tauhid merupakan anugerah
besar yang Allah curahkan bagi orang yang bisa menggapainya dengan segala daya
dan upaya mewujudkan tauhid.
Selain
keutamaan tauhid yang telah kita utarakan dalam pembahasan lalu masih terdapat
keutamaan tauhid yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh, marilah kita
menyimak hadits-hadits berikut ini,
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Bahwasanya Nuh ‘alaihis salam
pernah berkata kepada anaknya saat akan wafat ‘Aku perintahkan engkau
(berpegang) dengan laa ilaaha illallah. Karena langit yang tujuh dan bumi yang
tujuh jika diletakan pada satu anak timbangan dan La ilaaha illallah pada satu
anak timbangan yang lain, niscaya La ilaha illallah lebih berat daripada yang
lainnya. Dan jika langit yang tujuh beserta bumi yang tujuh membentuk lingkaran
yang tak diketahui tempat sambungannya, niscaya Laa ilaaha illallah akan
memutuskannya’.” (HR.Ahmad dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkan sanadnya dalam As-Shahihah
1 / 210. Lihat takhrij Fathul Majid karya Asy-syaikh ‘Ali Sinan hal. 68)
Dari
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, ‘Wahai Anak Adam jika seandainya
engkau mendatangiku dengan sepenuh bumi kesalahan sedangakan engkau tidak
berbuat syirik sedikit pun niscaya aku akan mendatangaimu dengan sepenuh bumi
keampunan”. (HR. Turmudzi dan beliau menghasankannya, Imam Muslim
meriwayatkannya dari hadits Ibnu Abbas dan Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits
Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma).
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Pada hari kiamat nanti, seorang
dari umatku dipanggil di hadapan para makhluk. Lalu dibentangkan sembilan puluh
sembilan gulungan miliknya. Setiap gulungan sejauh mata memandang. Lalu
dikatakan, ‘Adakah sesuatu yang engkau ingkari dari gulungan-gulungan ini?
Apakah para pencatatku yang menjaga amalmu telah mendzolimimu?’ Dia menjawab,
‘Tidak ada wahai Rabbku’ Lalu dikatakan, ‘Apakah engkau memiliki sebuah udzur
atau kebaikan?’ Maka orang ini merasa segan lantas menjawab, tidak ada. Lalu
dikatakan, ‘Benar, sesungguhnya engkau memiliki sebuah kebaikan dan engkau
tidak akan didzolimi pada hari ini.’ Kemudian dikeluarkan satu kartu miliknya
yang bertuliskan, Asyhadu an La ilaaha illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa
rasuluh (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusannya). Maka dia
berkata, ‘Wahai Rabbku apa nilai kartu ini dibanding gulungan-gulungan
itu?’ Lalu dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan didzolimi.’
Kemudian diletakkan gulungan-gulungan itu pada satu anak timbangan dan kartu
ini pada anak timbangan yang lain. Ternyata timbangan gulungan-gulungan itu
ringan dan timbangan kartu ini berat”. (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban
dan Al-Hakim, beliau berkata, shahih atas syarat Muslim dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi. Syaikh Albani dalam As-Shahihah 1 / 213 berkata, ‘Hadits ini
sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya’. Lihat takhrij Fathul Majid hal.69)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits ini, “Amal-amal perbuatan
tidaklah berbeda-beda keutamaannya dikarenakan bentuk dan bilangannya. Hanya
saja keutamaannya berbeda-beda sebab perbedaan keyakinan dalam hati sehingga
dua amalan bisa memiliki bentuk yang satu namun nilai perbedaan di antara
keduanya sejauh antara langit dan bumi.”
Selanjutnya beliau berkata,
“Perhatikan hadits tentang sebuah kartu yang diletakkan pada satu anak
timbangan lalu diimbangi dengan timbangan sembilan puluh sembilan gulungan yang
masing-masingnya sejauh mata memandang ternyata timbangan kartu itu berat dan
timbangan gulungan-gulungan itu ringan. Maka pemiliknya tidak diadzab.
Merupakan perkara yang dimaklumi bahwa setiap orang yang bertauhid memiliki
kartu ini. Akan tetapi kebanyakan mereka masuk nereka dengan sebab
dosa-dosanya”. (Lihat Fathul Majid hal 69)
Asy-Syaikh
‘Abdurrohman bin Hasan Alus Syaikh menjelaskan, “Dalam mengucapkan dua kalimat
syahadat harus memilki ilmu dan keyakinan tentang maknanya. Selanjutnya serta
mengamalkan kandungannya sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Berilmulah engkau bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah” (Muhammad:19).
“Kecuali orang yang bersaksi dengan
kebenaran sedangkan mereka mengetahui (berilmu tentang yang dipersaksikan).
(Az-Zukhruf:86)
Mengucapkan dua kalimat syahadat
tanpa mengerti maknanya atau tidak meyakininya maka hal itu tidak bermanfaat.
Begitu pula jika tidak mengamalkan kandungannya yaitu sikap berlepas diri dari
syirik dan memurnikan ucapan serta amalan untuk Allah. Maka tidak bermanfaat
baik ucapan hati maupun lisan demikian pula amalan hati serta anggota badan.
Hal yang dikemukakan di atas adalah kesepakatan para ulama”. (Lihat Fathul
Majid hal 51).
Kita
tutup pembahasan ini dengan menukilkan keterangan Asy-Syaikh Abdurrohman
As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qaulus Sadid halaman 16-19. Di sini kita akan
memaparkannya dengan lengkap mengingat bahwa penjelasan beliau sangat gamblang
dan rinci tentang keutamaan-keutamaan tauhid.
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk dari keutamaan tauhid
adalah:
Dapat
menghapuskan dosa-dosa.
Merupakan
sebab yang paling besar untuk melonggarkan kesusahan-kesusahan serta bisa
menjadi penangkal dari berbagai akibat buruk dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Mencegah
kekekalan dalam api neraka meskipun dalam hatinya hanya tertanam sebesar biji
sawi keimanan. Juga mencegah masuk neraka secara mutlak bila dia
menyempurnakannya dalam hati. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling mulia.
Memberi
petunjuk dan rasa aman yang sempurna di dunia dan akhirat kepada pemiliknya.
Merupakan
sebab satu-satunya untuk menggapai ridho Allah dan pahala-Nya. Orang yang
paling bahagia yang memperoleh syafaat Muhammad shallallahu alaihi wasallam
adalah yang mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas dari hatinya.
Penerimaan
seluruh amalan dan ucapan, baik yang tampak dan yang tersembunyi tergantung
kepada tauhid seseorang. Demikian pula penyempurnaannya dan pemberian
ganjarannya. Perkara-perkara ini menjadi sempurna dan lengkap tatkala tauhid
dan keikhlasan kepada Allah menguat. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling
besar.
Memudahkan
seorang hamba untuk melakukan kebaikan- kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran-kemungkaran. Serta menghiburnya tatkala menghadapi berbagai
musibah. Seorang yang ikhlas kepada Allah dalam beriman dan bertauhid merasa
ringan untuk melakukan ketaatan-ketaatan. karena dia mengharapkan pahala dan
keridhoan Rabbnya. Baginya terasa ringan meninggalkan hawa nafsu yang berupa maksiat.
karena dia takut terhadap kemurkaan dan siksa Rabbnya.
Bila
tauhid sempurna dalam hati seseorang, Allah menjadikan pemiliknya mencintai
keimanan serta menghiasinya dalam hatinya. Selanjutnya Allah menjadikan
pemiliknya membenci kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Lalu Allah
memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang terbimbing.
Meringankan
segala kesulitan dan rasa sakit bagi seorang hamba. Semuanya itu sesuai dengan
penyempurnaan tauhid dan iman yang dilakukan oleh seorang hamba. Sesuai pula
dengan sikap seorang hamba saat menerima segala kesulitan dan rasa sakit dengan
hati yang lapang, jiwa yang tenang, pasrah dan ridho terhadap
ketentuan-ketentuan Allah yang menyakitkan.
Melepaskan
seorang hamba dari perbudakan, ketergantungan, rasa takut, pengharapan dan
beramal untuk makhluq. Inilah keagungan dan kemulian yang hakiki. Bersamaan
dengan itu dia hanya beribadah dan menghambakan diri kepada Allah. tidak
mengharap, takut dan kembali kecuali hanya kepada allah. Dengan demikian
sempurna keberuntungannya dan terbukti keberhasilannya. Ini termasuk keutamaan
tauhid yang paling besar.
Bila
tauhid sempurna dalam hati seseorang dan terealisasi lengkap dengan keikhlasan
yang sempurna, amalnya yang sedikit berubah menjadi banyak. Segenap amal dan ucapannya
berlipat ganda tanpa batas dan hitungan. Kalimat ikhlas (Lailaha illallah)
menjadi berat dalam timbangan amal hamba-Nya ini sehingga tak terimbangi oleh
langit-langit dan bumi beserta seluruh makhluq penghuninya. Perkara ini
sebagaimana tertera dalam hadits Abi Sa’id dan hadits tentang sebuah kartu yang
bertuliskan La ilaha ilallah tapi mampu mengalahkan berat timbangan sembilan
puluh sembilan gulungan catatan dosa dan setiap gulungan sejauh mata
memandang.
Yang
demikian karena keikhlasan orang yang mengucapkannya. Berapa banyak orang yang
mengucapkannya tetapi tidak mencapai prestasi ini. Sebab di dalam hatinya tidak
terdapat tauhid dan keikhlasan yang sempurna seperti atau mendekati yang
terdapat dalam hati hamba-Nya ini. Ini termasuk keutamaan tauhid yang tak bisa
tertandingi oleh sesuatu apapun.
Allah
menjamin kemenangan dan pertolongan di dunia, keagungan, kemuliaan, petunjuk,
kemudahan, perbaikan kondisi dan situasi, serta pelurusan ucapan dan perbuatan
bagi pemilik tauhid.
Allah
menghindarkan orang-orang yang bertauhid dan beriman dari keburukan-keburukan
dunia dan akherat. Allah menganugerahkan atas mereka kehidupan yang baik,
ketenangan kepada-Nya dan kenyamanan dengan mengingat-Nya.
Cukup
banyak dalil yang menguatkan keterangan-keterangan ini baik dari Al-Quran
maupun As-sunnah. Wallahu a’lam”
Dengan
demikian, rasanya cukup besar dan banyak keutamaan yang Allah limpahkan bagi
para hambanya yang bertauhid. Sangat beruntung orang yang bisa menggapai
seluruh keutamaannya. Namun keberhasilan total hanya milik orang-orang yang
mampu menyempurnakan tauhid dengan sepenuhnya. Tentunya manusia
bertingkat-tingkat dalam mewujudkan tauhid kepada Allah ta’ala. Mereka tidak
berada pada satu level. Masing-masing menggapai keutamaan tauhid sesuai dengan
prestasinya dalam menerapkan tauhid. Allah berfirman:
“Itulah keutamaan Allah, Dia berikan
kepada orang yang dikehendakinya. Dan Allah adalah dzat yang maha memliki
keutamaan yang besar.”(Al-Jumuah:4)
Merealisasikan Tauhid
Pembahasan
ini merupakan tema yang cukup menarik bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Tentunya orang yang beriman ingin membuktikan keimanannya.
Dengan demikian dia dinobatkan sebagai seorang mu’min sejati. Tidak ada jalan
untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid
kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah subhanahu wa ta’ala.
Merealisasikan
tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari
campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi.
Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar
yang dilakukan dengan terus menerus. Maka seorang yang berkemauan untuk
merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang
diutarakan tadi.
Merealisasikan
tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang
dimaksud yaitu mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyah, uluhiyyah, serta
nama dan sifat-Nya. Termasuk pula mentauhidkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam perkara mengikutinya. Pengertiannya adalah dia tidak mengikuti
kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disebut dengan
tauhid mutaba’ah.
Seorang
yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan tauhid dari
berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak disertai dengan bertaubat.
Ini merupakan bentuk realisasi ucapan tauhid La ilaha ilallah. Di samping itu
dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Ini merupakan bentuk
realisasi ucapan tauhid Muhammadur Rasulullah. Maka demikianlah makna
merealisasikan tauhid secara sempurna.
Di
samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang jelas
atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala
kebid’ahan dan dosa besar yang diperbuat dengan terus menerus tanpa bertaubat.
Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah dengan hawa
nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam memperbuat sebuah dosa besar.
(Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh
di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid).
Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan
tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
1.
Tingkat yang Wajib
Yaitu
seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya dari
berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan dengan
terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin
merealisasikan tauhid dengan sempurna.
2.
Tingkat yang Mustahab
Tingkat
ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab itu tingkat ini
lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang ingin menduduki
tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, keinginan, dan
tujuan yang menghadap kepada selain Allah. Sehingga dirinya tidak menghadap,
berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah sedikit pun dan sekecil apapun.
Maka hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi hamba Allah secara
total dan utuh.
Dengan
demikian, seorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagai
jenis kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Namun dia juga meninggalkan
perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang dikhawatirkan
menggiring kepada perkara harom. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama
dengan pernyataan “Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa
karena khawatir terdapat dosa di dalamnya”.
Tingkatan
kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna
dalam meraih derajat yang setingi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan
tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa adzab dan
perhitungan amal.
Tentunya
kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam mengibadahi Allah
subhanahu wat’ala. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah dengan
perkara-perkara yang wajib saja.
Beda
halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini peribadahan kepada Allah tidak
hanya sebatas dalam perkara-perkara yang wajib saja tetapi juga dalam
perkara-perkara yang mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtasid
sedangkan tingkatan kedua disebut dengan As-Saabiq bil Khairot. Wallahu a’lam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Profil Muwahhid Sejati
Allah
berfirman dalam Al-Quranul Karim,
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang berbuat syirik.” (QS.
An-Nahl: 120)
Di
sini Allah memberitakan tentang profil Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang
merealisasikan tauhidnya secara sempurna. Beliau adalah seorang pemimpin dan
teladan dalam kebaikan-kebaikan terutama perkara tauhid. Beliau adalah seorang
yang tunduk dan patuh kepada Allah dengan terus-menerus dalam seluruh situasi,
kondisi dan tempat.
Sifat
lain yang beliau miliki yaitu menghadapkan diri kepada Allah dengan sepenuhnya
tanpa berpaling sedikit pun kepada yang selain-Nya. Seluruh sifat beliau ini
merupakan hakikat penerapan tauhid yang sempurna kepada Allah subhanahu wa
ta’ala.
Pada
ayat di atas diterangkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari
golongan orang-orang yang berbuat syirik (musyrikin). Kandungan ayat ini
mencakup dua makna:
1.
Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara
fisik. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri, tidak bergabung dan
berkumpul bersama-sama kaum musyrikin dengan jasadnya.
2.
Bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak termasuk dari golongan musyrikin secara
sifat dan perilaku. Artinya beliau ‘alaihis salam berlepas diri dan tidak
melakukan kesyirikan sama sekali. Demikian pula beliau ‘alaihis salam tidak
mengikuti adat kebiasaan kaum musyrikin yang bergelimang dengan kebid’ahan dan
kemaksiatan di samping kesyirikan.
(Seluruh
keterangan yang lalu disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alus Syaikh di
kaset Kitabut Tauhid).
Pada
ayat di atas dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam disebut sebagai satu
umat padahal beliau sendirian. Maksudnya agar orang-orang yang menempuh jalan
tauhid tidak merasa ngeri karena jumlah penganutnya sedikit.
Selanjutnya
beliau ‘alaihis salam dikukuhkan oleh Allah sebagai seorang yang tunduk dan
patuh kepada-Nya. Berarti beliau ‘alaihis salam bukan seorang yang tunduk
kepada penguasa atau orang kaya yang punya harta dan yang selain mereka. Maka
tidak ada yang selain mereka.
Maka
tidak ada yang bisa menguasai beliau ‘alaihis salam selain Allah, baik dari
golongan para penguasa maupun para orang kaya yang punya harta dan yang selain
mereka. Beliau ‘alaihis salam tidak bisa dibelai dengan kekuasaan, harta atau
yang selainnya. Karena pendirian beliau ini Allah menyebutnya sebagai seorang
yang patuh dan tunduk kepada-Nya.
Berikutnya
beliau ‘alaihis salam disifatkan sebagai seorang yang hanif. Maksudnya beliau
‘alaihis salam seorang yang hanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari
yang selain-Nya tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri. Demikianlah Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab menjelaskan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim
‘alaihis salam sebagaimana pada ayat di atas.
Kriteria Orang-orang Yang Bertauhid
Allah
berfirman dalam Al-Qur’anul Karim, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati
karena takut akan (adzab) Rabb mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan
ayat-ayat Rabb mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb
mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka
akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.
“(Al-Mu’minun:57-61)
Ayat-ayat
di atas menyebutkan kriteria orang-orang yang beriman dan bertauhid dengan
baik.
Tentang
firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut
akan (adzab) Rabb mereka
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berbuat baik dan beramal shalih karena
takut terhadap Rabb mereka dan khawatir ditimpa oleh sesuatu yang mereka tidak
inginkan. Inilah kondisi seorang mukmin, berbuat kebaikan karena takut kepada
Allah dan khawatir tidak memperoleh apa yang mereka inginkan”.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah
menyatakan, “Seorang mu’min mengumpulkan antara perbuatan baik dan rasa takut
kepada Allah. Sedangkan seorang munafik mengumpulkan antara perbuatan jelek dan
rasa aman dari siksa Allah.”
Tentang
firman Allah, “Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka”
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
Perlu diketahui bahwa beriman dengan ayat-ayat Allah mencakup dua hal:
1.
Beriman dengan ayat Allah Al-Kauniyyah.
Maksudnya
beriman bahwa segala yang terjadi di alam ini dengan taqdir dan ketentuan
Allah.
2.
Beriman dengan ayat Allah Asy-Syar’iyyah.
Maksudnya
beriman kepada syariat yang Allah turunkan melalui Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Ayat
Allah Asy-Syar’iyyah mengandung tiga hal:
a.
Perintah Allah yang disyariatkan. Ini adalah perkara yang dicintai Allah.
b.
Larangan Allah yang disyari’atkan. Ini adalah perkara yang dibenci Allah.
c.
Kabar yang diberitakan oleh Allah dalam syari’at-Nya. Kabar ini adalah benar
dan tidak mungkin dusta sebab datangnya dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Tentang
firman Allah, “Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka
(sesuatu apapun)”
Perlu
diketahui bahwa tidak berbuat syirik yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna
yang menyeluruh dan mencakup semua jenisnya. Artinya tidak berbuat syirik besar
maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Ini adalah sifat seorang yang
merealisasikan tauhid secara sempurna.
Jika
dinyatakan “tidak berbuat syirik” sedikit pun, berarti terlepas pula dari
perbuatan bid’ah dan maksiat. Sebab berbuat bid’ah dan maksiat merupakan
realisasi menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan selain Allah. Inilah yang
disebut dengan syirik. Coba perhatikan firman Allah ta’ala, “Apakah engkau
tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah
(sesembahan)-nya”. (Al-Jatsiyah:23)
Wallahu
a’lam bishshawaab.
________________________
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/09/kewajiban-untuk-bertauhid.html