Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim yang baik tidak boleh
memiliki sangkaan buruk terhadap Allah dan juga tidak boleh mencaci-maki angin.
Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.
Larangan Mencaci-Maki Angin
Diriwayatkan
dari Ubay bin Ka’b bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: "Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu
melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdoalah: "Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon kepadaMu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang
terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami
berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di
dalamnya dan keburukan
apa yang diperintahkan kepadanya." [1]
apa yang diperintahkan kepadanya." [1]
Kandungan Bab Ini
- Dilarang mencaci-maki angin.
- Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat sesuatu yang tidak menyenangkan [ketika angin sedang bertiup].
- Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa angin mendapat perintah dari Allah. [Oleh karena itu, mencaci-maki angin berarti mencaci-maki Allah yang menciptakan dan memerintahkannya].
- Bahwa angin, kadangkala diperintahkan dengan sesuatu kebaikan dan kadangkala diperintahkan dengan sesuatu keburukan.
Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
“Mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka
berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam
urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di
tangan Allah". (Ali
Imran:154)
"Dan
supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk
terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan
Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka Neraka
Jahannam. Dan (Neraka Jahannam) itu-lah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath:6)
Ibnu
Al-Qayyim, dalam menafsirkan ayat pertama, mengatakan:
"Prasangka
ini ditafsirkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan memenangkan RasulNya dan
bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap; ditafsirkan pula bahwa apa yang
menimpa beliau bukanlah dengan takdir Allah dan hikmahNya.
Jadi,
prasangka tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu:
mengingkari
adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdirNya, dan mengingkari bahwa agama
yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan disempurnakan dan
dimenangkan Allah atas segala agama.
Inilah
prasangka buruk yang diperbuat oleh orang-orang munafik dan
musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.
musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.
Adapun
berbuatan ini disebut prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak
patut terhadap Allah ‘Azza wa Jalla; tidak patut terhadap hikmahNya, pujiNya
dan janjiNya yang benar. Karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah
akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang tetap, disertai
dengan lenyapnya kebenaran; atau mengingkari bahwa segala yang terjadi
dengan qadha’ dan qadar Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar
sekali dalam qadar-Nya, yang dengan demikian Allah berhak untuk dipuji; bahkan
mengira bahwa apa yang terjadi ini hanyalah sekedar kehendak saja tanpa hikmah;
maka inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail bagi orang-orang kafir
itu.
Kebanyakan
orang melakukan prasangka buruk terhadap Allah, baik dalam hal yang berkenaan
dengan diri mereka sendiri ataupun dalam hal yang berkaitan dengan orang lain.
Tidak ada yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu
akan Allah, Asma’ dan SifatNya, dan kepastian adanya hikmah serta keharusan
adanya puji bagi Allah sebagai konsekuensinya.
Maka
orang yang berakal dan cinta terhadap dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan
masalah ini dan bertobatlah kepada Allah serta memohon maghfirah-Nya atas
prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.
Apabila
Anda selidiki, siapa pun orangnya, niscaya akan Anda dapati pada dirinya suatu
sikap menyangkal dan mencemoohkan qadar (takdir) dengan mengatakan hal tersebut
semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit, ada juga yang banyak. Dan
silahkan periksa diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?
"Jika
Anda bebas dari sikap tersebut, selamatlah Anda dari suatu malapetaka besar.
Tapi, bila tidak, sungguh tak kukira bahwa Anda akan selamat."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran. [2]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Fath. [3]
- Disebutkan bahwa prasangka buruk banyak sekali macamnya.
- Diterangkan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang arif pada asma’ dan shifat Allah, serta arif pada dirinya sendiri.
Catatan Kaki
[1]
Hadits shahih menurut At-Tirmidzi.
[2]
Ayat pertama menunjukkan bahwa barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan
memberikan kemenangan yang terus-menerus kepada kebathilan disertai dengan
lenyapnya kebenaran, maka dia telah berprasangka yang tidak bernar kepada Allah
dan prasangka ini adalah prasangka orang-orang Jahiliyyah; menunjukkan pula
bahwa segala sesuatu ada di tangan Allah, terjadi dengan qadha dan qadar-Nya
serta pasti ada hikmahnya; dan menunjukkan bahwa berbaik sangka kepada Allah
adalah termasuk kewajiban tauhid.
[3]
Ayat kedua menunjukkan kewajiban berbaik sangka kepada Allah dan larangan
berprasangka buruk kepadaNya; dan menunjukkan bahwa prasangka buruk kepada
Allah adalah perbuatan orang-orang munafik dan musyrik mendapat ancaman siksa
yang sangat keras.
Sumber: http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/kitab-tauhid.html