Kata
Pengantar Penterjemah
Sebagai pembuka
pembahasan kitab tauhid, kami hadirkan terlebih dahulu pengantar dari
penterjemah buku ini. Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi
kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang
dilakukannya. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidlah -menurut tuntunan
Islam- yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan
kebahagiaan yang hakiki di alam Akhirat nanti. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
"Barang siapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)
Berdasarkan pada
pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, maka wajib bagi setiap
muslim untuk mempelajarinya. Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa
pencipta alam semesta ini Allah; bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional
tentang kebenaran wujud (keberadaan)-Nya dan wahdaniyah
(keesaan)-Nya; dan bukan pula sekedar mengenal asma’ dan shifat-Nya.
Iblis mempercayai
bahwa Tuhannya adalah Allah; bahkan mengakui ke-Esaan dan ke-Mahakuasaan Allah
dengan permintaannya kepada Allah melalui Asma’ dan Shifat-Nya. Kaum Jahiliyah
kuno yang dihadapi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga mayakini bahwa
Tuhan pencipta, pengatur pemelihara dan penguasa alam semesat ini adalah
Allah.[1]
Namun, kepercayaan
dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang
berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Dari sini lalu timbul
pertanyaan: "Apakah hakikat tauhid itu?"
Tauhid, ialah
permunian ibadah kepada Allah; yaitu menghambakan diri hanya kepada Allah
secara murni dan konsekuen, dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap, dan takut
kepada-Nya.
Untuk inilah
sebenarnya manusia itu diciptakan Allah. Dan sesungguhnya, misi para Rasul
adalah untuk menegakkan tauhid dalam pengertian tersebut, mulai dari Rasul
pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam[2].
Maka, buku yang di
hadapan pembaca ini mempunyai arti penting dan berharga sekali untuk mengetahui
hakikat tauhid dan kemudian menjadikannya pegangan hidup.
Buku ini ditulis oleh
seorang ulama’ yang giat dan tekun dalam kegiatan da’wah Islamiyah. Beliau
adalah Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dilahirkan di ‘Uyainah tahun 1115 H (1703 M)
dan meninggal di Dar’iyah (Saudi Arabia) pada tahun 1206 H (1792 M).
Keadaan umat Islam
-dengan berbagai bentuk amalan dan kepercayaan pada masa hidupnya- yang
menyimpang dari makna tauhid, telah mendorong Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
bersama para muridnya untuk melancarkan da’wah Islamiyah guna mengingatkan umat
agar kembali kepada tauhid yang murni. Maka untuk tujuan da’wahnya, beliau
menulis sejumlah kitab dan risalah, di antaranya:
- Kasyf Asy-Syubuhat
- Tafsir Al-Fatihah
- Tafsir Syahadah "An La Ilaaha Illallah"
- Kitab Al-Kabaair
- Ushul Al-Iman
- Fadhl Al-Islam
- Al-Masa’il al-Lati Khalafa fiha Rasulullah Ahlal Jahiliyah
- Adab Al-Masy-yi ila Ash-Shalah (‘Ala Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal)
- Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul
- Kitab At-Tauhid, Al-ladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Abid
Buku terakhir inilah
yang sekarang terjemahannya ada di tangan pembaca. Dan melalui buku ini, beliau
berusaha untuk menjelaskan hakekat tauhid dan penerapannya dalam kehidupan
seorang Muslim.
Dalam Bab 1, penulis
menjelaskan hakekat tauhid dan kedudukannya; dalam Bab 2 dan 3 menerangkan
keistimewaan tauhid dan pahala yang diperoleh darinya; dalam Bab 4 mengingatkan
agar takut terhadap perbuatan yang bertentangan dengan tauhid serta
membatalkannya (syirik akbar) atau perbuatan yang mengarungi kesempurnaan
tauhid (syirik Ashghar); dalam Bab 5 menjelaskan kewajiban berdakwah kepada
tauhid; dalam Bab 6 menjelaskan tafsiran tauhid dan syahadat "La ilaha
Illallah".
Upaya pemurnian
tauhid tidak akan tuntas hanya dengan menjelaskan makna tauhid, akan tetapi
harus dibarengi dengan penjelasan tentang hal-hal yang dapat merusak dan
menodai tauhid. Untuk itu, pada bab-bab berikutnya, penulis berusaha
menjelaskan berbagai macam bentuk tindakan dan perbuatan yang dapat membatalkan
atau mengurangi kesempurnaan tauhid dan menodai kemurniannya, yaitu apa yang
disebut syirik, baik syirik akbar maupun syirik ashghar, dan hal-hal yang tidak
termasuk syirik tetapi dilarang Islam karena menjurus dan bisa mengakibatkan
syirik, disertai pula dengan keterangan tentang latar belakang histories
timbulnya syirik.
Terakhir, penulis
menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan keagungan
dan kekuasaan Allah, untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang paling
berhak dengan segala bentuk ibadah yang dilakukan manusia dan Dia-lah Tuhan
yang memiliki segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan.
Satu hal yang unik
dalam metode pembahasan buku ini, bahwa penulis tidak menerangkan atau membahas
tauhid dengan cara yang lazim kita kenal dalam buku-buku masa kini. Pada setiap
bab, penulis hanya menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits serta
pendapat-pendapat ulama salaf, kemudian beliau menjabarkan bab-bab itu dengan
menyebutkan permasalahan-permasalahan penting yang terkandung dan tersirat dari
dalil-dalil tersebut.
Akan tetapi, justru
dengan demikian itulah, buku ini menjadi lebih penting, sebab pembahasannya
mengacu kepada Kitab dan Sunnah yang menjadi sumber hukum bagi umat Islam.
Mengingat amat ringkasnya beberapa permasalahan yang dijabarkan
oleh penulis, maka dengan memohon taufiq Allah, penerjemah memberikan
sedikit keterangan dan penjelasan dengan diapit oleh dua tanda kurung siku
"[..]" atau melalui catatan kaki.
Apa yang diharapkan
oleh penulis bukanlah sekedar mengerti dan memahami, tetapi lebih dari pada
itu, yaitu: suatu sikap dan pandangan hidup tauhidi yang tercermin dalam
keyakinan, tutur kata dan amalan. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita dalam
usaha mewujudkan ibadah kepada Allah dengan semurni-murninya.
Hanya kepada Allah
kita menghamba dan hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan. Semoga shalawat dan
salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para
sahabatnya.
______________________
Catatan
Kaki
[1] Lihat Al-Qur’an
38:82; 31:25; 23:84-89.
[2] Lihat Al-Qur’an
16:36; 21:25; 7:59,65,73,85 dll.
Tauhid,
[Hakikat Dan Kedudukannya]
Inilah
bab pertama dari pembahasan Kitab Tauhid. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah[1]
kepada-Ku"
(Adz-Dzariyat: 56)
"Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut [2] itu’." (An-Nahl:
36)
"Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan keduanya perkataan
‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’." (Al-Isra’: 23-24)
"Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun (berbuat
syirik) [3]."
(An-Nisaa’: 36)
"Katakanlah:
‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami
akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu sebab yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan
penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al-An’am: 151 –
153)
Ibnu
Mas’ud berkata: "Barangsiapa yang ingin melihat wasiat Muhammad
Shalallahu’alaihi wa sallam, yang tertera di atas cincin stempel milik beliau,
maka hendaklah ia membaca firman Allah "Katakanlah (Muhammad): ‘Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia …’ dan seterusnya, sampai pada firman-Nya:
"Dan (kubacakan): ‘Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus …’
dan seterusnya." [4]
Mu’adz
bin Jabal menuturkan,"Aku pernah diboncengkan Nabi Shalallahu’alaihi wa
sallam di atas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: ‘Hai Mu’adz,
tahukah kamu apa yang hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan hak
para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah?’ Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui. Beliaupun bersabda: ‘Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh
para hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat
syirik sedikitpun kepada-Nya. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi
Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik
sedikitpun kepada-Nya.’ Aku bertanya Ya rasulullah tidak perlukah aku
menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang? Beliau menjawab
‘Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka
nanti akan bersikap menyandarkan diri’." (Hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim dalam shahih mereka)
Catatan
Kaki
[1]
Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah dengan mentaati segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.
Dan
inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah menyerahkan diri kepada
Allah semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya
dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.
Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadah apabila diniati ikhlash, semata-mata karena Allah; dan mengikuti tuntunan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.
[2]
Thaghut ialah setiap yang digunakan -selain Allah- dengan disembah,
ditaati, atau dipatuhi; baik yang digunakan itu berupa batu, manusia, ataupun
setan.
Menjauhi
thaghut: mengingkarinya; membencinya; tidak mau menyembah dan memujanya baik
dalam bentuk dan dengan cara apapun.
[3]
Berbuat syirik, memperlakukan sesuatu -selain Allah- sama dengan
Allah dalam hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.
[4]
Atsar ini diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Al-Munzir dan Ibnu Abi Hatim.
Kandungan Bab Ini
- Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah
- Ibadah adalah hakekat tauhid, karena pertentangan yang terjadi [antara Rasulullah dengan kaum musyrikin] dalam masalah tauhid ini.
- Barangsiapa yang
belum melaksanakan tauhid ini, belumlah ia beribadah (menghamba) kepada
Allah. Di sinilah letak pengertian firman Allah:
"Dan kamu bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah." (Al-Kafirun: 3) - Hikmah diutusnya para rasul, [ialah untuk menyerukan tauhid dan melarang syirik]
- Pengutusan Rasul telah mencakup seluruh umat
- Bahwa ajaran / tuntunan para Nabi adalah satu [yaitu tauhid (pemurnian ibadah kepada Allah)]
- Masalah besar, yaitu bahwa ibadah kepada Allah tidak akan terwujud dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengingkari thaghut. Dan inilah pengertian firman Allah, "Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (Al-Baqarah: 256)
- Pengertian thaghut bersifat umum, meliputi setiap yang diagungkan selain Allah
- Ketiga ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-An’am menurut kaum Salaf, mempunyai kedudukan yang penting karena terkandung di dalamnya sepuluh masalah, yang pertama adalah larangan terhadap perbuatan syirik.
- Ayat-ayat muhkamat yang tersebut dalam surat Al-Isra’, mengandung delapan belas masalah, dimulai dengan firman Allah, "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)" (Al-Isra’: 22)
Dan
diakhiri dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang
lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam Neraka dalam
keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)." (al-Isra’:39)
Serta
Allah mengingatkan kepada kita akan pentingnya masalah-masalah ini dengan
firman-Nya, "Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan
kepadamu." (al-Isra’: 39)
- Ayat dalam surat An-Nisa’, disebutkan di dalamnya sepuluh hak, yang pertama yaitu sebagaimana firman Allah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (An-Nisa’: 36)
- Perlu diingat wasiat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di saat akhir hayat beliau
- Mengetahui hak Allah ‘Azza wa Jalla yang wajib kita laksanakan
- Mengetahui hak para hamba Allah yang pasti akan dipenuhi-Nya, apabila mereka melaksanakan hak-Nya terhadap mereka
- Bahwa masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar sahabat.[1]
- Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan masalah ini untuk maslahat
- Dianjurkan untuk menyampaikan kepada sesama muslim suatu berita yang menggembirakannya
- Rasulullah merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah Ta’ala.
- Jawaban orang yang ditanya sedangkan dia tidak tahu, adalah "Allah wa rasuluhu a’lam" (allah dan rasul-Nya lebih mengetahui)
- Boleh menyampaikan ilmu kepada orang-orang tertentu, tanpa yang lain.
- Kerendahan hati Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam karena ketika menunggang keledai, beliau shalallahu’alaihi wa sallam mau memboncengkan orang lain dibelakangnya
- Boleh memboncengkan seseorang di atas binatang, jika binatang itu kuat
- Keutamaan Mu’adz bin Jabal
- Bahwa tauhid mempunyai kedudukan yang sangat mendasar.
Catatan
Kaki
[1]
Tidak diketahui sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam menyuruh Mu’adz agar tidak memberitahukannya kepada
mereka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap
menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah sehingga tidak mau
berlomba-lomba mengerjakan amal shalih. Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan
masalah tersebut kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu,
di masa hidup Mu’adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.
Keistimewaan Tauhid Dan
Dosa-dosa Yang Diampuni Karenanya
Melanjutkan
kupas kitab dari Kitab Tauhid , tiba saatnya untuk membahas bab yang kedua.
Masih mengenai keutamaan tauhid. Silahkan menyimak.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman[1] mereka dengan kezhaliman
(syirik)[2], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-An’am:82)
‘Ubadah
bin Ash-Shamit, menuturkan; Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa
bersyahadat[3] bahwa tidak ada sesembahan yang hak
selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, dan rasul-Nya dan
kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh dari pada-Nya; dan
(bersyahadat pula bahwa) Surga adalah benar adanya dan Neraka adalah benar
adanya, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam Syurga betapapun amal yang
telah diperbuatnya." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula hadits dari ‘Itban, "Sesungguhnya Allah mengharamkan
kepada Neraka orang yang berkata, ‘La Ilaha illallah’ (Tiada sesembahan yang
hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat)
Wajah Allah."
Diriwayatkan
dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, "Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk
berdzikir dan berdo’a kepada-Mu.’ Allah berfirman ‘Katakan hai Musa, La Ilaha Illallah.’ Musa berkata lagi, ‘Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.’ Allah pun berfirman, ‘Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada daun timbangan, sedang "La Ilaha Illallah" diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka "La Ilaha Illallah" niscaya lebih berat timbangannya’." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadis ini shahih)
berdzikir dan berdo’a kepada-Mu.’ Allah berfirman ‘Katakan hai Musa, La Ilaha Illallah.’ Musa berkata lagi, ‘Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.’ Allah pun berfirman, ‘Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada daun timbangan, sedang "La Ilaha Illallah" diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka "La Ilaha Illallah" niscaya lebih berat timbangannya’." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadis ini shahih)
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits,
yang dinyatakan hasan, dari Anas Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Allah berfirman, ‘Hai anak
Adam, seandainya kamu dating kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan
kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun
kepada-Ku, niscaya akan
Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula’."
Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula’."
Setelah
membahas dalil-dalil yang menerangkan keistimewaan tauhid, penulis buku Kitab
Tauhid menyebutkan beberapa hal yang dapat diambil hikmahnya dari bab yang
kedua ini. Apa saja?
Kandungan Bab Ini
- Luasnya karunia Allah
- Banyaknya pahala tauhid di sisi Allah
- Selain itu, tauhid menghapuskan dosa-dosa
- Tafsiran ayat dalam surat Al-An’am [4]
- Perhatikan kelima masalah yang tersebut dalam hadits ‘Ubadah
- Apabila anda mempertemukan antara hadits ‘Ubadah, hadits ‘Itban dan hadits sesudahnya, akan jelas bagi anda pengertian "La ilaha illallah", dan akan jelas bagi anda kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya
- Perlu diingat persyaratan yang dinyatakan di dalam hadits ‘Itban, [yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
- Para nabi dan perlu diingatkan pula akan keistimewaan "La ilaha illallah"
- Bahwa "La ilaha illallah" berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak di antara orang yang mengucapkan kalimat tersebut ringan timbangannya
- Dinyatakan bahwa bumi itu tujuh, seperti halnya langit
- Langit dan bumi ada penghuninya
- Menetapkan sifat-sifat Allah, berbeda dengan pendapat Asy’ariyah. [5]
- Apabila anda memahami hadits Anas, anda akan tahu bahwa sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ‘Itban maksudnya adalah dengan tidak melakukan perbuatan syirik sedikitpun, bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja
- Perhatikanlah perpaduan sebutan sebagai hamba Allah dan rasul-Nya dalam pribadi Nabi ‘Isa ‘Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam
- Mengetahui keistimewaan Nabi ‘Isa sebagi kalimat Allah
- Mengetahui bahwa Nabi ‘Isa adalah ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan Allah
- Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya Surga dan Neraka
- Mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam "betapapun amal yang telah diperbuatnya."
- Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun
- Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah
Catatan
Kaki
[1] Iman ialah
ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan
niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam.
[2]
Syirik disebut kezhaliman, karena syirik adalah perbuatan menempatkan sesuatu
ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
[3] Syahadat ialah
persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa
yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
[4]
Ayat ini menunjukkan keistimewaan tauhid dan keuntungan yang diperoleh darinya
dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan menunjukkan pula bahwa syirik adalah
perbuatan zhalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu akbar (besar),
atau mengurangi iman jika syirik itu ashghar (kecil).
[5]
Asy’ariyah adalah suatu aliran teologis, pengikut Syaikh Abdul
Hasan ‘Ali bin Ismail Al-Asy’ari (260 – 324H = 847 – 936M).
Dan
maksud penulis di sini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan, ialah
kebenaran Wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum Salaf Shalih
dalam masalah ini, yaitu: mengimani kebenaran sifat-sifat Allah yang dituturkan
oleh Al-Qur’an dan sunnah tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil (lihat
keempat istilah ini pada kupas kitab Syarh Aqidah Wasithiyah -red vbaitullah.or.id).
Adapun
Asy’ariyah dalam masalah sifat yang seperti ini, sebagian mereka ada yang
menta’wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna
sebenarnya) dengan dalih bahwa hal tersebut apabila tidak dita’wilkan bisa
menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Akan tetapi, perlu
diketahui, bahwa syaikh Abdul Hasan Al-Asy’ari sendiri dalam masalah ini telah
menyatakan berpegang teguh dengan madzhab Salaf Shalih, sebagaimana beliau
nyatakan dalam kitab yang
ditulis di akhir masa hidupnya, Al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, editor: Abdul Qadir Al-Arna’uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401H), bahkan dalam karya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta’wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.
ditulis di akhir masa hidupnya, Al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, editor: Abdul Qadir Al-Arna’uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401H), bahkan dalam karya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta’wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.
Barangsiapa Mengamalkan
Tauhid Dengan Semurni-murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab (1/2)
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis masih ingin memupuk
motivasi para pembaca dengan mengulas keutamaan-keutamaan tauhid dan para
pelakunya seperti pada bab-bab sebelumnya. Keutamaan-keutamaan ini hanya
dicapai oleh orang yang mengamalkan tauhid dengan benar dan murni (tanpa
syirik). Nah, siapa yang ingin masuk Surga tanpa hisab? Berikut penjelasannya.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada
Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (Tuhan)." (An-Nahl:120)
“Dan
Orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu
apapun)."
(Al-Mu’minun: 59)
Hushain
bin ‘Abdurrahman menuturkan, "Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin
Jubair, lalu ia bertanya, ‘Siapakah di antara kalian melihat bintang yang jatuh
semalam?’ Aku pun menjawab, ‘Aku’. Kemudian kataku: ‘Ketahuilah, sesungguhnya
aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan
kalajengking.’ Ia bertanya, ‘Lalu apa yang kamu perbuat?’ Jawabku, ‘Aku meminta
ruqyah[1] Ia bertanya lagi, ‘Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal
itu?’ Jawabku, ‘Yaitu sebuah hadits yang dituturkan oleh Sy-Sya’bi kepada
kami.’ Ia bertanya lagi, ‘Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu?’
Kataku, ‘Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah bin Al-Husaib:
"Tidak dibenarkan melakukan ruqyah kecuali karena ‘ain[2] atau karena
sengatan"
Sa’id pun berkata, ‘Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi Ibnu ‘Abbas menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, "Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi dan tak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; aku pun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya.’ Lalu, tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan
kepadaku, ‘Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk Surga tanpa hisap dan tanpa adzab.’
Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada di antara mereka yang berkata ‘Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah. Ada lagi yang berkata ‘Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat syirik sedikit pun juga kepada Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara lain. Ketika Rasulullah keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur[3] dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka."
Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.’ Beliau menjawab, "Kamu termasuk golongan mereka." Kemudian berdiri seorang yang lain dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.’ Beliau menjawab, "Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah"[4]
Catatan
Kaki
[1]
Ruqyah maksudnya di sini adalah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat
Al-Qur’an atau do’a-do’a (yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam)
Al-Qur’an atau do’a-do’a (yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam)
[2]
‘Ain yaitu pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang
melalui matanya; disebut juga kena mata.
[3]
Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau meramal nasib
buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
[4]
Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Barangsiapa Mengamalkan
Tauhid Dengan Semurni-murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab (2/2)
Setelah
mengetahui dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, penulis memberikan
butir-butir penjelasan yang terdapat dalam bab ini. Penjelas bagi hadits yang
sekilas Nampak bertentangan.
Kandungan Bab Ini
- Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam tauhid
- Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya
- Sanjungan Allah kepada Nabi Ibrahim, karena sama sekali tidak pernah termasuk orang yang berbuat syirik kepad Allah
- Sanjungan Allah kepada para tokoh wali (Sahabat Rasulullah), karena bersihnya diri mereka dari perbuatan syirik
- Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni
- Bertawakkal kepada Allah adalah sifat yang mendasari sikap tersebut
- Dalamnya ilmu para sahabat, karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian itu kecuali dengan amal
- Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba delam mengerjakan amal kebaikan
- Keistimewaan umat Islam, dengan kuantitas dan kualitas
- Keutamaan pengikut Nabi Musa
- Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
- Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama Nabinya
- Bahwa sedikit orang yang mengikuti seruan para Nabi
- Nabi yang tidak mempunyai pengikut, datang sendirian pada hari Kiamat
- Buah dari pengetahuan ini adalah; tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak merasa kecil dengan jumlah yang sedikit
- Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ‘ain atau sengatan
- Dalamnya pengertian kaum Salaf, dapat dipahami dari kata-kata Sa’id bin Jubair, "Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang ia dengarnya; tetapi …" dan seterusnya. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits pertama tidak bertentangan dengan hadits yang kedua
- Kemudian sifat kaum Salaf karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat-buat
- Sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam "Kamu termasuk golongan mereka", adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau
- Keutamaan ‘Ukasyah
- Penggunaan kata sindiran [5]
- Keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Catatan
Kaki
[5]
Karena beliau shalallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada seorang yang lain: "Kamu
sudah kedahuluan ‘Ukasyah", dan tidak bersabda kepadanya, "Kamu
tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka."
Da’wah Kepada Syahadat
"La Ilaha Illallah"
Setelah
dalam beberapa bab penulis Kitab Tauhid memotivasi para pembaca untuk
menghayati inti ajaran Islam dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan tauhid
serta betapa bahayanya syirik, maka penulis melanjutkan kepada pembahasan inti.
Beliau memulainya dengan pengenalan syahadat yang pertama yaitu "La Ilaha
Illallah".
Firman
Allah Ta’ala:
"Katakanlah,
‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik’." (Yusuf: 108)
Ibnu
Abbas menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala mengutus
Mu’adz ke Yaman, bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya, "Sungguh,
kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali da’wah
yang kamu sampaikan kepada mereka adalah syahadat ‘La ilaha illallah’ -dalam
riwayat lain disebutkan ‘Supaya mereka mentauhidkan Allah’ – Jika mereka telah
mematuhi apa yang kamu da’wahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka
telah mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka sampaikanlah kepada
mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang
kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Dan jika mereka
telah mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka jauhkanlah dirimu dari harta
pilihan mereka, dan jagalah dirimu dari do’a orang mazhlum (yang teraniaya),
karena sesungguhnya tiada suatu tabir penghalang pun antara doanya dan
Allah." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula dari Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam semasa perang Khaibar bersabda, "Demi Allah, niscaya akan
kuserahkan bendera (komando perang) itu besok hari kepada orang yang mencintai
Allah serta rasul-Nya dan dia dicintai Allah serta rasul-Nya; semoga Allah
menganugerahkan kemenangan melalui tangannya." Maka semalam suntuk
orang-orang memperbincangkan siapakah diantara mereka yang akan diserahi
bendera tersebut itu. Pagi harinya, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam, masing-masing berharap untuk diserahi bendera tersebut. Lalu
bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam, "Di mana ‘Ali bin Abu
Thalib?" Dijawab, "Dia sakit kedua belah matanya." Mereka pun
mengutus seorang utusan kepadanya dan didatangkanlah dia. Lantas Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam meludah kepada kedua belah matanya dan berdo’a
untuknya, seketika itu dia sembuh seakan-akan tidak pernah terkena
penyakit. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera
dan bersabda, "Melangkahlah ke depan dengan tenang sampai kamu tiba di
tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam[1] dan sampaikanlah kepada
mereka hak Allah Ta’ala dalam Islam yang wajib mereka laksanakan. Demi Allah,
bila Allah memberi petunjuk satu orang lewat dirimu, benar-benar (hal itu)
lebih baik (berharga) bagimu dari pada unta-unta merah."[2]
Kandungan Bab Ini
- Da’wah kepada syahadat "La ilaha illallah"adalah pandangan hidup bagi orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
- Diingatkan dalam bab ini supaya ikhlas [dalam berda'wah] semata-mata karena Allah], karena kebanyakan orang kalau mengajak kepada kebenaran justru ia mengajak kepada [kepentingan] dirinya sendiri.
- Mengerti betul dan yakin akan apa yang dida’wahkan adalah termasuk kewajiban
- Termasuk bukti kebaikan tauhid, bahwa tauhid adalah mengagungkan Allah
- Dan di antara keburukan syirik, bahwa syirik adalah merendahkan Allah
- Termasuk masalah yang sangat penting, bahwa seorang muslim perlu dijauhkan dari lingkungan orang-orang yang berbuat syirik, supaya nanti tidak menjadi seperti mereka, sekalipun dia belum melakukan syirik
- Tauhid adalah kewajiban pertama
- Tauhid adalah yang pertama kali harus dida’wahkan sebelum semua kewajiban yang lain, termasuk kewajiban shalat
- Pengertian "Supaya mereka mentauhidkan Allah" adalah pengertian syahadat
- Seorang bisa jadi termasuk Ahlul Kitab, akan tetapi dia tidak tau pengertian "La ilaha illallah" yang sebenarnya; atau mengetahuinya tetapi tidak mengamalkannya
- Perlu diperhatikan metode pengajaran secara bertahap
- Yaitu dimulai dari masalah yang paling penting, kemudian penting dan begitu seterusnya
- Salah satu sasaran pembagian zakat adalah orang-orang fakir
- Orang yang berilmu supaya menjelaskan sesuatu yang masih diragukan oleh orang yang sedang belajar
- Berkenaan dengan zakat, dilarang untuk mengambil harta pilihan (termahal harganya)
- Supaya menjaga diri dari tindakan zhalim terhadap seseorang
- Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa do’a orang yang mazhlum (teraniaya) dikabulkan Allah
- Di antara bukti-bukti tauhid adalah hal-hal yang dialami oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat seperti kesulitan, kelaparan dan wabah penyakit
- Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Demi Allah, niscaya akan kuserahkan bendera (komando perang) ini …" dan seterusnya adalah salah satu tanda-tanda kenabian beliau
- Sembuhnya kedua belah mata ‘Ali bin Abi Thalib setelah diludahi oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, termasuk pula dari tanda kenabian beliau
- Keutamaan ‘Ali
- Keistimewaan para sahabat, [karena hasrat mereka yang besar sekali dalam kebaikan dan sikap mereka yang senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shalih]. Ini dapat dilihat pada perbincangan mereka di malam [menjelang perang Khaibar, tentang siapakah di antara mereka yang akan diserahi bendera komando perang, masing-masing mereka menginginkan agar dirinyalah yang menjadi orang yang memperoleh kehormatan itu.]
- Iman kepada qadar, karena bendera komando tersebut tidak diserahkan kepada orang yang sudah berusaha, malah diserahkan kepada orang yang tidak berusaha untuk memperolehnya
- Etika di dalam jihad, sebagaimana terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Melangkahlah ke depan dengan tenang …"
- Disyariatkan untuk berda’wah (mengajak) kepada Islam, sebelum perang
- Syariat ini berlaku pula terhadap mereka yang sudah pernah dida’wahi dan diperangi sebelumnya
- Da’wah dengan cara yang bijaksana, sebagaimana diisyaratkan dalam sabda beliau, "… dan sampaikanlah mereka hak Allah Ta’ala dalam Islam yang wajib mereka laksanakan."
- Mengetahui hak Allah dalam Islam.[3]
- Kemuliaan da’wah dan pahala bagi seorang da’i yang bisa memasukkan satu orang saja ke dalam Islam
- Boleh bersumpah di dalam menyampaikan petunjuk
Catatan
Kaki
[1]
Ajaklah mereka kepada Islam, yaitu kepada pengertian yang sebenarnya dari dua
kalimat syahadat, ialah berserah diri kepada Allah, lahir dan batin dengan
mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang sidampaikan
melalui rasul-Nya.
[2]
Unta-unta merah adalah harta kekayaan yang sangat berharga dan menjadi
kebanggaan orang Arab pada masa itu.
[3]
Hak Allah dalam Islam yang wajib dilaksanakan ialah seperti shalat, zakat,
shiyam, haji dan kewajiban lainnya.
Takut
Kepada Syirik
Pada
bab berikutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis memulai menguatkan
motivasi para pembaca dengan menggambarkan bahayanya syirik kepada Allah.
Dengan menyadari akan besarnya bahaya ini, maka hendaknya kita semua sebagai
muslim tidak menganggap enteng masalah ini. Mari kita murnikan tauhid dan
menjauhi syirik. Temukan alasannya kenapa kita harus takut terhadap syirik.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa’: 48,
116)
"…
dan jauhkanlah aku serta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (Ibrahim: 35)
Diriwayatkan
dalam suatu hadits, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Sesuatu
yang paling aku khawatirkan kepada kamu sekalian adalah perbuatan syirik
kecil." Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab, "Yaitu
riya’." [1]
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa
mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah, masuklah ia ke dalam
Neraka." (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Muslim
meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik
kepada-Nya sedikit pun, pasti masuk Surga; tetapi barangsiapa menemu-Nya (mati)
dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk Neraka."
Kandungan Bab Ini
- Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi
- Riya’ termasuk perbuatan syirik
- Riya’ termasuk syirik ashgar (kecil)[2]
- Syirik ashghar ini adalah perbuatan dosa yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap para sahabat padahal mereka itu adalah orang-orang shalih
- Surga dan Neraka adalah dekat
- Dekatnya Surga dan Neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits
- Barangsiapa mati
dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.pasti masuk
Surga. Tetapi barangsiapa mati dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya,
pasti masuk Neraka, sekalipun dia termasuk orang yang
paling banyak ibadahnya - Masalah penting, yaitu bahwa Nabi Ibrahim memohonkan kepada Allah untuk diri dan anak cucunya supaya dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala
- Nabi Ibrahim mengambil pelajaran dari keadaan sebagian besar manusia, yaitu bahwa mereka itu adalah sebagaimana kata beliau, "Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia …" (Ibrahim: 36)
- Bab ini mengandung tafsiran kalimat "La ilaha illallah",,sebagaimana dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari, [yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah]
- Keutamaan orang yang dirinya bersih dari syirik
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat Imam Ahmad, Ath-Thabrani, Ibnu Abid-Dunya dan Al-Baihaqi
dalam kitab Az-Zuhd.
[2]
Syirik ada dua macam,
Syirik akbar
yaitu
memperlakukan sesuatu selain Allah sama dengan Allah, dalam hal-hal yang
merupakan hak khusus bagi-Nya
Syirik ashghar
yaitu
perbuatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai suatu syirik
tetapi belum sampai ke tingkat syirik akbar.
Adapun
perbedaannya adalah,
1.
Syirik akbar menghapus seluruh amal, sedangkan syirik ashghar hanya menghapus
amal yang disertainya saja
2.
Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan syirik
ashghar tidak sampai demikian
3.
Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik ashghar
tidak menyebabkan keluar dari Islam.
Termasuk Syirik: Memakai
Gelang, Benang Dan Sejenisnya Sebagai Pengusir Atau Penangkal Mara Bahaya
Masih
pada pembahasan Kitab Tauhid, dalam bab ini, penulis hendak menerangkan lebih
lanjut pengertian "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah"
dengan menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengannya, yaitu syirik dan
macam-macamnya, baik yang besar maupun yang kecil, karena dengan mengenal
syirik sebagai lawan tauhid akan menjadi sangat jelas pengertian yang benar
mengenai "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah"
"
Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain
Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah
hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’
Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nya lah bertawakkal orang-orang
yang berserah diri." (Az-Zumar:38)
‘Imran
bin Hushain menuturkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat seorang
laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan, maka beliau bertanya, "Apakah
ini?" Orang itu menjawab, "Penangkal sakit." Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, "Lepaskan itu, karena dia hanya
menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih
ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya." (Hadits
riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang bisa diterima)
Dalam
riwayat Imam Ahmad pula dari ‘Uqbah bin ‘Amir dalam hadits marfu’, "Barangsiapa
menggantungkan tamimah[2], semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya; dan
barangsiapa yang menggantungkan wada’ah [3], semoga Allah tidak memberikan
ketenangan pada dirinya." Disebutkan dalam riwayat lain, "Barangsiapa
menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik."
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Hufaidzah, bahwa ia melihat seorang laki-laki di
tangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu
seraya membaca firman Allah, "Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain). " (Yusuf: 106)
Kandungan Bab Ini
- Dilarang keras memakai gelang, benang dan sejenisnya untuk maksud-maksud seperti tersebut di atas
- Dinyatakan bahwa sahabat tadi apabila mati, sedangkan gelang (atau sejenisnya) itu masih melekat pada tubuhnya, dia tidak akan beruntung. Ini menunjukkan kebenaran pernyataan para sahabat bahwa "Syirik ashghar lebih berat daripada perbuatan dosa besar."
- Syirik tidak dapat dimaafkan dengan alasan karena tidak mengerti
- Gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menolak atau mengusir suatu penyakit, bahkan berbahaya; karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,"… karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu."
- Mengingkari dengan keras terhadap orang yang melakukan perbuatan seperti itu
- Dijelaskan bahwa orang yang menggantungkan sesuatu barang untuk maksud-maksud seperti di atas, Allah akan menjadikan dirinya menghandalkan barang itu
- Dinyatakan bahwa orang yang menggantungkan tamimah telah melakukan perbuatan syirik
- Mengikatkan benang pada tubuh untuk mengobati sakit panas termasuk syirik
- Pembacaan ayat tersebut yang dilakukan oleh Hudzaifah, menunjukkan bahwa para sahabat menggunakan ayat-ayat yang berkenaan dengan syirik akbar sebagai dalil untuk syirik ashghar, sebagaimana tafsiran yang disebutkan Ibnu ‘Abbas dalam salah satu ayat dari surat Al-Baqarah.
- Menggantungkan wada’ah sebagai penangkal atas pengusir ‘ain termasuk pula syirik
- Orang yang menggantungkan tamimah didoakan semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya; dan orang yang menggantungkan wada’ah didoakan semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.
Catatan
Kaki
[1]
Dimulai dengan bab ini, penulis hendak menerangkan lebih lanjut pengertian
"Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah" dengan
menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengannya, yaitu syirik dan
macam-macamnya, baik akbar maupun ashghar, karena dengan mengenal syirik
sebagai lawan tauhid akan jelas sekali pengertian yang sebenarnya dari
"Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah".
[2]
Tamimah, sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak
sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan rasa
dengki seseorang dan lain lagi sebagainya.
[3]
Wa’adah sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah
kerang; menurut anggapan orang-orang jahiliyah dapat digunakan sebagai
penangkal penyakit. Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.
Tafsiran "Tauhid"
dan Syahadat "La Ilaha Illallah"
Memasuki
pembahasan berikutnya dari Kitab Tauhid, penulis menjelaskan pengertian tauhid
dan syahadat "La Ilaha Illallah" setelah sebelumnya menjelaskan
mengenalkan syahadat tersebut. Dalil-dalil serta hikmah-hikmah apa saja yang
disajikan penulis dalam bab ini?
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti."
(Al-Isra’: 57)
"Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku
tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah)
Tuhan Yang Menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah
kepadaku’."
(Az-Zukhruf:26-27)
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-aubah:31)
"Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)
Diriwayatkan
dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda,"Barangsiapa yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dan mengingkari
sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab
(perhitungan) nya adalah terserah kepada Allah."
Kandungan Bab Ini
Keterangan
bab ini adalah pada bab-bab berikutnya. Adapun kandungan bab ini menyangkut
masalah yang paling besar dan paling mendasar, yaitu tafsiran
"Tauhid" dan tafsiran "Syahadat".
Masalah
tersebut telah diterangkan dalam bab ini dengan beberapa hal yang cukup jelas,
antara lain:
- Ayat dalam surat Al-Isra’. Diterangkan dalam ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang berdo’a (meminta) kepada orang-orang shalih. Maka, ayat ini mengandung suatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu adalah syirik akbar [1]
- Ayat dalam surat Bara’ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini bahwa kaum ahli kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada satu sembahan, yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan maksudnya adalah bukan ahli kitab itu menyembah mereka [2]
- Kata-kata
Al-Khalil Ibrahim kepada orang-orang kafir, "Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja
Tuhan yang telah menciptakan aku …"
Di sini beliau mengecualikan Allah dari segala sesembahan. Pembebasan diri (dari segala sesembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada sembahan yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat "La ilaha illallah". Allah berfirman, "Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu." (Az-Zukhruf: 28)
- Ayat dalam surat Al-Baqarah berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya, "Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api Neraka." (Al-Baqarah: 167)
Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka ini belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam.
Lalu, bagaimana dengan orang yang mencintai sembahannya lebih besar daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak mencintai Allah?
- Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam "Barangsiapa mengucapkan "La ilaha illallah" dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedangkan hisab (perhitungan) nya adalah terserah kepada Allah."
Ini adalah termasuk hal yang terpenting yang menjelaskan pengertian "La ilaha illallah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat "La ilaha illallah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan juga karena tidak meminta kecuali kepada Allah saja. Yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi, tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat "La ilaha illallah" itu dengan pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.
Sungguh, betapa agung dan penting tafsiran "Tauhid" dan syahadat "La ilaha illallah" yang terkandung dalam hadits ini, betapa jelas keterangan yang dikemukakannya dan betapa mematikan hujjah yang diajukan bagi orang yang menentang.
Catatan
Kaki
[1]
Dapat diambil kesimpulan dari ayat dalam surah Al-Isra’ tersebut bahwa tafsiran
tauhid dan syahadat "La ilaha illallah" yaitu: meninggalkan apa yang
diamalkan kaum musyrikin seperti menyeru (memohon) kepada orang-orang shalih
dan meminta syafa’at kepada mereka.
[2]
Dapat diambil kesimpulan dari ayat dalam surat Bara’ah (At-Taubah) tersebut
bahwa tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "La ilaha illallah"
yaitu pemurnian ketaatan kepada Allah, dengan menghalalkan apa yang dihalalkan
Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.
Tentang
Ruqyah dan Tamimah
Memasuki
pembahasan berikutnya, penulis menjelaskan pengertian ruqyah dan tamimah.
Bagaimanakah pemahaman yang benar tentang kedua hal ini? Apa hikmah yang dapat
diambil dari bab ini?
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Basyir Al-Anshari
bahwa dia pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam salah
satu perjalanan beliau, lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk
memaklumkan):”Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali
busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan”
Ibnu
Mas’ud menuturkan, Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah syirik.” (Hadits
riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Tamimah [1]:
sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak
‘ain. tetapi, apabila yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat suci
Al-Qur’an, sebagian Salaf memberikan keringanan dalam hal ini; dan sebagian
yang lain tidak mempebolehkan dan memandangnya termasuk hal yang dilarang, di
antaranya Ibnu Mas’ud
Ruqyah [2]: yaitu yang disebut juga ‘azimah. Ini khusus
diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memberi keringanan dalam hal
ruqyah ini untuk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking
Tiwalah: sesuatu
yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membuat seorang isteri
mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai isterinya.
Hadits
marfu’ diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim,“Barangsiapa menggantungkan
sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat
melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada
barang tersebut.”(Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi)
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’, katanya, “Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam telah bersabda kepadaku, ‘Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang;
untuk itu, sampaikan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang menggelung
jenggotnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja’ dengan
kotoran binatang ataupun dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad lepas dari
orang itu’.”
Waki’
meriwayatkan bahwa Sa’d bin Jubair berkata, “Barangsiapa memutus suatu
Tamimah dari seorang, maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang
budak.”
Dan
Waki’ meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An-Nakha’i) berkata, “Mereka (para
sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud) membenci segala jenis tamimah, baik dari
ayat-ayat Al-Qur’an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur’an.”
Kandungan
Bab Ini
- Pengertian ruqyah dan tamimah
- Pengertian tiwalah
- Bahwa ketiga jenis ini semuanya, tanpa terkecuali, termasuk syirik
- Adapun ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau doa-doa yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengobati ‘ain atau sengatan, tidak termasuk hal tersebut
- Jika tamimah itu dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat, apakah termasuk hal tersebut (syirik) atau tidak?
- Mengalungkan tali busur panah pada leher binatang untuk menangkal atau mengusir ‘ain termasuk pula syirik
- Ancaman berat bagi orang yang mengenakan kalung dari tali busur panah
- Keistimewaan pahala bagi orang yang memutuskan tamimah dari tubuh seseorang
- Kata-kata Ibrahim An-Nakha’i tersebut di atas tidaklah bertentangan dengan perbedaan pendapat yang telah disebutkan, karena yang dimaksud Ibrahim adalah para sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud.[3]
Catatan
Kaki
[1]
Tamimah dari ayat suci atau hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lebih baik
ditinggalkan karena tidak ada dasarnya dari syara’; bahkan hadits yang
melarangnya bersifat umum, tidak seperti halnya ruqyah, ada hadits lain yang
memperbolehkan. Di samping itu apabila dibiarkan atau diperbolehkan akan
membuka peluang untuk menggunakan tamimah yang haram.
[2]
Ruqyah, Penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an atau doa-doa dari As-Sunnah
[3]
Sahabat-sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud antara lain Alqamah, Al-Aswad, Abu Wa’il,
Al-Harits bin Suwaid, ‘Ubadah As-Salmani, Masruq, Ar-Rabi’ bin Khaitsam, Suwaid
bin Ghaflah. Mereka ini adalah tokoh generasi Tabi’in (generasi setelah sahabat
Nabi).
Mereka Yang Mengharapkan
Berkah Kepada Pohon, Batu Dan Sejenisnya
Dalam
bab ini, penulis hendak menjelaskan secara khusus orang-orang yang suka
mengharap berkah kepada sesuatu selain Allah. Penulis ingin menunjukkan bahwa
hal-hal semacam itu dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana bunyi
serta penjelasan dalil-dalilnya?
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka
apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan al-Uzza dan
Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm:
19 – 23)
Abu
Waqid Al-Laitsi menuturkan,
“Suatu
saat kami sedang pergi kaluar bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk
Islam). Ketika itu orang-orang musyrik mempunyai batang pohon bidara yang
disebut Dzat Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan
senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang
pohon bidara, kami pun berkata, ‘Ya rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzat
Anwath sebagaimana mereka itu mempunyai Dzat Anwath.’ Maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,“Allahu Akbar! Itulah tradisi
(orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di
Tangan-Nya, kamu belum benar-benar mengatakan suatu perkataan seperti yang
dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa (‘Buatkanlah untuk kami sesembahan
sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan.’ Musa menjawab: ‘Sungguh,
kamu adalah kaum yang tidak mengerti’). Pasti kamu akan mengikuti tradisi
orang-orang sebelum kamu.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan dinyatakannya shahih)
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah An-Najm [1].
- Mengetahui bentuk permintaan mereka
- Bahwa mereka belum melakukan apa yang mereka minta itu
- Dan maksud mereka dengan permintaan itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena mereka beranggapan bahwa Allah menyenanginya
- Apabila mereka tidak mengerti hal ini, maka selain mereka lebih tidak mengerti lagi
- Mereka memiliki kebaikan-kebaikan dan jaminan maghfirah yang tidak dimiliki oleh orang-orang selain mereka
- Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menerima alasan mereka, bahkan beliau shallallahu’alaihi wa sallam menyangkal mereka dengan bersabda, “Allahu akbar! Itulah tradisi orang-orang sebelum kamu. Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.” Beliau bersikap keras terhadap permintaan mereka itu dengan ketiga kalimat ini
- Permasalahan penting, dan inilah yang dimaksud, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberi tahu bahwa permintaan mereka itu seperti permintaan Bani Israil tatkala mereka berkata kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan.”
- Pengingkaran terhadap hal tersebut adalah termasuk di antara pengertian “La ilaha illallah” yang sebenarnya. Dan ini belum dimengerti dan dipahami oleh mereka yang baru masuk Islam itu
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menggunakan sumpah dalam menyampaikan petunjuknya, dan beliau tidak berbuat demikian kecuali untuk suatu maslahat
- Bahwa syirik ada yang akbar dan ada pula yang ashghar, karena mereka tidak menjadi murtad dengan permintaan mereka itu.
- Kata-kata Abu Waqid Al-Laitsi, “… sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam) …” menunjukkan bahwa para sahabat selain mereka mengerti bahwa perbuatan mereka termasuk syirik
- Bertakbir ketika merasa heran atau mendengar sesuatu yang tidak patut diucapkan dalam agama, berlainan dengan pendapat orang yang menyatakannya makruh
- Harus ditutup segala pintu menuju perbuatan syirik
- Dilarang meniru atau melakukan sesuatu perbuatan yang menyerupai perbuatan-perbuatan jahiliyah
- Boleh marah ketika menyampai pelajaran
- Kaidah umum, bahwa di antara umat ini ada yang melakukan perbuatan syirik dan mengikuti tradisi-tradisi umat sebelumnya; berdasarkan sabda beliau, “Itulah tradisi orang-orang sebelum kamu …”
- Ini adalah salah satu dari tanda kenabian, karena terjadi sebagaimana yang beliau beritakan
- Celaan yang ditunjukkan Allah kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang terdapat dalam Al-Qur’an, berlaku pula untuk kita
- Menurut mereka (para sahabat) sudah menjadi ketentuan bahwa amalan-amalan ibadah harus berdasarkan pada perintah Allah, [bukan mengikuti keinginan, pikiran atau hawa nafsu sendiri]. Dengan demikian, hadits tersebut di atas mengandung isyarat tentang hal-hal yang akan dinyatakan kepada manusia dialam kubur.
Adapun
“Siapakah Tuhanmu?”, sudah jelas; sedangkan “Siapakah Nabimu?”, berdasarkan keterangan
masalah-masalah ghaib yang beliau beritakan akan terjadi; dan “Apa agamamu?”
Berdasarkan ucapan mereka , “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana
mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan …” dst
- Tradisi Ahli Kitab itu tercela, seperti halnya tradisi kaum musyrikin
- Bahwa orang yang baru saja pindah dari tradisi bathil yang sudah menjadi kebiasaan dirinya, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa dirinya terbebas dari sisa-sisa tradisi tersebut; sebagai buktinya mereka mengatakan, “… sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam).”
Dan
mereka pun belum terlepas dari tradisi kafir, karena kenyataannya mereka
meminta dibuatkan Dzat Anwath sebagaimana yang dimiliki oleh kaum musyrikin
Catatan
Kaki
[1]
Dalam ayat ini, Allah menyangkal tindakan kaum musyrikin yang tidak rasional,
karena mereka menyembah ketiga berhala tersebut yang tidak dapat mendatangkan
manfaat dan tidak pula dapat menolak suatu mudharat. Dan Allah mencela tindakan
zhalim mereka dengan memilih untuk mereka jenis yang baik dan memberikan untuk Allah
jenis yang buruk -di dalam anggapan mereka-.
Tindakan
mereka itu semua hanyalah berdasarkan sangkaan-sangkaan dan hawa nafsu, tidak
berdasarkan sama sekali pada tuntunan para Rasul yang mengajak umat manusia
untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak beribadah sedikitpun kepada
selain-Nya
Menyembelih Binatang Dengan
Niat Bukan Lillah (Karena Allah)
Melanjutkan
pembahasan Kitab Tauhid, dalam bab ini, penulis menjelaskan perihalmhukum
menyembelih binatang dengan niat bukan karena Allah. Beliau menganggap masalah
yang sangat penting ini dengan menyebutkan khabar dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam tentang seorang yang masuk Surga karena seekor
lalat dan seorang yang lain masuk Neraka karena seekor lalat. Bagaimana
ceritanya?
Firman
Allah Ta’ala:
“Katakanlah,
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)." (Al-An’am: 162 – 163)
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (Al-Kautsar:2)
‘Ali
berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah menuturkan kepadaku
empat kalimat: “Allah melaknat orang yang menyembelih binatang dengan
berniat bukan Lillah. Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.
Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Allah melaknat orang
yang merubah batas tanda tanah.”(Hadits riwayat Muslim)
Thariq
bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ada
orang masuk Surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk Neraka karena
seekor lalat pula. Para sahabat bertanya, Bagaimana hal itu, ya Rasulullah?
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, Ada dua orang berjalan melewati
suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorang pun melewati berhala
itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.
Ketika
itu berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut,
"Persembahkanlah kurban kepadanya!" Dia menjawab, "Aku tidak
mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya. Mereka pun berkata lagi,
"Persembahkan sekalipun seekor lalat." Lalu orang itu mempersembahkan
seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya.
Maka dia masuk Neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang
lain, "Persembahkanlah
kurban kepadanya!" Dia menjawab, "Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk Surga”. (Hadits riwayat Imam Ahmad).
kurban kepadanya!" Dia menjawab, "Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk Surga”. (Hadits riwayat Imam Ahmad).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-An’am.[1]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Kautsar. [2]
- Dalam hadits tersebut di atas, pertama kali yang dilakukan adalah orang yang menyembelih binatang dengan niat bukan lillah.
- Dilaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya; dan di antaranya adalah dengan melaknat bapak-ibu orang lain, lalu orang lain ini melaknat bapak-ibu orang tersebut.[3]
- Dilaknat orang yang melindungi seorang pelaku kejahatan yaitu orang yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang melakukan tindak kejahatan yang wajib ditetapkan kepadanya hukum Allah.
- Dilaknat pula orang yang mengubah tanda batas tanah yaitu mengubah tanda yang membedakan antara hak milik seseorang dengan hak milik tetangganya dengan digeser maju atau mundur.
- Ada perbedaan melaknat orang tertentu dan melaknat orang yang berbuat maksiat secara umum.
- Kisah seekor lalat tersebut merupakan kisah yang penting sekali.
- Bahwa orang yang masuk Neraka itu disebabkan karena ia mempersembahkan kurban lalat yang di sendiri tidak sengaja berbuat demikian. Akan tetapi dia melakukan tersebut untuk melepaskan diri dari perbuatan buruk pada pemuja berhala itu.
- Mengetahui kadar syirik dalam hati orang yang beriman, bagaimana ketabahan hatinya dalam menghadapi eksekusi hukuman mati dan penolakannya untuk memenuhi permintaan mereka, padahal mereka tidak meminta kecuali amalan lahiriah saja.
- Orang yang masuk
Neraka tersebut adalah seorang muslim; sebab seandainya
dia orang kafir, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak akan bersabda, "… masuk Neraka karena seekor lalat …" - Hadits ini merupakan suatu bukti bagi hadits shahih yang menyatakan “Surga itu lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada tali sendalnya sendiri. Dan Neraka pun demikian halnya. “
- Mengetahui bahwa amalan hati adalah tolok ukur yang terpenting, sampai pun bagi para pemuja berhala.
Catatan
Kaki
[1]
Ayat ini menunjukkan bahwa penyembelihan binatang untuk selain Allah adalah
syirik, sebagaimana shalat untuk selain Allah.
[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa shalat dan penyembelihan adalah ibadah yang harus
diniati untuk Allah semata-mata, dan penyelewengan niat ini dengan ditujukan
untuk selain Allah adalah syirik.
[3]
Dengan demikian, orang tersebut menjadi penyebab terlaknatnya kedua orang
tuanya (akibat dia melaknat orang tua dari orang lain).
Hal-hal Yang Dilarang Dalam
Menyembelih Binatang Dengan Niat Lillah
Lebih
lanjut mengenai menyembelih binatang dengan niat karena Allah, penulis Kitab Tauhid
menerangkan bagaimana melakukan hal tersebut. Beliau ingin agar para pembaca
berhati-hati dalam masalah ini. Walaupun niat kita benar (karena Allah semata),
namun kita juga harus memperhatikan tempat dimana kita melakukannya.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan
(di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemudharatan (para orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan
untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
sesungguhnya bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan
Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam
sumpahnya). Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu shalat di dalamnya. Didalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 107 –
108).
Tsabit
bin Adh-Dhahak menuturkan,
“Ada
seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Bunawah[2] bertanya
orang itu kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi pun bertanya,
"Apakah di tempat itu pernah ada salah satu dari berhala-berhala Jahiliyah
yang disembah?" Para sahabat menjawab, "Tidak." Maka Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Penuhilah nadzarmu itu. Akan tetapi
tidak boleh dipenuhi suatu nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar perkara
yang di luar hak milik seseorang.[3]
Kandungan Bab ini
- Tafsiran firman Allah tersebut di atas.[4]
- Kemaksiatan bisa membawa pengaruh di muka bumi, demikian halnya ketaatan kepada Allah.
- Masalah yang masih diragukan hendaknya dikembalikan kepada masalah yang jelas, untuk menghilangkan keraguan itu.
- Bila perlu, seorang mufti sebelum memberikan fatwanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan keterangan yang jelas.
- Tidak dilarang untuk menentukan suatu tempat tertentu untuk melaksanakan nadzar, selama tempat itu terbebas dari hal-hal yang terlarang.
- Akan tetapi, jika pernah salah satu dari berhala-berhala kaum Jahiliyah, meskipun sudah tidak ada lagi, maka dilarang melaksanakan nadzar di tempat itu.
- Dan dilarang pula melakukan nadzar di suatu tempat, jika di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu dari perayaan hari raya mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
- Tidak boleh melaksanakan nadzar di tempat tersebut karena nadzar tersebut kategori nadzar maksiat.
- Harus dihindari perbuatan yang menyerupai kaum musyrikin dalam cara keagamaan dan perayaan hari-hari raya mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
- Tidak boleh bernadzar untuk melaksanakan suatu kemaksiatan.
- Dan tidak boleh seseorang bernadzar dalam hal yang tidak menjadi hak miliknya.
Catatan
Kaki
[1]
Relevansi bab ini dengan tauhid, bahwa seorang muslim apabila menyembelih
binatang di tempat yang dipakai orang-orang musyrikin, maka ia telah berbuat
sama seperti mereka, meskipun kesamaan itu dalam lahirnya saja, karena kesamaan
lahir akan membawa kesamaan batin.
[2]
Bunawah: nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah
sebelum Yalamlam; atau anak bukit setelah Yanbu’.
[3]
Hadits riwayat Abu Dawud dan isnad-nya menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.
[4]
Ayat ini menunjukkan pula bahwa menyembelih binatang dengan niat Lillah dilarang
dilakukan di tempat yang dipergunakan oleh orang-orang musyrik untuk
menyembelih binatang, sebagaimana shalat dengan niat lillah dilarang
dilakukan di masjid yang didirikan atas dasar maksiat kepada Allah.
Termasuk
Syirik: Bernadzar Bukan Lillah dan Isti’adzah Kepada Selain Allah
Pada
pembahasan Kitab Tauhid, penulis sampai menegaskan, “Termasuk Syirik” padahal
bab-bab sebelumnya juga termasuk syirik besar. Ini menunjukkan beliau
menekankan beberapa hal yang sangat berbahaya dari syirik besar yaitu nadzar
bukan untuk Allah dan isti’adzah kepada selain-Nya. Bagaimana dalil-dalil
penguatnya?
Termasuk Syirik: Bernadzar Bukan Lillah
Firman
Allah,
“Mereka
menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7).
“Apa
saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya.”
(Al-Baqarah: 270).
Diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari) dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka supaya mentaati-Nya; akan tetapi barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya (dengan melaksanakan nadzarnya itu).“
Kandungan Bab Ini
- Memunaikan nadzar adalah wajib
- Apabila sudah menjadi ketetapan bahwa nadzar adalah ibadah untuk Allah semata-mata, maka menyelewengkannya kepada selain Allah adalah syirik
- Dilarang untuk menunaikan nadzar maksiat.
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara
manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6).
Khaulah
binti Hakim menuturkan, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa singgah di suatu tempat, lalu berdo’a
"‘A’udzu bikalimatillahit tammati min syarri ma khalaq" (aku
berlindung dengan kalam Allah Yang Maha Sempurna dari kejahatan segala makhluk
yang Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirinya
sampai dia beranjak dari tempatnya itu.” (Hadits riwayat Muslim)
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Jin. [1]
- Isti’adzah kepada jin, atau selain Allah, termasuk syirik
- Hadits tersebut di atas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama’, merupakan dalil bahwa kalam Allah bukan makhluk (ciptaan) karena diisyaratkan agar isti’adzah dengannya; soalnya, andaikata makhluk niscaya dilarang karena isti’adzah dengan sesuatu makhluk adalah syirik.
- Keutamaan do’a ini, meskipun ringkas.
- Bahwa sesuatu yang bisa memberikan kemanfaatan duniawi, seperti menolak suatu kejahatan atau mendatangkan suatu keuntungan, tidak berarti bahwa hal itu tidak termasuk syirik.
Catatan
Kaki
[1]
Dalam ayat ini, Allah memberitahukan bahwa ada di antara manusia yang meminta
perlindungan kepada jin agar merasa aman dari apa yang mereka khawatirkan, akan
tetapi jin itu justru menambah dosa dan rasa khawatir bagi mereka karena mereka
tidak meminta perlindungan kepada Allah.
Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa isti’adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah adalah termasuk syirik dan (perkara yang -red) terlarang.
Termasuk
Syirik: Istighatsah Atau Do’a Kepada Selain Allah
Selanjutnya,
masih dalam hal yang sangat berbahaya dari syirik besar, penulis Kitab Tauhid
memaparkan dalil-dalil serta keterangan yang lebih banyak dari penjelasan yang
sebelumnya. Dan pernah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
ketika seseorang ingin beristighatsah kepada beliau. Bagaimana kisahnya?
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula)
memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian)
itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106).
“Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka
tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
(Yunus: 107).
“Sesungguhnya
yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka
mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (Al-’Ankabut:
17).
“Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan
selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a) nya sampai hari kiamat dan
mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan
(pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (Al-Ahqaf:5 – 6).
“Atau
siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai khalifah di bumi. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang
lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (An-Naml: 62).
Ath-Thabrani,
dengan menyebutkan sanadnya, meriwayatkan bahwa, pernah terjadi pada zaman Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam ada seorang munafik yang selalu mengganggu
orang-orang mu’min, maka berkatalah salah seorang di antara mereka, "Marilah
kita bersama-sama istighatsah kepada Rasulullah supaya dihindarkan dari tindakan
buruk orang munafik ini." Ketika itu, bersabdalah Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam, Sesungguhnya tidak boleh istighatsah kepadaku, tetapi istighatsah
itu seharusnya hanya kepada Allah saja.”
Kandungan Bab Ini
- Istighatsah, pengertiannya lebih khusus daripada doa.[1]
- Tafsiran ayat pertama. [2]
- Memohon kepada selain Allah adalah syirik akbar.
- Bahwa orang yang paling shalih sekalipun, kalau dia melakukan perbuatan ini untuk mengambil hati orang lain, maka dia termasuk golongan orang yang zhalim (musyrikin).
- Tafsiran ayat kedua.[3]
- Memohon kepada selain Allah tidak mendatangkan manfaat duniawi, disamping perbuatan itu sendiri perbuatan kafir.
- Tafsiran ayat ketiga. [4]
- Sebagaimana Surga tidak dapat diminta kecuali Allah, demikian halnya dengan rizki, tidak patut diminta kecuali dari-Nya.
- Tafsiran ayat keempat.[5]
- Tiada yang lebih sesat daripada orang yang memohon kepada sesembahan selain Allah.
- Sesembahan selain Allah itu tidak merasa dan tidak tahu bahwa ada orang yang memohon kepadanya.
- Permohonan itulah yang menyebabkan sesembahan selain Allah membenci dan memusuhi orang yang memohon kepadanya (pada hari Kiamat).
- Permohonan ini disebut sebagai ibadah kepada sesembahan selain Allah.
- Dan sesembahan selain Allah itu nanti pada hari Kiamat akan mengingkari ibadah yang mereka lakukan.
- Permohonan inilah yang menyebabkannya menjadi orang yang paling sesat.
- Tafsiran ayat kelima.[6]
- Hal yang mengherankan, bahwa para pemuja berhala mengakui bahwa tiada yang dapat memperkenankan permohonan orang yang berbeda dalam kesulitan selain Allah. Untuk itu, ketika mereka berada dalam keadaan sulit dan terjepit, mereka memohon kepada-Nya dengan ikhlas dan memurnikan ketaatan untuk-Nya.
- Hadits di atas menunjukkan tindakan preventif yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam Al-Musthafa, untuk melindungi benteng tauhid, dan sikap ta’abbud (sopan santun) beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Catatan
Kaki
[1]
Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan
sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.
[2]
Ayat pertama menunjukkan bahwa dilarang memohon kepada selain Allah, karena
selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula dapat mendatangkan
bahaya kepada seseorang.
[3]
Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala ibadah yang
dilakukan manusia, seperti do’a, istighatsah dan sebagainya. Karena hanya Allah
Yang Maha Kuasa, jika dia menimpakan sesuatu bahaya kepada seseorang,
maka tiada yang dapat menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika menghendaki
untuk seseorang suatu kebaikan, maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya.
Tiada seorang pun yang mampu menghalangi kehendak Allah.
[4]
Ayat ketiga menunjukkan bahwa hanya kepada Allah yang berhak dengan ibadah dan
rasa syukur kita, dan hanya kepada-Nya seharusnya kita meminta rizki, karen
selain Allah tidak mampu memberikan rizki.
[5]
Ayat keempat menunjukkan bahwa do’a (permohonan) adalah ibadah, karena
itu barangsiapa menyelewengkannya kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik.
[6]
Ayat kelima menunjukkan bahwa istighatsah kepada selain Allah –karena tiada
yang kuasa kecuali Dia- adalah bathil dan termasuk syirik.
Rasa Takut
Para Malaikat Ketika Turun Wahyu Dari Allah
Selanjutnya,
masih dalam meyakinkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah,
penulis Kitab Tauhid
memaparkan bagaimana para malaikat, sebagai makhluk yang besar dan kuat serta
keutaman lainnya, takut kepada Allah. Jadi, tidak pantas bagi manusia untuk
menyembah malaikat. Bagaimana kisah takutnya malaikat ini?
Keadaan Para Malaikat, Sebagai Makhluk Allah Yang Paling Perkasa,
Dan Rasa Takut Mereka Ketika Turun Wahyu Dari Allah [1]
Firman
Allah Azza wa Jalla:
“Sehingga
apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata,
"Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, "(Perkataan)
yang benar", dan Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.” (Saba’: 23)
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda,
“Apabila
Allah telah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan
sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar)
itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata, hal itu
memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan).
Maka
apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata,
"Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab,
"(Perkataan) yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha
Besar."
Ketika
itulah, (setan-setan) penyadap berita (wahyu) itu mendengarnya. Keadaan
penyadap berita itu seperti ini: sebagian mereka di atas sebagian yang lain
-digambarkan Sufyan[2] dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan
dibuka jari-jemarinya- maka ketika penyadap berita (yang di atas)
mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang di bawahnya,
kemudian disampaikan lagi kepada yang ada dibawahnya dan demikian seterusnya
hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal.”
Akan
tetapi kadangkala setan penyadap berita itu terkena syihab
(meteor) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadangkala
sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab; lalu dengan satu kalimat
yang didengarnyalah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam
kebohongan.”
Mereka
(yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan, "Bukankah dia
telah memberitahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi
benar)", sehingga dipercayalah tukang sihir dan tukang ramal tersebut
karena satu kalimat telah didengar dari langit. “
An-Nawas
bin Sim’an menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila
Allah Ta’ala hendak mewahyukan perintah-Nya maka Dia firmankan wahyu itu, dan
langit-langit bergetar dengan keras karena takut kepada Allah. Lalu, apabila
para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut, pingsanlah mereka dan
bersimpuh sujud kepada Allah. Maka malaikat yang pertama kali mengangkat
kepalanya adalah Jibril, dan ketika itu, Allah firmankan kepadanya apa yang Dia
kehendaki dari wahyu-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap dia
melalui satu langit ditanyai oleh malaikat penghuninya, "Apakah telah
difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?" Jibril menjawab, "Dia
firmankan yang benar. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." Dan
seluruh malaikat pun mengucapkan seperti yang diucapkan Jibril itu. Demikianlah
sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang telah diperintahkan
Allah kepadanya.” [3]
Kandungan Bab Ini
- Tafsir ayat tersebut di atas. [4]
- Ayat ini mengandung suatu argumentasi yang memperkuat kebatilan syirik, khususnya yang berkaitan dengan orang-orang shalih. Dan ayat inilah yang dikatakan memutuskan akar-akar pohon syirik dari jantungnya.
- Tafsiran firman
Allah, "Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang
benar.’ Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." [5] - Sebab pertanyaan para malaikat tentang wahyu yang difirmankan Allah.
- Jibril kemudian menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan, "Dia firmankan yang benar."
- Disebutkan bahwa malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril.
- Jibril memberikan jawaban tersebut kepada seluruh malaikah penghuni langit, karena mereka bertanya kepadanya.
- Seluruh malaikat penghuni langit jatuh pingsan tatkala mendengar firman Allah.
- Langit pun bergetar keras karena firman Allah itu.
- Jibril adalah malaikat yang menyampaikan wahyu itu ke tujuan yang telah diperintahkan Allah kepadanya.
- Disebutkan pula dalam hadits bahwa setan-setan menyadap berita wahyu tersebut.
- Cara mereka, sebagian naik di atas sebagian yang lain.
- Peluncuran syihab (meteor) untuk menembak jatuh setan-setan penyadap berita.
- Kadangkala setan penyadap berita itu terkena syihab sebelum sempat menyampaikan kalimat yang didengarnya, dan kadangkala sudah sempat menyampaikan ke telinga manusia yang menjadi abdinya sebelum terkena syihab.
- Ramalan tukang ramal adakalanya benar.
- Dengan kalimat yang didengarnya tersebut, ia melakukan seratus macam kebohongan.
- Kebohongannya tidaklah dipercayai kecuali karena kalimat yang diterimanya dari langit [melalui setan penyadap berita].
- Manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima sesuatu yang bathil; bagaimana mereka bisa berdasarkan hanya kepada satu kebenaran saja yang diucapkan tukang ramal, tanpa memperhitungkan atau mempertimbangkan seratus kebohongan yang disampaikannya.
- Satu kalimat kebenaran tersebut beredar luas dari mulut ke mulut dan diingatnya. Lalu dijadikan sebagai bukti apa yang dikatakan tukang ramal adalah benar.
- Menetapkan kebenaran sifat-sifat Allah [sebagaimana yang terkandung dalam ayat dan hadits di atas], berbeda dengan paham Asy’ariyah yang mengingkarinya.
- Bergetarnya langit dan pingsannya para malaikat adalah karena rasa takut mereka kepada Allah.
- Para malaikat pun bersimpuh sujud kepada Allah.
Catatan
Kaki
[1]
Bab ini menjelaskan bukti lain yang menunjukkan kebatilan syirik dan hanya
Allah yang berhak dengan segala macam ibadah. Karena apabila para malaikat,
sebagai makhluk yang amat perkasa dan paling kuat bersimpuh sujud di hadirat
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar tatkala mendengar firman-Nya, maka tiada
yang berhak dengan ibadah, puja dan puji, sanjungan dan pengagungan kecuali
Allah.
[2]
Sufyan bin ‘Uyainah bin Maimun Al-Hilali, salah seorang periwayat hadits ini.
[3]
Hadits ini riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah; dan Al-Baihaqi dalam
Al-Asma’ wa Ash-Shifat.
[4]
Ayat ini menerangkan keadaan para malaikat, yang mereka itu adalah makhluk
Allah yang paling kuat dan amat perkasa yang disembah oleh orang-orang musyrik.
Apabila demikian keadaan mereka dan rasa takut mereka kepada Allah tatkala
Allah berfirman, lalu bagaimana patut mereka itu dijadikan sesembahan selain
Allah; apalagi makhluk selain mereka, tentu lebih tidak patut lagi.
[5]
Firman Allah ini menunjukkan, bahwa Kalamullah bukanlah makhluk (ciptaan)
karena mereka berkata, "Apakah yang telah difirmankan oleh
Tuhanmu?"; menunjukkan pula bahwa Allah Maha Tinggi di atas seluruh
makhluk-Nya dan Maha Besar yang kebesaran-Nya tak dapat dijangkau oleh
pikiran mereka.
Tiada Seorang
Pun Yang Berhak Disembah Selain Allah
Pembahsan
selanjutnya dari Kitab Tauhid, penulis ingin meyakinkan para pembaca ahwa
tidak ada seorang pun yang pantas untuk disembah selain Allah saja. Tidak
pandang yang disembah itu Nabi, apalagi manusia biasa yang mengaku-ngaku suci.
Bagaimana dalil dan penjelasan yang beliau bawakan?
Firman
Allah Ta’ala:
“Apakah
mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat
menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.
Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak
dapat memberi pertolongan.” (Al-A’raf:191-192)
“Dan
orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan
tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh
Yang Maha Mengetahui.” (Fathir:13-14).
Diriwayatkan
dalam Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Anas katanya,
“Pada
waktu peperangan Uhud, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terluka di bagian
kepala dan gigi taringnya. Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka? Lalu turunlah
ayat, “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali
Imran:128)
Dan
diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari), dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar “Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam (setelah terluka di bagian kepala dan gigi
taringnya sewaktu perang Uhud) berdoa tatkala mengangkat kepalanya dari ruku’
pada rakaat terakhir dalam shalat Shubuh, Ya Allah laknatilah si fulan dan si
fulan, yaitu seusai beliau mengucapkan "Sami’allahu liman hamidah, Rabbana
wa lakal hamd" Sesudah itu, Allah pun menurunkan firman-Nya, “Tidak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)
Dan
menurut riwayat lain, beliau mendo’akan semoga Shafwan bin Umayyah, Suhail bin
‘Amr dan Al-Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah. Maka turunlah ayat: “Tidak
ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)
Diriwayatkan
pula dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika
diturunkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ayat: “Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)
Berdirilah beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan bersabda,”Wahai segenap kaum Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Dan wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah.”
Berdirilah beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan bersabda,”Wahai segenap kaum Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Dan wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran kedua ayat tersebut di atas.[1]
- Kisah perang Uhud.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, pemimpin para Rasul, dalam shalat Shubuh telah melakukan qunut sedang para sahabat yang berada di belakang beliau mengucapkan "amin."
- Orang-orang yang beliau doakan semoga Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya adalah orang-orang kafir.
- Orang-orang kafir itu telah berbuat hal-hal yang tidak dilakukan oleh kebanyakan orang kafir, antara lain: melukai Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan berambisi sekali untuk membunuh beliau serta mereka merusak tubuh para korban yang terbunuh, padahal korban-korban yang terbunuh adalah anak famili mereka sendiri.
- Tentang perbuatan mereka itu, Allah telah menurunkan firman-Nya kepada beliau, “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali Imran: 128)
- Allah berfirman,
“Atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka.” (Ali
Imran:128)
Kemudian Allah pun menerima taubat mereka dengan masuknya mereka ke dalam Islam dan menjadi orang-orang yang beriman. - Melakukan qunut nazilah, yaitu qunut yang dilakukan ketika berada dalam keadaan mara bahaya.
- Menyebutkan nama-nama beserta nama-nama orang tua mereka yang didoakan terlaknat di dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
- Boleh melaknat terhadap orang kafir tertentu dalam qunut.
- Kisah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala diturunkan kepada beliau ayat, “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. “
- Kesungguhan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya dituduh gila; demikian halnya apabila dilakukan oleh seorang muslim pada masa sekarang ini.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memperingatkan keluarga yang paling jauh kemudian yang terdekat, dengan bersabda, “sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu di hadapan Allah", sampai beliau bersabda kepada puterinya sendiri, "Wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah."
Apabila
beliau telah memaklumatkan secara terang-terangan –padahal beliau adalah
pemimpin para rasul- bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam sedikitpun tidak
berguna bagi diri puterinya sendiri, wanita termulia sealam ini; dan orang pun
mengimani bahwa beliau tidak mengatakan kecuali yang haq, kemudian dia
memperhatikan apa yang terjadi pada diri kaum khawash[2]dewasa ini, akan
tampak bagi dirinya bahwa tauhid sudah ditinggalkan dan tuntunan agama menjadi
asing.
Catatan
Kaki
[1]
Kedua ayat tersebut menunjukkan kebatilah syirik mulai dari dasarnya, karena
makhluk yang lemah ini, yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tak dapat
dijadikan sebagai sandaran sama sekali, dan menunjukkan pula bahwa Allah-lah
yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia.
[2]
Kaum khawas ialah orang-orang tertentu yang
ditokohkan dalam masalah agama dan merasa bahwa dirinya patut diikuti, disegani
dan diminta berkah doanya.
Syafa’at
Melanjutkan
penjelasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai syafa’at. Berbeda
pada pambahasan Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
membahas syafa’at dari segi jenis dan macam-macamnya, penekanan beliau di sini
adalah bahwa hanya Allah saja pemberi syafa’at secara mutlak. Sehingga hal ini
membatalkan pemahaman orang-orang musyrik yang memohon syafa’at kepada selain
Allah.
Syafa’at [1]
Firman Allah,
“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.” (Al-An’am: 51)
“Katakanlah:
"Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya." (Az-Zumar: 44)
“Tiada
yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizinNya.” (Al-Baqarah:255)
“Dan
berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna
kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan di
ridhaiNya.” (An-Najm:
26)
“Katakanlah:
"Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka
tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrahpun di langit dan di bumi dan mereka
tidak mempunyai satu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi; dan
sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya." Dan
tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah
diizinkanNya memperoleh syafa’at itu …”(Saba’: 22 – 23)
Abul
‘Abbas mengatakan, Allah telah menyangkal segala hal yang menjadi tumpuan
kaum musyrikin, selain Diri-Nya sendiri, dengan menyatakan bahwa tak seorang pun
selain Allah mempunyai kekuasaan, atau sebagainya, atau pembantu Allah. Adapun
tentang syafa’at, maka telah ditegaskan Allah bahwa syafa’at ini tidak berguna
kecuali bagi orang yang telah diizinkan Allah untuk memperolehnya, sebagaima
firmanNya, “Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang
diridhai
Allah.“(Al-Anbiya’: 28)
Allah.“(Al-Anbiya’: 28)
Syafa’at
yang diperkirakan oleh kaum musyrikin inilah yang tidak ada pada hari Kiamat,
sebagaimana dinyatakan demikian oleh Al-Qur’an. Dan diberitakan oleh Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bahwa beliau pada hari Kiamat akan dating bersujud kepada Allah dan
menghaturkan segala puji kepadaNya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak
langsung dengan memberi syafa’at lebih dahulu. Setelah itu barulah dikatakan
kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam , "Angkatlah kepalamu,
katakanlah niscaya akan didengar yang kamu katakan, mintalah niscaya akan
diberikan apa yang kamu minta, dan berilah syafa’at niscaya akan diterima
syafa’at yang kamu berikan itu." [2]
Abu
Hurairah telah bertanya kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam,
"Siapakah orang paling beruntung dengan syafa’at engkau?" beliau
shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Ialah orang yang mengucapkan ‘La
Ilaha Illallah’ dengan ikhlas dari dalam hatinya." [3]
Syafa’at
yang ditetapkan ini adalah syafa’at untuk Ahlul Ikhlas wat-Tauhid[4], dengan
seizin Allah bukan untuk mereka yang berbuat syirik kepadaNya. Dan pada
hakekatnya, bahwa Allah-lah yang melimpahkan karuniaNya kepada Ahlul Ikhlash
wat-Tauhid dengan memberikan maghfirah kepada mereka melalui doa orang yang
diizinkan Allah untuk memperoleh syafa’at, untuk memuliakan orang itu dan
menerimakan kepadanya Al-Maqam Al-Mahmud (kedudukan terpuji).
Jadi
syafa’at yang dinyatakan tidak ada oleh Al-Qur’an, adalah apabila ada sesuatu
syirik di dalamnya. Untuk itu Al-Qur’an telah menetapkan dalam beberapa ayat
bahwa syafa’at adalah dengan izin dari Allah; dan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam sudah menjelaskan bahwa syafa’at hanyalah untuk Ahlut-Tauhid wal-Ikhlash.
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran ayat ini tersebut di atas.[5]
- Syafa’at yang dinyatakan tidak ada, adalah syafa’at yang terdapat di dalamnya unsur syirik.
- Syafa’at yang ditetapkan, adalah syafa’at untuk Ahlut Tauhid wal-Ikhlash dengan izin dari Allah.
- Disebutkan tentang syafa’at kubra, yaitu Al-Maqam Al-Mahmud.
- Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika hendak memberi syafa’at, bahwa beliau tidak langsung memberi syafa’at terlebih dahulu, akan tetapi bersujud dan menghaturkan segala puji kepada Allah Azza wa Jalla. Maka apabila telah diizinkan Allah, barulah beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberi syafa’at.
- Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’at beliau?
- Syafa’at tidak diberikan kepada orang yang berbuat syirik kepada Allah.
- Keterangan tentang hakikat syafa’at.
Catatan
Kaki
[1]
Syafa’at telah dijadikan dalil oleh kaum musyrikin dalam memohon kepada
malaikat, nabi dan wali. Kata mereka, “Kami tidak memohon kepada mereka
kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan syafa’at kepada kami
di sisiNya.”
Maka
dalam bab ini diuraikan bahwa syafa’at yang mereka harapkan itu adalah percuma,
bahkan syirik; dan syafa’at hanyalah hak Allah semata, tiada yang dapat memberi
syafa’at kecuali dengan seidzinNya bagi siapa yang mendapat ridhaNya.
[2]
Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
[3]
Hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Bukhari.
[4]
orang-orang yang mentauhidkan Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya.
[5]
Ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa syafa’at seluruhnya adalah hak khusus
bagi Allah. Ayat ketiga menunjukkan bahwa syafa’at tidak diberikan kepada
seseorang tanpa izin dari Allah. Ayat keempat menunjukkan bahwa syafa’at
diberikan oleh orang yang diridhai Allah dengan izin dariNya. Dengan demikian
syafa’at adalah hak mutlak Allah, tidak dapat diminta kecuali dariNya; dan
menunjukkan pula kebatilan syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin dengan
mendekatkan diri kepada malaikat, atau nabi dan orang-orang yang shalih, untuk
meminta syafa’at mereka.
Ayat
kelima mengandung bantahan terhadap kaum musyrikin yang mereka itu menyeru
selain Allah, seperti malaikat dan makhluk-makhluk lainnya, karena menganggap
bahwa makhluk-makhluk itu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat; dan
menunjukkan bahwa syafa’at tidak berguna bagi mereka, karena syirik yang mereka
lakukan, tetapi hanya berguna bagi orang yang mengamalkan tauhid dan itu pun
dengan seizin Allah Ta’ala.
Nabi Tidak
Dapat Memberikan Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah
Masih
dalam usaha untuk membatalkan pemahaman orang-orang musyrik yang memohon
syafa’at, perlindungan serta petunjuk kepada selain Allah (seperti malaikat,
Nabi dan orang-orang shalih), penulis Kitab Tauhid
menjelaskan juga bahwa Nabi pun tidak berkuasa memberikan hidayah. Beliau
membawakan kisah kematian paman Rasulullah.
Nabi Tidak Dapat Memberikan Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah [1]
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala;
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata,”Tatkala
Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya
dan saat itu ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya, maka
beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya bersabda kepadanya, “Wahai
pamanku! Ucapkanlah "La Ilaha Illallah" suatu kalimat yang dapat aku
jadikan bukti untukmu di hadapan Allah. Tetapi disambut oleh ‘Abdullah bin Abu
Umayyah dan Abu Jahl, "Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?"
Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepadanya mengulangi sabdanya lagi, akan
tetapi mereka pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhir kata yang
diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muththalib dan enggan
mengucapkan "La Ilaha Illallah". Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam kepadanya bersabda, "Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu,
selama aku tidak dilarang." Lalu Allah menurunkan firmanNya, “Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik.” (At-Taubah:113)
Dan
mengenai Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,“Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat: "Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." [2]
- Tafsiran ayat:
"Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik."[3] - Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah", berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu.[4]
- Abu Jahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya, Ucapkanlah, "La Ilaha Illallah." Karena itu, celakalah orang yang salah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
- Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada paman beliau untuk masuk Islam.
- Bantahan terhadap orang yang mengatakan ‘Abdul Muththalib dan leluhurnya menganut Islam.
- Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah Ta’ala ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memintakan ampun untuknya, bahkan beliau dilarang.
- Bahaya bagi seseorang yang jika berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berperilaku buruk.
- Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
- "Nama besar" mereka inilah yang menjadikan orang-orang Jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
- Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat Syahadat, niscaya akan berguna dirinya di hadapan Allah.
- Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang tersesat itu untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya. Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.
Catatan
Kaki
[1]
Bab ini pun merupakan bukti kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sebagai makhluk termulia dan yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang
beliau shallallahu’alaihi wa sallam inginkan, maka tiada Sembahan yang haq
melainkan Allah, yang memberi hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah masuk Islam hanya di Tangan Allah saja,
tiada seorang pun yang dapat menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini
kecuali dengan kehendakNya; dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang
mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan
menolak mudharat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri
dari kesulitan dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang
musyrik; dan haram pula ber-wala’ (mencintai, memihak dan membela) kepada
mereka.
[4] Tafsirannya adalah,
diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan apa yang menjadi
konsekwensinya, yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan membersihkan diri dari
ibadah kepada selainNya seperti malaikat, nabi, wali, kuburan, batu, pohon,
setan dan lain sebagainya.
Sikap Keras Rasulullah
Terhadap Orang Yang Beribadah Kepada Allah Di Sisi Kuburan Orang Shalih
Masih
berhubungan dengan pembahasan sebelumnya, penulis Kitab Tauhid
ingin menjelaskan lebih lanjut dan secara spesifik mengenai sikap keras
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap pengagungan kuburan orang
shalih. Bahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan peringatan
dan melaknat orang yang melakukannya beberapa saat sebelum beliau meninggal.
Bagaimana haditsnya?
Sikap Keras Rasulullah Terhadap Orang Yang Beribadah Kepada Allah Di
Sisi Kuburan Orang Shalih; Maka, Bagaimana Jika Orang Shalih itu Disembah
Diriwayatkan
dalam Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dari ‘Aisyah bahwa Ummu Salamah
menceritakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang gereja dengan
dupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri
Habsyah (Ethiopia). Maka bersabdalah beliau shallallahu’alaihi wa sallam, “Mereka
itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal,
mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat
itu rupaka-rupaka. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah.”
Mereka
dihukumi beliau shallallahu’alaihi wa sallam sebagai sejelek-jelek makhluk,
karena melakukan dua fitnah sekaligus, yaitu fitnah memuja kuburan dengan
membangun tempat di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka.
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan dari ‘Aisyah ia berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam diambil nyawanya, beliau pun segera menutupkan kain di atas mukanya,
lalu beliau shallallahu’alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa
menyesakkan napas. Ketika beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan
demikian itulah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Semoga laknat
Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
“Beliau memperingatkan agar dijauhi perbuatan mereka, dan seandainya bukan karena hal itu niscaya kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam akan ditampakkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
“Beliau memperingatkan agar dijauhi perbuatan mereka, dan seandainya bukan karena hal itu niscaya kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam akan ditampakkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Muslim
meriwayatkan dari Jundab bin ‘Abdullah, katanya: Aku mendengar Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam lima hari sebelum wafatnya bersabda,
“Sungguh
aku menyatakan setia kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang
khalil (kekasih mulia) dari antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah
menjadikan aku sebagai khalil; seandainya aku menjadikan seorang khalil dari
antara umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.” “Dan
ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu
(dari) perbuatan itu.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelang akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundab- telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya, -sebagaimana hadits ‘Aisyah- beliau melaknat orang yang telah melakukan perbuatan itu.
Shalat
di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai
tempat ibadah. Dan inilah makna dari kata-kata ‘Aisyah, "…
dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.", karena para
sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kuburan beliau
shallallahu’alaihi wa sallam, padahal setiap tempat yang dimaksudkan untuk
melakukan shalat di sana itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid,
sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan alat untuk bersuci.”
(Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Dan
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dengan sanad jayyid, dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya,
termasuk sejelek-jelek manusia ialah orang-orang yang masih hidup ketika
terjadi Kiamat dan orang-orang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.”
[1]
Kandungan Bab Ini
- Dinyatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa orang yang membangun tempat untuk beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih [termasuk sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah], sekalipun baik niatnya.
- Dilarang dan diperingatkan dengan keras adanya rupaka-rupaka di dalam tempat ibadah.
- Mengambil pelajaran dari upaya maksimal yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam masalah ini. Bagaimana beliau menjelaskan terlebih dahulu kepada para sahabat bahwa orang yang membangun tempat ibadah di sekitar kuburan orang shalih termasuk sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah. Kemudian, lima hari sebelum wafat, beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengeluarkan pernyataan yang melarang umatnya menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Terakhir, beberapa saat menjelang wafatnya, beliau shallallahu’alaihi wa sallam masih merasa belum cukup dengan tindakan-tindakan yang diambilnya, sehingga beliau melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan ini.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang pula perbuatan tersebut dilakukan di sisi kuburan beliau, sebelum kuburan itu sendiri ada.
- Menjadikan kuburan nabi-nabi sebagai tempat ibadah merupakan tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani.
- Rasulullah melaknat mereka karena perbuatan mereka ini.
- Beliau shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani dengan perbuatan mereka itu dimaksudkan untuk memperingatkan kita agar menghindari perbuatan semacam ini terhadap kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam.
- Alasan tidak ditampakkannya kuburan beliau shallallahu’alaihi wa sallam, karena dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.
- Pengertian "menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah"; [ialah melakukan suatu ibadah, seperti shalat di sisi kuburan, sekalipun tidak dibangun di atasnya sebuah tempat ibadah].
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menghubungkan antara orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dengan orang yang masih hidup ketika terjadi Kiamat adalah untuk memperingatkan bentuk perbuatan yang merupakan jalan menuju syirik, sebelum terjadi; di samping bahwa syirik adalah akhir keadaan dunia.
- Khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada waktu lima hari sebelum wafat, mengandung bantahan terhadap kedua kelompok yang mereka itu adalah ahli bid’ah yang paling jelek bahkan sebagian kalangan ulama menyatakan bahwa mereka di luar tujuh puluh dua golongan dalam umat Islam, yaitu Rafidhah[2] dan Jahmiyah[3] Dan karena Rafidhahlah terjadi kemusyrikan dan penyembahan kuburan, serta merekalah yang pertama kali membangun masjid di atas kuburan.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam [adalah manusia biasa], merasakan beratnya sakaratul maut.
- Beliau shallallahu’alaihi wa sallam dimuliakan Allah dengan diangkat sebagai "Khalil" (sebagaimana Nabi Ibrahim).
- Dinyatakan bahwa khalil lebih tinggi tingkatannya dari pada habib (kekasih).
- Dinyatakan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat yang paling mulia.
- Hal tersebut merupakan isyarat bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah (sesudah beliau).
Catatan
Kaki
[1]
Hadits ini diriwayatkan pula dalam Shahih Abu Hatim.
[2]
Rafidhah adalah salah satu sekte dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap
berlebih-lebihan terhadap Ali dan Ahlul Bait, dan mereka menyatakan permusuhan
terhadap sebagian besar sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar.
[3]
Jahmiyah adalah aliran yang timbul pada akhir khilafah Bani Umayah. Disebut
demikian karena dinisbatkan pada nama tokoh mereka yaitu Jahm bin Shafwan
At-Tirmidzi yang terbunuh pada tahun 128H.
Di
antara pendapat aliran ini: menolak kebenaran adanya asma’ dan sifat bagi
Allah, karena menurut anggapan mereka asma’ dan sifat adalah ciri khas makhluk,
maka apabila diakui dan ditetapkan untuk Allah berarti menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya.
Faktor Yang Menyebabkan
Manusia Menjadi Kafir Dan Meninggalkan Agama Mereka
Melanjutkan
pembahasan Kitab Tauhid,
penulis menjelaskan mengenai penyebab pertama kali munculnya kesyirikan yang
terjadi secara umum, yaitu terjadi karena sikap berlebihan kepada orang-orang
shalih. Simak firman Allah yang langsung ditafsirkan oleh ulama’ dan hikmah-hikmah
apa saja yang terkandung dalam bab ini.
Faktor Yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir Dan Meninggalkan Agama
Mereka, Yaitu Sikap Yang Berlebihan Kepada Orang-Orang Shalih
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171).
“Dan
mereka berkata, "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” (Nuh: 23)
Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka,
“Dirikanlah
patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka,
dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka”.
Orang-orang
itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika
itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan
ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.
Ibnul
Qayyim[1] mengatakan, Banyak kalangan salaf yang berkata,
“Setelah
mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, lalu
membikin patung-patung mereka; kemudian, setelah masa demi masa berlalu,
akhirnya disembahlah patung-patung tersebut.”
Diriwayatkan
dari ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah
berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka
katakanlah, "Abdullah wa Rasuluhu" (Hamba dan RasulNya).” (Hadits riwayat
Al-Bukhari dan Muslim).
Dan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,“Jauhilah oleh kalian
sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang
menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” [2]
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah orang-orang yang berlebihan tidakannya. (beliau sebutkan
kalimat ini sampai tiga kali).”
Kandungan Bab Ini
- Bahwa orang yang memahami bab ini dan kedua bab berikutnya, akan jelas baginya keterasingan Islam; dan akan melihat betapa kuasa Allah itu merubah hati manusia.
- Mengetahui bahwa mula pertama syirik yang terjadi di muka bumi ini adalah karena sikap yang tidak benar terhadap orang-orang shalih.
- Mengetahui apa yang pertama kali diperbuat orang-orang sehingga ajaran Nabi menjadi berubah, dan apa faktor penyebabnya. Padahal para nabi itu, sebagaimana diketahui adalah utusan Allah.
- Diterimanya hal-hal bid’ah, padahal syari’at Ilahi dan fitrah murni manusia menolaknya.
- Faktor yang menyebabkan itu semua adalah percampur-adukan antara al-haq dan al-bathil. Adapun yang pertama, ialah rasa cinta kepada orang-orang shalih. Sedangkan yang kedua adalah tindakan yang dilakukan sejumlah orang berilmu dan beragama dengan maksud untuk sesuatu kebaikan, tetapi orang-orang yang datang sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
- Tafsiran ayat dalam surat Nuh.[3]
- Watak manusia bahwa al-haq yang ada dalam dirinya bisa berkurang, sedangkan al-bathil malah bisa bertambah.
- Bab ini mengandung suatu bukti bagi kebenaran pernyataan kaum salaf bahwa bid’ah adalah penyebab kekafiran, dan lebih disenangi oleh Iblis dari pada maksiat, karena maksiat masih bisa diampuni, sedangkan bid’ah tidak.
- Setan mengetahui tentang dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, sekalipun maksud pelakunya adalah baik.
- Mengetahui kaidah umum, yaitu bahwa sikap yang berlebihan dalam agama dilarang; dan mengetahui pula dampak yang diakibatkannya.
- Bahaya dari perbuatan sering berdiam diri di kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih.
- Larangan adanya patung-patung dan hikmah dalam pemusnahannya [untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan].
- Kisah tentang kaum Nabi Nuh tersebut mengandung makna besar, dan diperlukan sekali, meskipun sudah dilakukan.
- Hal yang paling mengherankan, bahwa mereka [ahli bid'ah] telah membaca kisah ini dalam kitab-kitab tafsir dan hadits dan mengerti arti kalimatnya; tetapi Allah menutup hati mereka, sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh adalah amal ibdah yang terbaik, maka mereka pun berkeyakinan bahwa apa yang dilarang Allah dan RasulNya adalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
- Dinyatakan bahwa sikap kaum Nabi Nuh yang berlebihan terhadap orang-orang shalih tiada lain karena mengharap syafa’at mereka.
- Mereka menduga bahwa inilah maksud orang-orang yang berilmu yang mendirikan patung-patung itu.
- Pernyataan
penting yang termuat dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Janganlah
kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah
berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam.”
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau, yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya. - Ketulusan hati beliau shallallahu’alaihi wa sallam kepada kita dengan memperingatkan bahwa akan binasa orang-orang yang berlebihan tidakannya.
- Dinyatakan dalam kisah bahwa patung-patung itu baru disembah setelah ilmu [agama] dilupakan. Dengan demikian, dapat diketahui nilai keberadaan ilmu ini dan bahayanya apabila hilang.
- Bahwa setiap hilangnya ilmu adalah matinya para ulama’.
Catatan
Kaki
[1]
Abu Abdillah: Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad Az-Zur’I Ad-Dimasyqi,
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama besar dan tokoh gerakan da’wah
Islamiyah, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mempunyai banyak karya
ilmiah. Dilahirkan tahun 691H (1292 M) dan meninggal tahun 751H (1350M).
[2]
Hadits riwayat Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa yang berlebihan dan melampaui batas terhadap
orang-orang shalih adalah penyebab terjadinya syirik dan ditinggalkannya
tuntunan agama para nabi.
Keterangan Bahwa Ada Di
Kalangan Umat Ini Yang Menyembah Berhala
Masih
dalam pembahasan selanjutnya, penulis Kitab Tauhid
meneruskan penjelasan beliau mengenai khabar dari Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bahwa akan ada dari ummat Islam yang menyembah berhala dan mengaku Nabi.
Nah, bagaimana kabar selengkapnya?
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka
percaya kepada jibt dan thaghut,[1] dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman.“
(An-Nisa’:51)
“Katakanlah,
"Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk
pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang yang
dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan
babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” (Al-Maidah:60).
“Orang-orang
yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Sesungguhnya kami akan
mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya." (Al-Kahfi: 21)
Dari
Abu Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh,
kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu bagaikan bulu
anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya, sampai kalaupun mereka
masuk ke liang biawak, niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula.” Para sahabat
bertanya, "Ya Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasranikah?" Beliau
menjawab, "Lalu siapa lagi?" (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Muslim meriwayatkan dari
Tsaubah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya
Allah telah membentangkan bumi kepadaku sehingga aku dapat melihat belahan
timur dan belahan baratnya. Dan sesungguhnya umatku kekuasaannya akan mencapai
belahan bumi yang telah dibentangkan kepadaku itu. Dan aku diberi
perbendaharaan simpanan: Merah dan Putih (Imperium Persia dan Romawi).
Aku
meminta kepada Tuhanku untuk umatku agar mereka jangan dibinasakan dengan
paceklik yang berkepanjangan, dan jangan dikuasakan kepada musuh selain dari
kaum mereka sendiri sehingga musuh itu nantinya akan merampas seluruh negeri
mereka. Lalu Tuhanku berfirman, Hai Muhammad! Bila Aku telah menetapkan
sesuatu, maka ketetapan itu tidak akan diubah lagi; dan sesungguhnya Aku telah
memberikan kepadamu mereka dengan paceklik yang berkepanjangan; dan tidak akan
menjadikan seorang musuh berkuasa atas mereka dari kaum mereka sendiri, maka
nantinya musuh itu tidak akan dapat merampas seluruh negeri mereka sekalipun
manusia yang ada di seluruh belahan bumi berkumpul menghadapi mereka, sampai
(umatmu itu sendiri) sebagian mereka menghancurkan sebagian yang lain dan
sebagian mereka menawan sebagian yang lain.”
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Al-Barqani dalam Shahihnya dengan tambahan,
“Dan
yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang
menyesatkan; dan apabila pertumpahan darah telah menimpa umatku maka tidak akan
berakhir sampai hari Kiamat. Kiamat tidak akan terjadi sebelum ada suatu kaum
dari umatku mengikuti orang-orang musyrik dan beberapa kelompok dari umatku
menyembah berhala. Dan sesungguhnya akan ada di antara umatku tiga puluh
pendusta yang semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para
nabi, tidak ada lagi sesudahku; (sungguh pun demikian) akan tetap ada dari
umatku segolongan yang tegas membela al-haq dan mendapat pertolongan (dari
Allah), mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang yang menghinakan mereka
sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala.“
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surat An-Nisa’.[2]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[3]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Kahfi.[4]
- Masalah penting sekali, yaitu apa pengertian iman kepada jibt dan thaghut disini, apakah sekedar percaya dalam hati, atau mengikuti orang-orangnya, sekalipun membenci barang-barang tersebut dan mengerti akan kebatilannya.
- [Sebagai buktinya], apa yang dikatakan Ahli Kitab kepada orang-orang Kafir (kaum musyrikin mekah) bahwa mereka lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
- Bahwa iman kepada jibt dan thaghut mesti akan terjadi di kalangan umat ini (umat Islam) sebagaimana ditetapkan dalam hadits dari Abu Sa’ad. Dan inilah yang dimaksud dalam bab ini.
- Dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa akan terjadi penyembahan berhala di banyak kelangan dari umat ini.
- Hal yang amat
mengherankan, munculnya orang yang mengaku nabi, seperti Al-Mukhtar[5];
padahal dia mengucapkan dua kalimat syahadat; manyatakan bahwa dirinya
termasuk dalam umat ini, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
benar dan bahwa Al-Qur’an benar, padahal disebutkan bahwa Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam adalah penutup para nabi.
Namun demikian pengakuan kenabian Al-Mukhtar dipercayai orang, meskipun jelas kontradisksinya. Ia muncul pada akhir masa sahabat dan diikuti oleh banyak orang. - Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira bahwa al-haq (kebenaran Allah dan ajaranNya) tidak akan dapat lenyap sama sekali, sebagaimana telah terjadi pada masa lalu; bahkan akan tetap ada golongan yang tegap berpegang teguh dan membelanya.
- Tanda utamanya bahwa mereka, sekalipun sedikit jumlahnya, tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang menghinakan ataupun menantang mereka.
- Bahwa kondisi ini tetap berlangsung sampai hari Kiamat.
- Tanda-tanda besar atas kenabian Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam yang terkandung dalam hadits:
- Beliau memberitahukan bahw Allah telah membentangkan kepada beliau belahan timur dan belahan barat dan beliau menjelaskan makna hal tersebut; kemudian terjadi seperti yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam beritakan, berlainan halnya dengan belahan selatan dan utara.
- Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau diberi dua perbendaharaan simpanan.
- Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan bahwa doanya untuk umatnya dikabulkan dalam dua perkara, sedangkan perkara yang ketiga tidak dikabulkan.
- Beliau memberitakan bahwa akan terjadi pertumpahan darah di antara umatnya, dan kalau sudah terjadi tidak akan berakhir sampai hari Kiamat.
- Beliau memberitakan bahwa sebagian umat ini akan menghancurkan sebagian yang lain dan sebagian mereka menawan sebagian yang lain.
- Beliau shallallahu’alaihi wa sallam memberitakan akan munculnya orang-orang yang mengaku sebagai nabi pada umat ini
- Beliau memberitakan bahwa akan tetap ada segolongan yang tegak membela kebenaran dan mendapatkan pertolongan dari Allah.
Dan semua itu benar-benar terjadi persis seperti yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam beritakan, padahal masing-masing berita tersebut sangat di luar jangkauan akal.
- Apa yang beliau shallallahu’alaihi wa sallam khawatirkan terhadap umatnya hanyalah para pemimpin yang menyesatkan.
- Perlu diperhatikan makna dari penyembahan berhala.
Catatan
Kaki
[1]
Terdapat beberapa tafsiran dari kalangan Salaf tentang makna kata Jibt, antara
lain: berhala, sihir, tukang ramal, Huyai bin Akhthab dan Ka’ab bin Al-Asyraf
(kedua orang ini adalah tokoh orang-orang Yahudi di zaman Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam).
Dengan
demikian pengertiannya umum, namun mencakup makna itu semua, sebagaimana
dikatakan oleh Al-Jauhari dalam Ash-Shahihah,
Jibt
itu adalah kata-kata yang dapat digunakan untuk berhala, tukang ramal, tukang
sihir dan sejenisnya…
Demikian
halnya dengan thaghut, terdapat beberapa tafsiran yang menunjukkan pengertian
umum. Antara lain: setan, setan dalam wujud manusia, berhala, tukang ramal,
Ka’ab al-Asyraf.
Ibnu
Jarir Ath-Thabrani, dalam menafsirkan ayat ini, setelah menyebutkan beberapa
tafsiran dari ulama Salaf, mengatakan, Jibt dan Thaghut itu ialah dua sebutan
untuk setiap yang diagungkan dengan disembah selain Allah, atau ditaati, atau
dipatuhi; baik yang
diagungkan itu batu, manusia, ataupun setan.
diagungkan itu batu, manusia, ataupun setan.
[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila orang-orang yang diturunkan kepada mereka
Al-Kitab mau beriman kepada JIbt dan Thaghut, maka tidak mustahil dan tidak
dapat dipungkiri bahwa umat ini -yang diturunkan kepadanya Al-Qur’an- akan
berbuat pula seperti yang mereka perbuat, karena Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam telah memberitahukan bahwasanya akan ada di antara umat ini
orang-orang yang berbuat seperti yang diperbuat orang Yahudi dan Nasrani.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa akan terjadi di kalangan umat ini penyembah thaghut
sebagaimana telah terjadi penyembahan thaghut di kalangan Ahli Kitab.
[4]
Ayat ini menunjukkan bahwa ada di antara umat ini orang yang membangun tempat
ibadah di atas atau di sekitar kuburan, sebagaimana telah dilakukan oleh
orang-orang sebelum mereka.
[5]
Al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Termasuk tokoh yang
memberontak terhadap kekuasaan Bani ‘Umayyah dab menonjolkan kecintaan kepada
Ahlul Bait. Mengaku bahwa ia adalah nabi dan menerima wahyu. Dibunuh oleh
Mush’ab bin Az-Zubair pada tahun 67 H (687M).
Sikap
Berlebihan Terhadap Kuburan Orang Shalih Dan Tindakan Rasulullah Untuk
Melindungi Tauhid.
Melanjutkan
pambahasan Kitab Tauhid, judul di atas adalah penggabungan judul 2 bab. Karena
masing-masingnya agak sedikit, maka kami gabungkan. Keduanya menjelaskan dan
menguatkan pembahasan sebelumnya agar kita lebih yakin dan pemahaman yang kuat
tertanam dalam dada kita.
Sikap Berlebihan Terhadap Kuburan Orang-Orang Shalih, Akan
Menjadikannya Sebagai Berhala Yang Disembah Selain Allah
Imam
Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan
kuburanku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang
yang menjadikan kuburan
nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir, dengan sanad-nya dari Sufyan dari Manshur, bahwa berkenaan
dengan ayat, “Terangkanlah kepadaku (wahai kaum musyrikin) tentang (berhala
yang kamu anggap sebagai anak perempuan Allah): Al-Lata, dan Al-’Uzza;…” (An-Najm:
19).
Mujahid
mengatakan, “Al-Lata adalah orang yang dahulunya mengadukkan
tepung (dengan air atau minyak) untuk para jama’ah haji. Setelah meninggal,
mereka pun senantiasa mendatangi kuburannya.”
Demikian
pula tafsiran Ibnu ‘Abbas sebagaimana dituturkan oleh Abul Jauza’, “Dia itu
pada mulanya adalah orang yang mengadukkan tepung untuk para jama’ah haji.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
melaknat kaum wanita yang menziarahi kuburan serta orang-orang yang membuat
tempat ibadah dan memberi penerangan lampu di atas kuburan.” (Hadits
riwayat para penulis Kitab Sunan).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran berhala.[1]
- Tafsiran tentang ibadah.[2]
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan do’anya itu, tiada lain hanya memohon kepada Allah supaya dihindarkan dari sesuatu yang dikhawatirkan terjadi [pada umatnya sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya, yaitu: sikap berlebihan terhadap kuburan beliau yang akhirnya kuburan beliau akan menjadi berhala yang disembah].
- Dalam do’anya itu, beliau shallallahu’alaihi wa sallam sebutkan pula perbuatan menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah.
- Bahwa Allah sangat murka [terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah.]
- Di antara masalah yang sangat penting untuk dijelaskan dalam bab ini ialah pengetahuan historis tentang penyembahan Al-Lata, berhala terbesar orang-orang Jahiliyah.
- Berhala ini asal usulnya kuburan orang yang shalih, [yang diperlakukan secara berlebihan dengan senantiasa dikunjungi oleh mereka].
- Al-Lata adalah nama orang yang dikuburkan itu, yang pada mulanya adalah seorang pengaduk tepung untuk para jama’ah haji.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat wanita penziarah kubur.
- Beliau juga melaknat orang-orang yang memberi penerangan lampu di atas kuburan.
Tindakan Rasulullah Untuk Melindungi Tauhid Dan Menutup Setiap Jalan Menuju Syirik
Firman
Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (At-Taubah: 128).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah
kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan
kuburanku sebagai tempat perayaan, tetapi ucapkanlah shalawat untukku karena
sesungguhnya ucapan shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada.”[3]
Dalam
hadits lain, Ali bin Al-Husein menuturkan bahwa ia melihat seseorang datang ke
salah satu celah pada kuburan Nabi lalu masuk ke dalamnya dan berdo’a. Maka ia
pun melarang orang itu dan berkata, ”Maukah kamu aku beritahu sebuah hadits
yang aku dengar dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah? Beliau
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai
tempat perayaan, dan janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai
kuburan, (tetapi ucapkanlah doa salam kepadaku) karena sesunguhnya doa salammu
sampai kepadaku dimana pun kamu berada. (Diriwayatkan dalam kitab
Al-Mukhtarah).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surat At-Taubah. [4]
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dan menjauhkan mereka sejauh-jauhnya dari syirik, serta beliau telah menutup setiap jalan yang menjurus kepada syirik.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kita, dan amat belas kasihan lagi penyayang.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang untuk menziarahi kuburannya dengan cara tertentu. [yaitu dengan menjadikannya sebagai tempat perayaan], padahal ziarah ke kuburan beliau termasuk amalan yang amat baik.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang untuk memperbanyak ziarah kubur.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menganjurkan untuk melakukan shalat sunnah di rumah.
- Telah menjadi ketetapan di kalangan kaum Salaf bahwa menyampaikan shalawat untuk Nabi tidak perlu masuk ke dalam kuburannya.
- Alasan bahwa ucapan shalawat dan salam dari seseorang untuk beliau akan sampai kepada beliau, di manapun ia berada. Maka tidak perlu harus mendekat sebagaimana diduga oleh orang yang menghendaki demikian.
- Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di alam Barzakh, ditunjukkan kepada beliau amal umatnya yang berupa shalawat dan salam untuknya.
Catatan
Kaki
[1]
Berhala ialah sesuatu yang diagungkan selain Allah,
seperti kuburan, batu, pohon dan sejenisnya.
[2]
Mengagungkan kuburan dengan dijadikan sebagai tempat melakukan ibadah, adalah
termasuk pengertian ibadah yang dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam.
[3]
Hadits riwayat Abu Dawud dengan isnad hasan, dan para perawinya tsiqat.
[4]
Ayat ini, dengan sifat-sifat yang disebutkan di dalamnya untuk pribadi Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, menunjukkan bahwa beliau telah memperingatkan
umatnya agar menjauhi syirik, yang merupakan dosa paling besar, karena inilah
tujuan utama diutusnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Hukum
Sihir
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid,
penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai seputar hukum sihir.
Bagaimana definisi sihir serta hukumnya?
Hukum Sihir
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Demi,
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab
Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.” (Al-Baqarah:102)
“Mereka
percaya kepada jibt dan thaghut.” (An-Nisa’: 51)
Menurut
‘Umar, “Jibt ialah sihir, sedangkan thaghut ialah setan.”
Kata
Jabir,”Thaghut-thaghut ialah para tukang ramal yang didatangi setan; pada
setiap kabilah ada seorang tukang ramal. “
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Jauhilah
tujuh perkara yang membawa kepada penghancuran." Para sahabat bertanya,
"Apakah ketuhuh perkara itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, Yaitu
Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakan harta anak yatim, membelot
(desersi) dalam peperangan dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita
mu’minah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak ada tahu menahu dengannya.”
(Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan
hadits marfu’ dari Jundab, “Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal
lehernya dengan pedang.” [1]
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari Bajalah bin ‘Abdah, ia berkata,
"Umar
bin Khaththab telah menetapkan perintah, yaitu: Bunuhlah tukang sihir laki-laki
maupun perempuan." Kata Bahjah selanjutnya, "Maka kami pun
melaksanakan hukuman mati terhadap tiga tukang sihir perempuan."
Dan
diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Hafshah telah memerintahkan agar seorang
budak perempuan miliknya yang telah menyihirnya dihukum mati, maka
dilaksanakanlah hukuman tersebut terhadap budak perempuan itu. Demikian pula
diiwayatkan dari Jundab.
Kata
Imam Ahmad, “Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa hukuman mati terhadap
tukang sihir telah dilakukan oleh tiga orang sahabat Nabi.”[2]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[3]
- Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’. [4]
- Pengertian jibt dan thaghut, serta perbedaan antara keduanya.
- Thaghut, bisa jadi jenis jin dan bisa jadi dari jenis manusia.
- Mengetahui tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran, yang telah dilarang secara khusus.
- Tukang sihir adalah kafir.[5]
- Tukang sihir dihukum mati tanpa diminta untuk bertaubat.
- Jika praktek sihir telah ada di kalangan kaum muslimin pada masa khalifah Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya?
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat At-Tirmidzi, dan katanya, "Yang benar, hadits ini
adalah mauquf."
[2]
Mereka itu adalah, ‘Umar, Hafshah dan Jundab.
[3]
Ayat pertama menunjukkan bahwa sihir haram hukumnya dan pelakunya kafir;
disamping mengandung suatu ancaman berat bagi orang yang berpaling dari
Kitabullah dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
[4]
Ayat kedua menunjukkan bahwa ada di antara umat ini yang beriman kepada sihir
(jibt), sebagaimana Ahli Kitab beriman kepadanya; Dan karena Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa akan ada di antara umat ini
yang mengikuti (dan meniru) umat-umat sebelumnya.
[5]
Tukang sihir menjadi kafir karena dua sebab: pertama, menggunakan setan;
dan kedua, karena mengaku tahu perkara ghaib.
Macam-macam
Sihir
Masih
dalam pembahasan selanjutnya, penulis Kitab Tauhid
meneruskan penjelasannya mengenai sihir dengan menyebutkan
macam-macamnya. Walaupun tidak banyak disebutkan, namun insya Allah kita dapat
gambaran sekilas. Apa saja macam-macamnya?
Macam-macam Sihir
Imam
Ahmad meriwayatkan,Telah dituturkan kepada kami oleh Muhammad bin Ja’far, dari
‘Auf, dari Hayyan bin al-’Ala’, dari Qathan bin Qabishah, dari
bapaknya (Qabishah) bahwa ia telah mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda, “Iyafah Tharq dan thiyarah adalah termasuk jibt.“
‘Auf
menafsiri hadits ini dengan mengatakan,“Iyafah: meramal nasib dengan
menerbangkan burung; dan tharq: meramal nasib dengan membuat garis di
atas tanah. Adapun jibt, tafsirannya menurut Al-Hasan, "Ialah suara
setan." [1]
Ibnu
Abbas menuturkan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
mempelajari sebagian dari ilmu nujum, sesungguhnya dia telah mempelajari
sebagian ilmu sihir. Semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari) semakin
bertambah pula (dosanya).”[2]
An-Nasa’i
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah,
“Barangsiapa
yang membuat suatu buhulan, lalu meniup padanya (sebagaimana yang dilakukan
tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir; dan barangsiapa yang melakukan
sihir, maka dia telah berbuat syirik; sedang barangsiapa yang menggantungkan
diri pada sesuatu benda (jimat), maka dirinya dijadikan Allah bersandar kepada
benda itu.“
Dari
Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah
kamu aku beritahu apakah ‘adh-h itu? Ialah perbuatan mengadu domba, yaitu
banyak membicarakan keburukan dan menghasut di antara orang-orang.” (Hadits riwayat
Muslim).
Dari
Ibnu ‘Umar menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
di antara susunan kata yang indah terdapat pa yang disebut sihir.” (Hadits riwayat
Al-Bukhari dan Muslim).
Kandungan Bab Ini
- Di antara macam sihir (jibt): ‘Iyafah, tharq dan thiyarah.
- Pengertian ‘iyafah dan tharq.
- Ilmu nujum termasuk salah satu jenis sihir.
- Membuat buhulan dengan ditiupkan kepadanya termasuk sihir.
- Perbuatan mengadu domba juga termasuk sihir.
- Dan termasuk sihir pula ungkapan susunan kata yang indah, [yang membuat kebatilan seolah-olah menjadi kebenaran, dan kebenaran seolah-olah menjadi kebatilan].
Catatan
Kaki
[1]
Hadits tersebut isnad-nya jayyid. Dan diriwayatkan pula dari Abu Dawud,
An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan hanya menyebutkan lafazh
hadits dari Qabishah, tanpa menyebutkan tafsirannya.
[2]
Hadits riwayat Abu Dawud dan isnad-nya shahih.
Dukun,
Tukang Ramal Dan Sejenisnya Serta Tentang Nusyrah
Melanjutkan
pembahasan Kitab Tauhid, akan dijelaskan mengenai definisi dukun dan tukang
ramal. Bagaimana hukum mendatangi mereka dan bagaimana status mereka dalam
hukum Islam. Lalu akan dibahas pula mengenai Nusyrah. Apa itu Nusyrah
dan bagaimana Islam menghukuminya?
Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya
Imam
Muslim
dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,“Barangsiapa mendatangi
tukang ramal lalu mananyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia
mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.”
Abu
Dawud
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa
mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka
sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam .”
Dan
diriwayatkan oleh keempat periwayat[1] dan Al-Hakim dengan menyatakan
hadits ini shahih menurut keriteria Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya,
maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.“
Abu
Ya’la
pun meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti tersebut di atas,
dengan sanad jayyid. Al-Bazzar dengan isnad jayyid meriwayatkan hadits
marfu’ dari ‘Imran bin Hushain,
“Tidak
termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal
atau meminta diramalkan, menyihir atau meminta disihirkan; dan barangsiapa
mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka
sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.”
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dengan
isnad hasan dari Ibnu ‘Abbas tanpa penyebutan kalimat, "Dan barangsiapa
mendatangi … " dan seterusnya.
Al-Baghawi[2]
berkata, “Al-’Arraf (orang pintar) ialah orang yang mengaku
tahu dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau
tempat barang hilang atau semacamnya. Adapula yang mengatakan: Dia adalah kahin
(dukun), padahal kahin adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara
yang akan terjadi di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan: Yaitu orang yang
memberitahukan apa yang tersimpan dalam hati seseorang.”
Menurut
Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah, “Al-’Arraf adalah sebutan untuk tukang ramal,
tukang nujum, peramal nasib dan yang sebangsanya, yang menyatakan tahu tentang
perkara-perkara (yang tidak diketahui orang lain) dengan cara-cara tersebut.”
Ibnu
‘Abbas, terhadap orang-orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad"
untuk mencari pelamat rahasia huruf dan memperhatikan bintang-bintang (untuk
ramalan), mengatakan,
“Aku
tak tahu bahwa orang yang mempraktekkan hal itu akan memperoleh suatu bagian
keuntungan di sisi Allah.”
Kandungan Bab Ini
- Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin antara iman kepada Al-Qur’an dengan percaya kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.
- Dinyatakan bahwa mempercayainya adalah kufur.
- Ancaman bagi orang yang meminta diramalkan.
- Ancaman bagi orang yang meminta tathayyur.
- Ancaman bagi orang yang meminta disihirkan.
- Ancaman bagi orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad" [untuk mencari pelamat rahasianya].
- Perbedaan antar kahin dan ‘arraf, [bahwa kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang, yang diperolehnya dari setan penyadap berita di langit].
Tentang Nusyrah
Jabir
menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
nusyrah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Hal itu
termasuk perbuatan setan."[3]
Imam
Ahmad ketika ditanya tentang nusyrah, menjawab, "Ibnu Mas’ud membenci
itu semuanya."
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Qatadah menuturkan, "Aku bertanya
kepada Ibn Al-Musayyab, Seseorang yang terkena sihir atau diguna-gunai tidak
dapat menggauli isterinya, apakah boleh disembuhkan dengan nusyrah, atau dengan
cara lain? Ia menjawab, Tidak apa-apa hukumnya, karena yang mereka
inginkan hanyalah kebaikan untuk menolak mudharat. Sedangkan sesuatu yang
bermanfaat itu tidaklah dilarang.”
Dan diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa ia berkata, "Tidak ada yang dapat melepaskan pengaruh sihir kecuali seorang tukang sihir."
Ibnu
Al-Qayyim menjelaskan, “Nusyrah ialah penyembuhan terhadap
seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam,
Pertama, dengan menggunakan
sihir pula, dan inilah yang termasuk perbuatan setan. Dan pendapat Al-Hassan
tersebut dapat dimasukkan ke dalam jenis ini, karena orang yang menyembuhkan
dan orang yang disembuhkan mengadakan pendekatan kepada setan dengan apa yang
diinginkannya, sehingga dengan demikian perbuatan setan itu gagal memberi
pengaruh terhadap orang yang terkena sihir itu.
Kedua, penyembuhan dengan
menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awudz, obat-obatan dan do’a-do’a yang
diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh)."
Kandungan Bab Ini
- Larangan terhadap nusyrah
- Perbedaan antara macam nusyrah yang dilarang dan yang diperbolehkan, dengan demikian menjadi jelas masalahnya.
Catatan
Kaki
[1]
Yakni: Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.
[2]
Abu Muhammad: Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra’ atau Ibn Al-Farra’
Al-Baghawi. Digelari Muhyi-s-Sunnah, kitab-kitab yang disusunnya antara lain:
Syarh As-Sunnah, Al-Jami’ Baina Ash-Shahihain. Lahir tahun 436H (1044M) dan
meninggal tahun 510H (1117M).
[3]
Hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad jayyid dan riwayat Abu Dawud.
Hukum
Tathayyur
Setelah
menjelaskan definisi dan hukum Dukun dan tukang ramal serta Nusyrah, selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid,
menjelaskan apa itu tathayyur (merasa sial karena suatu sebab) dan
bagaimana hukumnya. Bagaimana dalil-dalil serta penjelasan para ulama’ mengenai
hal ini?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf:31)
“Utusan-utusan
itu berkata, "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika
kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang
melampaui batas.”
(Yasin: 19)
Abu
Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
ada ‘adwa[1], thiyarah[2], hamah[3] dan shafar[4].” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula dari Anas, ia berkata, Telah bersabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, "Tidak ada ‘adwa dan thiyarah, tetapi
fa’l menyenangkan diriku." Para sahabat bertanya, "Apakah fa’l
itu?" Beliau menjawab, "Yaitu kalimah thayyibah (kata-kata yang
baik)."
Abu
Dawud
meriwayatkan dengan sanad sahih dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata, "Thiyarah
disebut-sebut di hadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda, “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tersebut tidak boleh
menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang di antara kamu
melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka supaya berdo’a, “Ya Allah, tiada
yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau; tiada yang dapat menolak
keburukan selain Engkau; dan tiada daya serta kekuatan kecuali dengan
pertolongan Engkau.”
Abu
Dawud
meriwayatkan pula hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
“Thiyarah
adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tiada seorang pun di antara kita
kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah
menghilangkannya dengan bertawakkal kepada-Nya.”
Hadits
ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih dan
kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas’ud.
Imam
Ahmad
meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Amr, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa mengurungkan hajatnya (kepentingannya) karena
thiyarah, maka dia telah berbuat syirik. Para sahabat bertanya, "Lalu
apakah sebagai tebusannya?" Beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab,
"Supaya dia mengucapkan, ‘Ya Allah tiada kebaikan kecuali kebaikan dari
Engkau; tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau; dan tiada Sembahan yang
hak (benar) selain Engkau.’”
Imam
Ahmad
meriwayatkan pula hadits dari Al-Fadhl bin Al-’Abbas: “Sesungguhnya thiyarah
itu ialah yang menjadikan kamu terus melangkah atau mengurungkan niat (dari
keperluanmu).”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran kedua ayat tersebut di atas.[7]
- Dinyatakan bahwa tidak ada ‘adwa.
- Dinyatakan bahwa tidak ada thiyarah.
- Dan dinyatakan bahwa tidak ada hamah.
- Serta dinyatakan bahwa tidak ada Shafar.
- Fa’l tidak termasuk yang ditolak dan dilarang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan dianjurkan.
- Pengertian fa’l.
- Apabila terjadi thiyarah (tathayyur) dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu tidak apa-apa hukumnya, bahkan Allah menghapusnya dengan tawakkal.
- Doa yang harus dibaca oleh orang yang menjumpai hal tersebut.
- Ditegaskan bahwa thiyarah adalah syirik.
- Pengertian thiyarah yang tercela dan terlarang.
Catatan
Kaki
[1]
‘Adwa: penjangkitan atau penularan penyakit.
Maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya; sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan, “…dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah Ta’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bukan keberadaan penjangkitan atau penularannya; sebab, dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan, “…dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Ini
menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan sendirinya tidak
ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir Ilahi, namun sebagai insan muslim
di samping iman kepada takdir tersebut haruslah berusaha melakukan tindakan
preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman
singa. Inilah hakekat iman kepada takdir Ilahi.
[2]
Thiyarah: merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat
burung, binatang lainnya, atau apa saja.
[3]
Hamah: burung hantu. Orang-orang Jahiliyah merasa bernasib sial dengan
melihatnya; apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang di
antara mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang
dirinya sendiri atau salah satu anggota keluarganya.
Dan maksud sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan oleh-Nya.
[4]
Shafar: bulan kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram.
Orang-orang Jahiliyah beranggapan, bahwa bulan ini membawa nasib sial atau
tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini (adalah):
merasa bahwa hari Rabu mendatangkan sial, dll. Hal ini termasuk jenis thiyarah,
dilarang dalam Islam.
[5]
Nau’: bintang; arti asalnya adalah: tenggelam atau terbitnya suatu
bintang. Orang-orang Jahiliyah menisbatkan turunnya hujan pada bintang ini,
atau bintang itu.
Maka
Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun karena
bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah Ta’ala.
[6]
Ghul: hantu (genderuwo), salah satu makhluk jenis jin. Mereka
beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat
menyesatkan seseorang dan mencelakakannya.
Sedang
maksud sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam di sini bukanlah tidak mengakui
keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik
tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah serta tidak bertawakkal
kepada-Nya. Inilah yang ditolak oleh beliau shallallahu’alaihi wa sallam; untuk
itu dalam hadits lain beliau bersabda,
“Apabila
hantu bereaksi menakut-nakuti kamu, maka serukanlah adzan”
Artinya,
tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan menyebut Allah. Hadits ini
diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al-Musnad.
[7]
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa tathayyur termasuk perbuatan Jahiliyah dan
syirik, karena segala sesuatu termasuk nasib sial merupakan takdir dari Allah;
dan menunjukkan bahwa kesialan terjadi karena perbuatan maksiat kepada Allah.
Cinta
Kepada Allah
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid memberikan keterangan mengenai bentuk cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya. Lalu bagaimana dengan bentuk cinta kepada selain mereka? Apa
saja batasan-batasannya?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165).
“Katakanlah,
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu
cintai dari pada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (At-Taubah: 24)
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
beriman (sempurna) seseorang di antara kamu sebelum aku lebih dicintainya
daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.”
Al-Bukhari
dan Muslim
juga meriwayatkan dari Anas, katanya Telah bersabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, “Ada tiga perkara, barangsiapa terdapat dalam
dirinya ketiga perkara itu, dia pasti merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; mencintai seseorang tiada lain
hanya karena Allah; dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan
oleh Allah darinya sebagaimana dia tidak mau kalau dicampakkan ke dalam api
Neraka.”[1]
Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata,
“Barangsiapa
mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela
seseorang karena Allah dan memusuhi seseorang karena Allah, maka sesungguhnya
kecintaan dan pertolongan dari Allah hanyalah bisa diperoleh dengan hal
tersebut. Dan seorang hamba tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman,
sekalipun banyak shalat dan shiyamnya, sehingga dia bersikap demikian.
Persahabatan di antara manusia umumnya didasarkan atau kepentingan dunia namun
hal itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka.”
Ibnu
‘Abbas, dalam menafsirkan firman Allah, "… dan putuslah segala hubungan
antara mereka sama sekali."[2] mengatakan, "yaitu kasih
sayang."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah.[3]
- Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah / At-Taubat. [4]
- Wajib Mencintai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri, keluarga dan harta benda.
- Pernyataan "tidak beriman", bukan berarti keluar dari Islam, tetapi artinya adalah tidak beriman dengan sempurna.
- Bahwa iman ada rasa manisnya. Kadangkala dapat menoreh seseorang dan kadangkala tidak.
- Disebutkan empat sikap yang merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kewalian dari Allah, dan seseorang tidak akan menemukan rasa nikmatnya iman kecuali dengan keempat sikap itu.
- Pemahaman Ibnu ‘Abbas terhadap realita, bahwa hubungan persahabatan pada umumnya didasarkan atas kepentingan duniawi
- Tafsiran ayat, "… dan terputuslah segala hubungan antara mereka sama sekali”. [5]
- Disebutkan bahwa di antara orang-orang musyrik ada yang mencintai Allah, dengan kecintaan yang sangat.
- Ancaman terhadap seseorang yang kedelapan perkara tersebut di atas [orang tua, saudara, isteri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan dan tempat tinggal] lebih dicintai daripada agamanya.
- Memuja selain Allah dengan sendirinya sebagaimana mencintai Allah, itulah syirik akbar.
Catatan
Kaki
[1]
Dan disebutkan dalam riwayat lain, "Seseorang tidak akan merasakan
manisnya iman, sebelum …" dst.
[2]
Surah Al-Baqarah: 166.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa mempertuhankan selain Allah dengan mencintai
seperti mencintai Allah maka dia adalah musyrik.
[4]
Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan cinta kepada yang dicintai
Allah wajib didahulukan di atas segala-galanya.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang telah dibina orang-orang
musyrik di dunia akan terputus sama sekali ketika di akhirat, dan masing-masing
dari mereka akan melepaskan diri darinya.
Ilmu Nujum
(Astrologi) dan Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang
Apa
itu ilmu nujum? Bagaimana hukumnya dalam Islam? Lalu bagaimana jika kita
mempelajarinya hanya untuk mengetahui peredaran benda-benda dalam tata surya
kita? Apa saja manfaat-manfaat yang Allah berikan dalam penciptaan
bintang-bintang? Simak jawabannya dalam pembahasan Kitab Tauhid
kali ini.
1. Ilmu
Nujum (Astrologi)
Al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa Qatadah mengatakan,
“Allah
menciptakan bintang-bintang ini, untuk tiga hikmah, sebagai hiasan langit,
sebagai alat pelempar setan dan sebagai tanda-tanda untuk petunjuk (arah dan
sebagainya). Karena itu, barangsiapa dalam masalah ini berpendapat selain
tersebut, maka dia telah salah dan menyia-nyiakan nasibnya serta membebani diri
anda dengan hal yang di luar batas pengetahuannya.”
Tentang
mempelajari letak-letak peredaran bulan, Qatadah menyatakan makruh, sedang Ibnu
‘Uyainah tidak membolehkan. Demikian disebutkan oleh Harb dari mereka. Tetapi
Imam Ahmad dan Ishaq memperbolehkan hal tersebut.[1]
Abu
Musa menuturkan, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga
jenis manusia tidak masuk Surga, yaitu, pecandu khamr (minuman keras), orang
yang mempercayai sihir[2] dan pemutus hubungan kekeluargaan.”[3]
Kandungan Bab Ini
- Hikmah penciptaan bintang-bintang.
- Bantahan terhadap orang yang berpendapat selain tersebut.
- Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah mempelajari letak-letak peredaran bulan.
- Ancaman bagi orang yang mempercayai sesuatu sihir [yang di antara jenisnya adalah ilmu nujum (astrologi)], walaupun dia mengetahui akan kebatilannya.
2. Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang
Firman
Allah Ta’ala,
“Dan
kamu membalas rizki (yang telah dikaruniakan Allah) kepadamu dengan mendustakan
Allah yang tidak benar.” (Al-Waqi’ah: 82).
Abu
Malik Al-Asy’ari menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Empat perkara yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan
Jahiliyah, yang tidak ditinggalkan oleh mereka: membanggakan kebesaran leluhur,
mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang dan
meratapi orang mati.”
Lalu
beliau bersabda, “Wanita yang meratapi orang mati, apabila belum bertaubat
sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari Kiamat dan dikenakan kepadanya
pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga serta mantel yang
bercampur dengan penyakit gatal.” (Hadits riwayat Muslim)
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan dari Zaid dan Khalid, katanya,
“Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam telah mengimani kami dalam shalat Shubuh di
Hudaibiyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau menghadap
kepada orang-orang lantas bersabda, "Tahukah kamu apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Dia berfirman, “Pagi ini di antara hamba-hambaKu ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Tuhan’, dia beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang.”
kepada orang-orang lantas bersabda, "Tahukah kamu apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Dia berfirman, “Pagi ini di antara hamba-hambaKu ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Tuhan’, dia beriman kepadaKu dan kafir kepada bintang.”
Sedangkan
orang yang mengatakan ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini,
atau bintang itu.’, dia kafir kepadaKu dan beriman kepada bintang.
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula hadits dari Ibnu ‘Abbas, yang maknanya antara lain disebutkan
demikian, “…Ada di antara mereka berkata, ‘Sungguh telah benar bintang ini
atau bintang itu.’ Sehingga Allah menurunkan firman-Nya, Maka Aku bersumpah
dengan tempat-tempat peredaran bintang-bintang… dst. sampai firman-Nya, Dan
kamu membalas rizki (yang telah dikaruniakan Allah) kepadamu dengan mengatakan
perkataan yang tidak benar. [4]
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Waqi’ah.[5]
- Disebutkan empat perkara termasuk perbuatan Jahiliyah.
- Dinyatakan bahwa di antara perkara-perkara tersebut ada yang disebut sebagai kufur [yaitu menisbatkan turunnya hujan kepada bintang].
- Kufur ada yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.
- Di antara dalilnya, firman Allah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Pagi ini di antara hamba-hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir…" disebabkan turunnya nikmat hujan.
- Perlu difahami makna iman dalam kasus tersebut.
- Dan perlu difahami pula makna kufur dalam kasus tersebut.
- Di antara pengertian kufur, adalah ucapan salah seorang dari mereka, "Sungguh telah benar bintang ini, atau bintang itu."
- Metode pengajaran kepada orang yang tidak mengerti masalah dengan mengajukan pertanyaan, sebagai contohnya, sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, "Tahukah kamu apa yang difirmankan oleh Tuhanmu?"
- Ancaman bagi wanita yang meratapi orang mati.
Catatan
Kaki
[1]
Maksudnya, mempelajari letak matahari, bulan dan bintang untuk mengetahui arah
kiblat, waktu shalat dan semisalnya, maka hal itu diperbolehkan.
[2]
Mempercayai sihir yang di antara macam-nya adalah ilmu nujum (astrologi).
Sebagaimana telah dinyatakan dalam suatu hadits, “Barangsiapa mempelajari
sebagian dari ilmu nujum, maka sesungguhnya dia telah mempelajari sebagian dari
ilmu sihir …“ Lihat bagian Macam-macam Sihir.
[3]
Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.
[4]
Surah Al-Waqi’ah: 75 – 82.
[5]
Dalam ayat ini Allah mencela orang-orang musyrik atas kekafiran mereka terhadap
nikmat yang dikaruniakan Allah dengan menisbatkan turunnya hujan kepada bintang;
dan Allah menyatakan bahwa perkataan ini dusta dan tidak benar, karena turunnya
hujan adalah karunia dan rahmat dariNya.
Takut
Kepada Allah dan Tawakkal Kepada Allah
Melanjutkan
pembahasan selanjutnya dari Kitab Tauhid, kami
suguhkan dua bab pendek sekaligus yaitu “Takut Kepada Allah” dan “Tawakkal
Kepada Allah”. Penulis menjelaskan secara singkat mengenai kedua hal ini.
Penjelasannya secara panjang lebar, bisa didapatkan dari buku “Fathul Majid,
Syarah Kitabut Tauhid”. Walaupun tidak panjang, mari kita simak sebagai
rangkuman dari penulis.
Takut Kepada Allah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.”
(Ali Imran: 175).
“Hanyalah
yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari Kemudian, serta tetapi mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah:18).
“Dan
di antara manusia ada orang yang berkata, "Kami beriman kepada
Allah", maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia
menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah. Dan sungguh jika datang
pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata, "Sesungguhnya kami
adalah besertamu." Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada
semua manusia?.”
(Al-Ankabut:10).
Diriwayatkan
hadits marfu’ dari Abu Sa’id:
“Sesungguhnya
termasuk lemahnya keyakinan apabila kamu mencari kerelaan manusia dengan
kemurkaan Allah, memuji mereka atas rizki Allah yang diberikan lewat mereka,
dan mencela mereka atas sesuatu yang belum diberikan Allah kepadamu lewat
mereka. Sesungguhnya rizki Allah itu tidak dapat didatangkan oleh ketamakan
orang yang tamak dan tidak pula dapat digagalkan oleh kebencian orang yang
membenci.”
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
berusaha mendapatkan ridha Allah, sekalipun dengan resiko kemarahan manusia,
maka Allah meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa
berusaha mendapatkan ridha manusia dengan melakukan apa yang menimbulkan
kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia murka pula
kepadanya.”[1]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran.[2]
- Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah / At-Taubah.[3]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-’Ankabut.[4]
- Keyakinan bisa menjadi lemah dan bisa menjadi kuat.
- Tanda lemahnya keyakinan, antara lain: tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id.
- Memurnikan rasa takut kepada Allah termasuk kewajiban.
- Pahala bagi orang yang mengamalkannya.
- Ancaman bagi orang yang tidak mengamalkannya.
Tawakkal Kepada Allah
Firman
Allah Azza wa Jalla:
“Dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.”
(Al-Maidah: 23).
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah,
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal: 2).
“Hai
Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu’min
yang mengikutimu.”
(Al-Anfal: 64).
“Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.”
(Ath-Thalaq: 3).
Al-Bukhari
dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, katanya, “Cukuplah Allah bagi
kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Kalimat
ini diucapkan Ibrahim ketika dicampakkan ke dalam api, dan diucapkan Muhammad
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya
orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena
itu takutlah kepada mereka. Tetapi perkataan itu malah menambah keimanan mereka
…” [5]
Kandungan Bab Ini
- Tawakkal termasuk kewajiban.
- Tawakkal termasuk syarat-syarat iman.
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Anfal.[6]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Anfal.[7]
- Tafsiran ayat dalam surah Ath-Thalaq.[8]
- Kalimat "Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil" mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena telah diucapkan oleh Nabi Ibrahim Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika dalam situasi yang sulit sekali.
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.
[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa khauf (takut) termasuk ibadah yang harus ditujukan
kepada Allah semata-mata, dan di antara tanda kesempurnaan iman adalah tiada
merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah saja.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa memurnikan rasa takut kepada Allah adalah wajib,
sebagaimana shalat, zakat dan kewajiban lainnya.
[4]
Ayat ini menunjukkan bahwa merasa takut akan perlakuan buruk dan menyakitkan
dari manusia dikarenakan iman kepada Allah adalah termasuk takut kepada selain
Allah; dan menunjukkan pula kewajiban bersabar dalam berpegang teguh pada jalan
Allah.
[5]
Ali Imran: 173.
[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah merupakan sifat orang-orang
yang beriman kepada Allah; dan menunjukkan bahwa iman dapat bertambah dan dapat
pula berkurang.
[7]
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam dan orang-orang yang beriman yang mengikutinya supaya bertawakkal
kepada Allah, karena Allah-lah yang mencukupi keperluan mereka.
[8]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bertawakkal kepada Allah dan pahala bagi orang
yang mengamalkannya.
Merasa
Aman Dari Siksa Allah Dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya Serta Sabar Atas Segala
Takdir-Nya
Selanjutnya
juga merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau menjelaskan bahwa sikap merasa
aman dari siksa Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya merupakan dosa besar,
sebagaimana beliau bawakan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Rasulullah.
Simak juga bab pendek selanjutnya mengenai sikap sabar atas takdir Allah.
Merasa Aman
Dari Siksa Allah Dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya
Firman
Allah,
“Maka
apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah
yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 99).
“Ibrahim
berkata, "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali
orang-orang yang sesat." (Al-Hijr:56).
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ditanya
tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,”Yaitu syirik kepada Allah, putus
asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.”[1]
‘Abdurrazzaq
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Dosa-dosa besar yang paling
besar ialah syirik kepada Allah, merasa aman dari siksa Allah, berputus harapan
dari rahmat Allah dan berputus asa dari pertolongan Allah.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-A’raf.[2]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Hijr.[3]
- Ancaman Keras Terhadap orang yang merasa aman dari siksa Allah.
- Ancaman Keras Terhadap orang yang berputus asa dari rahmat Allah.
Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak
ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun:
11).
‘Alqamah[4]
menafsirkan iman yang tersebut dalam ayat ini dengan mengatakan, “Yaitu:
seseorang yang ketika ditimpa musibah ia meyakini bahwa itu semua dari Allah,
maka ia pun ridha dan pasrah (atas takdirNya).“
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda, “Ada dua perkara yang masih dilakukan orang, padahal
kedua-duanya adalah kufur, yaitu mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
Al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud,
“Tidak
termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan
menyeru dengan seruan Jahiliyah.”
Diriwayatkan
dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila
Allah menghendaki kebaikan pada seorang hambaNya maka Dia menyegerakan hukuman
baginya di dunia; sedang apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang
hambaNya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi balasannya nanti di
hari Kiamat.”
[4]
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda , “Sungguh, besarnya pahala setimpal
dengan besarnya cobaan; dan sungguh Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum,
diujiNya mereka dengan cobaan. Untuk itu, barangsiapa yang ridha maka baginya
keridhaan dari
Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.” [5]
Allah, sedang barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.” [5]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah At-Taghabun. [6]
- Sabar terhadap segala cobaan termasuk iman kepada Allah.
- Ancaman keras terhadap orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek pakaian dan menyeru dengan seruan Jahiliyah [karena meratapi orang mati].
- Tanda apabila Allah menghendaki keburukan kepada hambaNya.
- Tanda kecintaan Allah kepada hambaNya.
- Dilarang bersikap marah dan tidak sabar atas cobaan yang diujikan Allah.
- Pahala bagi orang yang ridha atas cobaan yang menimpanya.
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat Al-Bazzar dan Ibnu Abi Hatim. Isnadnya hasan.
[2]
Ayat ini menunjukkan bahwa merasa aman dari siksa adalah dosa besar yang haris
dijauhi oleh orang mu’min.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa bersikap putus asa dari rahmat Allah termasuk pula
dosa besar yang harus dijauhi. Dari kedua ayat, dapat disimpulkan bahwa seorang
mu’min harus memadukan antara dua sikap harap dan khawatir. Harap akan rahmat
Allah dan khawatir terhadap siksaNya.
[4]
‘Alqamah bin Qais bin ‘Abdullah bin Malik An-Nakha’i. Salah seorang tokoh dari
ulama tabi’in. Dilahirkan pada masa hidup Nabi. Meninggal tahun 62H (681M).
[5]
Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim.
[6]
Hadits hasan, menurut At-Tirmidzi.
[7]
Ayat ini menunjukkan keutaman sabar atas segala takdir Allah yang
pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.
pahit, seperti musibah; dan menunjukkan pula bahwa amal termasuk dalam pengertian iman.
Riya’
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid,
penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai riya’ yang merupakan hal yang
paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam daripada
fitnahnya Al-Masih ad-Dajjal. Ikuti penjelasan beliau mengenai syirik kecil
ini.
Tentang
Riya’[1]
Firman
Allah,
“Katakanlah,
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Tuhannya’." (Al-Kahfi:110).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Allah berfirman: “Aku adalah Sekutu Yang Maha Cukup, sangat menolak
perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu amal dengan dicampuri
perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima)
amal syiriknya itu.” (Hadits riwayat Muslim).
Diriwayatkan
dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maukah
kamu aku beritahu tentang sesuatu, yang menurutku lebih aku khawatirkan
terhadap kamu daripada Al-Masih Ad-Dajjal [2] Para sahabat menjawab,
"Baiklah ya Rasulullah." Beliau shallallahu’alaihi wa sallam pun
bersabda, Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan shalat,
dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.”
(Hadits riwayat Imam Ahmad).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Kahfi[3]
- Masalah yang penting sekali, yaitu: bahwa amal shalih apabila dicampuri dengan sesuatu yang bukan Lillah, maka tidak diterima oleh Allah.
- Disebutkan alasan yang menyebabkan hal tersebut, yaitu bahwa Allah Ta’ala adalah Sembahan yang amat menolak perbuatan syirik karena sifat ke-MahacukupanNya.
- Alasan lainnya, bahwa Allah adalah Sekutu yang terbaik.
- Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir apabila sahabatnya melakukan riya’.
- Tafsiran riya’, contohnya: seseorang melakukan shalat dengan niat Lillah, akan tetapi dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.
Catatan
Kaki
[2]
Al-Masih Ad-Dajjal ialah seorang manusia pembohong terbesar yang akan
muncul pada akhir zaman, mengaku sebagai Al-Masih bahkan mengaku sebagai tuhan
yang disembah. Kehadirannya di dunia ini termasuk di antara tanda-tanda besar
akan tibanya hari Kiamat. Sedang keajaiban-keajaiban yang bisa dilakukannya
merupakan cobaan dari Allah untuk umat manusia yang masih hidup pada masa itu.
Disebutkan
dalam shahih Muslim bahwa kemunculannya di dunia nanti selama 40 hari,
di antara hari-hari tersebut: sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan,
sehari bagaikan seminggu, kemudian hari-hari lainnya sebagaimana biasa; atau
kalau kita jumlahkan sama dengan satu tahun, dua bulan dua minggu.
Hadits-hadits
tentang Ad-Dajjal ini telah diriwayatkan oleh banyak kalangan sahabat, antara
lain: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Mu’adz bin Jabal, Jabir bin ‘Abdullah,
Abu Sa’id Al-Khudri, An-Nawwas bin Sim’an, Anas bin Malik, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Fathimah binti Qais, dan lain-lain.
Masalah
ini bisa dirujuk dalam:
·
Shahih Al-Bukhari: Kitab Al-Fitan bab 26-27; Kitab At-Tauhid bab 27, 31.
·
Shahih Muslim: Kitab Al-Fitan bab 20 – 25.
·
Shahih At-Tirmidzi: Kitab Al-Fitan bab 55 – 62.
·
Sunan Abu Dawud: Kitab Al-Malahin bab 14, 15.
·
Sunan Ibnu Majah: Kitab Al-Fitan bab 33.
·
Musnad Imam Ahmad: jilid 1 hal. 6-7; jilid 2 hal. 33, 37, 67, 104, 124,
131; jilid 5 hal. 27, 32, 43, 47.
·
dan kitab-kitab koleksi hadits lainnya.
[3]
Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali
bila memenuhi dua syarat:
1.
Ikhlas semata-mata karena Allah, tidak ada syirik di dalamnya sekalipun syirik
kecil seperti riya’.
2.
Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam karena suatu
amal disebut shalih jika ada dasar perintahnya dalam agama.
Ayat
ini mengisyaratkan pula bahwa ibadah itu tauqifiyah, artinya
berlandaskan pada ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
tidak menurut akal maupun hawa nafsu seseorang.
Motivasi Seseorang Dalam
Amalnya & Hakikat Mempertuhankan Ulama’
Selanjutnya
merupakan gabungan dari dua bab pendek dari penulis Kitab
Tauhid menjelaskan bahwa motivasi amal seseorang dapat menimbulkan suatu
kesyirikan. Lalu bab yang satu lagi mengenai Ahlul Kitab yang mempertuhankan
ulama’ (rahib-rahib) mereka. Bagaimana kedua hal ini bisa terjadi? Mari simak
keterangan beliau berikut ini.
Termasuk
Syirik: Motivasi Seseorang Dalam Amalnya Kepentingan Duniawi
Allah
Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepadanya balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat
kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15 – 16).
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah, ia menuturkan bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah
hamba khamilah.[1] Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi, ia marah.
Celakalah ia dan tersungkurlah! Apabila terkena duri semoga tidak dapat
mencabutnya. Berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan
Allah), dengan kusut rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada
di pos penjagaan, dia tetap setia berada di pos penjagaan itu; dan bila
ditugaskan di garis belakang dia akan tetap setia berada di garis belakang itu.
Jika dia meminta permisi (untuk menemui raja atau penguasa) tidak
diperkenankan,[2] dan jika bertindak sebagai perantara tidak diterima
perantaranya.”
Kandungan
Bab Ini
- Motivasi seseorang dalam amal ibadahnya, yang semestinya untuk akhirat malah untuk kepentingan duniawi [termasuk syirik dan menjadikan pekerjaan itu sia-sia tidak diterima oleh Allah].
- Tafsiran ayat dalam surah Hud.[3]
- Manusia muslim, disebut sebagai hamba dinar, dirham khamishah dan khamilah [jika menjadikan kesenangan duniawi sebagai tujuan].
- Tafsiran hal tersebut, yaitu jika diberi senang, tetapi jika tidak, marah.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendoakan, "Celakalah ia dan tersungkurlah."
- Juga mendo’akan, "Apabila terkena duri semoga tidak dapat mencabutnya."
- Pujian untuk mujahid yang memiliki sifat-sifat sebagaimana tersebut dalam hadits.
Barangsiapa Mentaati Ulama’ dan Umara’ Dalam Mengharamkan Apa yang Dihalalkan Allah, atau Menghalalkan Apa yang Diharamkan Allah, Berarti Ia Telah Mempertuhankan Mereka
Ibnu
‘Abbas berkata, “Aku khawatir bila kalian ditimpa hujan batu dari langit.
Aku menuturkan, Telah bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi
kalian malah mengatakan, "Kata Abu Bakar dan ‘Umar (apa)?!"
Imam
Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Aku merasa heran dengan orang yang tahu
tentang isnad hadits dan ke-shahih-annya, tetapi mereka menjadikan pendapat
Sufyan (Ats-Tsauri) sebagai acuannya, padahal Allah telah berfirman,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.”
Tahukah kamu apakah pengertian fitnah di sini? Yaitu syirik. Bisa jadi apabila dia menolak sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, akan terjadi dalam hatinya suatu kesesatan, sehingga celakalah dia.”
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih.”
Tahukah kamu apakah pengertian fitnah di sini? Yaitu syirik. Bisa jadi apabila dia menolak sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam, akan terjadi dalam hatinya suatu kesesatan, sehingga celakalah dia.”
Diriwayatkan
dari ‘Adiy bin Hatim bahwa ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
membaca firman Allah, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah …” (An-Nur: 63).
Tutur
‘Adiy selanjutnya, Maka aku berkata kepada beliau, Sungguh kami tidaklah
menyembah mereka. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bertanya, Tidakkah mereka
itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamu pun
mengharamkannya? Dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan
Allah, lalu kamu pun menghalalkannya? Aku menjawab, "Ya." Maka beliau
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Itulah ibadah (penyembahan) kepada
mereka."[4]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah An-Nur.[5]
- Tafsiran ayat dalam surah Bara’ah.[6]
- Contoh kasus yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas dengan menyebut Abu Bakar dan ‘Umar; dan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan menyebut Sufyan (Ats-Tsauri).
- Hal tersebut telah berkembang sedemikian rupa, sehingga terjadi pada kebanyakan orang, penyembahan orang-orang shalih yang dianggap sebagai amal afdhal dan dipercayai sebagai wali [yang dapat mendatangkan suatu manfaat atau menjauhkan bencana] serta penyembahan orang-orang alim melalui ilmu pengetahuan dan fiqh [dengan diikuti apa saja yang mereka katakan, baik sesuai dengan firman Allah dan sabda RasulNya atau tidak].
Hal ini pun kemudian berkembang lebih parah lagi, sehingga disembah pula orang-orang yang tidak shalih [dengan dipercayai sebagai wali meski perbuatannya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya] dan disembah juga orang-orang yang bodoh yang tidak berilmu [dengan dipatuhi saja pendapatnya, bahkan bid'ah dan syirik yang mereka lakukan juga diikuti].
Catatan
Kaki
[1]
Khamishah dan khamilah adalah
pakaian yang terbuat dari wol atau sutera dengan diberi sulaman atau
garis-garis yang menarik dan indah.
Maksud
ungkapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan sabdanya tersebut ialah
untuk menunjukkan orang yang sangat ambisi dengan kekayaan dan duniawi,
sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itulah orang-orang yang celaka dan
sengsara.
[2]
Tidak diperkenankan dan tidak diterima perantaraannya, yaitu dia tidak
mempunyai kedudukan atau pangkat dan tidak terkenal; soalnya, perbuatan dan
amal yang dilakukannya diniati Lillah semata-mata .
[3]
Ayat ini menjelaskan tentang hukum orang yang motivasinya hanya kepentingan dan
kenikmatan duniawi dan akibat yang akan diterimanya baik di dunia maupun di
akhirat nanti.
[4]
Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan menyatakan
hasan.
[5]
Ayat ini mengandung suatu peringatan supaya kita jangan sampai menyalahi Kitab
(Al-Qur’an -red. vbaitullah) dan Sunnah.
[6]
Ayat dalam surah Bara’ah menunjukkan bahwa barangsiapa mentaati seseorang
dengan menyalahi hukum yang telah ditetapkan Allah berarti telah mengangkatnya
sebagai tuhan selain Allah.
Berhakim
Kepada Selain Allah Dan RasulNya
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara
singkat mengenai status orang yang berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Apa saja dan bagaimana bentuknya? Simak penjelasannya berikut ini.
Firman
Allah,
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
kamu (tunduk) kepada hokum Allah yang telah diturunkan dan kepada hukum
Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia)
dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila
mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah,
"Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang
baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 60 – 62).
“Dan
bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi"[1], mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11).
“Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
…”
(Al-A’raf: 56).
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).
Diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah beriman (sempurna) seseorang di antara kamu, sebelum keinginan
dirinya menuruti apa yang telah aku bawa (dari Allah).” [2]
Asy-Sya’bi
menuturkan,
“Pernah
terjadi pertengkaran antara orang munafik dan seorang Yahudi. Berkatalah orang
Yahudi itu, "Mari kita berhakim kepada Muhammad!", karena ia mengerti
bahwa beliau tidak mengambil risywah (sogok). Sedangkan orang munafik itu
berkata, "Mari kita berhakim kepada orang-orang Yahudi!", karena ia
tahu bahwa mereka mau menerima risywah. Maka bersepakatlah keduanya untuk
datang berhakim kepada seorang dukun di Juhainah. Lalu turunlah ayat,
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).”[3]
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku … (dan seterusnya).”[3]
Dikatakan
pula bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan dua orang yang bertengkar. Salah
seorang mengatakan, "Mari kita bersama-sama mengadukan kepada
Nabi!", sedangkan yang lainnya mengatakan, "Kepada Ka’ab
Al-Asyraf."
Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”
Kemudian keduanya mengadukan perkara mereka kepada ‘Umar. Salah seorang di antara keduanya menjelaskan kepadanya tentang kasus yang terjadi. Lalu ‘Umar bertanya kepada orang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Benarkah demikian?" Ia menjawab, "Ya." Akhirnya, dihukumlah orang itu oleh ‘Umar dengan dipancung pakai pedang.”
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa’.[4] Dan ayat ini dapat membantu untuk memahami pengertian thaghut.
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Baqarah.[5]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-A’raf. [6]
- Tafsiran ayat dalam surat Al-Maidah.[7]
- Sebab turunnya ayat-ayat yang pertama, sebagaimana dijelaskan Asy-Sya’bi.
- Pengertian iman yang benar dan iman yang palsu. [Iman yang benar yaitu berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta menerima hukumya dengan tunduk dan ridha. Dan iman yang palsu yaitu mengaku beriman tetapi tidak mau berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, bahkan berhakim kepada thaghut].
- Kisah ‘Umar dengan orang munafik, [bahwa 'Umar memenggal leher orang munafik tersebut karena tidak rela dengan keputusan Rasulullah].
- Seseorang tidak akan beriman (sempurna dan benar) sebelum keinginan dirinya mengikuti tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Catatan
Kaki
[1]
Maksudnya, janganlah kamu membuat kerusuhan di muka bumi dengan kekafiran dan
perbuatan maksiat lainnya.
[2]
Kata An-Nawawi, "Hadits shahih, kami riwayatkan dari kitab Al-Hujjah
dengan isnad shahih.
[3]
Diriwayatkan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya.
[4]
Ayat ini menunjukkan kewajiban berhakim kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah, dan menerima hukum keduanya dengan ridha dan tunduk. Barangsiapa
yang berhukum kepada selainnya, berarti berhakim kepada thaghut, apapun
sebutannya.
Dan
menunjukkan kewajiban mengingkari thaghut serta menjauhkan diri dan waspada
terhadap tipu daya setan. Menunjukkan kepada bahwa barangsiapa diajak berhakim
dengan hukum Allah dan Rasul-Nya haruslah menerima; apabila menolak maka dia
adalah munafik, dan apa pun dalih yang dikemukakan seperti menghendaki
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna bukanlah merupakan alasan
baginya untuk menerima selain hukum Allah dan Rasul-Nya.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain
hukum yang diturunkan Allah, maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat
di muka bumi. Dan dalih mengadakan perbaikan bukan alasan sama sekali untuk
meninggalkan hukumNya.
Menunjukkan
pula bahwa orang yang sakit hatinya akan memutar balik nilai-nilai, di mana
yang baik dijadikan bathil dan yang bathil dijadikan baik.
[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengajak berhukum kepada selain
hukum Allah maka ia telah berbuat kerusakan yang sangat berat di muka bumi. Dan
menunjukkan bahwa perbaikan di muka bumi adalah dengan menerapkan hukum yang
diturunkan Allah.
[7]
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menghendaki selain hukum Allah, berarti
dia menghendaki hukum Jahiliyah.
Mengingkari
Sebagian Dari Asma’ Dan Shifat Allah Serta Nikmat Allah
Selanjutnya
merupakan gabungan dua bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Dengan membawakan
atsar sahabat, beliau menjelaskan bahwa setiap muslim harus mengimani semua
nama dan sifat Allah tanpa terkecuali. Bab yang satu lagi mengenai ingkar
kepada nikmat Allah. Beliau memaparkan penafsiran terhadap An-Nahl: 83.
Mengingkari Sebagian Dari Asma’ Dan Shifat Allah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah, "Dialah Tuhanku,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepadaNya aku
bertawakkal dan hanya kepadaNya aku bertaubat.” (Ar-Ra’d:30).
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa ‘Ali berkata, “Tuturkanlah kepada orang-orang
apa yang mereka mengerti. Inginkah kamu sekalian bahwa Allah dan RasulNya
dituduh tidak benar?”
‘Abdurrazaq
meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus dari bapaknya (Thawus), dari Ibnu
‘Abbas, bahwa ia melihat seseorang terperanjat mendengar sebuah hadits
berkenaan dengan shifat Allah yang diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam karena merasa keberatan dengan hal tersebut. Maka
Ibnu ‘Abbas berkata,
“Apa
kekhawatiran mereka itu? Mereka mau mendengar dan menerima ketika dibacakan
nash yang muhkam (jelas pengertiannya), tetapi mencelakakan
diri (karena merasa keberatan) ketika dibacakan nash yang mutasyabih (sulit dipahami).” [1]
Orang-orang
Quraisy tatkala mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyebut
"Ar-Rahman", mereka mengingkarinya. Maka terhadap mereka itu, Allah
menurunkan firmanNya, “Dan mereka kafir kepada Ar-Rahman.”
Kandungan Bab Ini
- Dinyatakan tidak berima, karena mengingkari (menolak) sebagian dari asma’ dan shifat Allah.
- Tafsiran ayat dalam surah Ar-Ra’d. [2]
- Jangan dituturkan kepada orang-orang yang tidak dimengerti oleh mereka.
- Alasannya, hal tersebut bisa mengakibatkan tuduhan bahwa Allah dan RasulNya tidak benar, meskipun tidak bermaksud demikian.
- Ibnu ‘Abbas menolak sikap orang yang merasa keberatan ketika dibacakan sebuah hadits yang berkenaan dengan shifat Allah dan menyatakan bahwa sikap tersebut mencelakakan dirinya.
Ingkar Kepada Ni'mat Allah
Allah
Ta’ala berfirman: “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka
mengingkarinya …” (An-Nahl:83).
Dalam
menafsiri ayat di atas, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata
seseorang, "Ini adalah harta kekayaanku yang aku warisi dari nenek
moyangku."
‘Aun
bin ‘Abdullah mengatakan, "Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena
Fulan, tentu tidak akan menjadi begini’."
Menurut
tafsiran Ibnu Qutaibah, "Mereka itu mengatakan, ‘Adalah berkat syafa’at
sesembahan-sesembahan kita’."
Abu
Al-’Abbas[3] setelah mengupas hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid
yang isinya bahwa Allah berfirman, “Pagi ini, di antara hamba-hambaKu ada
yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir …" (dan seterusnya),
sebagaimana telah disebutkan di atas,[4],
beliau
mengatakan,“Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Allah
mencela orang yang berbuat syirik kepadaNya dengan menisbatkan nikmatNya kepada
selainNya. Di antara kaum salaf ada yang mengatakan, Yaitu seperti kata
mereka, "Anginnya enak, nahkodanya tangkas" dan sebagainya, yang
sering keluar dari ucapan orang banyak.”
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran "Mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya."
- Perbuatan tersebut sering terjadi dalam ucapan orang banyak, [karena itu harus dihindari].
- Ucapan seperti ini disebut sebagai mengingkari nikmat Allah.
- Bahwa dua hal yang bertentangan ini (mengetahui nikmat Allah dan mengingkarinya), bisa terjadi dalam diri manusia.
Catatan
Kaki
[1]
Perkataan Ibnu ‘Abbas disebutkan penulis setelah perkataan ‘Ali yang menyatakan
bahwa seyogyanya tidak usah dituturkan kepada orang-orang apa yang mereka tidak
mengerti, adalah untuk menunjukkan bahwa nash-nash Al-Qur’an maupun hadits yang
berkenaan dengan shifat Allah tidak termasuk hal tersebut.
Bahkan
perlu pula disebutkan dan ditegaskan, karena keberatan sebagian orang akan hal
tersebut bukanlah menjadi faktor penghalang untuk menyebutkannya, sebab para
ulama semenjak zaman dahulu masih membicarakan ayat-ayat dan hadits-hadits yang
berkenaan dengan shifat Allah di hadapan orang-orang umum maupun khusus.
[2]
Ayat ini menunjukkan kewajiban mengimani segala asma’ dan shifat Allah, dan
mengimani segala asma’ dan shifat Allah, dan mengingkari sesuatu darinya adalah
kufur.
[3]
yaitu Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah.
[4]
Telah disebutkan pada
Jangan Membuat Sekutu-sekutu
Bagi Allah Dan Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya
Memasuki
bab-bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menasehati agar
jangan membuat sekutu/tandingan selain Allah, lalu menjelaskan hukum orang yang
tidak rela dengan sumpah atas nama-Nya dan menjelaskan status ucapan “Atas
Kehendak Allah Dan Kehendakmu”
Janganlah Membuat Sekutu-Sekutu Untuk Allah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Karena
itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.”
(Al-Baqarah: 22)
Ibnu
‘Abbas, dalam manafsirkan ayat tersebut, mengatakan,
Membuat
andad ialah berbuat syirik, suatu perbuatan dosa yang lebih sulit untuk
dikenali daripada semut kecil yang merayap di atas batu hitam pada malam yang
kelam. Yaitu seperti ucapan anda, "Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan
serta demi hidupku."; atau, "Kalau bukan karena anjing kecil
orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu."; atau, "Kalau
bukan karena angsa yang ada di rumah ini, tentu datanglah pencuri-pencuri
itu."; dan ucapan seseorang kepada kawannya, "Atas kehendak Allah dan
kehendakmu."; juga ucapan seseorang, "Kalau bukan karena Allah dan
karena si Fulan." Janganlah anda sebutkan si Fulan (si anu) dalam
ucapan-ucapan tersebut. Itu semua adalah perbuatan syirik terhadap-Nya.” [1]
‘Umar
bin Khaththab menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka ia
telah
berbuat kafir atau syirik.” [2]
berbuat kafir atau syirik.” [2]
Dan
Ibnu Mas’ud berkata, “Bersumpah bohong dengan menyebut nama Allah lebih aku
sukai daripada bersumpah jujur tetapi dengan menyebut nama selainNya.”
Hudzaifah
menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kamu mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan.", tetapi
katakanlah, "Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si Fulan." [3]
Diriwayatkan
dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia melarang ucapan, "Aku berlindung
kepada Allah dan kepadamu."; tetapi membolehkan ucapan, "Kalau bukan
karena Allah kemudian karena si Fulan." Dan janganlah anda mengatakan,
"Kalau bukan karena Allah dan karena si Fulan."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran "Membuat andad (sekutu-sekutu)."
- Bahwa ayat yang diturunkan oleh Allah berkenaan dengan syirik akbar, para sahabat dalam menafsirkannya mencakup pula syirik ashghar (kecil).
- Bersumpah dengan nama selain Allah adalah syirik.
- Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, apabila benar-benar sumpahnya maka lebih besar dosanya daripada sumpah bohong (palsu).
- Perbedaan antara kata "dan" dengan kata "kemudian" dalam ucapan.
Orang Yang Tidak Rela Dengan Sumpah Yang Menggunakan Nama Allah
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kamu bersumpah dengan nama nenek moyangmu! Barangsiapa bersumpah
dengan
nama Allah supaya berkata benar, dan barangsiapa yang diucapkan padanya sumpah
dengan menyebut nama Allah hendaklah ia rela (menerimanya). Barangsiapa yang
tidak rela, maka lepaslah dia dari Allah. [4]
Kandungan Bab Ini
- Dilarang bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang.
- Diperintahkan kepada orang yang diberi sumpah dengan menggunakan nama Allah untuk rela menerimanya.
- Ancaman bagi orang yang tidak rela.
Ucapan "Atas Kehendak Allah Dan Kehendakmu"
Qutailah
menuturkan, Bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam dan berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik,
kamu mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." dan
mengucapkan "Demi Ka’bah." Maka Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan,
"Demi Tuhan Pemilik Ka’bah" dan mengucapkan, "Atas kehendak
Allah kemudian atas kehendakmu." [5]
Ibnu
‘Abbas menuturkan, Bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi, shallallahu’alaihi
wa sallam "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." Maka ketika itu
bersabdalah beliau, Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah?
(katakanlah:) "Hanya kehendak Allah saja." [6]
Diriwayatkan Ibnu Majah dari Ath-Thufail, saudara seibu dengan ‘Aisyah, ia berkata,
“Aku
bermimpi seakan-akan aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi. Aku berkata
kepada mereka, "Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya kamu
tidak mengatakan, ‘Uzair putera Allah’." Mereka menjawab, "Sungguh,
kamu pun sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak
Allah dan kehendak Muhammad’."
Lalu
aku menjumpai sekelompok orang-orang Nasrani, maka aku berkata kepada mereka,
"Sungguh, kamu pun sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan,
‘Al-Masih putera Allah’." Mereka menjawab, "Sungguh, kamu pun
sebaik-baik kaum seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan
kehendak Muhammad’."
Ketika
pagi hari, aku beritahukan mimpi tersebut kepada kawan-kawanku, kemudian aku
mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan aku beritahukan kepada beliau.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya, "Apakah kamu telah
memberitahukannya kepada seseorang?" Aku menjawab "Ya." Lalu
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ber-tahmid dan memuji kepada Allah,
kemudian bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnya Thufail telah bermimpi
sesuatu yang telah diberitahukan kepada orang-orang di antara kamu. Dan
sesungguhnya kamu telah mengucapkan sesuatu yang ketika itu aku tidak sempat
melarangnya kepadamu karena aku ada beberapa halangan, maka janganlah kamu
mengatakan, "Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad." Akan tetapi
katakanlah, "Atas kehendak Allah semata."
Kandungan Bab Ini
- Hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa orang Yahudi pun mengerti perbuatan yang disebut syirik ashghar.
- Pemahaman manusia apabila dipengaruhi hawa nafsunya; [seperti halnya orang Yahudi tadi, dia mengerti kebenaran tetapi dia tidak mau mengikuti kebenaran itu dan tidak mau beriman kepada Nabi yang membawanya].
- Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, "Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah?" sebagai penolakan terhadap orang yang berkata kepada beliau, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu." Jika demikian sikap beliau, lalu bagaimana dengan orang yang mengatakan, “Wahai makhluk termulia! Tiada seorang pun bagiku sebagai tempat aku berlindung selain engkau…" dan dua bait selanjutnya?
- Ucapan, "Atas kehendak Allah dan kehendakmu" termasuk syirik ashghar, tidak termasuk syirik akbar, karena beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kamu telah mengucapkan sesuatu yang ketika itu aku tidak sempat melarangnya kepadamu karena aku ada beberapa halangan …”
- Mimpi baik termasuk salah satu macam wahyu.
- Mimpi kadangkala menjadi sebab disyariatkannya sebagian hukum.
Catatan
Kaki
[1]
Riwayat Ibnu Abi Hatim.
[2]
Hadits riwayat At-Tirmidzi dengan menyatakan hasan. Al-Hakim menyatakannya
shahih.
[3]
Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih.
[4]
Hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad hasan.
[5]
Hadits riwayat An-Nasa’i dan dinyatakan shahih.
[6]
riwayat An-Nasa’i.
Membenci Masa (waktu) &
Penggunaan Nama Serta Gelar Kepada Makhluk
Selanjutnya
merupakan gabungan tiga bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau ingin
menjelaskan bahwa orang yang mencela waktu, maka dia telah menyakiti Allah.
Penulis juga menerangkan tentang penggunaan gelar-gelar yang menyerupai dengan
kedudukan-Nya dan penggunaan nama-nama yang serupa dengan Nama-Nya.
Bagaimana sebenarnya bentuk larangan-larangan ini?
Siapa
Membenci Masa Maka Dia Telah Menyakiti Allah
Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain
masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah:
24).
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah,
bahwa
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, Manusia
Menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah Pemilik dan Pengatur
masa. Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”
Disebutkan
dalam riwayat lain, “Janganlah kamu mencaci masa, karena Allah sesungguhnya
adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [1]
Kandungan Bab Ini
- Dilarang mencaci masa.
- Mencaci masa disebut menyakiti Allah.
- Perlu direnungkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, "Karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [2]
- Mencaci, mungkin saja dilakukan seseorang tanpa bermaksud demikian dalam hatinya.
Menggunakan Gelar "Qadh Al-Qudhat" (Hakim Para Hakim) Dan Yang Semacamnya
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya gelar (nama) yang
paling hina di hadapan Allah adalah seseorang yang menggunakan gelar "Raja
para Raja", tiada raja yang haq selain Allah.”
Sufyan[3] mengemukakan contoh dengan berkata, "Seperti gelar syahan syah." Dan disebutkan dalam riwayat lain, Orang yang paling dimurkai dan paling jahat menurut Allah pada hari Kiamat.”
Kandungan Bab Ini
- Dilarang menggunakan gelar "Raja para Raja."
- Dilarang juga menggunakan gelar lain yang semisalnya, seperti contoh yang dikemukakan Sufyan.
- Hal ini dilarang, [karena mengandung suatu untur persamaan atau pensejajaran antara Allah dengan makhluk-Nya], sekalipun hatinya tidak bermaksud demikian.
- Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.
Memuliakan Asma’ (Nama-Nama) Allah Ta’ala, Dan Mengganti Nama Untuk Tujuan Ini
Diriwayatkan
dari Abu Syuraih, bahwa ia sebelumnya diberi kunyah (sebutan,
nama panggilan) "Abdul Hakkam". Maka Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda kepadanya, “Allah itu sebenarnya Al-Hakkam dan hanya
kepada-Nya segala perkara dimintakan keputusan hukumnya. Ia bertanya kepada
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Sungguh kaumku apabila berselisih pendapat
dalam suatu perkara, mereka datang kepadaku. Lalu aku memberikan keputusan
hukum di antara mereka dan kedua belah pihak pun sama-sama menerimanya. Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Alangkah baiknya hal ini, Apakah
kamu mempunyai anak? Ia menjawab, "Syuraih, Muslim dan ‘Abdullah."
Nabi bertanya, "Siapakah yang tertua di antara mereka?"
"Syuraih" jawabku. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Kalau begitu, kamu adalah Abu Syuraih (Bapaknya Syuraih).” [4]
"Syuraih" jawabku. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Kalau begitu, kamu adalah Abu Syuraih (Bapaknya Syuraih).” [4]
Kandungan Bab Ini
- Wajib memuliakan asma’ dan shifat Allah [dan dilarang memakai nama atau kunyah yang dapat mensejajarkan dirinya dengan Allah], walaupun tidak bermaksud demikian.
- Disyari’atkan mengganti nama yang tidak tepat, untuk memuliakan asma’ Allah.
- Memilih nama anak yang tertua untuk kunyah.
Catatan
Kaki
[1]
Orang-orang Jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau
malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut, karena yang
menciptakan dan mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa. Sedangkan menghina
pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan ini.
Dengan
demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan
Pengatur masa.
[2]
Sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam itu menunjukkan bahwa segala sesuatu
yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan takdir Allah, karena itu wajib
bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha’ dan qadar, yang baik maupun
yang buruk, yang manis maupun yang pahit.
[3]
Yakni Sufyan bin ‘Uyainah.
[4]
Hadits diriwayatkan Abu Dawud dan ahli hadits lainnya.
Bersenda Gurau Dengan
Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan
secara singkat mengenai bahayanya bercanda dengan mengaitkan Allah, Al-Qur’an
dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, bercanda yang bawa-bawa agama Islam.
Penjelasan luasnya bisa anda baca mengenai istihdza’.
Simak penjelasan beliau berikut ini.
Bersenda Gurau Dengan Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya
Firman
Allah,
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (Al-Bara’ah / At-Taubah: 65-66).
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’b, Zain bin Aslam dan Qatadah, hadits dengan
rangkuman sebagai berikut,
“Bahwasanya
ketika dalam peristiwa perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, "Belum
pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih
buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam
peperangan." Maksudnya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para
sahabat yang ahli baca Al-Qur’an itu. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya,
Omong kosong yang kamu katakan. Bahkan kamu adalah munafik. Niscaya akan
kuberitahukan kepada Rasulullah. Lalu pergilah ‘Auf kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau.
Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau. Dan ketika
orang itu datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk
memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, telah
turun wahyu Al-Qur’an kepada beliau. Dan ketika orang itu datang kepada
Rasulullah, beliau beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka berkatalah
dia kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda-gurau
dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh sebagai
pengisi waktu saja dalam perjalanan kami. Kata Ibnu ‘Umar, Sepertinya aku
melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedang kakinya
tersandung-sandung batu, sambil berkata, "Sebenarnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja."
Lalu
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, Apakah dengan
Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Beliau mengucapkan
itu tanpa menengok dan tidak bersabda kepadanya lebih daripada itu.”
Kandungan
Bab Ini
- Masalah penting sekali, bahwa orang yang bersenda gurau dengan menyebut-nyebut Allah, ayat-ayatNya atau Rasulullah adalah kafir.
- Ini adalah tafsiran dari ayat tersebut di atas terhadap orang yang melakukan perbuatan itu, siapapun dia.
- Perbedaan antara perbuatan menghasut dengan perbuatan setia kepada Allah dan RasulNya. [Dan melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidaklah termasuk perbuatan menghasut tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah, kepada RasulNya, kepada pemimpin umat Islam dan kaum muslimin seluruhnya].
- Perbedaan antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan sikap keras terhadap musuh-musuh Allah.
- Bahwa tidak semua permintaan maaf mesti diterima. [Ada juga permintaan maaf yang harus ditolak].
Mensyukuri
Nikmat Allah Dan Mengakui Berasal DariNya
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim harus mengakui bahwa
segala nikmat berasal dari Allah dan bersyukur atas nikmat tersebut. Hal ini
termasuk dalam pembahasan Tauhid karena siapa yang tidak bersyukur atau tidak
mengakuinya, akan mengurangi kesempurnaan Tauhid.
Mensyukuri Nikmat Allah Dan Mengakui Berasal DariNya
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa
kesusahan, pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …" (Fushshulat: 50).
Dalam
menafsirkan ayat ini, Mujahid mengatakan, "Ini adalah karena usahaku,
dan akulah yang berhak dengannya."
Dan
Ibnu ‘Abbas mengatakan, "Maksudnya: Ini adalah dari diriku
sendiri."
Dan
firman Allah,
“(Qarun)
berkata, "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku."
(Al-Qashash: 78).
Qatadah
dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya: karena pengetahuanku
tentang cara-cara berusaha." Ahli tafsir lainnya mengatakan, "Karena
Allah mengetahui bahwa aku adalah yang patut untuk menerima harta kekayaan
itu." Dan inilah kata-kata Mujahid (tadi), "Aku diberi harta
kekayaan ini, atas kemuliaan(ku)."
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda,
”Sesungguhnya
ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu penderita lepra, orang berkepala botak
dan orang buta. Allah ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada
mereka seorang malaikat.
Pertama,
datanglah malaikat itu kepada si penderita lepra dan bertanya kepadanya,
"Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Rupa
yang elok, kulit yang indah dan apa yang telah menjujukkan orang-orang ini
hilang dari tubuhku." Maka diusapkanlah penderita lepra itu dan hilanglah
penyakit yang dideritanya serta diberilah ia rupa yang elok dan kulit yang
indah. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu kekayaan apa yang
paling kamu senangi?" Jawabannya, "Unta atau sapi." Maka
diberilah ia seekor unta yang bunting dan didoakan, "Semoga Allah
melimpahkan berkahNya kepadamu dengan unta ini."
Kemudian
malaikat itu mendatangi orang berkepala botak dan bertanya kepadanya,
"Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Rambut
yang indah dan hilang dari kepalaku apa yang telah menjijikkan
orang-orang." Maka diusapkanlah kepalanya dan ketika itu hilanglah
penyakitnya serta diberilah ia rambut yang indah. Malaikatpun bertanya lagi,
"Kekayaan apa yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Sapi atau
unta." Maka diberilah ia seekor sapi bunting dan didoakan, "Semoga
Allah melimpahkan berkahNya kepadamu dengan sapi ini.
"Selanjutnya
malaikat itu mendatangi si buta dan bertanya kepadanya, "Apakah sesuatu
yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Semoga Allah berkenan
mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang." Maka
diusapkanlah wajahnya dan ketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya.
Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu, kekayaan apa yang paling kamu
senangi?" Jawabnya, "Kambing." Maka diberilah ia seekor
kambing bunting.
Lalu
berkembang biaklah unta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama
mempunyai selembah unta, yang kedua mempunyai selembah sapi dan yang ketiga
mempunyai selembah kambing. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
selanjutnya, Kemudian, datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya
menderita lepra dengan menyerupai dirinya dan berkata, "Aku seorang
miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam
perjalananku, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali
dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda. Demi Allah yang
telah memberi anda rupa yang elok, kulit yang indah dan kekayaan ini, aku minta
kepada anda seekor unta saja untuk bekal melanjutkan perjalananku."
Tetapi dijawab, "Hak-hak (tanggunganku) banyak." Malaikat yang menyerupai orang penderita lepra itu pun berkata kepadanya, "Sepertinya aku mengenal Anda. Bukankah Anda ini yang dulu menderita lepra, orang-orang jijik kepala Anda, lagi pula melarat, lalu Allah memberi Anda kekayaan?" Dia malah menjawab, Sungguh, harta kekayaan ini hanyalah aku warisi turun temurun dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Jika Anda berkata dusta, niscaya Allah mengembalikan Anda kepada keadaan Anda semula."
Lalu,
malaikat tersebut mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak dengan
menyerupai dirinya, dan berkata kepadanya seperti yang dia katakan kepada orang
yang pernah menderita lepra, serta ditolaknya sebagaimana telah ditolak oleh
yang pertama, itu. Maka berkatalah malaikat yang menyerupai dirinya itu
kepadanya, "Jika anda berkata dusta, niscaya Allah akan mengembalikan Anda
kepada keadaan semula."
Terakhir,
malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta dengan menyerupai dirinya
pula, dan berkatalah kepadanya, "Aku adalah seorang miskin, kehabisan
bekal dalam perjalanan dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari
rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak akan dapat lagi meneruskan
perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian pertolongan
Anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan Anda, aku meminta seekor
kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku."Orang itu
menjawab,”Sungguh, aku dahulu buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku.
Maka ambillah apa yang Anda sukai dan tinggalkan apa yang Anda sukai. Demi
Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulit Anda dengan memintamu
mengembalikan sesuatu yang telah Anda ambil karena Allah." Malaikat yang
menyerupai orang buta itu pun berkata, "Peganglah kekayaan Anda, karena
sesungguhnya kalian ini hanyalah diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepada
Anda, dan murka kepada kedua teman Anda." (Hadits riwayat
Al-Bukhari dan Muslim).
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran ayat tersebut di atas. [1]
- Apa pengertian dari firman Allah, …pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …"
- Dan apa pengerian dari firman Allah, "Sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku."
- Kisah menarik, sebagaimana terkandung dalam hadits, berisi pelajaran-pelajaran yang berharga sekali.
Catatan
Kaki
[1]
Ayat tersebut menunjukkan kewajiban mensyukuri nikmat Allah dan mengakui bahwa
nikmat tersebut semata-mata berasal dari Allah; dan menunjukkan pula bahwa
kata-kata seseorang terhadap nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya,
"Ini adalah hak yang patut kuterima, karena usahaku." adalah dilarang
dan tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid.
Memberi
Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara
singkat mengenai pemberian nama / gelar yang diperhambakan kepada selain Allah.
Bagaimana bentuknya dan apa saja yang dilarang? Berikut pembahasannya
Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
"Tatkala
Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya
menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkanNya kepada
keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al-A’raf: 190)
Ibnu
Hazm mengatakan: "Para ulama telah sepakat mengharam-kan setiap nama yang
diperhambakan kepada selain Allah, seperti: ‘Abdu ‘Umar (Hamba Umar),
‘Abdul-Ka’bah (Hamba Ka’bah) dan yang semisalnya, kecuali
‘Abdul-Muthalib." [1]
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut,
mengatakan:
"Setelah
Adam menggauli isterinya Hawwa’ ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada mereka
berdua dengan berkata: "Sungguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah
mengeluarkan kamu dari Surga. Demi Allah, hendaklah kamu mentaatiku, kalau
tidak niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga
akan keluar dari perut isterimu dengan merobek-nya. Demi Allah, pasti akan
kulakukan." Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. "Namailah
anakmu itu ‘Abdul-Harits[2]", kata Iblis memerintah. Tetapi keduanya
menolak untuk mematuhinya. Tatkala bayi mereka lahir, lahirlah dia dalam
keadaan mati.
Kemudian
Hawwa’ hamil lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan mengatakan
seperti yang pernah ia katakan. Tetapi mereka berdua tetap menolak untuk
mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan mati.
Selanjutnya,
Hawwa’ mengandung lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan
mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa’ lebih
menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi
kepada anak mereka nama ‘Abdul-Harits. Itulah tafsiran firman Allah:
"Mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang Dia
karuniakan kepada mereka."
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan pula, dengan sanad shahih, bahwa Qatadah mengatakan: "Yaitu:
berbuat syirik dalam hal ketaatan kepada Iblis, bukan dalam ibadah
kepadanya."[3]
Demikian
juga ia meriwayatkan dengan sanad shahih, bahwa dalam menafsirkan firman Allah:
"Jika Engkau mengkaruniakan kami anak laki-laki yang sempurna
(wujudnya)"[4]
Mujahid
mengatakan: "Adam dan Hawwa’ khawatir kalau bayi mereka itu lahir tidak
dalam wujud manusia." Dan diriwayatkannya pula tafsiran yang senada
dari Al-Hasan [Al-Bashri], Sa’id [bin Jubair] dan yang lain.
Kandungan Bab Ini
- Dilarang setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah.
- Tafsiran ayat tersebut di atas. [5]
- Perbuatan syirik, [sebagaimana dinyatakan oleh ayat ini], dalam sekedar pemberian nama saja, tanpa bermaksud hakikatnya.
- Anak perempuan yang sempurna wujud jasmaninya, yang di-karuniakan Allah kepada seseorang merupakan nikmat [yang harus disyukuri].
- Telah disebutkan oleh ulama Salaf mengenai perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.
Catatan
Kaki
[1]
Maksudnya Ulama belum sepakat mengharamkan ‘Abdul Muthalib, karena asal nama
ini berhubungan dengan perbudakan.
[2]
Al-Harits adalah nama Iblis. Dan maksud Iblis menakut-nakuti
mereka berdua supaya memberi nama tersebut kepada anaknya ialah untuk
mendapatkan suatu macam bentuk perbuatan syirik, dan inilah salah satu cara
Iblis memperdaya musuhnya, kalau dia belum mampu untuk menjerumuskan seseorang
manusia ke dalam tindakan maksiat yang besar resikonya, akan dimulai untuk
menjerumus-kannya terlebih dahulu dari tindakan maksiat yang ringan atau kecil.
[3]
Maksudnya: Mereka tidaklah menyembah Iblis, tetapi mentaati Iblis dengan
memberi nama ‘Abdul-Harits kepada anak mereka, sebagaimana yang diminta Iblis.
Dan perbuatan itu disebut perbuatan syirik kepada Allah.
[4]
Surah Al-A’raf: 189.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa anak yang dikaruniakan Allah kepada seseorang
termasuk nikmat yang harus disyukuri, dan termasuk kesempurnaan rasa syukur
kepadaNya bila diberi nama yang baik yang tidak diperhambakan kepada selainNya,
karena pemberian nama yang diperhambakan kepada selain-Nya adalah syirik.
Menetapkan Al-Asma’ Al-Husna
Hanya Untuk Allah [Dan 3 Bab Selanjutnya]
Selanjutnya,
merupakan gabungan dari empat bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau
menerangkan mengenai penetapan Asma-asma Allah itu hanya untuk-Nya saja dan
beberapa bab setelah itu yakni, Larangan Mengucapkan: “As-Salamu ‘Alallah”,
Do’a dengan: “Ya Allah Ampunilah Aku Jika Engkau Menghendaki” dan
yang terakhir, Jangan Mengatakan: “Hambaku” (‘Abdi; Amati).
Menetapkan
Al-Asma’ Al-Husna Hanya Untuk Allah Dan Tidak Menyelewengkannya
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
"Hanya
milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan." (Al-A’raf: 180)
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tafsiran firman Allah: "Menyelewengkan
asma’Nya", yaitu: "Berbuat syirik (dalam asma’-Nya)."
Diriwayatkan
pula dari Ibnu ‘Abbas tafsirannya: "Yaitu: Mereka (orang-orang musyrik)
mengambil dari asma’-Nya untuk nama-nama berhala mereka, seperti memberi nama
Al-Lat berasal dari Al-Ilah dan Al-’Uzza berasal dari Al-’Aziz."
Dan
diriwayatkan dari Al-A’masy[1] bahwa dalam menafsirkan ayat
tersebut ia mengatakan: "Mereka memasukkan ke dalam asma’-Nya apa yang
bukan darinya."
Kandungan Bab Ini
- Wajib menetapkan asma’ [untuk Allah, sesuai dengan ke-agungan dan kemuliaanNya].
- Seluruh asma’ Allah adalah husna (Maha Indah).
- Diperintahkan untuk berdoa dengan asma’ husna-Nya.
- Diperintahkan untuk meninggalkan orang-orang yang tidak tahu, yang menyelewengkan asma’-Nya.
- Tafsiran menyelewengkan asma’ Allah.
- Ancaman terhadap orang yang menyelewengkannya asma’ Allah dari kebenaran.
Larangan
Mengucapkan: "As-Salamu ‘Alallah"
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud , katanya:
"Semula,
apabila kami melakukan shalat bersama Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, kami
mengucapkan: "Semoga keselamatan untuk Allah dari para hambaNya; semoga
keselamatan untuk si Fulan dan si Fulan", maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: "Janganlah kamu mengu-capkan: ‘As-Salamu
‘Alallah’ (semoga keselamatan untuk Allah), karena sesungguhnya Allah adalah
As-Salam (Maha Pemberi Keselamatan)."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran As-Salam.[2]
- As-Salam merupakan ucapan selamat.
- Hal ini tidak sesuai untuk Allah.
- Alasannya, [karena As-Salam adalah salah satu dari asma' Allah, Dialah Yang Memberi keselamatan dan hanya kepadaNya kita memohon keselamatan].
- Telah diajarkan kepada para sahabat ucapan penghormatan yang sesuai untuk Allah.[3]
Do’a
dengan: "Ya Allah Ampunilah Aku Jika Engkau Menghendaki"
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah
ada seseorang di antara kamu yang berdo’a: "Ya Allah, ampunilah aku jika
Engkau menghendaki", atau berdo’a: "Ya Allah, limpahkan rahmat-Mu
kepadaku jika Engkau menghendaki; tetapi hendaklah berkeinginan kuat dalam
permohonannya itu, karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya
untuk berbuat sesuatu."
Dan
disebutkan dalam riwayat Muslim:
"Dan
hendaklah ia membesarkan harapannya, karena sesungguhnya Allah tidak terasa
berat bagi-Nya sesuatu yang Dia berikan."
Kandungan Bab Ini:
- Dilarang mengucapkan: "Jika Engkau menghendaki" dalam berdo’a.
- Alasannya, (ucapan ini menunjukkan seakan-akan Allah merasa keberatan dengan permintaan hamba-Nya atau merasa terpaksa untuk memenuhi permohonan hamba-Nya).
- Diperintahkan untuk berkeinginan kuat dalam berdo’a.
- Diperintahkan untuk membesarkan harapan dalam berdo’a.
- Alasannya, (karena Allah adalah Maha Kaya, Maha Luas karunia-Nya dan Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya).
Jangan
Mengatakan: "Hambaku" (‘Abdi; Amati)
Diriwayatkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah
seseorang di antara kamu mengatakan (kepada sahaya atau pelayannya):
"Hidangkan makan atau berikan air wudhu’ kepada Gusti Pangeranmu
(Rabbaka), dan biarlah pelayan itu mengatakan: "Tuanku (Sayyidi; Maulaya); janganlah pula seseorang diantara kamu
mengatakan kepadanya: "Abdiku, hambaku (‘abdi; amati)", tetapi hendaklah mengatakan: "Bujangku (fataya), gadisku (fatati) dan anakku (ghulami)".
Kandungan
Bab Ini:
- Dilarang mengatakan: "Abdiku, hambaku" (‘abdi; amati).
- Dilarang bagi sahaya untuk menyebut: "Gusti Pangeranku" (Rabbi); dan dilarang untuk menyuruhnya dengan mengatakan: "Hidangkan makan untuk Gusti Pangeranmu (Rabbaka)".
- Diajarkan kepada si tuan supaya mengatakan: "Bujangku (fataya), gadisku (fatati) atau anakku (ghulami)."
- Dan diajarkan kepada pelayan untuk mengatakan: "Tuanku (Sayyidi; Maulaya)".
- Maksud hal tersebut, yaitu: pengamalan tauhid dengan semurni-murninya sampai dalam hal ucapan
Catatan
Kaki
[1]
Abu Muhammad: Sulaiman bin Mahran Al-Asadi, digelari Al-A’masy. Salah
seorang tabi’in ahli tafsir, hadits dan ilmu fara’idh, dan banyak meriwayatkan
hadits. Dilahirkan th. 61 H (681 M) dan meninggal th. 147 H (765 M).
[2]
As-Salam salah satu asma Allah yang artinya Maha Pemberi Keselamatan. As-Salam
berarti juga keselamatan, sebagai do’a kepada orang yang diberi ucapan selamat.
Karena itu tidak boleh dikatakan "As-Salamu ‘Alallah".
[3]
Ucapan penghormatan yang sesuai untuk Allah yaitu: "At Tahiyyatu
Lillah, wash-Sholawatu wath-Thoyyibat".
Jangan Ditolak Orang Yang Meminta
Dengan Menyebut Nama Allah [Dan 2 Bab Selanjutnya]
Memasuki
pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai
orang yang meminta penyebutan nama Allah dan tentang ucapan:
"Andaikata". Mengapa ucapan "Andaikata" dilarang? Seberapa
besar bahayanya?
Jangan
Ditolak Orang Yang Meminta Dengan Menyebut Nama Allah
Ibnu
‘Umar ma menuturkan: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa
yang meminta dengan menyebut nama Allah maka berilah; barangsiapa yang meminta
perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah; barangsiapa yang
mengundangmu maka penuhilah undangannya; dan barangsiapa yang berbuat kebaikan
kepadamu maka balaslah kebaikannya itu (dengan yang sebanding atau lebih baik),
tetapi jika kamu tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka
do’akanlah untuknya dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasa bahwa kamu sudah
membalas kebaikannya." [1]
Kandungan Bab Ini
- Diperintahkan memberi orang yang meminta dengan menyebut nama Allah, (demi memuliakan dan mengagungkan Allah).
- Diperintahkan untuk melindungi orang yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah.
- Disyariatkan untuk memenuhi undangan (saudara seiman).
- Disyariatkan untuk membalas kebaikan (dengan balasan yang sebanding, atau yang lebih daripadanya).
- Dalam keadaan tidak mampu untuk membalas kebaikan seseorang, disyariatkan untuk mendoakannya.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan supaya mendoakannya dengan sungguh-sungguh sampai anda merasa bahwa anda telah membalas kebaikannya.
Tidak Dimohon Dengan Menyebut Wajah Allah, Kecuali Surga
Jabir
menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak
boleh dimohon dengan menyebut Wajah Allah, kecuali Surga saja." [2]
Kandungan Bab Ini
- Dilarang memohon sesuatu dengan menyebut Wajah Allah, kecuali apabila yang dimohon itu adalah Surga. [Hal ini, demi mengagungkan Allah serta memuliakan asma' dan shifat-Nya].
- Menetapkan kebenaran adanya Wajah bagi Allah ‘Azza wa Jalla [sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya].
Tentang Ucapan: "Andaikata"
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
“Mereka
berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam
urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini".
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang
telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka
terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam
dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui
isi hati.”
(Ali Imran: 154)
“Orang-orang
yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi
berperang: "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak
terbunuh". Katakanlah: "Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu
orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)
Diriwayatkan
dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
"Bersungguh-sungguhlah
dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah
(dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah.
Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku
berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Ini
telah ditakdir-kan oleh Allah; dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’;
karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan."
Kandungan
Bab Ini
- Tafsiran kedua ayat dalam surah Ali Imran. [3]
- Dilarang dengan tegas untuk mengucapkan "andaikata" atau "seandainya" apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.
- Alasannya, bahwa ucapan tersebut akan membuka pintu perbuatan setan.
- Bimbingan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam [ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah], yaitu supaya mengucapkan perkataan yang baik [dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah].
- Diperintahkan supaya bersungguh-sungguh dalam menuntut segala yang bermanfaat [untuk di dunia dan di akhirat], dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.
- Dilarang bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.
Catatan
Kaki
[1]
HR Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad shahih.
[2]
Hadits riwayat Abu Dawud.
[3]
Kedua ayat di atas menunjukkan larangan mengucapkan "Andaikata" atau
"Seandainya" dalam hal yang telah ditakdirkan oleh Allah
terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat munafik; menunjukkan bahwa
konsekuensi iman ialah pasrah dan ridha kepada takdir Allah, serta rasa
khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut.
Larangan Mencaci-Maki Angin
& Berprasangka Buruk Terhadap Allah
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim yang baik tidak boleh
memiliki sangkaan buruk terhadap Allah dan juga tidak boleh mencaci-maki angin.
Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.
Larangan Mencaci-Maki Angin
Diriwayatkan
dari Ubay bin Ka’b bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: "Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu
melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdoalah: "Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon kepadaMu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang
terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami
berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di
dalamnya dan keburukan
apa yang diperintahkan kepadanya." [1]
apa yang diperintahkan kepadanya." [1]
Kandungan
Bab Ini
- Dilarang mencaci-maki angin.
- Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat sesuatu yang tidak menyenangkan [ketika angin sedang bertiup].
- Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa angin mendapat perintah dari Allah. [Oleh karena itu, mencaci-maki angin berarti mencaci-maki Allah yang menciptakan dan memerintahkannya].
- Bahwa angin, kadangkala diperintahkan dengan sesuatu kebaikan dan kadangkala diperintahkan dengan sesuatu keburukan.
Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
“Mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka
berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan
Allah".
(Ali Imran:154)
"Dan
supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk
terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan
Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka Neraka
Jahannam. Dan (Neraka Jahannam) itu-lah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath:6)
Ibnu
Al-Qayyim, dalam menafsirkan ayat pertama, mengatakan:
"Prasangka
ini ditafsirkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan memenangkan RasulNya dan
bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap; ditafsirkan pula bahwa apa yang
menimpa beliau bukanlah dengan takdir Allah dan hikmahNya.
Jadi,
prasangka tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu:
mengingkari
adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdirNya, dan mengingkari bahwa agama
yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan disempurnakan dan
dimenangkan Allah atas segala agama.
Inilah
prasangka buruk yang diperbuat oleh orang-orang munafik dan
musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.
musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.
Adapun
berbuatan ini disebut prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak
patut terhadap Allah ‘Azza wa Jalla; tidak patut terhadap hikmahNya, pujiNya
dan janjiNya yang benar. Karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah
akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang tetap,
disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau mengingkari bahwa segala yang terjadi
dengan qadha’ dan qadar Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar
sekali dalam qadar-Nya, yang dengan demikian Allah berhak untuk dipuji; bahkan
mengira bahwa apa yang terjadi ini hanyalah sekedar kehendak saja tanpa hikmah;
maka inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail bagi orang-orang kafir
itu.
Kebanyakan
orang melakukan prasangka buruk terhadap Allah, baik dalam hal yang berkenaan
dengan diri mereka sendiri ataupun dalam hal yang berkaitan dengan orang lain.
Tidak ada yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu
akan Allah, Asma’ dan SifatNya, dan kepastian adanya hikmah serta keharusan
adanya puji bagi Allah sebagai konsekuensinya.
Maka
orang yang berakal dan cinta terhadap dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan
masalah ini dan bertobatlah kepada Allah serta memohon maghfirah-Nya atas
prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.
Apabila
Anda selidiki, siapa pun orangnya, niscaya akan Anda dapati pada dirinya suatu
sikap menyangkal dan mencemoohkan qadar (takdir) dengan mengatakan hal tersebut
semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit, ada juga yang banyak. Dan
silahkan periksa diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?
"Jika
Anda bebas dari sikap tersebut, selamatlah Anda dari suatu malapetaka besar.
Tapi, bila tidak, sungguh tak kukira bahwa Anda akan selamat."
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran. [2]
- Tafsiran ayat dalam surah Al-Fath. [3]
- Disebutkan bahwa prasangka buruk banyak sekali macamnya.
- Diterangkan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang arif pada asma’ dan shifat Allah, serta arif pada dirinya sendiri.
Catatan
Kaki
[1]
Hadits shahih menurut At-Tirmidzi.
[2]
Ayat pertama menunjukkan bahwa barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan
memberikan kemenangan yang terus-menerus kepada kebathilan disertai dengan
lenyapnya kebenaran, maka dia telah berprasangka yang tidak bernar kepada Allah
dan prasangka ini adalah prasangka orang-orang Jahiliyyah; menunjukkan pula
bahwa segala sesuatu ada di tangan Allah, terjadi dengan qadha dan qadar-Nya
serta pasti ada hikmahnya; dan menunjukkan bahwa berbaik sangka kepada Allah
adalah termasuk kewajiban tauhid.
[3]
Ayat kedua menunjukkan kewajiban berbaik sangka kepada Allah dan larangan
berprasangka buruk kepadaNya; dan menunjukkan bahwa prasangka buruk kepada
Allah adalah perbuatan orang-orang munafik dan musyrik mendapat ancaman siksa
yang sangat keras.
Mereka
Yang Mengingkari Qadar
Memasuki
pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai
orang yang mengingkari Qadar Allah. Mengapa hal ini tercela dan apa bahayanya?
Simak keterangan dari hadits-hadits Rasulullah serta penjelasan dari para
ulama’ berikut ini.
Mereka Yang Mengingkari Qadar
Ibnu
‘Umar berkata:
"Demi
Allah yang jiwa Ibnu ‘Umar berada di TanganNya. Seandainya salah seorang dari
mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di Jalan Allah,
tidak akan diterima oleh Allah sebelum ia beriman kepada qadar." Kemudian
Ibnu ‘Umar mensitir sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam :
"Iman
yaitu: hendaklah Anda beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari Akhir dan beriman kepada qadar baik dan
buruk."
[1]
Diriwayatkan
bahwa ‘Ubadah bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya:
"Hai
anakku, sungguh kamu tidak akan merasakan nikmatnya iman sebelum kamu meyakini
bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan
apa yang telah ditakdir-kan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu.
Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya
pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman
kepadanya: Tulislah! Ia menjawab: Ya Tuhanku! Apa yang harus kutulis? Allah
ber-firman: Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat."
Hai anakku! Aku pun telah mendengar Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang meninggal tidak dalam keyakinan ini, maka ia tidak termasuk umatku." [2]
Hai anakku! Aku pun telah mendengar Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang meninggal tidak dalam keyakinan ini, maka ia tidak termasuk umatku." [2]
Dalam
satu riwayat Imam Ahmad disebutkan:
"Sesungguhnya,
pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman
kepadanya: "Tulislah!" Maka ditulislah pada saat itu apa yang terjadi
sampai hari Kiamat."
Diriwayatkan
oleh Ibnu Wahb Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Maka
barangsiapa yang tidak beriman dengan qadar baik dan buruk, Allah pasti akan
membakarnya dengan api Neraka."
Diriwayatkan
dalam Musnad[3] dan Sunan[4] dari Ibnu
Ad-Dailami, ia menuturkan: "Aku datang kepada Ubay bin Ka’b dan
kukatakan kepadanya: "Ada suatu keraguan dalam diriku tentang
masalah qadar, maka tuturkanlah kepadaku suatu hadits, dengan harapan semoga
Allah menghilangkan keraguan itu dari hatiku." Maka ia berkata:
"Seandainya
kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu
sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah
di-takdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang telah
ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedang kalau kamu
mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni Neraka."
Kata
Ibnu Ad-Dailami selanjutnya:
"Lalu
aku pun mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Al-Yaman dan Zaid bin
Tsabit, seluruhnya menuturkan kepadaku hadits seperti tersebut dari Nabi
Shallallahu’alaihi wa salam ." [5]
Kandungan Bab Ini
- Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar.
- Keterangan tentang cara beriman kepadanya.
- Amal seseorang menjadi sia-sia, bila tidak beriman kepada qadar.
- Disebutkan bahwa seseorang tidak merasakan nikmatnya iman sebelum ia beriman kepada qadar.
- Diberitahukan dalam hadits bahwa makhluk pertama yang dicipta-kan Allah adalah qalam.
- Bahwa qalam (pena), dengan perintah dari Allah, menulis segala takdir pada saat itu sampai hari Kiamat.
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
- Tradisi para Salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
- Dan para ulama memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut dengan hanya menuturkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam.
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat Muslim.
[2]
HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah.
[3]
kitab koleksi yang disusun oleh Imam Ahmad.
[4]
kitab koleksi yang disusun oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
[5]
Hadits shahih,
diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Shahih-nya.
Tentang
Para Perupa Makhluk Bernyawa & Larangan Banyak Bersumpah
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan ancaman keras bagi para perupa (penggambar,
pelukis, pemahat) makhluk yang bernyawa dan larangan untuk sering / banyak
melakukan sumpah. Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda:
"Allah
berfirman: ‘Dan tiada yang bertindak lebih zhalim daripada orang yang bermaksud
mencipta seperti ciptaanKu. Maka cobalah mereka mencipta seekor semut kecil,
atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum’."
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: "Manusia yang paling pedih siksanya pada hari Kiamat adalah
orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah."
Al-Bukhari
dan Muslim
meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Setiap
perupa berada dalam Neraka; untuknya setiap rupa yang dibuatnya akan diberi
nyawa guna menyiksa dirinya dalam Neraka Jahannam."
Al-Bukhari
dan Muslim
pun meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas hadits marfu’:
"Barangsiapa
yang membuat rupaka di dunia, akan dibebani (pada hari Kiamat) untuk meniupkan
roh ke dalam rupaka buatannya itu namun dia tidak akan dapat
meniupkannya."
Muslim meriwayatkan dari
Abu Al-Hayyaj, ia menuturkan: ‘Ali berkata kepadaku:
"Maukah
kamu aku utus untuk sesuatu tugas sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam telah mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: Janganlah kamu biarkan ada
sebuah rupaka tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah
kuburan yang menonjol tanpa kamu ratakan."
Kandungan Bab Ini
- Ancaman berat terhadap para perupa makhluk bernyawa.
- Alasannya, yaitu: tidak berlaku sopan santun kepada Allah, sebagaimana firman Allah: "Dan tiada yang bertindak lebih zhalim daripada orang yang bermaksud mencipta seperti ciptaanKu."
- FirmanNya: "Maka cobalah mereka mencipta seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum", menunjukkan kekuasaan Allah dan kelemahan manusia.
- Ditegaskan dalam hadits, bahwa para perupa adalah manusia yang paling pedih siksanya.
- Allah akan menciptakan roh untuk setiap rupaka yang dibuat guna menyiksa perupa tersebut dalam Neraka Jahannam.
- Bahwa perupa akan dibebani untuk meniupkan roh ke dalam rupaka yang dibuatnya.
- Perintah untuk memusnahkan rupaka apabila menjumpainya.
Larangan Banyak Bersumpah
Firman
Allah, “Dan jagalah sumpahmu “(al maidah : 89)
Abu
Hurairah menuturkan: aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Sumpah itu dapat melariskan dagangan, tetapi menghapuskan berkah
usaha.”[1]
Diriwayatkan
dari Salman, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tiga
orang yang tidak diajak bicara dan tidak disucikan oleh Allah (pada hari
kiamat) dan mereka menerima azab yang pedih yaitu: orang yang sudah beruban
yang melakukan zina, orang yang melarat yang congkak, dan orang yang menjadikan
Allah sebagai barang dagangan, ia tidak membeli dan tidak menjual kecuali
dengan bersumpah.”
[2]
Diriwayatkan
dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Imran bin Hushain, ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-
baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku kemudian generasi berikutnya,
kemudian generasi berikutrnya lagi.”
Kata
Imran : "aku tak ingat lagi apakah beliau menyebutkan setelah masa
beliau itu dua atau tiga kali".
“Kemudian
akan ada sesudah kamu sekalian orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta
kesaksian mereka, mereka khianat dan tidak dapat dipercaya, mereka nadzar dan
tidak memenuhi nadzarnya, dan tampak pada tubuh mereka kegemukan.”
Diriwayatkan
pula dalam shohih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-
baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian berikutnya, kemudia
berikutnya lagi, selanjutnya akan datang orang-orang dimana ada diantara mereka
kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya“
Ibrahim
An Nakhai berkata:
"Mereka
(pada orang tua) dahulu memukuli kami karena kesaksian atau sumpah (yang kami
berikan) ketika kami masih kecil."
Kandungan Bab Ini
- Diwasiatkan oleh Allah Ta’ala supaya menjaga sumpah
- Diberitahukan oleh Rasulullah bahwa sumpah dapat melariskan dagangan, tetapi menghapuskan berkah dalam usaha
- Ancaman berat bagi yang selalu bersumpah, baik ketika menjual atau membeli
- Perlu diingat bahwa dosa dapat menjadi besar meskipun faktor yang mendorong untuk melakukannya kecil. [3]
- Terlarang dan tercela orang yang bersumpah tanpa diminta
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyanjung ketiga atau keempat generasi dan memberitahukan apa yang akan terjadi selanjutnya
- Terlarang dan tercela orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta
- Para salaf memukul anak- anak kecil karena memberikan atau menyatakan sumpah. [4]
Catatan
Kaki
[1]
HR Bukhari Muslim.
[2]
HR Ath Thabrani dengan sanad shahih.
[3]
Seperti orang yang sudah beruban (tua) yang berzina atau orang melarat yang
congkak, semestinya mereka tidak melakukan perbuatan dosa ini, karena faktor
yang mendorong mereka untuk berbuat demikian adalah lemah atau kecil.
[4]
Hal tersebut dilakukan para salaf untuk mendidik anak-anak agar tidak gampang
bersaksi atau menyatakan sumpah, yang akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan,
dengan ringan ia akan bersaksi atau bersumpah sampai pun dalam masalah yang
tidak patut baginya untuk bersumpah. Dan banyak bersumpah dilarang, karena
perbuatan ini menunjukkan suatu sikap meremehkan dan tidak mengagungkan nama
Allah.
Meminta Allah Sebagai
Perantara Kepada Makhluknya & Upaya Nabi Dalam Menjaga Kemurnian Tauhid
Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan bagaimana upaya keras Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam dalam menjaga kemurnian tauhid kepada Allah Azza wa Jalla. Hal ini
juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ada orang
yang meminta sesuatu untuk dijadikan perantara Allah dengan makhluk-Nya.
Tidak Dibenarkan
Meminta Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluknya
Diriwayatkan
dari Jubair bin Muth’im bahwa ada seorang badui dating kepada Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata:
"Ya
Rasulullah! Orang-orang kehabisan tenaga, anak-istri kelaparan dan harta benda
musnah. Maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Tuhanmu. Sungguh, kami
meminta Allah sebagai perantara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara
kepada Allah." Ketika itu, bersabdalah Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam: "Subhanallah, Subhanallah."Beliau pun tetap bertasbih sampai
tampak pada raut muka para sahabat (perasaan takut karena kemarahan beliau).
Kemudian beliau bersabda: "Kasihanilah dirimu. Tahukah kamu siapakah Allah
‘Azza wa Jalla itu? Sungguh, kedudukan Allah jauh lebih Agung daripada yang
demikian itu. Sesungguhnya, tidak dibenarkan Allah diminta sebagai perantara
kepada siapa pun dari makhlukNya …" dan seterusnya. [1]
Kandungan
Bab Ini:
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menolak dan tidak membenarkan orang yang mengatakan: "Kami meminta Allah sebagai perantara kepadamu."
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam marah sekali tatkala mendengar ucapan ini dan bertasbih berkali-kali, sehingga para sahabat merasa takut.
- Rasulullah tidak menolak ucapan orang badui tersebut: "Kami memintamu sebagai perantara kepada Allah."
- Tafsiran "Subhanallah" [artinya: Mahasuci Allah dari segala hal yang tidak layak dengan keagungan dan kebesaranNya].
- Bahwa kaum muslimin meminta perantaraan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam [pada masa hidupnya] untuk memohon (kepada Allah) siraman hujan
Upaya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menjaga Kemurnian Tauhid Dan Menutup Segala Jalan Menuju Syirik
‘Abdullah bin Asy-Syikhkhir menuturkan: "Tatkala aku ikut pergi bersama suatu delegasi Bani ‘Amir menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, kami berkata: "Engkau adalah sayyid (tuan) kita." Maka beliau bersabda: "Sayyid yang sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa." Lalu kami berkata: "Dan engkau adalah yang paling mulia dan paling agung kebaikannya di antara kita." Beliau pun bersabda: "Ucapkanlah semua atau sebagian kata-kata yang wajar bagi kamu sekalian dan janganlah terseret oleh setan." [2]
Diriwayatkan
dari Anas radhiallahu anhu, ia menuturkan bahwa ada orang-orang
berkata:
"Ya Rasulullah; wahai orang yang paling baik di antara kita dan putera
orang yang paling baik di antara kita; wahai tuan kita dan putera tuan
kita!" Maka, ketika itu, bersabdalah beliau: "Saudara-saudara
sekalian! Ucapkanlah kata-kata yang wajar saja bagi kamu sekalian dan janganlah
sekali-kali kamu sekalian terbujuk oleh setan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah
dan utusanNya. Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukanku
yang telah diberikan kepadaku oleh Allah ." [3]
Kandungan
Bab Ini
- Peringatan kepada para sahabat agat tidak bersikap berlebihan terhadap beliau shallallahu’alaihi wa sallam.[4]
- Orang yang dikatakan kepadanya: "Engkau adalah sayyid (tuan) kita", seyogyanya menjawab: "Sayyid yang sebenarnya adalah Allah Tabaraka wa ."
- Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memperingatkan kepada para sahabat agar tidak terseret dan terbujuk oleh setan, padahal mereka tidak mengatakan kecuali yang sebenarnya.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukan (yang sebenarnya) yang telah diberikan kepadaku oleh Allah."
Catatan
Kaki
[1]
Hadits riwayat Abu Dawud.
[2]
Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad jayyid.
[3]
Hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad jayyid.
[4]
Bab ini menunjukkan bahwa tauhid tidak akan sempurna, dan murni kecuali dengan
menghindarkan diri dari setiap ucapan yang menjurus kepada perlakuan yang
berlebihan terhadap seorang makhluk karena dikhawatirkan akan terseret ke dalam
syirik.
Perjanjian Allah Dan
Perjanjian Nabi-Nya & Larangan Bersumpah Mendahului Allah
Memasuki
pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai
perjanjian Allah dan perjanjian nabi-Nya serta larangan mendahului Allah dalam
bersumpah. Janji-janji dan sumpah-sumpah yang seperti apa yang dimaksud oleh
beliau?
Tentang
Perjanjian Allah Dan Perjanjian Nabi-Nya
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla :
"Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (An-Nahl: 91)
Buraidah
menuturkan:
"Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat seorang komandan pasukan perang
atau bataliyon, beliau menyampai-kan pesan kepadanya agar bertakwa kepada Allah
dan berlaku baik kepada kaum muslimin yang bersamanya. Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: "Serbulah dengan memulai membaca
"Bismillah fi Sabilillah" (Dengan asma’ Allah, demi di jalan Allah).
Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Seranglah. Dan janganlah kamu
menggelapkan harta rampasan perang, jangan mengkhianati perjanjian, jangan
mencincang korban yang terbunuh, dan jangan membunuh seorang anak pun.
Apabila
kamu mendapati musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang musyrik, maka ajaklah
mereka kepada tiga perkara, mana yang mereka setujui maka terimalah dan
hentikan (menyerang) mereka: Ajaklah mereka kepada Islam; kalau mereka setuju
maka terimalah dari mereka, lalu ajaklah mereka berpindah dari daerah mereka ke
daerah kaum Muhajirin serta beritahukan kepada mereka bahwa apabila mereka
melaksanakan ini mereka mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana hak dan
kewajiban kaum Muhajirin Tetapi, kalau mereka menolak untuk berpindah (hijrah)
dari daerah mereka, maka beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan mendapat
perlakuan seperti orang-orang badui (pengembara) dari kalangan kaum muslimin,
berlaku bagi mereka hukum Allah , sedang mereka tidak menerima bagian apapun
dari ghanimah dan fa’i, kecuali bila mereka berjihad bersama kaum muslimin.
Jika
mereka menolak perkara tersebut, maka mintalah kepada mereka untuk membayar
jizyah. Kalau mereka setuju, maka terimalah dari mereka dan hentikan
(menyerang) mereka. Tetapi jika mereka masih juga menolak perkara-perkara
tersebut, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.
Apabila
kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka menghendaki agar kamu
membuatkan untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya, maka janganlah
kamu buatkan untuk mereka perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya; tetapi
buatkanlah untuk mereka perjanjian dirimu sendiri dan perjanjian kawan-kawanmu,
karena sesungguh-nya lebih ringan resikonya melanggar perjanjianmu dan
perjanjian kawan-kawanmu daripada melanggar perjanjian Allah dan perjanjian
NabiNya.
Dan
apabila kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka menghendaki
agar kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka janganlah kamu
mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, tetapi keluarkanlah mereka atas
dasar hukum yang kamu ijtihadkan, karena sesungguhnya kamu tidak mengetahui
apakah tindakanmu terhadap mereka itu tepat dengan keputusan Allah atau
tidak."
[1]
Kandungan
Bab Ini
- Perbedaan antara perjanjian Allah dan perjanjian NabiNya dengan perjanjian kaum muslimin.
- Tuntunan yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu supaya mengambil alternative yang lebih ringan resikonya dalam dua perkara tersebut.
- Etika dalam berjihad, yaitu supaya menyerbu dengan dimulai membaca "Bismillah fi Sabilillah".
- Disyariatkan untuk memerangi orang-orang yang kafir kepada Allah.
- Supaya senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dalam berperang melawan orang-orang kafir.
- Perbedaan antara hukum Allah dan hukum ijtihad para ulama.
- Dalam situasi
yang diperlukan, seperti tersebut dalam hadits, disyariatkan kpada
komandan atau pemimpin untuk memutuskan hukum dengan menyatakan
dari ijtihadnya; hal itu demikian, dikhawatirkan hukum yang diputuskannya
tersebut tidak sesuai dengan hukum Allah ‘Azza wa Jalla.
Larangan Bersumpah Mendahului Allah
Jundab
bin Abdullah menuturkan Raululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada
seorang laki-laki berkata: "Demi Allah, Allah tidak mengampuni
siFulan"; maka firman Allah: "Siapakah yang bersumpah mendahuluiku
bahwa aku tidak mengampuni si fulan? Sungguh aku telah mengampuninya dan
menghapus amalmu". [2]
Dan
disebutkan dalam hadits riwayat Abu Hurairah bahwa orang yang
bersumpah
demikian adalah orang yang ahli ibadah. Kata abu Hurairah:"Ia telah
mengucapkan perkataan yang telah membinasakan dunia dan akhiratnya".
[3]
Kandungan Bab Ini
- Diperingatkan untuk tidak bersumpah mendahului Allah
- Hadits di atas menunjukkan bahwa neraka lebih dekat kepada seseorang daripada tali sandalnya sendiri
- Demikian halnya surga
- Sebagai buktinya lagi, perkataan Abu Hurairah: "Ia telah mengucapkan perkataan yang membinasakan dunia dan akhiratnya."
- Bahwa seseorang dapat diberi ampunan oleh Allah karena suatu sebab dari perkara yang dibencinya
Catatan
Kaki
[1]
Hadits Riwayat Muslim
[2]HR
Muslim.
[3]
HR Ahmad dan Abu Dawud.
Keagungan
Dan Kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla
Inilah
bab terakhir dari Kitab Tauhid, penulis menjelaskan betapa besar keagungan dan
kekuasaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki. Simak khabar-khabar dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengenai (sebagian) kekuasaan Allah
pada hari Kiamat. Juga, kedudukan-Nya dan ‘Arsy-Nya dengan bumi, langit dan
alam semesta.
Keagungan
Dan Kekuasaan Allah ‘Azza Wa Jalla [1]
Firman
Allah ‘Azza wa Jalla : “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Ibnu
Mas’ud menuturkan:
“Salah
seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
dan berkata: Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci
kami)
bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: "Akulah Penguasa."
bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: "Akulah Penguasa."
Tatkala mendengarnya, tersenyumlah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam sehingga tampak gigi-gigi beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu; kemuliaan beliau Shallallahu’alaihi wa sallam membacakan firman Allah:
"Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya,
padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari Kiamat…" dst.
Disebutkan
dalam riwayat lain oleh Muslim:
"…
gunung-gunung dan pohon-pohon di atas satu jari, kemudian digoncangkanNya dan
Dia-pun berfirman: "Aku-lah Penguasa, Akulah Allah"."
Dan
disebutkan dalam riwayat lain oleh Al-Bukhari:
"…
meletakkan semua langit di atas satu jari, air serta tanah di atas satu jari,
dan seluruh makhluk di atas satu jari…" (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Muslim meriwayatkan dari
Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Allah
akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil dengan
Tangan KananNya, dan ber-firman: "Akulah Penguasa; mana orang-orang
yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?" Kemudian Allah
menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan Tangan KiriNya dan
berfirman: "Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana
orang-orang yang berlaku sombong?"
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas , ia berkata:
"Langit
tujuh dan bumi tujuh di Telapak Tangan Allah Ar-Rahman, tiada lain hanyalah
bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di tangan seseorang di antara
kamu."
Ibnu
Jarir berkata:
"Yunus
menuturkan padaku, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid, dari bapaknya (Zaid bin
Aslam), ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Ketujuh
langit itu berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagai-kan tujuh keping dirham
yang diletakkan di atas perisai."
Ibnu
Jarir berkata pula: "Dan Abu Dzarmenuturkan: Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Kursi
itu berada di ‘Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang
dicampakkan di tengah padang pasir."
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia menuturkan:
"Antara
langit yang paling bawah dengan langit berikutnya jaraknya 500 tahun, dan
antara setiap langit jaraknya 500 tahun; antara langit yang ketujuh dengan
kursi jaraknya 500 tahun; dan antara kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun;
sedang ‘Arsy berada di atas samudra air itu; dan Allah berada di atas ‘Arsy
tersebut, tidak tersembunyi bagi Allah suatu apapun dari perbuatan kamu
sekalian."
[2]
Dan
diriwayatkan dengan lafazh seperti ini oleh Al-Mas’udi dari ‘Ashim dari Abu
Wa’il dari ‘Abdullah", demikian dinyatakan Adz-Dzahaby; lalu
katanya: "Atsar tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalan."
Al-’Abbas
bin Abdul Muthalibmenuturkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: "Tahukah
kamu sekalian berapa jarak antara langit dengan bumi?" Kami menjawab:
"Allah dan RasulNya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Antara
langit dan bumi jaraknya perjalanan 500 tahun, dan antara satu langit ke langit
lainnya jaraknya perjalanan 500 tahun, sedang ketebalan masing-masing langit
adalah perjalanan 500 tahun. Antara langit yang ke tujuh dengan ‘Arsy ada
samudra, dan antara dasar samudra itu dengan permukaannya seperti jarak antara
langit dengan bumi. Allah di atas itu semua dan tidak tersembunyi bagiNya
sasuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam."[3]
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat tersebut di atas. [4]
- Pengetahuan-pengetahuan tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana terkandung dalam hadits pertama, masih dikenal di kalangan orang-orang Yahudi yang hidup pada zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.Mereka tidak mengingkarinya dan tidak menafsirkannya dengan tafsiran yang menyimpang dari kebenaran.
- Ketika pendeta Yahudi itu menyebutkan pengetahuan tersebut kepada Nabi shallallahu alaihi wa salam, beliau membenarkannya dan turunlah ayat Al-Qur’an menegaskannya.
- Rasulullah tersenyum tatkala mendengar pengetahuan yang agung ini disebutkan oleh pendeta Yahudi.
- Disebutkan dengan tegas dalam hadits adanya dua tangan bagi Allah, dan bahwa seluruh langit diletakkan di tangan kanan dan seluruh bumi diletakkan di tangan yang lain pada hari Kiamat nanti.
- Dinyatakan dalam hadits bahwa tangan yang lain itu disebut tangan kiri.
- Disebutkan keadaan orang-orang yang berlaku lalim dan berlaku sombong pada hari Kiamat.
- Dijelaskan bahwa seluruh langit dan bumi di telapak tangan Allah bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di telapak tangan seseorang.
- Besar (luasnya) Kursi dibanding dengan langit.
- Besarnya (luasnya) ‘Arsy dibandingkan dengan Kursi.
- ‘Arsy bukanlah Kursi, dan bukanlah samudra.
- Jarak antara langit yang satu dengan langit yang lain perjalanan 500 tahun.
- Jarak antara langit yang ke tujuh dengan Kursi perjalanan 500 tahun.
- Dan jarak antara kursi dengan samudra perjalanan 500 tahun pula.
- ‘Arsy, sebagaimana dinyatakan dalam hadits, berada di atas samudra tersebut.
- Allah berada di atas ‘Arsy.
- Jarak antara langit dan bumi ini perjalanan 500 tahun.
- Masing-masing langit tebalnya perjalanan 500 tahun.
- Samudra yang berada di atas seluruh langit itu, antara dasar dengan permukaannya, jaraknya perjalanan 500 tahun.
Dan hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui. Segala puji hanya milik Allah Rabb sekalian alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad , kepada keluarga dan para sahabatnya.
Catatan
Kaki
[1]Dalam
Bab terakhir ini, penulis mennyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Al
Hadits yang menjelaskan keagungan dan kekuasaan Allah, dengan maksud untuk
menunjukkan bahwa hanya Allah saja Tuhan yang berhak dengan segala macam ibadah
yang dilakukan manusia dan hanya milik Alllah dengan segala sifat kesempurnaan
dan kemuliaan.
[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hamad bin Salamah, dari ‘Ashim, dari
Zirr, dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud.
[3]
Hadits riwayat Abu Dawud dan Ahli Hadits lainnya.
[4]
Ayat ini menunjukkan keagungan dan kebesaran Allah dan kecilnya seluruh makhluk
dibandingkan denganNya; menunjukkan pula bahwa siapa yang berbuat syirik,
berarti tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya.
________________________
Sumber: http://blog.vbaitullah.or.id/
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.