Oleh:Ustadz Rizal Yuliar
Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah
masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat
diyakini sebagai pelindung (selain Allah Azza wa Jalla ) dari berbagai
mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat
tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki,
kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Ada jimat berupa
cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk,
tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun
bentuk-bentuk jimat lainnya. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda
masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau
cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus
menyesatkan ini. Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat
dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan
mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan
demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal
ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain
terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah
terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas'alullâha assalâmata
wal `âfiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Azza wa Jalla
keselamatan dan perlindungan.
KEBINASAAN PELAKU SYIRIK
Bertauhîd (mengesakan) Allah Azza wa Jalla dalam semua bentuk ibadah
adalah hak Allah Azza wa Jalla yang paling agung. Dan kesyirikan
merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Azza wa Jalla
tersebut. Ancaman dan murka Allah Azza wa Jalla terhadap syirik dan
pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Azza wa Jalla
tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia
diharamkan masuk jannah Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ
إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa mempersekutukan Allah (berbuat syirik) maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4 : 48]
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah
dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`âm/6: 88]
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah
haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Mâidah/5: 72]
Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah
Azza wa Jalla di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai
tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum
engkau; "Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan
gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi
(diadzab)". [az-Zumar/39: 65]
KESYIRIKAN DALAM JIMAT
Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau
logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta
menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan
suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan
dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko,
kendaraan atau selainnya.[1] Memakai jimat dengan berbagai jenisnya
adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat
berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Azza wa Jalla , maka ia
menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah
karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Azza wa Jalla . Namun,
jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak
memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat
dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka
sesungguhnya dia telah menyamai Allah Azza wa Jalla dalam menentukan hal
tersebut sebagai sebab; padahal Allah Azza wa Jalla tidaklah
menjadikannya sebagai sebab.[2]
Dari `Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang
terbuat dari tembaga di tangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya "Apa ini?". Pria tersebut menjawab: "(aku memakainya) Karena
(tertimpa) penyakit wahînah". Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata "Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan
menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih
berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga
kapanpun!".[3] Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada
seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka
bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang
tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat
Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka
berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat
semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para
Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ulama salaf pada
umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan
pembelaan terhadap hak Allah Azza wa Jalla .
Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang
sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal
demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca
firman Allah Azza wa Jalla [Yûsuf/12:106] :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
"Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".[6] Sa`îd
bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata "Barangsiapa memotong satu jimat
(tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan
seorang budak".[7]
Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi
besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa
menetapkan suatu perantara padahal Allah Azza wa Jalla tidak pernah
sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari;
maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla .
Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang
disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Azza wa Jalla ).
Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab
yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari
karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.[8] Sedemikian benci
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat,
sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di
antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah
membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab "Sesungguhnya dia
memakai tamîmah". Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya;
kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya
seraya bersabda: "Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah
berbuat syirik".[9]
Tamîmah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat
menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan
tertentu [10].
Secara umum tamîmah terbagi menjadi dua macam.
Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`ân seperti tulang, kerang,
keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak
diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu
kepada selain Allah Azza wa Jalla .
Kedua: yang berasal dari al-Qur`ân, Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ;
maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang
kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian.
Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.
3. Jika seseorang memakai tamîmah yang berisi dari al-Qur`ân atau Asma
dan Sifat Allah Azza wa Jalla , maka sudah barang tentu ia akan
membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya
dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`ân.[11]
Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci
(mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân
ataupun selainnya"[12] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
"Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamîmah dan pelet adalah
syirik".[13] Al-Khathabi berkata "Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak
berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran.
Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Azza wa
Jalla di dalamnya, maka yang demikian dianjurkan serta diharapkan
barakahnya, Wallâhu A`lam.[14]
Syaikh al-Albâni berkata "Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah
yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah
yang tidak dipahami maknanya…".[15] Perlu diketahui bahwa tidak semua
jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah
ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-'Asyjâ`i Radhiyallahu anhu
berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian
kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bagaimana pendapat engkau?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan)
ruqyah selama bukan kesyirikan"[16]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melakukannya, beliau juga pernah diruqyah oleh Jibrîl
Alaihissallam [17] Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.[18]
Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:
Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`ân, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ,
Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,
Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat
dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla
semata.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
"Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan
menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka
Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya".[20]
WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.
Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan
ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus
dipotong".[21] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari
segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi`
Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup
panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat
janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan
tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[22]
Bahkan Allah Azza wa Jalla akan membiarkan ketergantungan seseorang
kepada sesuatu selain Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla akan
menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi
melainkan dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla , Rabb semesta alam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ
Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan
dipasrahkan kepadanya.[23] Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada
sesuatu dan Allah Azza wa Jalla akan mengabaikannya.[24]
MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH WA JALLA
Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhîd mengesakan
Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri
kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak
kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca,
namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian
mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]
Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba,
hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha
segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya
adalah di tangan Allah Azza wa Jalla.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`âm/6:162]
Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu
sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku akan
mengajarkanmu beberapa kalimat : (("Jagalah Allah, maka Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu
(menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan
apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari
Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk
memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan
apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila
mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat
melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena
(qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdîr) telah kering")).[25]
DOA DAN WIRID-WIRID SYAR’I TELAH DICONOTHKAN
Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari
perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa
perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam
Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam
setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari
segala bentuk kesyirikan. Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya,
hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk
dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan
safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari
dan petangnya. Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu
telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam
al-Qur`ân maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan "memaksakan"
ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang
ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang belum pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amal
tersebut pastilah tertolak dan sia-sia.
PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL:
1.Kewajiban bertauhîd kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap keadaan
dan keharaman berbuat syirik dengan bentuk apapun dan dalam kondisi
apapun.
2. Islam telah menutup semua celah yang akan menghantarkan kaum Muslimin kepada kesyirikan.
3. Syirik adalah kezhaliman terbesar terhadap hak Allah Azza wa Jalla
yang Maha Besar. Pelakunya terancam dengan kesengsaraan di dunia dan
adzab pedih di akhirat.
4. Mengenakan jimat dengan berbagai keyakinannya adalah perbuatan syirik
baik diyakini sebagai perantara maupun sebagai pelaku utama selain
Allah Azza wa Jalla .
5. Wajib mengingkari kemungkaran syirik dan dosa lainnya namun sesuai ketentuan hukum syariat Islam.
6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa jimat
tamîmah adalah syirik dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berwasiat untuk memeranginya dan memberantasnya.
7. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebahagiaan dan menjauh dari
kesengsaraan melainkan dengan menjalankan semua bagian syariat islam.
8. Memohon perlindungan hanyalah dari Allah Azza wa Jalla semata. Arahan
Islam dalam memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan celaka telah
sempurna diajarkan dalam al-Qur`ân dan Sunnah.
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk dapat berjalan di atas cahaya kebenaran Islam, amîn.
Referensi:
1. Al-Mustadrak, Dâr Kutub `Ilmiyah Libanon. Cet II th.1422 H/2002 M. Muhammad `Abdullâh al-Hâkim an-Naisâburi.
2. Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijâriyah Dâr Al-Fikr Beirut Libanon.
Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullâh bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
3. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, Dâr Ibnul-Jauzi KSA . Cet II th.1424 H. Muhammad Shâlih al-Utsaimîn
4. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, Dâr at-Tauhid KSA. Cet I 1424 H/2003 M. Shâlih `Abdul `Azîzi Alu Syaikh.
5. Aunul Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, Dâr al-Fikr Beirut Libanon. Cet
III th.1399 H/1979 M. Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhîm Abadi.
6. Fathul-Majîd Syarh Kitab at-Tauhîd, Dârul-Kitâb al-Islâmi Madinah KSA. `Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh.
7. Musnad Ahmad, Mu'assasah ar-Risâlah Beirut Libanon. Cet I th.1420
H/1999 M - Baitul-Aqthar Ad-Dauliyyah, th.1419 H/1998 M. Ahmad bin
Hanbal Asy-Syaibani.
8. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Maktabah al-Ma`ârif Riyâdh KSA. Cet th.1415 H/1995 M. Muhammad Nâshiruddin al-Albâni .
9. Shahîh Sunan Abi Dâwud, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I
th.1409 H/1989 M. Sulaimân al-Asy'âts as-Sijistâni - Muhammad
Nâshiruddin al-Albâni.
10. Shahîh Sunan an-Nasâ'i, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I
th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu'aib an-Nasâ'i - Muhammad Nâshiruddîn
al-Albâni.
11. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet III
th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazîd al-Qazwini - Muhammad Nâshiruddîn
al-Albâni.
12. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I
1409 H/1989 M. Muhammad bin `Isa at-Tirmidzi - Muhammad Nâshiruddin
al-Albâni.
13. Shahîh Muslim, Dâr as-Salâm Riyâdh KSA. Cet I th.1419 H/1998 M. Muslim bin Hajjâj an-Naisâburi.
14. Shahîh al-Bukhâri, Dâr As-Salam Riyâdh KSA. Cet II th.1419 H/1999 M. Muhammad bin Ismâ'îl al-Bukhâri.
15. Tuhfatul Ah-wadzi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Maktabah Ibnu Taimiyah.
Cet III th.1407 H/1987 M. Muhammad `Abdurrahmân al-Mubârakfury.
16. Tafsîrul-Qur`ân al-`Azhîm, Muassasah Ar-Rayyân Libanon. Ismâ`îl bin Katsîr ad-Dimasyqi
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat catatan penting Syaikh al-Albâni tentang hal ini dalam Silsilah Shahîhnya takhrîj hadits no: 492
[2]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 107
[3]. Ahmad no: 20000, al-Hâkim no: 7502 dengan sanad yang shahîh tanpa
penyebutan kebahagiaan. Al-Hâkim berkata "sanad hadits ini shahîh namun
belum diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim". Wallâhu A`lam
[4]. Al-Qaulul-Mufîd `ala kitab at-Tauhîd, hlm: 112
[5]. Lihat kitab At-Tauhîd, Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahâb
mencantumkan permasalahan sekaligus hadits ini sebagai larangan salah
satu jenis kesyirikan dalam bab: "Di antara bentuk kesyirikan
menggunakan kalung jimat dan selainnya"
[6]. Ibnu katsîr menyebutkan atsar ini dalam tafsir Qs Yûsuf/12:106 (2/642)
[7]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5/428 no: (18). Dan keserupaan itu
dijelaskan Syaikh Ibnu `Utsaimîn dalam Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab
at-Tauhîd, hal: 123
[8]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 107
[9]. Ahmad no: 17422, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah no: 492
[10]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 109, Fathul-Majîd, hlm 151, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 117
[11]. Fathul Majîd, hlm: 152-153
[12]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf , no: 3518
[13]. Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3288, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no: 2845, Ahmad no: 3615, Silsilah Shahîhah no: 331
[14]. Aunul-Ma`bûd 10/367
[15]. Silsilah Shahîhah 1/649
[16]. Muslim no: 5732, Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3290
[17]. Muslim no: 5700
[18]. Al-Bukhâri no: 5735
[19]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 108-109, kitab At-Tauhîd karya Syaikh Shâlih al-Fauzân, hlm: 67-68
[20]. Ahmad no: 17404, al-Hâkim no: 7501
[21]. Al-Bukhâri no: 3005, Muslim no: 5549
[22]. Ahmad no: 16995, Shahîh Sunan Abu Dâwud no: 27, Shahîh Sunan an-Nasâ`i no: 4692, Syaikh al-Albâni berkata "shahîh"
[23]. Ahmad no: 18781, al-Hâkim 7503, dihasankan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 1691
[24]. Tuhfatul Ahwadzi 6/239, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 119
[25]. Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 2043
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3433/slash/0/keyakinan-sesat-pada-jimat/
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.