Sabtu, 14 Desember 2013

Shalat Qashar Bagi Musafir

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
 
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas kalian untuk mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir akan membahayakan kalian.” (QS. An-Nisa’: 101)
 
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di atas:

فَقَد أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ: عَجِبتُ مِمَّا عَجِبتَ مِنهُ فَسَأَلتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -  عَن ذَلِكَ فَقَالَ: ((صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ)).
 
“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir, pent). Maka Umar menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut, karenanya aku juga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah sedekah yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim no. 686)
 
Maksud Ya’la: Bukankah ayat tersebut hanya menyebutkan bolehnya safar jika khawatir akan diganggu oleh musuh? Jika keadaannya aman seperti sekarang, apakah hukum qashar masih tetap berlaku? Maka Umar menjawabnya dengan jawaban di atas
 
Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha dia berkata:

فَرَضَ الله الصَّلاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ في الحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّت صَلاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ في صَلاةِ الحَضَرِ
 
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2 rakaat dalam keadaan mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan shalat dalam keadaan mukim ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim no. 685)
 
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:

فَرَضَ الله الصَّلاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُم – صلى الله عليه وسلم -  في الحَضَرِ أَربَعًا، وَفي السَّفَرِ رَكعَتَينِ، وَفي الخَوفِ رَكعَةً.
 
“Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian shallallahu alaihi wasallam sebanyak 4 rakaat dalam keadaan mukim, 2 rakaat dalam keadaan safar, dan 1 rakaat dalam keadaan takut (shalat khauf).” (HR. Muslim no. 687)
 
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

خَرَجنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -  مِن المَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ حَتَّى رَجَعَ، قُلتُ: كَم أَقَامَ بِمَكَّةَ؟ قَالَ: عَشرًا
 
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau shalat 2 rakaat 2 rakaat sampai beliau pulang ke Madinah. Saya (murid Anas) bertanya. “Berapa lama beliau menetap di Makkah?” dia menjawab, “10 hari.” (HR. Al-Bukhari no. 1081 dan Muslim no. 693)
 
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:

صَلَّيتُ الظُّهرَ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم -  بِالمَدِينَةِ أَربَعًا وَبِذِي الحُلَيفَةِ رَكعَتَينِ
 
“Aku shalat zuhur bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah 4 rakaat dan shalat di Zil Hulaifah 2 rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690)

Pembahasan Fiqhiah:
Sebelum kami membahas masalah qashar ini, ada 2 perkara yang harus diperhatikan:
1.    Shalat yang terkena qashar (pengurangan rakaat) hanyalah shalat yang rakaatnya 4 (zuhur, ashar, dan isya). Adapun maghrib dan subuh maka rakaatnya tetap dalam keadaan safar, tidak dikurangi. Ini adalah kesepakatan di kalangan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dan selainnya.
2.    Qashar shalat hanya syariat yang diperuntukkan bagi imam atau yang shalat sendiri. Adapun bagi mereka yang bermakmum kepada seorang imam dalam shalat berjamaah, maka mereka mengikuti jumlah rakaat imamnya.
 
Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas:

كَيفَ أُصَلِّي إِذَا كُنتُ بِمَكَّةَ إِذَا لَم أُصَلِّ مَعَ الإِمَامِ؟ فَقَالَ: رَكعَتَينِ سُنَّةَ أبي القَاسِمِ
 
“Bagaimana saya shalat jika saya berada di Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di belakang imam (berjamaah)?” Maka beliau menjawab, “Shalatlah 2 rakaat, itu merupakan sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim: 5/197-Syarh An-Nawawi)
 
Maka dari atsar di atas bisa dipahami, bahwa jika seseorang shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti rakaat imamnya yaitu 4 rakaat.

Catatan penting:
Sebagian manusia ada yang sengaja meninggalkan shalat berjamaah saat safar dengan alasan karena dia ingin melakukan qashar. Ini adalah kesalahan, karena shalat berjamaah tetap diwajibkan bagi setiap lelaki balig, baik dalam keadaan mukim maupun safar.
Dalil akan wajibnya shalat berjamaah bagi musafir adalah hadits Malik bin Al-Huwairits dia berkata: Ada 2 lelaki yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang mana mereka berdua ini akan melakukan safar. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada keduanya:

إِذَا أَنتُمَا خَرَجتُمَا فَأَذِّنَا، ثُمَّ أَقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكبَرُكُمَا
 
“Jika kalian berdua telah keluar (dan waktu shalat telah masuk), maka kumandangkanlah azan dan iqamah, kemudian hendanya yang paling tua di antara kalian yang menjadi imam.” (HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)
 
Juga telah warid dari hadits Abu Dzar, Abu Qatadah, Abu Hurairah, dan Imran bin Hushain bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tetap mendirikan shalat berjamaah dalam safar.
Lihat dalil-dalil lain akan wajibnya shalat berjamaah di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1914
Berikut beberapa permasalahan yang butuh dibahas berkenaan dengan masalah qashar shalat:

Hukum qashar shalat
Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa mengqashar shalat bagi musafir hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Saleh, dan merupakan mazhab Zhahiriah dan selainnya, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar: 3/202.
Di antara dalil-dalil mereka adalah:
1.    Hadits Ya’la bin Umayyah di atas. Sisi pendalilannya adalah adanya perintah Nabi shallallahi alaihi wasallam untuk menerima sedekah dari Allah (shalat qashar), sementara hukum hukum asal perintah beliau adalah wajib.
2.    Hadits Aisyah di atas yang tegas menunjukkan bahwa dalam safar, shalat kembali kepada rakaat asalnya yaitu dua rakaat. Karenanya barangsiapa yang shalat itmam (4 rakaat) dalam safar maka dia telah menambah 2 rakaat tanpa ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Semakna dengannya hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma setelahnya.
3.    Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:

صَحِبتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -  فَكَانَ لا يَزِيدُ في السَّفَرِ عَلَى رَكعَتَينِ وَأَبَا بَكرٍ وَعُمَرَ وَعُثمَانَ كَذَلِكَ
 
“Saya bersahabat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebegitu lama), akan tetapi dalam safar beliau tidak pernah shalat lebih dari 2 rakaat. Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. Al-Bukhari no. 1102)
 
Maka ini menunjukkan bahwa pendapat dan amalan ketiga khalifah pertama adalah mengqashar shalat saat safar. Adapun amalan Utsman radhiallahu anhu yang shalat itmam di Mina saat musim haji, maka amalan ini (itmam shalat) hanya beliau lakukan di Mina dan beliau hanya melakukan di akhir-akhir kekhalifaan beliau. Ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar dimana beliau berkata:

صَلَّيتُ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم -  بِمِنًى رَكعَتَينِ وَأبي بَكرٍ وَعُمَرَ وَمَعَ عُثمَانَ صَدرًا مِن إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا
 
“Saya shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Mina 2 rakaat, demikian pula dengan Abu Bakar, Umar dan juga bersama Utsman di awal kepemimpinannya, kemudian di akhir kepemimpinannya dia pun melakukan itmam.” (HR. Al-Bukhari 1082, 1657 dan Muslim no. 694)
 
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Beliau mengqashar shalat yang 4 rakaat dan mengerjakannya 2 rakaat ketika beliau keluar melakukan safar hingga beliau kembali. Dan tidak shahih sama sekali dari beliau bahwa beliau shalat itmam pada shalat yang 4 rakaat dalam safar.” Lihat Zaad Al-Ma’ad: 1/464

Bolehkah qashar jika safarnya untuk maksiat?
Hukum qashar shalat bagi musafir berlaku dalam segala keadaan dan bagi siapa saja, selama dia melakukan safar, berdasarkan keumuman dalil-dalil di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla masalah 512, “Keberadaan shalat yang tersebut dalam keadaan safar yang dikerjakan dua rakaat, hukum wajibnya berlaku baik safarnya untuk ketaatan, atau untuk maksiat, atau bukan untuk ketaatan dan bukan pula untuk maksiat (safar mubah), dan berlaku baik safarnya dalam keadaan aman maupun ketika khawatir akan bahaya.”
 
Ini adalah pendapat Al-Auzai, Ats-Tsauri, Al-Muzani, Abu Hanifah, dan yang dikuatkan oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiah: 1/375

Kapan musafir mulai mengqashar?
Ibnu Al-Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yang kami hafal pendapat mereka telah bersepakat bahwa siapa yang ingin safar maka dia boleh mengqashar jika dia sudah meninggalkan semua rumah yang ada di kampung yang dia keluar darinya.”
Apa yang disebutkan oleh Ibnu Al-Mundzir di sini akan adanya ijma’ adalah sebatas apa yang beliau hafal -sebagaimana yang beliau sendiri ingatkan-, karena kenyataannya ada silang pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Pendapat yang beliau sebutkan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama, dan di antara dalil mereka adalah atsar dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau pernah safar lalu beliau melakukan qashar bersama yang lainnya dalam keadaan mereka melihat rumah-rumah (di dalam kampung). Lalu ketika mereka pulang, mereka mengqashar dalam keadaan mereka melihat rumah-rumah.
Atsar di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/569) secara mu`allaq dengan konteks al-jazm (pemastian keshahihannya).

Berapa lama boleh mengqashar?
Dalam hal ini, musafir ada dua keadaan:
1.    Jika dia masih sementara dalam perjalanan atau dia singgah di tengah perjalanan walaupun dia menginap di tempat persinggahan tersebut.
Dalam keadaan seperti ini Imam Ibnu Al-Mundzir dan selainnya menukil tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama akan diizinkannya dia mengqashar selama apapun selama dia masih berada di tengah perjalanannya.
2.    Jika dia sudah tiba di tempat tujuannya dan tidak meniatkan mukim, akan tetapi dia menunggu hingga urusan atau tujuan safarnya selesai barulah dia pulang. Maka di sini ada silang pendapat di kalangan ulama mengenai sampai kapan dia boleh mengqashar.
Hadits Anas bin Malik di atas menunjukkan bahwa beliau mengqashar selama 10 hari di Makkah.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:

أَقَامَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم -  تِسعَةَ عَشَرَ يَقصُرُ، فَنَحنُ إِذَا سَافَرنَا تِسعَةَ عَشَرَ قَصَرنَا وَإِن زِدنَا أَتمَمنَا
 
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami melakukan shalat itmam.” (HR. Al-Bukhari no. 1080)
 
Dan pembatasan 19 hari inilah yang dipilih oleh Ishaq bin Rahawaih dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani.

Apakah penyebutan 19 hari ini adalah pembatasan?
Yang nampak hal itu bukan pembatasan, karena para sahabat tidak memahaminya seperti itu. Berikut beberapa keterangan dari mereka:
 
Dari Abdurrahman bin Miswar dia berkata, “Kami berdiam di Amman selama 2 bulan bersama Sa’ad bin Malik, dia mengqashar shalat sementara kami shalat itmam. Ketika kami (para tabi’in) menanyakan hal itu, beliau menjawab, “Kami lebih mengetahui.” Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (3/153) dengan sanad yang hasan.
 
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata kepada Simak bin Salamah, “Jika kami berdiam di sebuah negeri selama 5 bulan, maka qasharlah shalatmu.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (2/341) dengan sanad yang shahih.
 
Bahkan dalam pada tempat yang sama, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Abu Al-Minhal bertanya kepada Ibnu Abbas, “Saya berdiam (sebagai musafir) di Madinah selama setahun dan tidak sedang melanjutkan perjalanan?” maka Ibnu Abbas menjawab, “Shalatlah kamu dua rakaat.”
 
Dan pada atsar setelahnya Ibnu Abbas berkata, “Shalatlah dua rakaat walaupun engkau berdiam selama 10 tahun.”
 
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa beliau berdiam di Naisabur (sebagai musafir) selama setahun atau dua tahun sambil mengqashar shalat.”
 
Dan dari sahabat Jabir bin Zaid bahwa beliau ditanya, “Saya tinggal (sebagai musafir) di negeri Tastur selama setahun atau dua tahun, dan saya sudah mirip dengan penduduk asli di situ,” maka Jabir menjawab, “Shalatlah dua rakaat.”
 
Semua atsar sahabat ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dengan sanad yang shahih.

Dari semua tarjihat ulama yang pernah kami ketahui, apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri dalam kitabnya Dhiya` As-Salikin merupakan pendapat yang paling pertengahan, yaitu:
Bagi siapa safar dalam keadaan yang kedua di atas, maka paling maksimal dia hanya mengqashar sampai 19 hari karena itulah waktu maksimal yang tersebut dalam hadits-hadits yang shahih.
 
Hanya saja bagi siapa yang berpendapat bolehnya mengqashar lebih lama dari itu dengan alasan tidak ada hadits yang melarang dan bahwa penyebutkan 19 hari dalam hadits Ibnu Abbas bukan pembatasan tapi sekedar pengabaran. Ini dibuktikan dengan atsar Ibnu Abbas sendiri yang membolehkan qashar selama setahun bahkan 10 tahun selama dia tidak berniat mukim. Dan pemahaman Ibnu Abbas ini didukung oleh bebeberapa sahabat lainnya dan tidak dinukil adanya sahabat lain yang menyelisihi mereka dalam hal ini.
 
Jika ada yang mengikuti pendapat mereka ini maka kami katakan: Mereka mempunyai salaf pada pendapatnya dan tidak menyalahkan pendapat mereka. Karena sebagaimana yang kita lihat bahwa pemahaman sahabat terhadap hadits-hadits di atas bukanlah sebagai pembatasan.
 
Walaupun yang lebih selamat dan lebih berhati-hati adalah terikat dengan apa yang tersebut dalam hadits yaitu 19 hari, wallahu a’lam bishshawab.

Jarak perjalanan yang teranggap safar
Ada silang pendapat yang besar di kalangan ulama dalam masalah ini, sampai-sampai sebagian ulama ada yang menyebutkan sampai 20 pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini lahir akibat perbedaan dalam menshahihkan sebuah hadits dan dalam memahami hadits-hadits yang menyebutkan adanya penyebutan jarak dalam safar Nabi shallallahu alaihi wasallam. Di antara hadits-hadits yang menyebutkan adanya jarak tertentu adalah:
 
1.    Hadits Anas di atas yang menunjukkan beliau shalat qashar di  Zil Hulaifah. Sementara Zul Hulaifah jaraknya sekitar 3 mil atau 4,8 km dari Madinah, karena  mil = 1,6 km
Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa itu merupakan jarak minimal safar, tapi hanya menunjukkan bahwa beliau melakukan qashar di Zul Hulaifah.
 
2.    Hadits Anas riwayat Muslim no. 691 dia berkata, “Jika Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau shalat 2 rakaat.”
Hanya saja dalam hadits di atas juga tidak ada keterangan itu adalah jarak safar minimal yang diizinkan qashar. Lagipula riwayat Muslim di atas terjadi perbedaan lafazh yang mengharuskan perbedaan hukum, yaitu dalam penyebutan jarak antara 3 mil atau 3 farsakh. 1 mil = 1,6 km dan 1 farsakh = 5,541 km (walaupun tentunya ukuran 1 farsakh ini bukanlah ukuran yang disepakati).
Dan ada beberapa hadits lain, hanya saja tidak sedikit di antaranya yang lemah.
 
Karenanya Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memberikan batasan bagi umatnya kapan mereka boleh mengqashar dan tidak berpuasa (saat safar). Bahkan beliau menyebutkan pembolehan qashar secara mutlak dalam keadaan safar atau sedang dalam perjalanan. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau mengenai adanya pembatasan safar (minimal) sehari atau dua hari atau tiga hari, maka tidak ada satupun hadits tersebut yang shahih.” Lihat Zaad Al-Ma’ad: 1/481
 
Dan juga sebelumnya Ibnu Taimiah rahimahullah menyatakan, “Maka pembatasan qashar dengan jarak tertentu tidak ada asalnya dalam syariat, tidak pula dari sisi bahasa, tidak pula dari sisi kebiasaan, dan tidak pula dari sisi akal.”
 
Karenanya, pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa dalam masalah batasan kapan boleh mengqashar, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setiap tempat mengenai kapan seseorang dianggap bersafar. Karenanya, jarak minimal boleh mengqashar tentu akan berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
 
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh sejumlah muhaqqiqin seperti kedua syaikhul islam di atas, juga sebelum mereka Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dan di kalangan belakangan Asy-Syaikh Shiddiq 
Hasan Khan rahimahumullah.
Rujukan utama: Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Adab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.