Segala puji hanya milik Alloh, sholawat
dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh beserta para
sahabat dan pengikut mereka yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du.
Sholat adalah ibadah yang sangat mulia,
yang menjadi standar lahiriyah tegaknya agama pada diri seorang hamba.
Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu ibadah tidak akan diterima
kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlash dan ittiba’. Ikhlash artinya mempersembahkan ibadah tersebut hanya untuk Alloh saja, sedangkan ittiba’ maknanya melaksanakannya sesuai tata cara yang dituntunkan oleh Nabi.
Dan patut disayangkan keadaan kaum
muslimin sekarang ini yang sangat malas menekuni ilmu agama, sehingga
berbagai kesalahan yang terkait dengan ibadah sholat ini pun terjadi
dimana-mana. Disamping itu ketidakpahaman (baca: kebodohan) ini akhirnya
juga menyebabkan sebagian sunnah (ajaran) Nabi ditinggalkan dan menjadi
terasa asing di tengah ummat Islam sendiri, Wallohul musta’aan (Alloh lah tempat kita meminta pertolongan).
Oleh karena itulah sudah menjadi suatu
keharusan bagi para imam untuk membimbing jama’ah yang dipimpinnya
supaya mengetahui dan berusaha mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang
ditinggalkan manusia (As Sunan Al Mahjuurah). Dengan memohon
pertolongan dari Alloh Subhanahu wa ta’ala melalui risalah yang ringkas
ini kami akan menyampaikan beberapa keterangan para ulama’ mengenai
salah satu sunnah Nabi yang ditinggalkan manusia yaitu melakukan jamak
antara maghrib dengan ‘isyak tatkala hujan turun. Semoga Alloh
menjadikan amal ini ikhlash dan bermanfaat bagi para hamba.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun jamak ta’khir.
Pada pernyataan ‘menggabungkan salah satu sholat dengan sholat yang
lainnya’ yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang boleh
digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam
pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ‘ashar dengan sholat
maghrib; (itu tidak boleh dikerjakan-pent) karena jenis sholat maghrib
berbeda dengan jenis sholat ‘ashar, sholat ‘ashar termasuk sholat nahariyah (yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis sholat lailiyah
(yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk dalam
pengertian ini menggabungkan antara sholat ‘Isyak dengan sholat Fajar
(shubuh-pent), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain (Syarhul Mumti’ karya Syaikh Al Utsaimin, jilid 4 halaman 547. Kitab Sholat: Bab Sholatnya orang yang mendapat udzur).
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jamak yaitu: karena safar (bepergian), karena hujan dan karena suatu kebutuhan tersendiri (bukan karena safar atau hujan) (lihat Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I halaman 139-141).
Selain tiga sebab di atas ada juga sebab
yang lain yaitu karena sakit yang menyebabkan dia susah untuk
mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah, karena tanah sepanjang
perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga menyulitkan perjalanan
ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat keras sehingga
menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa
sebab yang membolehkan jamak adalah: safar, sakit, hujan, timbunan
lumpur, angin dingin yang bertiup kencang, akan tetapi bukan berarti
sebabnya hanya lima perkara ini saja, karena itu sekedar contoh bagi
pedoman umum (yang membolehkan jamak-pent) yaitu karena disebabkan
adanya al masyaqqah (kesulitan yang menimpa orang yang hendak sholat-pent). Oleh karena itu pula seorang wanita yang terkena istihadhah
(penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara terus menerus
-pent) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar
atau antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak karena kesulitan yang
menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak sholat. Begitu
juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air (untuk
wudhu-pent) letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila harus
pergi ke sana setiap kali hendak sholat (diringkas dari Syarhul Mumti’ halaman 553-559).
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendapat
yang ada maka pendapat yang benar adalah bahwasanya hukum menjamak
sholat adalah Sunnah apabila memang terdapat sebab yang membolehkannya.
Hal ini disebabkan 2 alasan:
- Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang dikaruniakan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Ta’ala senang apabila rukhshohnya diambil.
- Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak-pent) terkandung sikap meneladani Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun melakukan jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholat yang kulakukan.” (HR. Bukhori) (disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 548-549).
Menjamak Sholat Ketika Turun Hujan
Sebagaimana telah disinggung di atas,
turunnya hujan merupakan salah satu sebab yang membolehkan (baca:
hukumnya sunnah) kita menjamak sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak.
Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang sampai membuat pakaian
yang terkena menjadi basah karena air hujan yang jatuh banyak dan cukup
deras, adapun hujan yang sedikit (baca: gerimis) yang tidak membuat baju
menjadi basah maka tidak boleh menjamak sholat karenanya (diringkas
dari Syarhul Mumti’ halaman 555).
Bolehnya menjamak ketika turun hujan
didasari beberapa riwayat yang bersumber dari Sahabat maupun tabi’in
(murid sahabat) serta tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) berikut ini:
- Dari Nafi’ (seorang tabi’in) dia menceritakan bahwasanya Abdulloh ibnu Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara’) menjamak antara sholat Maghrib dengan ‘isyak pada saat hujan turun maka beliaupun turut menjamak bersama mereka.
- Dari Musa bin ‘Uqbah, dia menceritakan bahwasanya dahulu Umar bin Abdul ‘Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak apabila turun hujan, dan sesungguhnya Sa’id ibnul Musayyib (tabi’in), Urwah bin Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli ilmu) pada zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari perbuatan tersebut.
- Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallohu ‘anhuma, beliau menceritakan: Bahwa dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar dan antara sholat Maghrib dengan ‘Isyak di kota Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan. Maka Ibnu ‘Abbas pun ditanya ‘Untuk apa beliau (Nabi) melakukan hal itu ?’ maka Ibnu ‘Abbas menjawab: ‘Beliau bermaksud agar tidak memberatkan ummatnya.’ (HR. Muslim dan lain-lain)
Syaikh Al Albani rohimahulloh
mengatakan: (dalam perkataan Ibnu Abbas ini -pent) Seolah-olah beliau
menyampaikan bahwasanya menjamak karena hujan adalah perkara yang sudah ma’ruf (dikenal) di masa hidup Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
kalaulah tidak karena latar belakang itu lalu manfaat apa yang bisa
dipetik dari penafian hujan sebagai sebab yang membolehkan beliau untuk
menjamak (Irwa’ul Ghalil, silakan lihat di Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz halaman 140-141, Kitab Sholat).
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim
(di waktu sholat yang pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu
lebih mencerminkan sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda
akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak
melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.” (Syarhul Mumti’ halaman 563).
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat
‘Isyak yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila
sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan
berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai
selesainya sholat yang kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku untuk sebab
yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya
terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya
sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang dilakukannya tidak
menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?
Apabila hujan turun maka seorang muslim
yang wajib menunaikan sholat jama’ah (baca: kaum lelaki) dibolehkan
menjamak sholat (apabila dia bersama imam di masjid -pent) atau sholat
di rumahnya (karena hujan termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri sholat jama’ah di masjid -pent).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid)
walaupun jalan yang dilaluinya untuk mencapai masjid sudah terlindungi
dengan atap (sehingga tidak sulit baginya menghadiri jama’ah sholat
‘Isyak nantinya ketika hujan belum reda -pent) hal ini supaya dia tidak
kehilangan (pahala) sholat berjama’ah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur
lain -pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh
menjamak; karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak
tersebut (karena kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya
tersebut-pent). Adapun kaum wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh
menjamak sholat karena hujan sebab tidak ada manfaat yang bisa
dipetiknya dengan menjamak itu, dan karena mereka bukan termasuk orang
yang diwajibkan menghadiri sholat berjama’ah. (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak
ini adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara
keduanya, sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun
dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak
mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat. Namun yang
lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak bersambung/berurutan
langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang
mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah
dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isyak -pent)
atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya
kalau seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justeru
mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi
sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika itu dia telah
menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai
pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isyak) (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569).
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, apabila ada kesalahan mohon segera sampaikan kritikan dan koreksinya. Wallohu a’lam bish showaab.
Perhatian:
Penyebutan Maghrib dan ‘Isyak ini adalah
contoh saja, karena Zhuhur dan ‘Ashar pun boleh dijamak jika ada sebab
yang membolehkannya, diantaranya karena hujan.
Rujukan:
- Syarhul Mumti’ karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, jilid 4
- Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
http://aljaami.wordpress.com/2011/10/14/shalat-jamak/